Inayat Hati

By mawar_malka

585K 49.1K 2.6K

Aku mencintaimu tanpa henti. Bahkan Tuhan pun mungkin cemburu dengan rasa ini karenamu. Tapi sekilas waktu ka... More

Prolog
1. Kata Pisah
2. Cerita Kami
3. Yang Tak Kutahu
4. Bunga Di Luar
5. Ijinkan Aku Marah
6. Memilih Kejujuran
7. Mengikhlaskan
8. Hidupku sekarang
9. Melihat ke depan.
10. Kabar tentangnya.
11. Teman Bossy
12. Di manakah kebaikan?
13. Perempuan Yang Terluka
14. Dia lagi.
16. Kekuatan
17. Lepas Dari Sakit
18. Melepaskan Rasa
19. Lamaran Mas Al
20. Tak Terduga
21. Trauma
22. Kebingunganku.
23. Musibah itu jawaban.
24. Bulan Madu Sederhana
25. Sebuah Teka-Teki
26. Membingungkanku.
27. Pencerahan
28. Sebuah Kesempatan
29. Kekuatan.
30. Wanita Berlian.
31. Bidadari Surga.
32. Cerita AkhiΕ•
Epilog
Ekstra Part
Just Promote

15. Wanita Hebat.

14.1K 1.3K 49
By mawar_malka


"Mbar, kali ini rencana kamu keknya berhasil deh," ujar Andi.

"Rencana apa?"

"Itu si bossy. Dia tadi udah rapat sama semua karyawan divisi produksi. Mereka setuju dengan ide kamu buat meminimalisir produk kita dan mengubah kemasan semenarik mungkin."

"Oo, itu."

Aku meraih mouse komputer dan membuka file yang akan aku serahkan hari ini pada Pak Lewis.

"Masa ekspresinya cuma gitu, Mbar," sungut Andi membuatku terkekeh pelan.

"Harusnya gimana?"

"Ada euforianya gitu."

"Gak ah, lebay," ucapku.

Aku bangkit dan menyeret kursi ke belakang. Setelahnya aku berjalan menuju arah ruangan Pak Lewis. Aku mendengar suara Miranda di dalam. Aku ragu hendak mengetuk pintu ruangan Pak Lewis apa tidak. Tapi file yang kugenggam di flashdisk ini begitu penting dan harus segera kuserahkan.

Setelah kupikir lagi, aku melaksanakan niatku. Mengetuk pintu ruangan Pak Lewis. Dan benar saja, Miranda sudah ada di dalam dengan aksi andalannya bersikap manja pada si bossy. Tapi apa peduliku. Itu urusannya dengan Pak Lewis.

Tapi aku tertegun seketika saat melihat wanita di sampingnya. Aku seperti menelan pil pahit saat melihat wanita ini.

Yah. Aku masih ingat dengan jelas wanita yang pernah kulihat ini. Foto yang disimpan Akbar di bawah bajunya itu adalah gambar wanita ini.

Aku membuang muka dan langsung menyerahkan flashdisk pada Pak Lewis. Lalu mempercepat langkah dan tak ingin melihat wanita ini lagi. Namun langkahku terhenti saat si bossy memanggilku.

"Ada apa, Pak?" tanyaku.

"Ambar, kemarilah!"

Aku mendekati Pak Lewis dengan tetap menganggap wanita yang kunilai cukup cantik ini tidak ada. Anggap saja dia makhluk halus dan aku tak melihatnya.

"Ambar. Kenalkan ini Anggrek. Anggrek, ini Ambar. Admin keuangan di sini."

Terpaksa aku menyalami wanita itu dengan senyum palsu.

"Pak, saya harus pergi cepat-cepat. Tugas saya masih banyak," ucapku kemudian.

"Ambar. Jangan lupa sebentar lagi kita rapat. Dan Anggrek ini akan menjelaskan detail apa yang harus kita lakukan."

Lakukan? Lakukan apa?

Baiklah. Aku akan lihat apa yang akan dilakukan wanita ini.

"Oke. Tapi saya harus segera pergi," kilahku lagi.

Pak Lewis mengangguk dan mempersilakanku keluar ruangan. Sempat ekor mataku melihat perutnya yang sudah rata. Rupanya ia sudah melahirkan.

Hebat. Cepat sekali dia hamil dan melahirkan. Dan lihatlah sekarang, dia sudah bekerja kembali. Mungkin itu yang disuka Akbar darinya. Wanita karir yang menjadi wonder woman.

Semua wanita juga bisa seperti Anggrek. Bekerja di luar menjadi wanita karir yang sukses dan memiliki penghasilan sendiri tanpa merengek uang gaji suami, tapi apa dia bisa melayani rumah tangganya dengan baik? Kukira wanita hebat itu yang bisa menahan diri dari keinginan bersenang-senang dengan dunia luar dan memilih mengurus suami serta anak-anaknya.

Apa Akbar tidak suka dengan wanita yang ada di rumah saja sepertiku dulu?

Buktinya sekarang aku bisa bekerja di luar. Menjadi wanita karir. Kupikir, setiap wanita bisa menjadi apa yang dia inginkan. Hanya saja, terkadang wanita memilih jalan sesuai prinsip dan keinginan hidupnya. Seperti diriku dulu. Demi kamu, Akbar, aku mau menjadi istri sempurna di rumah saja. Aku tak tahu jika kau malah tak menyukainya.

🌿🌿🌿

Rapat sudah dimulai. Aku melihat Anggrek di bagian depan rapat. Di situ juga ada Miranda. Sepertinya mereka bersahabat.

"Oya semuanya. Kenalkan, ini Nyonya Anggrek," tunjuk Pak Lewis pada wanita itu. "Saya sengaja mengundang Nyonya Anggrek rapat bersama kita membahas soal promosi produk dengan kemasan baru kita. Nyonya Anggrek ini bekerja di perusahaan advertising dan dia bekerja di bagian kreatifnya. Baiklah langsung ke pokoknya saja. Saya berniat bekerjasama dengan perusahaan Bima Nusantara, perusahaan advertising yang diwakili oleh Nyonya Anggrek langsung. Dan saya mengundang Anda semua di rapat ini untuk membahas tema promosi yang akan kita jalankan bersama Nyonya Anggrek," jelas Pak Lewis.

Andi mengacungkan tangan. "Bagaimana kalo temanya tentang memperkenalkan berbagai kuliner nusantara. Bukankah produk kita sesuai dengan cita rasa lokal?"

Cukup cerdas ide dari Andi. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal dari alam pikiranku.

"Sepertinya tema seperti itu sudah sering diperkenalkan oleh produk makanan lain. Seperti mie instan, kopi, dan masih banyak lagi," sahut seorang karyawan yang tak kutahu namanya.

"Bagaimana kalo temanya tentang valentine? Bukannya sekarang lagi bulan Pebruari dan anak muda suka dengan hari itu. Kalo perlu kita tambahi kata-kata motivasi, seperti contohnya produk lain, 'segarkan semangat'. Kita bisa tambahi kata-kata motivasi seperti itu."

Semangat sekali karyawan di pojok itu menguraikan idenya. Tapi tetap tak kusuka. Ada sesuatu yang membebaninya.

"Bagaimana Nyonya Anggrek? Apa ada ide tema dari mereka yang mengena di hati Anda?" tanya Pak Lewis.

"Saya sudah catat semuanya, Pak Dean. Nanti tinggal saya korelasikan saja," jawab Anggrek.

Pak Lewis mengangguk mantap. Namun aku hanya bergeming. Aku tak suka isi rapat ini. Terlalu membosankan. Ingin rasanya aku beranjak keluar ruangan saja. Mungkin karena ada wanita itu atau mungkinkah ada sesuatu yang lain. Aku hanya menunduk dan mempermainkan bolpoinku di atas meja tanpa ada komentar.

"Bagaimana semuanya? Apa ada ide baru lagi?" tanya Pak Lewis lagi. Peserta rapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tak merespon. Entah ada apa dengan diriku? Mengapa aku jadi tak profesional? Sedangkan ada Akbar saja, aku masih bisa bersikap profesional.

Dan di kursi seberangku, kulihat Mas Al yang juga mengikuti rapat nampak mengangkat tangannya.

"Iya, Pak Aldric?" sambut Pak Lewis.

Mas Al bukannya menjawab pertanyaan si bossy malah memandangku dengan nada sarkastis. Aneh dasar.

"Pak Lewis, Anda belum mendengarkan ide dari manusia kreatif yang memberikan saran kemaren," sahut Mas Al.

"Maksud Anda siapa Pak Aldric?"

"Nyonya Ambar."

Kenapa harus menunjukku? Bukankah sedari tadi aku no comment dan tak suka dengan rapat ini? Dia menyebutku dengan sebutan nyonya pula. Menyamakanku dengan panggilan Pak Lewis pada Anggrek mungkin.

"Iya, Ambar. Mungkin ada ide kreatif darimu?"

Pak Lewis malah merespon ucapan sahabatnya yang menjengkelkan ini. Lalu ide apa? Rapat ini saja aku tak suka.

"Ambar? Apa ada ide?" tanya Pak Lewis lagi.

Oke. Jangan salahkan bila aku sudah membuka suara.

"Pak Lewis, sebelumnya saya minta maaf jika ucapan saya kali ini membuat Anda kurang suka. Ini hanya saran kecil dari saya. Bolehkah saya lanjutkan?" tanyaku permisi.

"Silakan, Ambar."

Aku berdeham sejenak. Sedikit grogi, tapi aku akan menjelaskan ketidaksukaanku pada rapat ini.

"Saya kurang setuju dengan adanya promosi ini, Pak Lewis. Kita terlalu banyak membuang biaya. Anggaran dana belanja kita akan membengkak. Dapat saya pastikan itu. Daripada kita melakukan promosi hebat seperti ini, sebaiknya kita memperbanyak produksi produk kita saja."

"Ekhm ..., begini, Ambar. Biaya promosi ini dapat diskon 50% dari harga normal sebagai bentuk awal kerjasama kita dengan Perusahaan Bima Nusantara. Dana segitu tidak perlu meminjam ke bank. Dan lagi, kita memang perlu promosi untuk memperkenalkan produk kita dengan kemasan baru ini, Ambar."

Penjelasan Pak Lewis memang cukup beralasan, tapi tetap saja mengganjal di pikiranku.

"Baiklah, terima kasih, Pak Lewis. Saya hanya mengingatkan Anda bahwa biaya 50% itu masih terbilang banyak untuk perusahaan kolaps ini. Saya mengusulkan sebuah ide baru jika Anda mau mendengarkan sebentar," terangku.

"Silakan, Ambar."

"Setiap karyawan di sini yang akan menawarkan produk kita. Dan barangsiapa karyawan yang berhasil menembus pasar terbanyak, ia akan mendapatkan reward dari perusahaan ini. Dan itu juga berlaku pada perusahaan cabang dengan berbagai macam produk kita."

"Maaf, Ambar. Idemu tidak masuk akal," ujar Pak Lewis. "Perusahaan kita perusahaan besar, bukan MLM."

"Perusahaan besar yang hampir kolaps, Pak Lewis. Sedikit lagi. Sekali lagi maaf. Saya mengatakan kenyataan, bukan angan-angan. Setelah perusahaan ini bisa mencapai surplus, mau promosi di manapun dalam bentuk apapun, silakan. Kita dituntut loyal di sini. Namun ini hanya saran saya saja. Saran bisa diterima, boleh juga ditolak," kataku ringkas.

Pak Lewis nampak termenung sejenak. Ia melihat ke arah Mas Aldric. Aku melihat Mas Al mengangkat bahu. Miranda angkat tangan di tengah keheningan rapat.

"Sayang. Kita sebaiknya berpikir realistis. Promosi selalu lebih utama dari angan kosong," sindir Miranda dengan melirikku. Aku memilih acuh tak acuh.

"Tapi setelah saya pertimbangkan dan pikirkan, sepertinya pendapat Ambar memang benar. Kita bisa manfaatkan sumber daya manusia yang ada saja," kilah Pak Lewis.

"Tapi, Pak. Bagi kami yang tidak memiliki jiwa marketing, hal itu malah menyusahkan. Mana yang mau dikerjakan? Urusan kantor aja gak kelar," sahut seorang karyawan.

Di sini aku hanya menyimak. Ternyata keberuntungan mulai berpihak padaku. Pak Lewis benar-benar mempertimbangkan usulanku. Jelas, ia tak mau rugi.

"Semuanya bisa kita bagi nanti. Saya pikir hal itu hanyalah masalah teknis job description-nya," tukas Pak Lewis.

"Iya, Pak. Sepertinya memang berat bagi kita yang terbiasa berada di kantor, malah harus ke lapangan demi memperkenalkan produk," celetuk seorang karyawan lagi.

"Tidak harus keluar kantor. Melalui media kan bisa?" sergah Pak Lewis.

"Jujur, saya sependapat dengan teman-teman, Pak. Ini akan berat buat kita. Lebih berat dari rindunya Dilan."

Seisi ruang rapat malah tertawa mendengar ucapan seorang karyawan.

"Kita akan coba dari minggu depan. Ini keputusan valid saya. Jika kalian tidak setuju, kalian bisa buat surat pengunduran diri. Pilih mana kerja di kantor sambil mencari tambahan dengan menjadi promotion, atau kalian cari kerja yang baru saja. Dan ingat! Saya tidak akan memaksa dan tidak memasang target untuk penjualan kalian. Semampu Anda semua. Benar kata Ambar, kita butuh loyalitas di sini. Saya harap, Anda semua bisa membantu perusahaan saat perusahaan ini sedang kolaps," tegas akhirnya Pak Lewis.

🌿🌿🌿

Aku berjalan melewati koridor dengan ruangan berbagai divisi yang kulewati. Sekilas kulihat Miranda berbincang serius dengan Anggrek dan Pak Lewis di ruangan divisi produksi. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Tak kuambil pusing walaupun samar-samar kudengar namaku disebut.

Ini sudah jam istirahat dan aku menuju mushola untuk menunaikan kewajibanku sebagai muslim. Sholat zuhur berjamaah. Setelah melaksanakan sholat, aku melangkahkan kaki kembali ke meja kerja.

"Mbar, ke kantin yuk!"

Saat kuangkat wajah, ternyata Selfi tengah mengetuk meja kerjaku. Aku menggeleng pelan.

"Aku lagi males ke kantin, Sel," jawabku.

"Kenapa? Kamu takut jadi bahan bulian temen-temen sekantor karena ide kamu itu?"

"Ngapain takut? Gak ada alasan buat takut sama manusia. Toh, kita masih punya Tuhan," ucapku .

Dan selanjutnya aku tertawa geli untuk mentawarkan ucapanku yang bernada serius. Entahlah, aku tadinya sedikit emosi melihat Anggrek.

"Aku salut sama kamu, Mbar. Biasanya sih karyawan di sini suka iya-iya aja kalo ada hal-hal urgen kek sekarang. Perusahaan yang lagi kolaps," ujar Selfi.

Aku memutar kursi yang aku duduki menghadap ke Selfi. "Karena mungkin selama ini perusahaan baik-baik aja dan baru sekarang ada kek gini. Ya, 'kan?" ujarku.

"Iya sih. Tapi jiwa kritis kamu mengundang temen-temen di sini buat ikutan bicara juga. Biasanya kita lempeng aja kalo ada rapat." Setelahnya Selfi tertawa sendiri.

"Masalah memang bisa membuat kita jatuh sekaligus berdiri secara bersamaan, Sel. Pintarnya kita aja mendominankan yang mana. Hidup ini kan pilihan," ujarku agak bermonolog. Tepatnya mengingatkan diri sendiri.

🎑🎑🎑


Bersambung
Situbondo, 6 September 2018

Continue Reading

You'll Also Like

150K 7K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
614K 85.5K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
312K 38.9K 39
[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan...
925K 71.1K 51
Alessia terbangun kembali sejak malam dirinya diculik oleh orang yang tidak dikenal. Dirinya bangun di tubuh perempuan yang lebih tua enambelas tahun...