Fall in Love with Sweet Devil

By coldautumn

334K 50.4K 10.9K

Jinae tidak pernah menyangka jika ia harus bertemu kembali dengan Yoongi, tetangga sekaligus teman masa kecil... More

[TRAILER]
Prolog
01. Awal yang Buruk
02. Kesialan yang Berakhir Baik
03. Tidak Seburuk Kelihatannya
04. Tersesat
05. Sesuatu yang Manis
06. Mencoba untuk Luluh
07. Pengantar Tidur
08. Hal Baru
09. Antara Khawatir dan Kesal
10. Sebuah Rahasia
11. Penyelamatan (Lagi)
12. Ragu-ragu
13. Mulai Penasaran
14. Alasan
16. Salah Siapa?
17. Sebuah Harapan Baru
18. Gadis Bodoh
19. Rahasia Kecil
20. Kecewa itu Ada
21. Yoongi Mencurinya
22. Membangun Kepercayaan
23. Penawar Hati yang Luka
24. Sadar Diri
25. Harapan Semu
26. Alasan untuk Bertahan
27. Pergi
28. Menghilang
29. Pilihan
30. Pengakuan
31. Air Mata dan Kebahagiaan
32. Dari Hati ke Hati
33. Deep in Love
34. Ketakutan Terbesar
35. Make a Deal with Yourself
36. Penantian Panjang
37. Dia yang Romantis
38. Kembali
39. Hati yang Bicara
40. Safe and Sound
41. Sweet Life
42. A new chapter begins

15. Hujan dan Penyesalan

8.5K 1.4K 405
By coldautumn

Wattpadku error kayaknya. Udah update dari semalem, tapi ngga ada notifikasinya. Tolong vote dan komen yaa;)) Selamat membaca;)


"Sekian untuk hari ini. Jangan lupa tugas yang harus dikumpulkan melalui e-mail, deadline-nya pukul sepuluh malam. Lewat dari itu, tidak akan saya periksa. Sampai jumpa minggu depan. Selamat siang."

Serempak, seluruh mahasiswa yang berada di dalam kelas itu menjawab, "Selamat siang, Profesor."

Selepas kepergian pria paruh baya yang dikenal tegas dan tidak menolelir siapa pun yang bermain-main di mata kuliahnya, suara riuh mulai memenuhi ruangan tersebut. Banyak keluhan terdengar, mulai dari tugas yang terlalu berat, deadline yang terlalu cepat, sampai kuis yang tiba-tiba saja diadakan. Sungguh hari yang melelahkan.

Jinae yang saat itu sedang merapikan isi tasnya, sempat terhenti begitu ada tepukan ringan mendarat pada bahu kirinya. Ia tersenyum simpul, karena ternyata itu perbuatan Mina.

"Setelah ini kau masih ada kelas, Ji? Kalau tidak, pergi ke kafetaria, yuk? Aku lapar."

Mereka memang tidak duduk bersebelahan seperti biasa. Mina datang agak terlambat, jadi gadis itu terpaksa duduk di paling belakang. Itu pun sudah mengendap-ngendap supaya tidak ketahuan. Untungnya, Mina datang saat Profesor Kim sedang menulis sesuatu di papan tulis.

"Tidak ada sih, tetapi aku ingin bertemu dengan temanku dulu sebentar." Jinae menilik jam kecil yang melingkari pergelangan tangannya. "Kau mau duluan atau ikut denganku? Nanti kita bisa pergi ke kafetaria sama-sama."

"Ikut denganmu dulu deh. Aku juga malas kalau harus ke kafetaria sendirian," keluh Mina. Keningnya berkerut samar, penasaran. "Memangnya mau bertemu dengan temanmu di mana?"

"Di depan gedung."

"Oke."

Setelahnya Jinae lanjut merapikan barang-barangnya kembali. Beberapa detik kemudian kedua gadis itu pun berjalan menuju pintu keluar. Koridor kampus terlihat ramai seperti biasanya. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang atau sekedar mengobrol di dekat papan mading. Pun Jinae dan Mina hanya mengobrol santai sambil menuju lobby gedung Fakultas Ekonomi.

Sesampainya di sana, Jinae tersenyum lebar. Pemuda yang tadi pagi mengantarnya ke kampus terlihat sedang mengobrol dengan beberapa orang di depan gedung. Ternyata, Jimin sudah tiba lebih dulu.

"Jimin!" panggil Jinae tanpa peduli sekitar. Bahkan beberapa orang sempat menoleh begitu nama Jimin mengudara. Tak luput, Mina yang berada di sampingnya pun melongo. Jinae sih tidak sadar. Yang jelas, Jimin menoleh lalu melambaikan tangan ke arahnya.

Dua orang yang tadi sedang mengobrol dengan Jimin pun terlihat pamit pergi ketika Jinae sampai di sana.

Gadis itu tersenyum kecil. Agak merasa tak enak takut Jimin sudah menunggunya sejak tadi. "Sudah menunggu lama, Jim?"

Jimin menggeleng pelan. Kemudian tersenyum lebar hingga kedua matanya membentuk sebuah garis manis yang sangat memesona. Oh, taukah Jimin kalau beberapa gadis baru saja menjerit tertahan karena senyum manis itu?

"Tidak sih, baru sekitar tiga menit mungkin." Jimin mengangkat bahunya acuh. "Oh, iya, ini, power bank-mu. Jangan sampai lupa lagi, masih untung tertinggalnya di mobilku. Coba kalau di bus? Lain kali hati-hati."

Kali ini Jimin menyodorkan benda persegi panjang yang langsung diterima Jinae dengan wajah sumringah. Benda itu lah yang membawa Jimin kemari padahal ia memiliki jadwal kelas setelah ini. Tidak apa, Jimin sih tidak keberatan sama sekali. Toh, gedung Fakultasnya berada di samping gedung Fakultas Jinae. Hanya butuh lari sedikit, dan ia tidak akan terlambat sampai di kelas.

"Siap, boss!" kata Jinae senang. "Terima kasih banyak, ya, Jim. Oh, iya, setelah ini kau masih ada kelas, kan?"

Sebenarnya Jimin ingin sekali menggeleng. Sepertinya bolos akan menyenangkan, yang penting bisa bersama Jinae. Tetapi sayang, kalau ia bolos lagi, bisa-bisa tidak lulus mata kuliah ini. Pada akhirnya Jimin hanya bergumam singkat tanpa minat.

"Kau mau pulang bersamaku, Ji?"

Agak ragu, Jinae meringis kecil. "Sepertinya tidak bisa, Jim. Aku harus mengerjakan tugas, deadline-nya nanti malam, tapi terima kasih atas tawarannya, ya."

Ah, sayang sekali, pikir Jimin. Namun, ia tetap mengerti kok. Makanya, Jimin malah tersenyum lebar lalu mengusak sedikit pucuk rambut Jinae. "Yasudah, aku pergi dulu, ya. Jangan ceroboh lagi."

"Eum! Bye, Jimin!" Jinae mengangguk antusias. Tersenyum manis untuk Jimin seraya melambaikan tangannya ke arah pemuda yang kini baru saja berbalik dan mengambil langkah seribu.

Selepas Jimin pergi, tahu-tahu Mina memandangnya dengan pandangan tidak percaya. Sedikit melongo sambil menatap Jinae. Aneh. Tetapi Jinae malah tertawa dibuatnya.

"Serius, kau kenal dengan Jimin?"

"Iya," jawab Jinae disusul kekehan ringan. Ia mengapit lengan temannya itu, lalu membawanya pergi dari sana. "Kenapa kaget begitu?"

Oh, ya, ampun. Mina tidak salah dengar, kan? Gadis itu lantas segera menghadap Jinae. "Jimin itu salah satu mahasiswa paling populer di sini, Ji. Kebanggaannya Fakultas Seni! Banyak yang menyukainya. Oh, jangan lupakan, Ayah Jimin itu pemilik agensi model terkenal! Dan Ibunya memiliki bisnis restoran mahal!"

Tunggu, tunggu. Sepopuler itu kah Jimin? Jinae saja baru mendengarnya sekarang. Ya, walaupun ia tidak terkejut sih. Terlihat dari pertama kali mereka bertemu, Jimin itu sudah pasti dari keluarga kaya.

"Oh, benarkah? Aku baru tahu," sahut Jinae.

Mina mengangguk antusias. "Sayangnya Jimin sering berganti pacar sih. Rumornya dia itu playboy. Ya, kau tahu lah, pasti banyak model yang mengincar Jimin. Sudah tampan, jago menari, bisa menguasai banyak alat musik, bersuara merdu, berkantong tebal lagi! Siapa coba yang tidak suka dengan Jimin? Kau juga menyukainya kan, Ji?"

Eh? Alis Jinae hampir saja menyatu. Menyukai Jimin? Yang benar saja! Mereka bahkan baru saling mengenal. Ada-ada saja Mina ini. Perut Jinae rasanya tergelitik. Lantas gadis itu malah tertawa kecil, kemudian berlalu begitu saja. Meninggalkan Mina satu langkah di belakang.

"Jangan melantur, Mina. Aku tidak menyukai Jimin seperti yang kau pikirkan kok. Kami hanya berteman."

Oh, ya, tentu saja, karena ada orang lain yang saat ini Jinae pikirkan.

Setelah berpisah dengan Mina, Jinae berjalan sendirian menuju halte bus yang terletak di depan kampusnya. Waktu menunjukkan pukul dua siang ketika Jinae tiba di sana, dan duduk di atas bangku panjang sembari menunggu bus datang. Hanya ada beberapa orang di halte, itu pun sekarang tidak lagi karena bus baru saja tiba dan merekaㅡyang sepertinya sekumpulan orang yang saling mengenal, naik bersama-sama ke dalam bus. Meninggalkan Jinae sendiri yang hanya mampu menyemburkan napas panjang.

Di atas sana langit terlihat benar-benar tidak bersahabat. Padahal dua jam lalu Jinae ingat betul kalau matahari masih bersinar begitu terik sampai rasanya bumi akan terbakar, tetapi lihat sekarang, bahkan secuil cahaya pun tidak nampak dari sela-sela awan yang bergerumul di atas sana. Cuaca memang sulit diprediksi, bisa berubah secara tiba-tiba. Mirip seperti perasaan manusia, bukan?

Kalau begini caranya, Jinae jadi ingin cepat-cepat sampai di apartemen. Berendam di air hangat sambil menikmati aroma menenangkan dari lilin wangi yang ia sukai, menyeruput segelas cokelat panas, atau bersembunyi di balik selimut di atas kasur yang empuk. Enak sekali! Tetapi sialnya Jinae masih memiliki tugas yang harus ia kerjakan. Hei, padahal ini hari Jumat, harusnya Jinae bersantai karena besok libur. Tapi apa mau dikata? Ucapan dosen tidak bisa dibantah begitu saja.

Ponsel dalam sakunya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Namun, Jinae terlalu malas untuk melihat siapa yang mengiriminya pesan. Jinae pikir, kemungkinan besar itu Yoongi. Jinae memang telah mengirim pesan kepada pemuda itu sekitar empat puluh lima menit lalu, mengatakan bahwa Yoongi tidak perlu menjemputnya karena hari masih siang. Jinae yakin kalau Yoongi pasti masih sibuk bekerja, dan tidak akan ada waktu menjemput Jinae apa lagi pada siang hari seperti sekarang.

Dan itu, adalah hal yang bagus.

Hal yang patut Jinae syukuri. Pasalnya, Jinae benar-benar belum siap untuk bertemu pemuda itu. Ucapan Yoongi tadi pagi masih sangat terngiang di kepalanya. Jinae juga tidak bisa melupakan bagaimana sentuhan hangat Yoongi pada punggungnya benar-benar membuatnya nyaman dan tidur nyenyak semalaman.

Dan yang paling tidak masuk akal adalah, Jinae sungguh tidak mengerti kenapa Yoongi ingin menghabiskan waktu bersama dengannya lagi. Ayolah, hanya karena mereka terpisah untuk beberapa tahun? Serius, Yoongi bisa saja mengabaikan hal itu. Apa Jinae se-spesial itu untuk diingat, ya?

"O-oh? J-jangan sekarang, kumohon.."

Mengabaikan pemikiran yang tidak berujung itu, perhatian Jinae teralihkan pada bulir-bulir air yang mendadak turun. Air langit itu bergerak cepat, dan berubah menjadi sangat lebat hanya dalam hitungan detik. Sial. Jinae sendirian di halte, dan hanya bisa memeluk dirinya sendiri karena udara yang menjadi lebih dingin. Tahu akan begini, lebih baik tetap berada di kampus, setidaknya Jinae tidak akan sendirian.

"Kenapa busnya belum juga datang," keluh Jinae. Kedua obsidiannya menilik ujung jalan yang mulai tertutupi kabut karena hujan yang begitu lebat. Jarak pandang menjadi berkurang, dan ia memerhatikan mobil pribadi yang berlalu lalang di depannya, berharap ada seseorang yang ia kenal lewat dan menawarkan tumpangan. Ya, sekalipun kemungkinannya kecil, sih.

Beberapa menit berlalu, dan tidak ada tanda-tanda kalau hujan akan berhenti. Yang ada malahan semakin besar seolah badai tengah menghantam. Gemuruh mulai bersahutan, dan tubuh Jinae mulai bergetar. Hujan badai di akhir musim panas? Super sekali.

"Mama.." kedua mata Jinae hampir berair. Jinae takut, juga kedinginan. Hujan semakin menjadi, dan ia tidak bisa kemana-mana. Terjebak di tempat itu. Mau kembali ke kampus pun tidak mungkin. "Jinae mau pulang.."

Begitu gemuruh lantang baru saja menyambar sampai-samapai membuat Jinae menunduk sambil menutup kedua telinganya, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Jinae mengangkat kepala, perasaan lega kembali tercipta ketika ia tahu siapa pemilik mobil tersebut. Dua detik kemudian, seseorang di bawah payung hitam, turun dari dalam sana. Berjalan cepat menuju Jinae.

Jinae tergugu untuk beberapa saat. Lagi-lagi pria ini. Pria yang selalu ia anggap menyebalkan, walaupun terkadang tidak begitu kenyataannya. Malah pria ini lah yang menjadi penyelamat disaat-saat sulit. Seperti sekarang.

"Kau sedang apa? Kenapa bisa di sini, Yoon?"

"Menurutmu?" sahut Yoongi cepat. Wajahnya luar biasa datar. Padahal ia tengah menahan kesal setengah mati. Kesal melihat Jinae karena terjebak di tempat seperti ini sendirian.

Yoongi tahu kalau Jinae pasti akan menangis kalau ia tidak segera datang. Jinae kan cengeng. Apalagi hujan sangat lebat, dan gadis ini adalah seseorang yang penakut.

"Kalau aku tidak datang, mau sampai kapan kau menunggu di sini? Hujan seperti ini tidak akan berhenti sampai malam kau tahu? Mau menunggu sampai ada preman-preman yang mengganggumu lagi, iya? Harusnya kau bilang kalau kelasmu sudah selesai, kau tinggal menunggu di depan kampus, nanti aku datang jemput. Kan sudah kubilang aku akan menjemputmu. Kenapa tidak mendengarkan perintahku, ha?"

Layaknya seorang anak kecil yang sedang dimarahi oleh ayahnya, Jinae hanya bisa tertunduk dalam sambil memainkan jemari tangannya yang agak gemetar. Takut dengan hujan, juga takut dengan Yoongi yang sedang marah. Serius. Yoongi itu seram. Apa lagi saat sedang marah begini. Mata kecilnya menyipit tajam. Seolah ingit menguliti Jinae hidup-hidup.

"Aku kan sedang menunggu bus.." cicitnya pelan. Berusaha membela diri.

"Sekarang aku tanya, busnya datang tidak? Sesulit itu ya menghubungiku? Kau bisa menelponku seperti biasa. Bilang kalau kau terjebak hujan. Aku pasti datang, Jinae. Kalau terjadi apa-apa padamu, siapa juga yang repot? Menyusahkan sekali. Aku tidak mau, ya, dimarahi Mama."

Sekarang Jinae tahu kalau Yoongi benar-benar marah. Duh, Jinae jadi merasa bersalah. Lagi pula, salahkan insiden tadi pagi yang membuat Jinae jadi malu untuk bertemu dengannya.

Tetapi sebenarnya ia sangat amat merasa lega sih, untung Yoongi mau datang menjemputnya padahal sudah ia larang. Dia memang penyelamatnya. Yoongi selalu saja datang saat Jinae sedang susah. Dan lagi-lagi, Jinae merasa sangat beruntung.

"Yasudah, jangan marah-marah, Yoongi. Aku kan takut."

Melihat Jinae yang enggan mengangkat kepalanya juga, membuat Yoongi menyemburkan napas panjang. Yoongi lupa kalau gadis ini tidak bisa dimarahi. Yang ada malah Jinae akan merengek, dan berbalik marah padanya. Menghadapi Jinae memang harus extra sabar.

"Yoongi, ayo! Jinae-nya jangan dimarahi terus. Hujannya sudah semakin lebat."

Mendengar teriakan lain yang bersahutan dengan suara hujan, lantas Jinae segera mengangkat kepalanya. Hampir saja rahangannya jatuh ketika ia mendapati teman Yoongi yang waktu itu membuatnya malu karena tidak bisa memasakㅡHyeraㅡsedang duduk manis di kursi penumpang depan dengan kaca jendela yang terbuka. Mendadak, Jinae jadi merasa kesal lalu membuang wajahnya ke arah lain.

"Untung Hyera menyuruhku untuk menjemputmu lebih dulu. Kalau tidak, mungkin kau akan terjebak di sini seharian. Kau harus berterima kasih pasanya," ucap Yoongi ketus. "Cepat masuk ke mobil." Yoongi menunjuk kursi bagian belakang menggunakan dagunya. Seolah terpaksa.

Oh, dan kali ini, Jinae sukses menganga. Jadi semua ini Yoongi lakukan bukan karena khawatir pada Jinae? Tetapi karena suruhan gadis menyebalkan itu? Cih! Jinae benar-benar salah telah menaruh ekspetasi yang besar pada pemuda pucat ini. Kan sudah Jinae bilang, pasti Yoongi tidak akan menjemputnya karena sibuk bekerja! Ugh! Kesal. Jinae kesal!

Mendadak, mood Jinae memburuk. Ia menyipit ke arah Yoongi dengan dagu terangkat tinggi. "Tidak mau! Kau pulang duluan saja sana!"

Yoongi yang tadinya siap mengambil langkahnya lagi, lantas mengurungkan niatnya saat mendengar penuturan gadis itu barusan. Apa katanya? Jinae tidak main-mainkan? Ayolah, Yoongi sedang malas bercanda.

"Jangan aneh-aneh. Mau aku tinggal?" ucap Yoongi serius.

"Aku maunya duduk di depan!" kata Jinae lantang. Ia menghentakkan kakinya kesal. Sempat melirik Hyera sesaat sebelum mendelik kesal ke arah Yoongi yang rahangnya mulai mengeras. Oke, mungkin agak terdengar kekanakkan.. tapi Jinae sendiri tidak tahu kenapa ia malah bicara begitu. Melihat Hyera, benar-benar membuat mood nya jelek, dan perkataan itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

Menarik napas dalam, Yoongi menyemburkannya perhalan. Memejamkan kedua matanya, berusaha menahan emosi karena permintaan Jinae sungguh tidak masuk akal. Di tengah hujan begini, Jinae masih bersikap seperti bocah? Ayolah, jangan membuat Yoongi marah.

"Jangan manja. Cepat masuk ke mobil, Jinae."

Pun gadis itu menjadi jauh lebih keras kepala. Yang ada, Jinae malah kian mengangkat dagunya. Menantang Yoongi. "Tapi aku maunya duduk di depan! Kau dengar aku tidak, sih?! Ah, kesal!"

"JINAE!"

Tubuh Jinae menegang. Nyali Jinae menciut begitu saja karena untuk pertama kalinya, Yoongi baru saja membentaknya. Meneriaki namanya dengan lantang. Raut wajahnya begitu serius, sementara manik gelapnya menusuk tepat di kedua mata Jinae.

Melihat apa yang baru saja terjadi, Hyera lantas merasa bersalah. "Jinae mau duduk di depan? Aku bisa pindah, kok. Yang penting kalian masuk, ya. Hujannya semakin lebat," ucapnya berusaha menengahi.

Baru hendak menarik tuas pintu, Yoongi sudah lebih dulu menyela.

"Tidak. Kau diam di situ, Hye," ucapnya tanpa melirik Hyera sedikit pun. Pun membuat Hyera mengurungkan niatnya. Yoongi kembali mengambil napas dalam. Menatap Jinae tanpa berkedip sedikit pun. "Sekarang kau mau masuk dan duduk di belakang, atau aku tinggal, Ji? Cepat pilih."

Min Yoongi memang tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jadi, ketika ia lihat Jinae masih tak beranjak dari tempatnya berdiri tanpa berkata apa-apa, dia sudah tahu jawabannya.

Lantas Yoongi terkekeh sinis. Mundur satu langkah sebelum air hujan tumpah di atas payung hitam miliknya. "Lakukan sesukamu, Ji. Terserah. Tunggu sampai ada orang jahat yang mengganggumu, baru kau tahu rasa. Dan kalau itu terjadi, jangan telepon aku. Aku tidak mau tahu. Kau sangat merepotkan."

Setelahnya, Yoongi benar-benar pergi. Meninggalkan Jinae yang kehilangan semangatnya. Yoongi dan mulut tajamnnya itu memang yang paling buruk. Akhirnya Jinae berjongkok sendirian di sana sambil menyembunyikan wajah sendunya di antara lutut. Beberapa detik kemudian isakan kecil mulai terdengar di antara suara hujan. Jinae, menangis.

Lampu lalu lintas baru saja berubah menjadi merah tepat ketika mobil Yoongi berhenti di depan sebuah persimpangan jalan. Tidak ada aktivitas menyebrang jalan seperti biasanya. Jelas saja, siapa yang mau menyebrang di tengah hujan lebat seperti ini?

Sejak meninggalkan halte bus itu, Yoongi maupun Hyera tidak ada yang membuka suara. Kalut dengan pemikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Hyera memberanikan diri untuk menyentuh punggung tangan Yoongi yang mengepal di atas kemudi.

"Kau tahu, kau bisa menceritakan semua masalahmu padaku. Sekali pun tentang gadis itu, Yoongi," ucapnya tulus.

Namun pada akhirnya, Yoongi menyahut dengan nada datar, "Dan menyakitimu lebih dari ini? Tidak mungkin, Hye. Aku tidak mau menyakitimu lagi. Sudah cukup."

Gadis itu tersenyum miris. Lagi-lagi rongga dadanya terasa sesak. Hatinya kembali terluka, dan kian melebar ketika orang yang ia cintai itu menoleh lalu memandangnya dengan tatapan sendu.

"Kau benar-benar tidak pernah mencintaiku, ya? Sedikit pun?"

Sejauh apa pun Hyera menelisik ke dalam obsidian milik Yoongi, jawaban yang ia dapat selalu sama. Seperti dua tahun lalu, saat mereka menjalin hubungan lebih dari sekedar teman. Sejak status mereka berubah, cara Yoongi menatapnya tidak pernah berubah sedikit pun. Hyera tidak pernah menemukan secercah harapan, walau hanya setitik.

"Kita sudah membahas masalah ini, Hyera."

Yoongi benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Menatap Hyera yang lagi-lagi terluka karenanya, kadang membuat Yoongi berpikir apa yang ia lakukan ini adalah sebuah kesalahan. Berkali-kali menyakiti hati seorang gadis yang begitu tulus mencintainya, seolah menjadi dosa tersendiri bagi seorang Min Yoongi.

"Sekali pun kita berciuman seperti ini?"

Sepersekon kemudian Yoongi dapat merasakan jika tengkuknya ditarik secara paksa, lalu bibirnya bersentuhan dengan bibir lain yang beberapa kali pernah ia rasakan sebelumnya, dan rasanya masih sama. Hatinya tidak bergetar sekali pun Hyera baru saja memangut bibirnya dengan sensual. Mengulum bibir bawahnya dengan tergesa. Yoongi tahu bahwa lagi-lagi Hyera baru saja membuang harga dirinya di depan Yoongi. Mencium pria duluan? Bukankah itu hal yang sulit dilakukan oleh seorang gadis? Dan Hyera, baru saja melakukannya.

Sekali pun lampu lalu lintas sudah kembali berubah warna menjadi hijau, mobil itu belum beranjak sedikit pun. Tidak terdengar suara klakson dari mobil lain karena nyatanya jalanan memang sedang lenggang. Jadi, Yoongi membiarkan Hyera melakukannya lagi. Seperti sebelumnya. Berusaha untuk meyakinkan Yoongi atas perasaannya sendiri. Yoongi tak berusaha melawan, Hyera benar-benar seorang ahli dalam berciuman. Hampir saja Yoongi larut dalam permainannya ketika kedua tangannya yang bebas beralih untuk memeluk pinggang gadis itu, dan ciuman mereka menjadi semakin panas, dan intens. Walau tanpa perasaan di dalamnya. Yoongi.. hanya terbawa suasana.

Namun, sebelum semuanya berakhir dengan penyesalan, suara gemuruh baru saja menyadarkan Yoongi. Apa yang baru saja mereka lakukan adalah kesalahan. Terlebih lagi ketika bayangan Jinae melintas begitu saja dalam benaknya. Napas Yoongi tersenggal, dan ia menyudahi ciumannya secara paksa.

"Kau bawa mobilku pulang. Aku harus pergi ke suatu tempat."

Tanpa menunggu bagaimana reaksi Hyera, Yoongi sudah lebih dulu melompat turun. Tidak peduli sekali pun hujan mengguyur seluruh tubuhnya, berlari ke arah taksi yang kebetulan sedang berhenti di pinggir trotoar. Masuk ke dalamnya, dan kembali memutar arah.

Jantungnya berdegup kencang sedang napasnya tersendat. Ia sungguh menyesali perbuatannya barusan. Bagaimana bisa ia berciuman dengan gadis lain sementara ia meninggalkan Jinae sendirian di tempat itu? Sialan! Yoongi menggeram kesal. Rasanya ia sedang menjadi laki-laki paling brengsek! Ia marah pada dirinya sendiri karena bertindak gegabah seperti itu. Sekali pun ia sedang kalut karena masalah pekerjaan, seharusnya ia tidak membentak Jinae seperti tadi.

"Jinae.." gumam Yoongi. Berharap-harap cemas sambil membuang pandangannya ke sisi jalan. Hujan masih saja lebat, dan Yoongi hanya mampu berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu. Ya, Yoongi hanya bisa berharap bukan? Semoga saja Jinae masih di sana, dan mau memaafkannya.

"Kau bodoh sekali, Min Yoongi!"

Apa Jinae marah padanya? Apa Jinae sudah pergi dari tempat itu? Apa Jinae masih menangis di sana? Apa ada orang jahat yang berani mengganggu Jinae? Semuanya berkutat di kepala Yoongi. Sial. Harusnya tadi memaksa Jinae untuk ikut pulang bersamanya. Harusnya Yoongi tidak menyerah begitu saja. Semoga saja Yoongi tidak menyesal setelah ini.

Dan pada akhirnya, tepat ketika taksi yang ia tumpangi berhenti di depan halte tersebut, jantung Yoongi kembali berdegup lebih cepat. Pemuda itu segera keluar dari dalam taksi setelah menyerahkan beberapa lembar uang. Tidak peduli dengan tubuhnya yang sudah basah kuyup, ia kembali menerjang hujan.

Pandangannya kosong. Napasnya tersenggal. Sejauh apa pun ia menyapu pandangannya, ia tidak menemukan presensi Jinae di sana. Gadis itu, telah pergi.

Pemuda itu meninju tiang penyangga halte berkali-kali. Kesal pada dirinya sendiri.

"Sial!"

Yoongi, kau terlambat.

Aku bener-bener butuh semangat dari kalian:') aku lelaaaah dan aku mau minta maaf karena belum bisa menyenyentuh Closer lagi. Itu, sangat sulit. Sangat sulit. Beri aku semangat:') beri aku kekuatan:') i feel so bad.

Terima kasih atas dukungannya selama ini ❤ selamat menikmati akhir pekan! Jaga kesehatan, ya! Sedih liat member BTS gantian sakitnya 😭 kemarin kuki, sekarang jiminie 😭 semoga lekas sembuh kesayangannn 😭  💜 💜

Karena beberapa jam lagi si sayangnya aku genap berusia 23 tahun, jadi, aku mau bilang;

Park Jimin, terima kasih karena telah menjadi bagian dari Bangtan, terima kasih karena tidak menyerah begitu saja, dan terima kasih karena telah menjadi malaikat pelindung untuk kita semua. Park Jimin, the most beautiful and amazing human being on earth. Please stay healthy, keep smiling, and live happily. Your smile will always be the precious one for us. I Purple You 💜

Happy Jimin Day!

ㅡRin.

Continue Reading

You'll Also Like

189K 9.2K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
76.8K 15.6K 171
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
222K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
296K 22.8K 104
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...