Inayat Hati

By mawar_malka

585K 49.1K 2.6K

Aku mencintaimu tanpa henti. Bahkan Tuhan pun mungkin cemburu dengan rasa ini karenamu. Tapi sekilas waktu ka... More

Prolog
1. Kata Pisah
2. Cerita Kami
3. Yang Tak Kutahu
4. Bunga Di Luar
5. Ijinkan Aku Marah
6. Memilih Kejujuran
7. Mengikhlaskan
8. Hidupku sekarang
9. Melihat ke depan.
11. Teman Bossy
12. Di manakah kebaikan?
13. Perempuan Yang Terluka
14. Dia lagi.
15. Wanita Hebat.
16. Kekuatan
17. Lepas Dari Sakit
18. Melepaskan Rasa
19. Lamaran Mas Al
20. Tak Terduga
21. Trauma
22. Kebingunganku.
23. Musibah itu jawaban.
24. Bulan Madu Sederhana
25. Sebuah Teka-Teki
26. Membingungkanku.
27. Pencerahan
28. Sebuah Kesempatan
29. Kekuatan.
30. Wanita Berlian.
31. Bidadari Surga.
32. Cerita AkhiΕ•
Epilog
Ekstra Part
Just Promote

10. Kabar tentangnya.

16.3K 1.4K 56
By mawar_malka


Pak bosy sepertinya tengah sibuk hilir mudik seperti aliran air sungai. Aku tak berani mengganggu walaupun kertas-kertas tak berdosa ini membutuhkan bubuhan tanda tangannya. Nanti sajalah aku ke si bossy. Andaikan sibuk karena pekerjaan, aku maklum. Masalahnya sekarang ia disibukkan dengan Miranda yang malah menangis di dekatnya. Apalagi yang terjadi dengan wanita itu? Tapi hebatnya dia, berapa ribu mili kubik air mata yang ia simpan seolah tak ada habisnya.

"Mbar, ikut aku yuk ke kantin!" ajak Selfi, salah satu teman kantorku.

Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah Selfi. Kami berjalan beriringan melewati koridor kantor menuju kantin yang letaknya di lantai paling bawah. Sementara kantor dan ruanganku sendiri berada di lantai tiga.

Siang itu memang cuaca amatlah cerah. Rasanya menenggak segelas minuman dingin yang segar akan menjadi solusi dahaga tenggorokan kering. Begitu pun aku dan Selfi, setibanya di kantin, pertama kali yang kami pesan adalah minuman dingin berupa es teh dan semangkok nasi soto. Cukuplah untuk mengganjal perut kami yang sedari tadi menabuh genderam perang karena cacing-cacing di perut yang sudah kelaparan.

"Mbar, keknya kamu merhatiin si bos terus? Emang keren sih, tapi dingin," ujar Selfi.

Aku yang awalnya diam saja mulai merespon dengan tampang tak mengertiku. Merhatiin bos? Siapa yang memperhatikan bos?

"Keknya kamu salah sangka. Aku gak pernah merhatiin bos."

"Tapi yang gue liat, kamu sering liatin ruangan si bossy," sergah Selfi dengan tatapan menyelidik padaku.

Aku menghela napas panjang. Segitu telitinya Selfi sampai ia tahu bagaimana aku yang sering memperhatikan ruangan si bos besar. Tapi jangan salah. Aku bukan memperhatikan si bos, tapi memperhatikan si pengikut setia bossy. Siapa lagi kalau bukan tunangan Pak Lewis, Miranda. Apa saja yang ada di otak Selfi? Mungkin dia mengira aku naksir pada bos besar. Jangankan naksir, diterima kerja di perusahaan yang termasuk kategori bonafide ini saja aku sudah bersyukur.

Yah, aku hanya heran pada hubungan asmara si bosy dan Miranda. Mereka sudah pada tahapan serius yaitu bertunangan, tapi lihatlah bagaimana sikap keduanya. Yang satu dingin dan satunya lagi, maaf, cengeng. Mengingatnya saja aku tertawa geli. Namun bukan itu yang menjadi fokus perhatianku. Lihatlah bagaimana hubungan dengan sifat pasangan yang bertolak belakang itu menjadi satu dalam ikatan yang kudengar sebentar lagi mereka akan menikah. Dan sepertinya Pak Lewis begitu menyayangi wanita hobi nangis itu. Jujur, aku iri pada Miranda.

Akbar, lagi-lagi aku mengingatmu dalam kenanganku.

"Ambar! Kamu ngelamun lagi?" Ucapan Selfi sontak mengagetkanku. Dan hal itu otomatis membuatku menggelengkan kepala cepat.

"Kamu itu jangan suka ngelamun. Pamali kata orang sunda. Makanya kalo ada masalah, biasakan terbuka, cerita sama orang lain. Temen-temen di sini pada ngomongin kamu, pegawai baru yang pendiem dan tertutup."

"Masa?" tanyaku.

Aku jadi punya coretan sendiri. Sisi positif teman-teman di sini adalah mengakrabi, hangat dan kekeluargaan yang aku rasakan. Namun sisi negatifnya, rupanya mereka suka ngrumpi. Sebenarnya bukan masalah besar jika aku sempat menjadi topik pembicaraan. Karena semakin orang perhatian pada kita, semakin gencar mereka membicarakan kita. Anggap saja begitu. Entahlah teoriku ini benar atau tidak. Positif tinking saja.

Selfi mengangguk sambil sibuk mengunyah makanan di mulutnya. Kentang goreng juga masih setia diapit oleh jari-jari lentiknya. Teman kantorku yang satu ini paling suka pedas. Keringat mengucur di wajahnya tak ia pedulikan lagi. Sesekali tangannya menyelinap ke dalam baskom kecil berisi sambal dan menuang ke mangkoknya sendiri beberapa kali. Namun jangan salah. Lepas ini bisa kutebak dia akan ke toilet untuk membenarkan make up-nya. Aku yang melihatnya jadi meringis sendiri. Katakanlah aku orang jawa yang juga suka pedas. Bagaimana ibuku yang selalu masak aneka masakan dengan rasa pedas yang menggelenyar di lidah, tapi tidak sehebat selfi. Kadar kesukaannya pada pedas jauh melampauiku. Aku hanya bisa menelan ludah saat melihatnya.

"Itu kamu nambah terus sambelnya, Sel. Apa gak kepedesan?" tanyaku meringis.

"Makin pedes, makin nikmat rasa sotonya, Mbar. Cobain deh."

Tangannya bergerak hendak menuangkan sambel di sendok kecil pada mangkok sotoku. Segera saja kugeser. Jika tidak, bisa sama nasibku dengannya. Wajah yang kacau dan berkeringat. Sementara aku paling malas membenarkan riasan lagi, kecuali bila setelah wudhu dan sholat.

"Gak usah, makasih."

Selfi berdiri dan mendorong kursinya ke belakang. "Tunggu ya, aku ke toilet bentar."

Sesuai tebakanku, lima menit berlalu dan bisa dilihat perbedaannya. Selfi sudah membenarkan letak dandanannya semenjak keluar dari toilet di dekat kantin. Aku kembali menghela napas perlahan. Kenapa semua orang di sini begitu unik? Selalu membuatku tertawa geli dalam diam sekaligus mengelus dada.

Selfi menyeruput es teh sisa minumnya tadi. Kami sudah menghabiskan makanan dan minuman di atas meja.

"Yuk, bayar!" ajaknya.

Aku pun mengikutinya. Langkah kakiku terhenti saat melihat Miranda. Ia makan sendirian di kantin. Yang kulihat dari sikapnya, dia nampak bukan seperti wanita hobi nangis. Dandanannya yang selalu rapi dan terlihat sekali dia wanita perfeksionis. Dia sangat cantik. Pantas saja si bossy sangat menyukainya. Aku tersenyum tipis.

Apakah setiap laki-laki memang selalu menginginkan wanita yang cantik?

Yang kutahu, Anggrek adalah gadis yang cantik dan cerdas. Jika dibadingkan denganku, rasanya berbeda. Aku cuma wanita biasa. Memang sebagian lelaki pernah mengatakan aku cantik, tapi kusadar, bukan sangat cantik. Tidak seperti Miranda atau Anggrek. Mereka tidak hanya terlihat cantik saja, tapi juga menarik, dan fashionable tentunya. Kenapa aku jadi membandingkan diriku dengan mereka?

Aku tersentak saat wajah Selfi berada tepat di depan wajahku. Terutama telapak tangannya yang melambai di depan mataku.

"Ngelamunin apaan sih? Itu? Miranda?" tunjuknya pada Miranda. Dan otomatis lagi aku mengangguk lalu menggeleng. Entahlah di mana kesadaranku sekarang.

Aku segera melangkah cepat ke kasir untuk membayar makananku tadi. Sekaligus juga menghindari Selfi dengan segala pertanyaannya.

"Miranda itu tunangan si bossy. Tiap hari dia ke sini. Mungkin si bossy sampai bosan liat wajahnya." Selfi mengatakannya sambil tergelak saat kami melewati koridor kantor menuju ruangan kerja.

"Aku cuma penasaran aja. Kenapa tunangan si bossy itu suka nangis," ucapku santai.

Selfi menoleh padaku sembari mengangkat alis. Lalu ia mengangkat bahu dengan mimik wajah mencibir.

"Itu sih air mata buaya wanita itu aja."

"Maksud kamu?"

Selfi tersenyum miring. "Ada-laah. Aku tahu si Miranda itu tipe cewek kek apa dan si bossy kek apa."

"Oya?" Aku pun ikut tergelak mendengar penuturan kawan di sampingku ini. Dia seperti peramal saja.

"Jangan bilang aku kek dukun," sanggah Selfi.

"Aku belum bicara apa-apa, Sel," ucapku.

"Tatapan lo mengatakan itu. Tapi udahlah, pembahasan mereka gak penting, Mbar. Yang penting itu, gaji kita lancar tiap bulan dari si bossy, ya 'kan?"

Aku mengangguk-anggukkan kepala setuju sambil tersenyum dan menoleh sejenak pada Selfi.

🌿🌿🌿

Malam ini aku berada di kosanku. Aku memilih tinggal di kos supaya lebih dekat dari kantor. Tidak banyak orang tahu bahwa aku pernah menikah. Karena bahkan, anak saja aku tak punya. Aku menyukai anak kecil, tapi memiliki anak saja aku tidak bisa. Bukan tidak bisa karena faktor biologis, tapi faktor alasan dari mantan suami. Miris sekali mengingatnya.

Malam ini aku benar-benar merasa kesepian. Tak ada tempat bercerita dan berceloteh ria seperti saat bersama Akbar dulu. Aku tipe orang yang pendiam di luar dan banyak bicara di dalam rumah. Semua hal akan aku ceritakan pada Akbar dulu. Masa laluku, keseharianku, semuanya.

Daripada kulelah memikirkan Akbar terus, aku memilih membuka laptop dan berselancar di dunia maya. Aku lebih sering membuka facebook. Sosial media yang tak harus memajang foto seperti instagram di dalamnya. Namun jangan salah, aku pun tak suka memasang status, apalagi sampai curhat sana-sini di media. Aku malu memublikasikan keseharianku. Itu aku.

Kali ini aku mencoba stalking akun mantanku. Siapa lagi kalau bukan Akbar. Sebenarnya aku tak berniat, tapi entah karena kerinduan mendalam ini, aku mencoba membukanya sejenak. Dia juga sama sepertiku. Jarang memasang status. Namun aku penasaran pada status terakhirnya.

Laju mouse kuarahkan pada akun facebook-nya.

Aku akui aku yang salah. Aku yang mencari mati membuka akun orang yang sudah tidak memiliki ikatan apa-apa lagi denganku. Seketika aku terisak pilu dengan menutup mulutku. Kian lama kian deras juga air mata ini mengalir. Bagaimana tidak, ia mengunggah foto pernikahannya dengan Anggrek.

Apakah badai kasih dalam hatiku masih bergemuruh untuk Akbar, Tuhanku? Sementara aku belajar melupakannya, dan dia malah sudah melesat melupakanku.

Namun segera kuhapus air mata ini. Memilih mengobati dengan cara menyakiti. Memilih untuk melihat foto-foto itu dan mengatakan pada diri sendiri,

Lupakanlah dia, Ambar. Lihatlah! Akbar sudah melupakanmu dan memilih kebahagiaan bersama wanita lain. Lihatlah terus, Ambar! Lihatlah foto-foto kebahagiaannya bersama wanita cantik itu! Dia SUDAH MELUPAKANMU! Lihatlah terus! Agar kau yakin untuk melupakannya juga.

Kata hati kadang selalu bicara jujur dan apa adanya. Dia sudah bahagia. Mungkin ini saatnya aku menutup pintu harapan pada Akbar. Selamat tinggal kenanganku dan Akbar.

Aku melesat dan membuka lemariku. Aku meraih kotak kardus yang terletak pada lemari paling bawah. Di dalamnya berisi album-album fotoku dan Akbar. Foto-foto pernikahan dan kenangan saat kami masih bersama.

Kakiku melangkah menuju taman belakang kosan. Aku bakar semua album-album itu bersama tangisan. Setelah puas menangis sendiri tanpa ada orang tahu, aku kembali ke kamar. Dalam hati aku berjanji akan berusaha melupakan kenangan Akbar.

Kenapa cinta yang tulus ini harus dibalas duri yang menyakiti?

Apakah yang namanya cinta yang tulus, hanya akan mendapatkan sakit?

Tidak.

Kupercaya setelah kesakitan akan ada kebahagiaan.

Bahkan Allah pun dalam Al-Qur'an sampai bersumpah dan berjanji dua kali, bahwa setelah ada kesusahan akan ada kemudahan, setelah kesusahan akan ada kemudahan.

🎑🎑🎑

Bersambung
Situbondo, 26 Juli 2018

Continue Reading

You'll Also Like

609K 85.2K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
1M 83.4K 56
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
310K 38.8K 39
[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan...
148K 6.9K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...