Unfailing (#4 MDA Series)

By ZenithaSinta

235K 20.6K 2.2K

Daisy tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah bersinggungan dengan Maxwell Maynard Addison. P... More

Baca Dulu!
Prolog
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Minta Pendapat
Chapter 33
Minta Pendapat (2)
Chapter 34
Pengumuman Open Pre Order
Chapter 35 (END) - 1
Diskon Besar-besaran!!!

Chapter 16

6.1K 526 34
By ZenithaSinta

Cerita ini hanya dipublikasikan di Wattpad!

Selamat membaca, pembaca setiaku yang manis!

---

"Hai, Daisy!" kalimat sapaan itu menjadi kalimat pertama setelah Daisy bangun dari tidur. Mata birunya terbelalak tak percaya ketika melihat Jenna menatapnya dengan senyum secerah mentari.

Tanpa disuruh dua kali pun, Daisy segera bangun terduduk. Tidak ada lagi sisa kantuk yang masih sempat dirasakannya. Daisy tersenyum sebagai tanda kegembiraannya akan kedatangan Jenna.

"Maaf telah mengganggu tidurmu. Sebenarnya Kak Max melarangku untuk masuk ke kamarmu. Hanya saja aku memaksa membangunkanmu. Setidaknya sebelum pulang, aku harus bertemu denganmu, Daisy." Jenna menjelaskan sembari tersenyum lebar. Mata hazelnya menatap Daisy dengan keceriaan yang kentara dari wajah cantiknya.

"Tidak masalah. Aku senang kau membangunkanku, Yasmine. Lagi pula ..." Daisy melihat ke arah tempat jam dinding berada lalu berkata, "aku sudah lama tertidur."

Jenna tertawa. "Bagus. Jika pun kau keberatan, aku juga merasa tidak menyesal" ucapnya sembari mengedipkan sebelah mata bermaksud menggoda Daisy yang mendapat respon berupa tawa gadis bermata biru itu.

"Memangnya kau akan segera pulang?" tanya Daisy setelah tawanya mereda.

"Sebenarnya Nick dan aku akan pulang besok. Kami berencana untuk menginap di hotel atau rumah Bibi Gilda. Tapi rupanya Kak Max menyuruh kami menginap di sini karena ada sesuatu yang sepertinya harus diselesaikan antara Kak Max dan Nick. Karena itu aku membangunkanmu agar waktu kebersamaan kita bisa lebih lama lagi."

"Menginap saja di sini!" seru Daisy dengan ekspresi semringah, kedua tangannya bergerak menggenggam erat tangan Jenna. "Aku senang kita menjadi teman."

Jenna kembali tersenyum lebar untuk kemudian balas menggenggam tangan Daisy. "Kita tidak berteman, Daisy. Kau akan segera menjadi kakak iparku. Kita akan menjadi saudara. Aku juga sudah memberitahukan tentang hal ini pada keluarga besarku termasuk Daddy dan Mommy."

"Lalu tanggapan orangtuamu?" walau bagaimana pun Daisy tetap mencemaskan tanggapan Gavin dan Kaithlyn Addison tentang pernikahannya dengan anak sulung mereka.

"Kau akan segera tahu" jawab Jenna cepat. "Terpenting dari itu semua, kau harus menjaga kesehatan. Aku dengar jadwalmu mulai besok akan kembali padat sebelum memutuskan kontrak kerja."

"Ya begitulah."

"Kau yakin tentang keputusanmu untuk meninggalkan dunia hiburan?" kali ini Jenna bertanya dengan mimik serius. Sebagian besar orang yang sudah terlanjur berkecimpung dalam dunia hiburan, akan mempertahankan hal tersebut. Popularitas menjadi daya tarik sendiri untuk tetap bertahan. Terlebih lagi mendapat sebuah nama di mata masyarakat tidaklah mudah."

Menggeleng rupanya menjadi respon Daisy kali ini. Dia menatap lurus ke arah Jenna. "Aku yakin tentang keputusanku ini, Yas" jawabnya diplomatis.

"Apa ada paksaan dari Kak Max? Karena yang aku tahu selama ini, kakakku itu terkadang bertindak seenaknya sendiri. Menjadi anak paling tua dalam keluargaku menjadikan Kak Max mau tak mau harus mampu menjadi pengganti Dad dalam hal apa pun."

Daisy tersenyum mendengar penilaian Jenna terhadap seorang Maxwell Maynard Addison. Kemudian dia menjawab masih dengan senyum di bibir. "Tidak, Yas. Bahkan aku sudah memiliki jawaban sebelum kakakmu menawariku tentang sebuah pernikahan."

"Baguslah. Aku hanya tidak ingin kau merasa tertekan atau semacamnya."

"Kakakmu pria yang baik."

Jenna tersenyum penuh pengertian. "Simpan penilaianmu untuk satu atau dua tahun ke depan. Setelah kau hidup bersamanya selama itu, baru kau bisa menilai bagaimana sebenarnya sifat kakakku."

"Tentu" jawab Daisy.

"Ayo kita ke halaman belakang! Sepertinya pembicaraan Kak Max dan Nick sudah selesai" ajak Jenna ketika melihat Daisy sudah tidak lagi terlihat mengantuk.

"Beri aku waktu untuk memperbaiki penampilanku." Ucap Daisy karena sadar bahwa dia baru saja bangun dari tidurnya.

"Aku akan menunggumu di sini. Kau tidak akan keberatan, bukan?"

"Ya, anggap saja sebagai kamarmu sendiri." Respon Daisy sembari beranjak dari duduknya menuju kamar mandi.

Tanpa banyak memikirkan hal lain, Daisy mulai membuka satu per satu pakaiannya. Membersihkan tubuh yang dirasa begitu lengket karena sedari pagi tidak berganti pakaian. Dia berusaha untuk tidak memikirkan kejadian buruk hari ini dan mulai menyugesti diri bahwa semuanya akan berakhir baik-baik saja.

Sekuat apa pun Daisy tidak ingin memikirkan, sekuat itu pula memori kejadian tadi bermunculan. Dia kembali mengingat setiap kalimat yang terlontar dari bibir sahabatnya. Bertahun-tahun mereka bersahabat, baru kali ini Emily tidak percaya padanya. Emily mengatakannya seolah tahu seluruh kebenaran hidup Daisy hingga mudah baginya terpengaruh akan apa yang dikatakan Billy. Namun yang lebih menyakitkan tentu sikap Billy yang mengatakan tentang hal yang tidak-tidak tentang dirinya.

Sikap buruk Billy itu bisa jadi akan menjadi titik kehancuran bagi Daisy. Dia takut jika mantan kekasihnya itu membocorkan seluruh cerita tentang keluarganya. Termasuk dirinya yang tidak dianggap anak sama sekali oleh Gabriel Ashton. Billy memang mengatakan tidak akan menceritakan pada siapa pun perihal rahasia terbesarnya itu, tapi tetap saja Daisy merasa cemas.

Daisy juga kecewa terhadap apa yang telah dilakukan Billy. Teganya lelaki itu memengaruhi Emily sedemikian rupa. Padahal setahu Daisy, Emily bukan tipe orang yang mudah terpengaruh atau percaya pada orang lain. Tapi hari ini? Ah, rasa-rasanya Daisy ingin menghilangkan seluruh pikirannya hingga tidak merasa pusing seperti saat ini.

Ditambah dia hampir saja menceritakan latar belakang keluarganya pada Max. Pasalnya pria itu begitu pintar menempatkan posisi Daisy hingga selalu merasa aman dan nyaman. Max selalu berhasil mengusik sisi sentimental Daisy hingga rasanya memunculkan sesuatu pada dirinya. Seolah menawarkan tempat bergantung yang mana membuat Daisy tenggelam di dalamnya.

"Kau tidak apa-apa kan, Daisy?" maka seruan serta ketukan Jenna dari luar pintu kamar mandi itu segera menyadarkan Daisy dari lamunannya.

"Tidak apa-apa. Sebentar lagi selesai" respon Daisy setelah berhasil menguasai keterkejutannya. Lalu dengan gerakan cepat dia menyelesaikan seluruh kegiatannya.

"Aku pikir kau hanya mencuci wajah" ucapan Jenna ini terlontar ketika mata hazelnya melihat penampilan Daisy yang hanya menggunakan jubah mandi.

"Awalnya, tapi aku pikir untuk sekalian saja mandi. Lagi pula hari sudah sore. Aku sudah terbiasa mandi di waktu seperti ini. Jadi, Yas izinkan aku untuk berpakaian terlebih dahulu."

"Santai saja. Lagi pula aku tinggal duduk menunggu" ucapan Jenna ini disertai dengan merebahkan tubuh di atas pembaringan. Sembari menunggu Daisy selesai berpakaian.

Tidak sampai 15 menit Jenna menunggu, Daisy sudah menyelesaikan kegiatannya. Gadis itu memakai pakaian simpel berupa kemeja panjang sewarna dengan rambut pirangnya yang dimasukkan ke dalam rok putih selutut. Pendeknya, Daisy selalu terlihat cantik hingga memunculkan senyum bangga dari Jenna. Pasalnya, gadis cantik itu akan menjadi bagian dari keluarganya. Tidak lupa juga memuji secara diam-diam tentang selera kakak sulungnya itu.

"Tadi malam sampai sekarang, aku tidak melihat anakmu. Di mana mereka?" Daisy bertanya ketika keduanya berjalan menuju halaman belakang.

"Juan dan Caralyn?"

"Ya, Juan dan Caralyn. Memang kau dan Nicholas memiliki berapa anak?"

Jenna tertawa mendengar pertanyaan Daisy. "Ya, memang hanya dua. Tapi untuk anak asuh, jelas lebih dari itu. Juan ada di rumah Paman Regan dan Bibi Gilda, sedang Caralyn lebih memilih menghabiskan waktu dengan kakek neneknya."

"Jadi, besok sebelum pulang kau akan kembali lagi ke rumah paman dan bibimu?"

"Ya, sekalian memberitahukan tentang rencana pernikahan Kak Max denganmu" jawaban Jenna kali ini disertai dengan mengedipkan sebelah mata ke arah Daisy. Bermaksud menggoda.

"Kau masih belum memberitahu paman dan bibimu?"

"Jika aku sudah memberitahu keduanya, dapat dipastikan paman dan bibi sudah datang kemari. Ingin memastikan benar tidaknya. Ditambah rasa penasaran mereka tentang calon istri dari kakakku ini."

Daisy jelas memerah mendengar penuturan Jenna tersebut. Tiba-tiba dia merasa takut ketika dihadapkan suatu momen di mana dia diperkenalkan sebagai calon istri dari seorang Maxwell Maynard Addison.

"Jangan takut!" Jenna berusaha menenangkan Daisy seraya menepuk pelan punggung gadis itu. "Keluarga besarku tidak pernah memaksakan suatu kehendak tentang sebuah pernikahan. Bagi mereka saling mencintai dan berkomitmen untuk menghadapi baik buruknya kehidupan, sudah cukup mewakili seluruh persyaratan. Tapi tetap, poin paling pentingnya adalah bahwa sang calon adalah pribadi yang baik."

"Aku pernah mendengar cerita antara kau dan Nicholas perihal hubungan kalian yang pernah mendapat pertentangan dari keluarga Addison."

"Kemungkinan besar kisahku dengan Nick sudah banyak yang tahu, Daisy." Jenna menjawab sembari menunjukkan senyum manisnya. "Kau mungkin bisa bertanya pada Kak Max mengenai hal ini. Sekalian memintanya untuk mengenalkanmu pada keluarga besar Addison. Setiap dari anggota keluarga besar Addison memiliki semacam album keluarga sehingga memudahkanmu untuk mengenal lebih dalam tentang keluargaku."

"Tidak apa-apakah?"

"Apanya yang tidak apa-apa?"

"Meminta Max menceritakan hubunganmu dengan Nicholas."

Jenna kembali tersenyum. "Tidak masalah. Hubunganku dengan Nick bukanlah suatu rahasia yang harus disembunyikan pada siapa pun. Kau juga berhak tahu. Siapa tahu dengan begitu kau bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa pasangan hidup akan kembali pada kita dengan caranya sendiri."

Daisy jelas tersenyum mendengar setiap rentetan perkataan Jenna. Masih banyak yang harus ia tanyakan pada Max termasuk protesannya pada setiap fasilitas yang disediakan pria itu terhadapnya hari ini. Keduanya terus melanjutkan percakapan tersebut hingga berhenti pada kaca besar yang memperlihatkan keadaan di halaman belakang.

Daisy memberhentikan langkah. Mata birunya terpaku pada satu sosok yang kini sedang tertawa. Jenis tawa bebas hingga rasanya Daisy ingin mengabadikan momen itu. Tidak berpikir dua kali, Daisy segera membuka ponsel dan mulai membidik ke arah objek yang dituju. Begitu pas bidikannya hingga memunculkan senyum puas dari bibir Daisy. Bahkan dirinya tak sadar bahwa gerakannya diperhatikan oleh orang yang berdiri tepat di sampingnya. Ya, Jenna jelas melihat seluruh kelakuan "manis" Daisy itu.

"Apa aku harus melapor pada kakakku bahwa ada orang yang baru saja menjadikannya objek foto?"

"Jangan!" seru Daisy dengan wajah memerah. Saking tenggelamnya ia pada tawa seorang Maxwell Maynard Addison sampai lupa bahwa ada adik Max sedang berdiri di samping dan mengamati segala tingkahnya.

"Aku ... aku hanya tidak pernah melihatnya tertawa" sambung Daisy dengan mata yang kembali mengarah pada halaman belakang tempat di mana Max sedang terlihat asyik berbicara dengan Nicholas. Dia juga tidak bisa terus-terusan menyembunyikan sikap salah tingkahnya pada Jenna.

"Kau akan sering melihatnya tertawa ketika Kak Max berkumpul bersama dengan keluarga besar atau sahabatnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kakakku itu. Hanya saja dia memang akan memperlihatkan sifat aslinya pada orang yang telah lama mengenalnya. Katakanlah Kak Max sulit beradaptasi dengan orang baru, tapi jelas pernyataan itu tidak cocok disematkan padanya. Buktinya, Kak Max selalu bisa menempatkan diri pada orang yang baru dikenalnya."

"Suatu saat, apakah aku bisa menjadi penyebab dia tertawa? Minimal menjadi alasan dia tersenyum." Ucapan Daisy yang Jenna nilai sebagai ucapan reflek itu membuatnya tersenyum lebih lebar.

"Tentu saja bisa" sahut Jenna dengan nada penuh keyakinan. "Aku yakin suatu saat kau juga bisa menjadi alasan dia menangis."

Daisy mengerutkan kening tanda tak mengerti ucapan Jenna. Dia tidak bertanya, hanya mata birunya menyiratkan pertanyaan yang jelas-jelas diabaikan oleh Jenna. "Sudah jangan banyak berpikir, Daisy. Sekarang ayo kita ke sana. Aku tidak sabar menjadi pengganggu."

Tanpa menunggu respon, Jenna menarik tangan Daisy. Menyeret gadis itu ke halaman belakang yang mana Max dan Nicholas sedang duduk berhadapan. Setelah sampai, dengan seenaknya Jenna menempatkan Daisy duduk di samping Max. Lalu mendudukkan dirinya sendiri di samping suaminya.

Daisy berusaha mungkin menyembunyikan rasa malu dan berakting untuk tidak peduli terhadap keadaan yang ada. Dia menengok ke arah Max dan tidak lagi menemukan tawa yang beberapa menit lalu menghiasi wajah pria itu. Karena kedatangannya kah?

"Pembicaraan super serius kalian, sudah selesaikah?" Jenna bertanya sembari membelit lengan Nicholas untuk kemudian menyandarkan kepalanya di bahu suaminya itu. Keduanya jelas terlihat begitu manis, ditambah senyuman serta tatapan Nicholas pada Jenna. Di mata Daisy jelas terlihat tentang begitu manjanya Jenna pada Nicholas. Sedang Nicholas sendiri justru terlihat dengan senang hati menanggapi kemanjaan istrinya. Sungguh, pasangan yang romantis bagi Daisy.

"Tanya saja pada kakakmu itu, Sayang." Nicholas menyahut. "Termasuk penolakan kerasnya tentang tawaran yang berdatangan pada Daisy."

"Penawaran apa?" Daisy bertanya setelah mendengar namanya disebut.

"Banyak tawaran dari produser padamu untuk mencoba keuntungan di dunia perfilman. Selama ini mereka mengamati bakat dan kemampuanmu, Daisy. Termasuk tawaran dari Melvin Fidel Camilo." Nicholas menjelaskan dan Daisy jelas tahu siapa Melvin Fidel Camilo itu. Produser muda yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam memproduksi film, teater, maupun siaran televisi. Produser yang juga termasuk salah satu anggota keluarga besar Addison.

"Lily tidak pernah memberitahuku."

"Lily memang masih belum tahu. Aku memberitahu Max sebagai orang pertama karena aku pikir sebagai calon suamimu, dia akan turut memberikan masukan yang baik untuk masa depanmu. Tapi ternyata, ya ... dia menolaknya." Nicholas jelas menjatuhkan Max di depan Daisy. Bibirnya menyeringai seolah mengejek Max yang telah berani menertawainya beberapa menit lalu. Tidak peduli akan reaksi Max yang menatap lurus juga penuh perhitungan pada dirinya itu. Nicholas memang tidak memiliki rasa takut sedikit pun pada sahabat sekaligus kakak iparnya tersebut.

"Aku yakin Max memiliki alasan kuat untuk itu." Daisy merespon dengan nada kalem. "Sebagai calon istri yang baik, sudah tentu aku akan mendengar setiap tanggapannya. Lagi pula aku tidak akan melanjutkan kontrak kerjaku sebagai model atau sejenisnya. Dari sana, sudah jelas aku akan menolaknya."

Jawaban tidak terduga dari Daisy, jelas membuat Nicholas berdeham salah tingkah. Sadar bahwa dia salah langkah kali ini. Jenna tersenyum lebar. Sedang Max tersenyum puas. Ingin rasanya memeluk Daisy dan mengatakan betapa pintarnya gadis itu membuat sahabatnya tidak berkutik sedikit pun. Tapi tentu saja Max tidak melakukannya. Pria itu memilih diam dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak menatap ke arah Daisy.

"Jangan membicarakan pekerjaan lebih lanjut, Sayang." Jenna mengingatkan Nicholas seraya mencium pipi suaminya itu dengan penuh perasaan. "Sekarang baiknya ikut aku terlebih dahulu. Kita akan hubungi Dad dan Mom mengenai keadaan Caralyn."

"Oke, baiklah." Tidak ada yang dilakukan Nicholas selain mengangguk setuju. Tidak lupa juga membalas ciuman Jenna berupa ciuman bibir pada istrinya tersebut.

"Kita akan kembali pada waktu makan malam, Kak" Jenna berucap ketika dirinya dan Nicholas beranjak berdiri. "Sampai jumpa, Kakak Ipar!" pamitnya yang tanpa mendapat respon segera menarik tangan Nicholas.

"Ya, anggap saja kamar sendiri!" Max menyahut dengan nada penuh sindiran yang segera ditertawakan Jenna juga Nicholas.

"Tentu saja, Max. Akan aku buat kamar tamumu penuh kenangan tentangku bersama Yasmine." Nicholas menyahut dengan suara paling mengjengkelkan bagi Max.

"Aku tidak tahu maksud dari ucapan Nicholas." Daisy bersuara setelah melihat Nicholas dan Jenna masuk ke dalam rumah. Meninggalkan dirinya dengan Max.

"Tidak perlu dipikirkan. Kadang, Nicholas memang gila. Bukan kadang, tapi dia memang gila."

Daisy semakin mengerutkan keningnya mendengar pernyataan Max. Tapi dia tidak berkomentar apa pun karena posisi duduk yang begitu dekat dengan Max lebih diperhatikannya. Indra penciumnya menangkap jelas aroma khas dari seorang Maxwell Maynard Addison. Membuat keinginannya untuk memeluk dan menghidu seluruh aroma tersebut semakin menjadi-jadi. Tapi jelas Daisy tidak akan melakukannya. Tidak selama dia dan Max dalam keadaan "normal" seperti saat ini.

"Hm ... Max" Daisy menyebut Max dengan suara yang begitu lirih. Merasa ragu untuk mengungkapkannya atau tidak.

"Ya?"

"Mengenai fasilitas yang kau sediakan untukku, aku ..."

"Mau tidak mau kau tinggal menikmatinya, Tertia. Aku tidak ingin mendengar protes sedikit pun dari bibirmu." Max memotong cepat kalimat Daisy hingga membungkam segala bentuk protes gadis itu.

"Baiklah" Daisy jelas saja tidak berani berdebat dengan Max. Dia jelas menangkap keengganan pria itu ketika membahas sebuah fasilitas khusus yang telah disediakan.

"Aku yakin tidak sulit untukmu menerimanya. Kau hanya perlu membiasakan diri dan mengerti posisimu sebagai calon istriku." Max melanjutkan perkataannya. "Aku tidak akan membiarkan calon istriku merasa sengsara sedikit pun."

"Ya, aku akan mencoba menerimanya." Tidak ada lagi yang harus diucapkan Daisy. Dia memang harus menerima gaya hidup yang coba disodorkan pria macam Maxwell Maynard Addison. Lagi pula Daisy itu supermodel yang mana penghasilannya sudah lebih dari cukup dalam memenuhi seluruh kebutuhan dan keinginannya. Sesuatu yang diberatkan hanya pelayanan dari banyak orang. Memperlakukannya bak putri raja seolah menganggapnya tak bisa merawat diri.

"Bagus. Sekarang aku ingin memberitahumu bahwa untuk sementara jangan pernah keluar dari rumah ini. Minimal untuk tiga hari sampai aku benar-benar bisa menangani keadaan di luar sana."

"Lalu pekerjaanku? Besok aku memiliki jadwal yang cukup padat." Daisy menyuarakan isi pikirannya.

"Aku belum menyelesaikan perkataanku, Tertia." Max mengingatkan dan Daisy hanya bisa mengangguk.

"Oke, lalu?"

"Kau hanya bisa keluar dari rumah ini dengan alasan pekerjaan. Tidak untuk hal lain dan jangan mencoba untuk membodohiku karena Lily sudah mengirimkan seluruh jadwalmu. Jika kau masih saja mencoba keluar dari aturanku, tentu saja akan ada hukuman yang menantimu."

"Hukuman?" tidak tahu apa yang dipikirkan Daisy hingga bibirnya reflek mengulang perkataan tersebut. Tentu dengan pikiran yang melanglang buana tentang berbagai macam hukuman yang kemungkinan diberikan Max padanya. Apa kemungkinan besar sama dengan hukuman yang pernah ia dapatkan? Jika memang sama, Daisy mungkin akan mempertimbangkan untuk melanggarnya dengan senang hati. Sibuk berpikir membuat gadis itu tidak peduli bahwa kali ini Max berbicara panjang lebar padanya.

"Sialan!" Max jelas berseru mengutuk apa pun yang dipikirkan Daisy saat ini. "Jangan pernah menghubung-hubungkan hukuman yang pernah kau dapatkan dariku dulu, Tertia. Hukumannya jelas akan berbeda."

"Aku tidak ..."

"Tidak perlu menyangkal, aku tahu ke mana arah pikiranmu beberapa detik yang lalu."

"Hm ya, maaf" ucap Daisy lirih yang membuat Max diam-diam mengerang dalam hati. Tidak habis pikir tentang sifat gadis yang duduk di sampingnya itu. Lebih enaknya, mau diapakan calon istrinya itu.

"Oh iya," Daisy kembali bersuara memecah hening antara dirinya dengan Max. "Yasmine baru saja menceritakan padaku bahwa setiap anggota keluarga besarmu memiliki semacam album keluarga. Mungkin kau bisa menunjukkannya padaku. Dengan begitu aku bisa mengenal keluargamu lebih dalam. Tidak hanya tahu secara umum seperti media massa yang aku baca selama ini."

Max tidak segera menjawab. Pria itu tampak berpikir hingga rasanya Daisy ingin menelan seluruh kalimat. Dia hanya takut bahwa sikapnya kali ini dianggap berlebihan hingga menimbulkan ketersinggungan atau bahkan kemarahan dalam diri Max. Di luar dugaan, pria itu malah berdiri sembari mengulurkan tangannya ke arah Daisy.

"Aku akan menunjukkan dan menjelaskannya padamu" ucap Max sembari mengisyaratkan Daisy untuk menerima uluran tangannya.

Ada kelegaan tersendiri bagi Daisy yang tanpa berpikir lebih lama menerima uluran tangan Max. Gadis itu tersenyum. Merasa aman ketika tangan besar Max mulai menggenggam lalu menarik tangannya. Kemudian tanpa berbicara keduanya berjalan. Daisy tidak tahu akan dibawa ke mana dirinya. Dia hanya pasrah saja mengikuti alur yang dibuat Max kali ini.

Keduanya berjalan menuju tangga. Masih dalam keadaan saling berpegang tangan. Tidak tahu alasan Max lebih memilih tangga dibanding lift. Mungkin agar pria itu bisa lebih lama berjalan sambil bergandengan tangan dengan Daisy. Entahlah. Daisy hanya tidak mengerti akan tindakan Max. Di lantai dua, keduanya terus berjalan dan tepat ketika melewati salah satu kamar tamu, Daisy tiba-tiba berhenti. Dengan begitu Max juga ikut berhenti. Menengok ke arah belakang dan menemukan wajah Daisy yang memerah.

Max tidak tahu mengapa Daisy seperti itu, hingga indra pendengarnya jelas menangkap suara erangan lengkap dengan desahan yang berasal dari kamar tamu di sampingnya. Max tahu apa yang terjadi di dalam tanpa harus menguras pikiran lebih dalam. Beberapa ruang tamu memang bukan ruang kedap suara. Tapi demi Tuhan! Max berani bersumpah bahwa Nicholas juga Jenna tahu ruang tamu mana saja yang kedap suara. Lalu mengapa keduanya lebih memilih ruang tamu yang letaknya begitu strategis? Dengan kata lain ruang yang selalu dilalui orang lain ketika berada di lantai dua.

"Abaikan saja!" Max berkata sembari menguatkan diri untuk tidak mendobrak ruang tamu tersebut lalu memberi peringatan untuk tidak "berisik" di rumahnya.

"Tidak bisa" Daisy berseru cepat. Menjadikan Max mengumpat dalam hati karena kejujuran gadis itu. "Aku sudah terbiasa mendengar suara sejenis ini karena selain cerita masa lalu ketika orangtuaku ... ya kau tahu sendiri kan? Biasanya apartemenku dijadikan tempat Gwen dan Calvin. Terkadang juga ... Diaz dan Emily."

"Lalu mengapa wajahmu memerah?" Max segera bertanya sebelum pikiran Daisy kembali teringat pada sosok Emily yang telah menyakiti hati gadis itu hari ini.

"Karena ini pertama kalinya aku mendengarnya bersamamu."

Max berdeham karena tenggorokannya mendadak gatal. Bukan gatal dalam artian sebenarnya, melainkan ya ... setidaknya sebagai pengalihan diri ketika tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Jika begitu, abaikan saja! Mereka hanya menikmati waktu berdua." Ucap Max yang tanpa menunggu respon, segera menarik tangan Daisy untuk kembali mengikutinya.

Max membawa Daisy ke perpustakaan keluarga yang terlihat begitu nyaman. Namanya perpustakaan tentu saja memiliki banyak buku yang tersusun rapi seolah pemiliknya memang gembar membaca. Ada sofa panjang di dalamnya yang terletak di dekat perapian. Mata biru Daisy menjelajah ke setiap sudut dan senyumnya jelas mengembang ketika tidak menemukan satu pun kecacatan. Rupanya Max membayar mahal seorang arsitek hingga rumah pribadi milik pria itu terlihat nyaman dan menyenangkan.

Daisy belum masuk ke perpustakaan tersebut sebelumnya. Karena dia merasa malas ketika mata birunya menangkap begitu banyak buku. Tapi sekarang, dia merasa senang. Rasa malasnya jelas terobati ketika melihat desain perpustakaan milik Max.

"Duduklah!" perintah Max sembari mengisyaratkan Daisy untuk duduk di sofa yang telah ditunjuknya.

"Sempurna!" Daisy berseru ketika mata birunya menangkap foto keluarga berukuran besar yang terpampang di dinding. Sedang di samping foto berukuran besar itu juga terdapat banyak foto berukuran kecil. "Mengapa kau meletakkan foto-foto itu di dinding tepat di atas pintu?" tanya Daisy ingin tahu. Matanya jelas berbinar riang seolah menemukan barang langka.

"Tidak ada alasan khusus. Hanya dengan begitu aku bisa melihat semuanya ketika duduk atau tertidur di sofa sini." Max menjawab sembari bergerak menuju ke rak buku. Lalu berjongkok untuk kemudian mulai mencari sebuah album. Tidak membutuhkan waktu lama, pria itu pun memegang album foto berwarna hitam dengan beberapa hiasan berwarna emas.

Selanjutnya, Max duduk di samping Daisy yang sebelumnya memberikan album kepada gadis itu.

"Bukalah! Semua potret anggota keluarga besarku ada di sana."

Daisy dengan antusias lengkap dengan wajah semringah membuka album tersebut. Kedua tangannya bersemangat mulai membuka lembaran pertama. Mata birunya jelas berbinar karena tak sabar mengenal lebih detail tentang keluarga yang dikenal begitu berpengaruh.

Di album pertama dia menangkap potret keluarga Addison yang terdiri dari Gavin, Kaithlyn, dan keempat anaknya. Ada Max, Selena, Fin dan Jenna di sana. Enam orang tersebut seolah memiliki aura tersendiri. Gavin dan Kaithlyn duduk bak raja dan ratu. Dikelilingi oleh keempat anaknya yang semuanya terlihat sempurna. Sungguh perpaduan yang terlihat begitu indah. Daisy jelas menyukainya. Tampak begitu rukun dan merupakan keluarga idaman.

"Keluarga bahagia" reflek, Daisy berkomentar dengan jemari yang berlarian menyentuh foto keluarga tersebut. Tanpa bertanya, dia sudah tahu semuanya tentang keluarga Addison. Termasuk urutan dari anak pertama hingga akhir. Semuanya sudah dijelaskan di beberapa media massa.

"Kau akan menjadi bagian dari kami" Max memberi tanggapan dengan suara yang dibuat senormal mungkin dan Daisy memilih tidak merespon.

Lalu tangannya kembali membuka lembaran berikutnya. Ada tulisan "Keluarga Cavan" di sana. Artinya keluarga paman dan bibi Max. Regan dan Gilda Cavan berfoto bersama dengan kedua anak mereka. Jill dan Riley. Ada sosok tambahan juga yakni Alastair Cavan, ayah Regan Cavan.

"Indah." Kembali Daisy berkomentar sembari menunjukkan senyum manis. Mata birunya terpaku menatap satu per satu setiap anggota keluarga Cavan.

Max tidak memberi tanggapan. Dia justru terpaku pada senyum manis Daisy. Ada sesuatu yang berhasil dibangkitkan gadis itu terhadap dirinya. Namun tetap Max lebih memilih diam guna mengontrol dirinya agar tetap tenang.

Senyum Daisy tidak luntur ketika tangannya membuka lembaran berikutnya. "Keluarga Ben dan Teresa Camilo" demikian yang tertulis di sana. Hanya empat orang yang terdapat dalam foto tersebut. Ben, Teresa dan kedua putranya yaitu Erick dan Diaz. Ketiga pria nampak gagah dan Teresa terlihat begitu anggun dan cantik.

"Erick dan Diaz beruntung memiliki orangtua seperti Ben dan Teresa." Daisy berucap setelah melihat setiap senyum yang diperlihatkan empat orang tersebut. Jenis senyum lepas seolah selalu bisa menikmati hidup.

Daisy beralih pada halaman berikutnya. Tulisan "Keluarga Kent dan Lauren Camilo" tertulis di sana.

"Ini keluarga Melvin? Produser juga suami dari Jill?" tanya Daisy sembari melihat langsung ke arah Max.

Max mengangguk membenarkan. "Ya, Paman Kent dan Bibi Lauren memiliki dua anak. Melvin dan Emerald. Kau tentu tahu keduanya, bukan?"

"Tentu saja. Kiprah Melvin sebagai produser begitu terkenal. Sedang Emerald ... Jill, dan aku pernah dipertemukan dalam satu pertunjukkan fesyen. Keduanya benar-benar memiliki aura supermodel. Emerald yang anggun dan Jill yang cantik."

Tidak ada sahutan dari Max. Pria itu lebih memilih untuk membiarkan Daisy membuka lembaran berikutnya. Foto keluarga Rodney di sana yang terdiri dari Reeve dan Inabelle Rodney, Nicholas, juga adik Nicholas yaitu Amabel.

"Aku dengar adik Nicholas ini menikah dengan orang Italia?" tanya Daisy guna memastikan pemberitaan lalu yang sempat santer terdengar.

"Ya, namanya Daniel Avanoska."

Daisy mengangguk sebagai respon. "Daniel ini juga pernah menjadi kekasih adikmu?" tanyanya dengan suara yang dibuat sehati-hati mungkin. Takut menyinggung perasaan Max akan pertanyaan yang dirasa begitu sensitif.

"Daniel dan Yasmine memang pernah menjalin kasih. Tapi sekarang itu tak penting lagi. Mereka sudah bahagia dengan pilihan masing-masing."

"Nicholas dan Yasmine ... keduanya beruntung saling memiliki. Aku lihat Nicholas sangat mencintai adikmu, begitu pula sebaliknya. Padahal aku pernah mendengar bahwa hubungan keduanya sempat ditentang oleh keluargamu."

"Ya, termasuk aku yang menentang. Karena tahu benar tentang sifat Nicholas. Di sisi lain, Nicholas sudah memiliki kekasih yang kebetulan kekasihnya adalah anak asuh orangtuaku bernama Bia. Sebagai kakak tentu saja aku tidak ingin Yasmine terluka. Terlebih lagi, Yasmine ini tidak dibesarkan di dalam keluarga Addison. Sampai akhirnya aku melihat perjuangan Nicholas-Yasmine dan sampai akhirnya berakhir menyetujui."

"Karena itulah Yasmine mengatakan bahwa takdir tidak akan ke mana. Ah ... cerita mereka terdengar begitu romantis." Daisy berseru dengan mata biru yang bersinar ceria.

"Kita bisa menciptakan kisah kita sendiri." Ucapan Max ini jelas tidak terduga hingga memunculkan rona merah di wajah Daisy. Tapi cepat-cepat Daisy menguasai diri agar tidak terlihat jelas oleh pria yang duduk di sampingnya.

"Ini suami adikmu?" tanyanya seraya menunjuk ke arah foto di mana terdapat gambar Selena dengan seorang pria. Ditambah dengan adanya anak laki-laki di antara keduanya. Daisy jelas memilih menghindar dalam menanggapi pernyataan Max sebelumnya.

"Ya, namanya Rylan Leander. Ini keponakan pertamaku, Rafael."

"Leander?" Daisy mengernyit ketika mendengar nama tersebut disebutkan. "Sepertinya nama itu tidak terlalu asing" ucapnya seraya mengingat-ingat.

"Rylan memiliki perusahaan gim dan teknologi. Dia juga memiliki beberapa kasino. Mungkin dari sana kau pernah mendengar nama Leander."

"Ya, mungkin" Daisy mengangguk dan memilih tidak ambil pusing. "Semua anggota keluargamu memiliki kekuasaan juga pengaruh. Termasuk adikmu, Jeff Finley Addison. Aku dengar banyak penggemarnya berharap Fin kembali bernyanyi."

"Dia tidak akan kembali bernyanyi hanya untuk menghibur banyak orang." Max menanggapinya dengan mata yang mengarah pada foto adik laki-lakinya itu yang terdapat dalam foto keluarga. "Sedari lahir dia memiliki kewajiban untuk mengurus sebagian cabang perusahaan Addison Group. Membantuku. Sedang Selena dan Yasmine tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk mengurus perusahaan keluarga. Ditambah keduanya sudah memiliki pasangan hidup yang juga seorang pengusaha."

"Cavan juga Camilo masih memiliki hubungan keluarga dengan Addison. Tapi keluarga Rodney ... mengapa bisa menjadi bagian dari keluarga besarmu?"

Jenis pertanyaan yang selama ini banyak orang mempertanyakannya hingga memunculkan senyum tipis di bibir Max. Tapi tetap saja, Daisy tidak melihat jelas senyum pria itu.

"Paman Reeve bersahabat dengan Dad. Begitu pula Mom yang bersahabat dengan Bibi Abel. Karena hubungan persahabatan itulah menjadikan kedua keluarga semakin akrab satu sama lain. Hingga mengeklaim sebuah persaudaraan. Hubungan tersebut semakin kuat ketika Nicholas menikahi adikku." Max menjelaskan dan Daisy mendengarkannya seraya menatap langsung wajah pria di sampingnya itu.

"Aku menilai bahwa keluarga besarmu begitu solid." Daisy berkomentar atas apa yang dilihatnya selama ini. Tidak hanya dia, setiap media massa juga pernah mengulas betapa akrab dan rukunnya keluarga besar tersebut.

"Sejak lahir kami dididik untuk saling menjaga satu sama lain. Saling mengasihi sekaligus berusaha untuk menghindari sesuatu yang berujung perpecahan."

"Kau beruntung memiliki keluarga hebat seperti mereka." Daisy mengucapkannya sembari membayangkan dirinya berada di tengah-tengah keluarga hebat tersebut. Memori masa kecil tidak pernah memberikannya kesempatan untuk merasakan kasih sayang dan perhatian orangtua. Daisy tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang sebut saja begitu bobrok.

"Kau akan menjadi bagian dari kami." Max memberi respon seraya mengusap air mata yang tidak disadari Daisy telah mengalir membasahi pipi.

Daisy berusaha tersenyum, tapi tidak bisa. Dia mengingat masa-masa suram ketika kecil dulu. Ayah dan ibunya sama-sama tidak pernah menganggap dirinya ada. Mengingat seluruh kenangan tersebut, menjadikan Daisy semakin tersedu. Gadis itu merapatkan tubuhnya ke tubuh Max untuk kemudian menyandarkan kepala sepenuhnya pada bahu kokoh tersebut.

"Masa kecilku terkadang menjadikanku pesimis. Selama ini aku sudah membuktikan untuk menjadi anak yang patut dibanggakan. Jalan menjadi supermodel benar-benar berat karena harus melalui banyak hal. Banyak juga yang harus aku korbankan. Tapi tetap saja ... ayahku tidak pernah mengapresiasi keberhasilanku. Aku menginginkan sosok ayah yang ketika aku terluka, dia akan mengatakan "tidak apa, Daisy. Lukamu hanya sementara. Kau hanya perlu menangis hari ini karena esok kau harus melupakan semuanya untuk menata kembali hidupmu" tapi ... satu patah kata pun aku tidak mendapatkannya. Di mata ayah, aku adalah anak cacat yang harus ia sembunyikan dari mata dunia."

"Tertia ..." Max bermaksud untuk menghentikan cerita Daisy, namun rupanya gadis itu tidak ingin berhenti. Ada sesuatu yang mana harus Daisy ungkapkan saat ini juga.

"Selama ini aku benci pada diriku sendiri, Max" lanjut Daisy tanpa mengindahkan panggilan Max terhadapnya. "Sebarapa keras aku berusaha, aku tidak akan pernah mendapatkan apa-apa. Tujuan hidupku sampai detik ini pun adalah sebuah pengakuan dari ayahku. Tapi rasanya, itu semua tidak akan pernah berhasil."

"Aku bisa melakukan apa saja untukmu termasuk membuat ayahmu mengakui keberadaanmu, Tertia." Max mengucapkannya tanpa ragu. Tangannya juga bergerak untuk menempatkan Daisy ke dalam pangkuannya. Album keluarga sudah Max letakkan pada bagian sofa yang kosong. Bak ayah yang ingin melindungi putrinya, Max memangku gadis itu dengan tangan yang kemudian mengelus sepanjang punggung Daisy. Tapi jelasnya, Max bukan seorang ayah bagi Daisy, melainkan calon suami sekaligus pria yang memiliki peran sebagai pelindung.

Daisy sendiri memanfaatkan perlakuan Max dengan merapatkan tubuh lalu memeluk pria itu. Sesekali menyembunyikan wajahnya pada leher Max. Entah mengapa Daisy ingin menceritakan seluruh beban yang selama ini dirasakannya pada Max. Tentunya lebih dulu ia harus menumpahkan seluruh tangis. Sedang Max memilih diam. Dia biasa menjadi penenang ketika adiknya bersedih, tapi untuk Daisy rasanya ia masih harus banyak belajar.

"Abraham Lincoln mengatakan bahwa hampir semua pria memang bertahan menghadapi kesulitan. Namun, jika ingin menguji karakter pria sejati, beri dia kekuasaan." Daisy berucap setelah tangisnya mereda. Dia menatap wajah Max dalam jarak detak. Mengamati seluruh wajah pria itu dengan mata birunya yang tajam.

Tangan Daisy bergerak menyentuh rahang Max. Lalu, "sekarang kau berada di posisi itu, yang mana kau memiliki kuasa untuk menjadikan semua orang tunduk di bawah kendalimu. Siapa yang tidak mengenal Maxwell Maynard Addison ini? Dia pewaris yang mendapat porsi lebih besar dari keluarga berpengaruh. Pria dengan segala pesona dan kemampuan luar biasa. Tapi, sebagai calon istrimu mana ingin membiarkan harga dirimu jatuh hanya karena membantuku untuk mendapat pengakuan dari ayahku. Tidak, Max. Kau cukup membantu menunjukkan pada mereka bahwa aku berhasil membuatmu menikahiku. Dengan begitu, sedikitnya aku bisa menunjukkan pada ayah bahwa anak cacatnya berhasil menjerat pria sepertimu."

Dulu -sebelum bertemu dengan Daisy- Max tidak akan segan menghentikan seluruh kalimat yang seenaknya terlontar dengan memberinya nasihat ini itu. "Bukan urusanmu. Aku berhak melakukan apa saja sesuai apa yang aku inginkan." Sedikit banyak begitulah jawaban Max. Tapi sekarang? Jangankan membantah, bersuara pun dia sulit setengah mati. Ada sesuatu di dalam diri Daisy hingga membuat Max bungkam seketika. Atau sikap tersebut hanya karena bentuk rasa kasihan pada Daisy? Entahlah, Max tidak ingin berpikir lebih jauh lagi. Dia bukan tipe pria yang mudah tenggelam lebih dalam pada perasaan tertentu.

"Jadi, baiknya aku diam membiarkan kau berusaha sendiri untuk mendapat pengakuan dari ayahmu, Tertia? Aku calon suami yang ingin memastikan bahwa kehidupan calon istrinya dalam keadaan baik tidak kurang suatu apa pun." Kalimat Max ini terlontar setelah pria itu berhasil menguasai diri. Dibalas tatapan Daisy dengan sama tajamnya. Jelas, ada tekad yang terlihat jelas di mata hazelnya itu.

Sedang Daisy memilih mengusap lembut rahang Max. Kemudian berkata, "setidaknya biarkan dulu aku kembali berusaha."

Max menghela nafas kasar. "Baiklah" ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

"Tapi jika nantinya terjadi sesuatu, jangan lagi melarangku untuk membantumu."

Daisy tersenyum mengangguk. "Terima kasih" ucapnya lalu mendaratkan ciuman ringan pada rahang Max.

Max sedikit pun berusaha tidak membalas ciuman Daisy. Pria itu justru mengeratkan pelukannya. Membalas ciuman gadis itu lalu berlanjut pada cumbuan lainnya, dirasa bukan waktu yang tepat untuk saat ini. Walau hasrat untuk menyentuh melambung tinggi, tetap saja dia tidak akan serta-merta melampiaskan seluruhnya pada gadisnya yang sedang bersedih hati.

---00---

Don't copy without my permission!

Continue Reading

You'll Also Like

10.6K 1.1K 33
SUDAH DITERBITKAN OLEH REX PUBLISHING DALAM RANGKA NULIS MARATON BATCH 2 *** Alejandro Rexford membenci segala bentuk pengendalian, kecuali atas diri...
240K 18.5K 61
[COMPLETED] Kisah ini diambil dari surat-surat milik mantan Putri Mahkota Inggris, Sydney Anaraya dalam buku hariannya. Hingga saat ini tak ada yang...
1.1M 99.1K 32
[COMPLETED] Part 1 - 7 : Public Part 8 - end : Private BITTERSWEET LOVE All these years, she gave up withou...
24.4K 1K 44
Kisah seorang mahasiswi yang magang di sebuah rumah sakit ternama. Hidupnya penuh dengan teka teki yang terkadang membuatnya sulit menemukan tujuanny...