Inayat Hati

By mawar_malka

591K 49.4K 2.6K

Aku mencintaimu tanpa henti. Bahkan Tuhan pun mungkin cemburu dengan rasa ini karenamu. Tapi sekilas waktu ka... More

Prolog
1. Kata Pisah
2. Cerita Kami
3. Yang Tak Kutahu
4. Bunga Di Luar
5. Ijinkan Aku Marah
6. Memilih Kejujuran
7. Mengikhlaskan
8. Hidupku sekarang
9. Melihat ke depan.
10. Kabar tentangnya.
12. Di manakah kebaikan?
13. Perempuan Yang Terluka
14. Dia lagi.
15. Wanita Hebat.
16. Kekuatan
17. Lepas Dari Sakit
18. Melepaskan Rasa
19. Lamaran Mas Al
20. Tak Terduga
21. Trauma
22. Kebingunganku.
23. Musibah itu jawaban.
24. Bulan Madu Sederhana
25. Sebuah Teka-Teki
26. Membingungkanku.
27. Pencerahan
28. Sebuah Kesempatan
29. Kekuatan.
30. Wanita Berlian.
31. Bidadari Surga.
32. Cerita Akhiŕ
Epilog
Ekstra Part
Just Promote

11. Teman Bossy

14.5K 1.3K 48
By mawar_malka


Keseharianku banyak kulewati di kantor. Sudah saatnya aku melakukan perjalanan ke rumah ayah ibu. Jika menunggu hari libur biasanya hanya hari minggu saja. Jadi aku memutuskan untuk cuti tiga hari. Aku memang tidak ijin langsung pada pak bossy, tapi melalui HRD yang mengiyakan ijinku. Akhirnya jadilah aku di sini, di rumah ayah dan ibu.

Aku tahu di balik wajah lembut ayah dan ibu tersimpan sakit dan pilu seperti yang aku alami. Tapi mereka menyimpan rapat semua itu dengan sebuah senyuman. Ibu memang sempat menyalahkanku karena dulu begitu mempertahankan hubunganku dengan Akbar dari pada pilihan ayah. Tapi setelah Mas Johan menenangkan, ibu akhirnya diam dan memelukku.

Maafkan aku, Ayah, Ibu, karena tak berhasil dalam pernikahan ini. Maafkan aku sudah mengecewakan kalian. Mempermalukan kalian karena anak perempuan kalian ini, kini menjadi seorang janda.

Aku menuju taman belakang rumah sore itu. Melihat ke atas awan. Rasanya senja menyambut keterpakuanku mengingat tentang Akbar dan pernikahannya dengan Anggrek. Mereka mengenakan setelan busana berwarna silver. Nampak anggun sekali Anggrek dalam busana pengantin itu. Dia terlihat tambah cantik. Di foto itu, aku melihat mama dan papa dan juga Vero. Mereka dulu adalah keluargaku. Mama Ira adalah ibuku juga. Ketika aku sedih, aku juga memeluknya seperti ibu kandungku sendiri. Sekarang mereka bukan apa-apaku lagi. Vero juga adalah adikku. Saat dia sedang bimbang, yang dihubunginya pertama kali adalah aku.

Akbar, kau memisahkanku dengan mereka.

Aku menatap langit senja itu dengan memejamkan mata. Merasakan semilir angin sore dan mencoba menenangkan diri. Namun memang air mata ini terlanjur nakal, tidak bisa kukomando untuk berhenti mengalir. Ia malah melaju bebas melewati pipi. Semakin lama bayangan akan kenangan itu kian merapat di depan mata, semakin pula membuatku terisak. Aku merasa sesak di dada. Ada seseorang yang memelukku dari belakang yang juga ikut terisak. Saat aku menoleh, ternyata ibuku.

Ibu maafkan anakmu ini.

"Jangan menangis lagi, Nduk. Jadilah seperti air. Biarlah semuanya mengalir. Suatu hari nanti, kamu akan mendapatkan pasangan hidup, jodohmu yang sesuai. Belum saatnya kamu bertemu dia, Nak." Ucapan ibu mengatakan bahwa Akbar bukanlah jodohku.

Pasangan hidup.
Jodohku.
Bahkan aku sudah menghapus kata-kata itu dari kehidupanku.
Aku takut tersakiti lagi.
Bagaimana bila sejarah terulang lagi?
Aku tak mau.
Lebih baik aku menepi dan melupakan soal itu.

"Bu, Ambar gak pa-pa." Aku menatap wajah ibu penuh arti. Mengatakan bahasa kalbuku bahwa aku baik-baik saja. "Ambar cuma lagi menikmati sore. Kebawa suasana senja aja, Bu."

🌿🌿🌿

Setelah cuti tiga hari, rasanya semua pekerjaan menumpuk di hari ini. Pak Lewis menyuruhku mengerjakan beberapa berkas bejibun. Aku bisa apa? Sebagai pegawai bawahan, aku menurut apa kata atasan saja.

"Kamu ke mana aja, Mbar?" tanya Andi.

Andi berbisik padaku saat aku mulai sibuk bekerja. Fokus pandanganku pada layar di atas meja kerja. Tapi aku tetap menanggapi setiap ucapannya.

"Aku pulang ke rumah. Kangen sama ayah ibu."

"Untung aja kamu cepet balik. Kalo gak, kamu bisa dipecat."

Aku menghentikan jemariku yang sibuk menekan tombol keyboard komputer dan menoleh tak mengerti dengan ucapan Andi.

"Emangnya ada apa?"

"Pak Bin mungkin lupa memberikan surat ijinmu sama Pak Lewis."

Ucapan Andi membuatku tanpa sadar membuka mulut dan membeo. Setelah menyadarinya aku langsung mengatupkan mulut. Antara takut dipecat dan kebimbangan mengitari benakku.

"Trus aku harus gimana sekarang?"

"Kamu sekarang dipanggil Pak Lewis ke ruangannya buat jelasin itu."

Aku mengangguk cepat dan merapikan berkas-berkas di atas meja.

"Aku ke ruangan si bossy dulu. An, kalo ada email masuk dari perusahaan vendor, tolong tangani dulu ya?" ucapku tergesa. Andi mengangguk.

Aku mempercepat langkah menuju ruangan Pak Lewis. Miranda, tumben wanita itu tidak ada di kantor sekarang?

Setelah di depan ruangan si bossy dan hendak mengetuk pintu, aku mendengar suara Pak Lewis sedang tertawa bersama seseorang. Kebetulan pintu ruangan Pak Lewis terbuka sedikit. Inikan ruangan ber-AC dan kedap suara pula. Tapi kenapa bisa terbuka seperti ini?

Ceroboh sekali Pak Lewis dan teman ngobrolnya itu.

Aku bimbang hendak masuk atau tidak. Masalahnya si bossy sepertinya sedang asyik berbicara dengan temannya itu. Aku takut mengganggu. Tapi Pak Lewis sendiri yang memanggilku. Tak apalah. Bukan aku yang butuh juga. Aku segera mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu.

"Masuk."

Suara dari dalam sepertinya suara Pak Lewis. Baiklah, aku segera melangkah ringan masuk ke dalam ruangan si bossy.

"Ada apa?" tanya Pak Lewis.

"Kata Andi, Bapak panggil saya?"

Andi gak maen-maen 'kan?

Pak Lewis nampak berpikir dan terdiam sejenak.

"Kamu yang namanya Ambar? Admin divisi pemasaran?"

"Iya, Pak."

"O, silakan duduk."

Pak Lewis menyilakanku duduk di depannya. Tepatnya di samping teman bicaranya itu. Entah kenapa aku merasa teman Pak Lewis ini memperhatikanku terus.

"Pak Bin sudah menghubungi saya tadi dan mengatakan kalo surat ijinmu lupa ia serahkan pada saya. Cuma kemaren memang saya butuh admin divisi pemasaran. Sementara Andi tidak bisa menangani ini sendirian. Memangnya kamu ijin cuti ke mana?" tanya Pak Lewis.

Aku menelan ludah agak bimbang. Andi bilang, aku santai saja menghadapi si bosy, tapi entah kenapa rasanya mati kutu pakai pembasmi kutu merk peditox kalau seperti ini. Masalahnya, dari aku sendiri tak biasa ditanyai orang. Aku menunduk seketika. Aku merasa takut.

"Jawab saja," ujar Pak Lewis.

Aku mengangkat wajah. Entah bagaimana ekspresiku sekarang. Aku pegawai kantor, tapi seperti anak TK yang ditanyai guru karena tidak ijin keluar main ke mana. Jadilah seolah menggigil.

Aku mungkin hanya kurang adaptasi dengan lingkungan sekitar.

"Sa-saya ke rumah ibu sama ayah, Pak. Sa-ya kangen sama ayah ibu."

Aduh, kenapa jawabanku persis seperti anak TK yang sedang tak mau jauh dari ayah ibu, tapi abaikan. Aku sedang fokus pada tatapan tajam si bossy. Teman Pak Lewis di sampingku tertawa terbahak-bahak diikuti pula tawa lebar Pak Lewis.

"Kantormu emang unik, Bro. Seunik ceritamu dengan Miranda," tukas teman si bossy.

Miranda kenapa disamain dengan keunikan kantor ini? Dan keunikannya karena mendengar jawabanku? Aneh.

"Kamu boleh keluar sekarang," ucap kemudian Pak Lewis.

Aku segera bangkit berdiri dan menunduk sopan pada Pak Lewis. Ekor mataku tak sengaja melihat pada teman Pak Lewis yang juga memperhatikanku. Untung lumayan tampan.

Apalagi yang ada di otakku?

Akbar saja tidak sebening itu.

Sebaiknya aku harus segera keluar, jika tidak, pikiranku bisa mengelana nun jauh ke mana-mana.

Efek menjanda.

Mengingat kata 'janda', membuatku menangis pilu dalam hati.

🌿🌿🌿

"Apa kata si bossy?" tanya Andi.

"Cuma nanya alasan aja kenapa aku ambil cuti."

Kulihat Andi hanya mengangguk sambil ber-"oh" ria.

"Aku diketawai malah di sana. Sama pak bossy, sama temennya itu juga."

"Temen?"

"Itu temen Pak Lewis yang tinggi putih jangkung."

Andi membalas ucapanku dengan tawa lebar. Kenapa hari ini seolah semua orang mentertawakanku. Aku memberengut kesal.

Coba Akbar di sini, dia gak akan terima aku diketawain gini.

Kenapa pikiranku melayang pada 'sang mantan' lagi? Mana mungkin dia peduli sama aku? Aku sedih mengingatnya. Ingin rasanya aku menjerit namamu, Akbar. Aku kembali merindukanmu.

"Biasanya kan tinggi putih langsing. Lah, kamu bilang jangkung. Apa gak aneh?"

"Emang jangkung."

"Ngingetin sama si jangkung, ayam kesayanganku di kampung," kilah Andi dengan tawa lebarnya.

"Dih."

"Mbar, emang si bossy punya temen? Selama aku kerja dua tahun di sini, baru tahu si bossy punya temen."

"Biasanya gimana?"

"Setauku dia gak pernah punya temen. Apalagi ke kantor. Kecuali calon temen idup dia yang hobi nangis itu, si Mirandai." Andi malah tertawa lagi.

"Ada. Tuh liat ke ruangannya."

"Jadi penasaran."

Aku memutar bola mata malas. Ini Andi, laki-laki si biang gosip. Eh salah, bukan hanya Andi, tepatnya seisi kantor ini yang suka gosip. Apa pekerjaan di kantor ini kurang pada setiap pegawainya? Sampai-sampai mereka punya banyak waktu untuk bergosip ria.

🌿🌿🌿

"Mau saya antarkan, Nona?"

Aku menoleh ke sebelah samping kananku. Teman si bossy sejak kapan ada di sampingku. Aku menoleh ke arah samping kiri. Tak ada orang lain. Apa dia berbicara padaku? Aku menunjuk diriku sendiri. Teman Pak Lewis mengangguk dengan seulas senyum. Senyum yang begitu manis.

Bolehkah aku menampar pipiku sendiri yang mulai terpesona pada sebuah senyum dari orang asing? Kenapa senyum itu indah sekali?

Aku tersadar dan melihat ke arah lain sambil menggeleng cepat. Aku segera mempercepat langkah. Tapi sepertinya sepatuku ini punya teman. Tepatnya sepatu laki-laki di sebelah kananku.

"Ayolah, aku butuh teman. Aku baru pulang ke Indonesia dan beberapa temanku entah berada di mana sekarang. Kita mungkin bisa ngopi sejenak di kafe dekat sini."

Dia menawariku minum kopi? Aku tergelak. Bahkan kopi moka yang manis bercampur susu dan cokelat itu saja bisa membuatku mual dan lambungku terasa penuh seketika. Apalagi beragam kopi yang ia tawarkan nantinya.

"Maaf, saya gak bisa minum kopi."

Apa peduliku dengan ajakannya minum kopi? Bahkan non-kopi saja, aku takkan mau. Bukannya aku lelah setelah seharian bekerja dan ingin lekas pulang, bukan. Tapi siapa dia? Mengajakku jalan. Aku bukan mahram dia. Bisa-bisa terjadi fitnah. Apalagi kalau sampai pegawai di sini tahu aku sedang keluar bersama teman bos besar. Walhasil, aku bisa jadi bahan gosip pagi mereka.

Oh, tidak. Terima kasih.

"Atau setidaknya kita minum teh?"

"Tidak. Terima kasih. Saya mau langsung pulang."

"O maaf jika kamu capek. Tapi bolehkah saya minta nomor ponsel kamu?"

Aku paling ilfeel ada orang meminta nomor ponselku.

Aku mau alasan apalagi?

"Em." Cepatlah otak kecilku berpikir mencari alasan. "Ponsel saya sedang eror, Pak. Lain kali saja."

Alasan bulsyit dan tidak masuk akal. But it's oke.

Setidaknya dengan alasanku itu, teman si bossy ini mengangguk menerima. Aku menghela napas pelan sembari memejamkan mata lega. Tentu tanpa sepengetahuannya.

Laki-laki di sampingku ini menyodorkan tangan. "Kenalkan, namaku Aldric Runako Halim. Biasa dipanggil Al atau Aldric aja," ucapnya mantap.

Siapa yang nanya?

Apalagi namanya menurutku begitu sulit. Jika tidak salah tadi kudengar ada toko atau rukonya. Entahlah.

Aku menerima perkenalan itu, tapi tidak dengan membalas jabatan tangannya. Dan aku cukup menangkupkan kedua tanganku.

"Nama saya Ambar, Pak."

"Saya terdengar sangat tua dipanggil pak," ucap Pak Al dengan terkekeh. "Panggil Al saja," pintanya.

"Mas Al."

"Whatever, up to you. Namamu Ambar. Oke Ambar, kalo kamu gak mau, saya duluan kalo begitu."

Aku mengangguk pelan dan menghembus napas yang sedari tadi rasanya tercekat di kerongkongan. Perkenalan dengan laki-laki asing adalah hal asing pula buatku. Bahkan di kampus dulu, teman-teman menyebutku manusia introvert. Karena aku lebih sering menyendiri dan lebih banyak diam.


🎑🎑🎑

Bersambung.
Situbondo, 2 Agustus 2018

Continue Reading

You'll Also Like

2M 166K 36
"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama...
1M 43.3K 41
Bekerja selama tujuh tahun sebagai seorang sekretaris dengan model bos seperti Zhafran Afandi, benar-benar membuat Rachel harus memupuk kesabaran sel...
504K 10.6K 12
Disclaimer! WAJIB FOLLOW AUTHOR KALAU PARTNYA GA MAU BERANTAKAN Kuno. Satu kata yang selalu terselip di benak Jenni Subagyo mengingat bahwa dirinya s...
1.1M 95.4K 61
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...