Inayat Hati

By mawar_malka

585K 49.1K 2.6K

Aku mencintaimu tanpa henti. Bahkan Tuhan pun mungkin cemburu dengan rasa ini karenamu. Tapi sekilas waktu ka... More

Prolog
1. Kata Pisah
2. Cerita Kami
3. Yang Tak Kutahu
4. Bunga Di Luar
5. Ijinkan Aku Marah
6. Memilih Kejujuran
7. Mengikhlaskan
8. Hidupku sekarang
10. Kabar tentangnya.
11. Teman Bossy
12. Di manakah kebaikan?
13. Perempuan Yang Terluka
14. Dia lagi.
15. Wanita Hebat.
16. Kekuatan
17. Lepas Dari Sakit
18. Melepaskan Rasa
19. Lamaran Mas Al
20. Tak Terduga
21. Trauma
22. Kebingunganku.
23. Musibah itu jawaban.
24. Bulan Madu Sederhana
25. Sebuah Teka-Teki
26. Membingungkanku.
27. Pencerahan
28. Sebuah Kesempatan
29. Kekuatan.
30. Wanita Berlian.
31. Bidadari Surga.
32. Cerita AkhiΕ•
Epilog
Ekstra Part
Just Promote

9. Melihat ke depan.

15.6K 1.4K 126
By mawar_malka


Hari ini sudah jadi hari kesekian aku bekerja di sini. Semua tumpukan berkas aku terima dan harus kuselesaikan segera. Sepertinya pegawai sebelumku meninggalkan banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan. Jadilah sekarang aku yang harus menyelesaikannya, tapi tak apalah. Semakin banyak kerjaan, semakin akan melupakanku akan kenangan tentangnya.

"Weh, rajin bener, Mbar?" goda seorang teman di sebelah meja kerjaku.

Aku hanya menunduk dan tersenyum. Memang rasanya masih kaku. Andi, teman kerjaku ini memang punya sifat usil dan suka menggoda para pegawai lain terutama pegawai wanita. Jika teman pegawai lain akan membalas kicauannya, aku hanya bisa menanggapinya dengan ekspresi biasa. Aku memang tak bisa mengimbangi pergaulan. Niatku di sini hanya bekerja, mencari nafkah untuk diriku sendiri. Sebenarnya aku tidak kekurangan karena usaha keluargaku juga mencukupi. Namun niat utamaku bukan itu. Aku hanya ingin melupakan Akbar. Nama itu. Nama yang masih melekat di hatiku. Entah sampai kapan. Aku hanya ingin menjalaninya sekarang.

"Kalo ngelamun mulu awas kesambet," ucap Andi lagi.

Aku hanya tersenyum tipis tak begitu menanggapi dan melanjutkan pekerjaanku kembali.

"Ambar, kamu dipanggil pak bos."

Seorang pegawai yang kulupa namanya menyampaikan itu. Aku segera berdiri dengan memeluk beberapa berkas berisi laporan yang sudah kukerjakan sedari tadi.

Saat sudah di depan ruangan direktur, aku nyaris bertabrakan dengan seorang wanita yang sepertinya menangis. Apa direkturnya galak sampai orang itu menangis? Entahlah. Aku enyahkan pikiran burukku dan segera melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan. Baru pertama kali ini aku masuk ke ruangan luas nan sejuk ini. Terasa nyaman dan santai di dalamnya. Pak bos sepertinya terlihat sibuk membuka dan membaca tumpukan kertas di atas meja kerjanya dan sesekali melihat ke layar datar di depannya. Aku melangkah tenang dan menyapanya ramah.

Pak bos mengangkat wajah dan melihatku. Bayanganku akan bos besar yang setengah baya, perut buncit dan galak rasanya harus kubuang jauh. Masalahnya bosku orang yang masih bisa dibilang muda, berkarisma, tegap dan dia pantas dibilang bos seperti umumnya. Hanya saja perawakannya memang sedikit terlihat angkuh dan berhati keras. Itu segelintir pendapatku tentangnya. Selebihnya hanya dia dan Tuhan Yang Tahu bagaimana dia menjalani hidup ini.

"Kamu pegawai baru?" tanya bos besar.

Tatapannya seolah mengintimidiasiku. Aku lupa tadi namanya. Padahal bubuhan tanda tangan di kertas laporan tertulis nama lengkapnya. Sayangnya aku lupa. Saat kulirik nama lengkap di atas mejanya, aku baru tahu, namanya Lewis Dean. Nama barat kataku. Mungkin karena sekilas aku lihat sepertinya dia indo keturunan. Entahlah itu tak penting karena sekarang aku di depannya dengan menyerahkan berkas yang kugarap tadi dan dia memeriksanya. Melihat tatapannya pada setiap kertas laporan yang kukerjakan tadi membuatku bergidik. Sepertinya dia juga manusia teliti dan tidak sembarangan menilai. Aku menarik napas panjang dan berdoa dalam hati. Aku masih baru dan masa percobaan kerja di sini. Semoga tidak nampak banyak kesalahanku dalam menggarap laporan itu. Apalagi membayangkan perempuan yang menangis keluar dari ruangan ini. Sepertinya aku tidak akan menangis, tapi langsung pingsan. Kuakui mentalku masih mental keripik setelah lama tak bercengkrama dengan dunia luar.

Pak Lewis melemparkan ke mejanya laporan yang sudah dibaca. Dan itu membuatku terkejut. Aku yakin dia bisa menangkap ekspresi keterkejutan itu dan dia malah menampilkan senyum sunggingnya.

"Laporan kamu lumayan bagus. Padahal masih baru di sini. Oke, lanjutkan. Kerjakan laporan penjualan bulan ini. Aku pengen tahu soal perkembangan kurs penjualan produk kita."

"Baik, Pak."

Setelah pamit pergi, aku melangkah ke luar ruangan. Wanita yang tadi menangis sepertinya balik masuk ke dalam ruangan bos. Tanpa kusadari, alisku bertautan penuh pertanyaan. Setengah penasaran juga. Bukannya kalau sudah disakiti tak akan balik lagi. Lah, perempuan ini? Aku menggeleng kepala pelan. Kenapa pikiranku jadi memikirkan wanita itu? Pasti efek pelarian. Pelarian tak ingin memikirkan masalah pribadiku.

"Hai Mbar, ngelamun lagi," oceh Andi lagi saat kami berpapasan menuju ruang kerja.

"Itu, ada yang nangis," tunjukku.

Andi berhenti dan melihat ke arah yang kutunjukkan. Tepatnya ke ruangan pak bos.

"Oohh itu cewek yang tadi. Dia itu tunangannya pak bosy. Namanya Miranda."

Aku melongo. Bagaimana bisa tunangan Pak Lewis harus menangis seperti itu.

"Emang dia punya hobi nangis?"

"Tepatnya sering nangis."

"Kenapa?"

"Pak bosy tunangannya sama anak paud."

"Ha?"

Andi terkekeh geli mungkin karena melihat ekspresi kagetku. Jelas saja aku terkejut, perempuan kutilang; kurus, tinggi, langsing begitu masih paud. Ada-ada saja si Andi.

"Yee, itu cewek mana enak diajak jalan. Dikit-dikit nangis. Katanya sih kena bentak pak bosy tadi."

Aku semakin melongo mendengar ucapan Andi. Bukan karena objek yang ia bahas, tapi melihat subjek yang membahas yaitu Andi sendiri. Memangnya ada laki-laki bermulut perempuan seperti ini? Dalam hati aku terkekeh geli. Aku bukanlah manusia gua yang baru keluar dari peraduan. Beberapa tahun lalu aku sempat mengenyam pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Bermacam-macam bentuk dan sifat makhluk yang namanya manusia aku temui. Namun baru kali ini aku merasa asing dan menemukan sesuatu yang baru lagi. Yaitu pelajaran tentang sifat manusia. Aku terlalu berlebihan. Maklum, terlalu lama berada di istana Akbar. Laki-laki itu lagi yang aku ingat. Dia bukan siapa-siapaku lagi. Mengingat itu, hatiku meringis bingung. Aku ..., yang masih setia merindukannya.

"Ambar."

Seseorang memanggilku. Saat aku menoleh, dia pak bosy. Sekarang bolehlah aku meniru kealayan Andi memanggil Pak Lewis dengan sebutan pak bosy. Lebih mudah mengingatnya.

"Iya, Pak?"

"Sekarang kamu ke ruanganku."

Dengan memasukkan tangan ke saku, pak bosy melangkah santai masuk ke ruangannya. Jangan lupakan perempuan yang menangis tadi, Miranda. Matanya nampak sembab dengan tisu yang ia genggam di tangan.

Tanpa mempedulikan Miranda, pak bosy melangkah menuju kursinya. Aku melihat sebentar pada Miranda dan kemudian duduk di depan pak bosy.

"Ada apa, Pak?"

"Bisa tolong terapikan perempuan di sofa itu?" tunjuk si bosy pada Miranda.

Tunggu. Bolehkah aku bernapas sejenak. Mengapa seharian ini aku bertemu dengan koloni orang-orang aneh? Bertemu Andi yang aneh. Pak bosy yang aneh bersama tunangannya. Aku memijit pelipisku pelan. Seandainya hari ini dijadikan sebuah cerita cerpen, mungkin akan menjadi cerita yang absurd dan aneh.

"Maksudnya terapi gimana, Pak?" tanyaku hati-hati.

"Miranda! Kamu lihat wanita di depanku ini. Apa setiap wanita yang ada di depanku akan menarik hati? Gitu maksud kamu?"

Sebentar, ucapan pak bosy membuatku semakin darah rendah karena banyak berpikir. Maksudnya apalagi? Aku diam menunggu reaksi Miranda.

"Dean! Kamu gak ngerti rasanya jadi cewek. Cewek ini tu beda sama si Rina itu. Jelas-jelas si Rina naksir kamu, deketin dan ngerayu kamu. Dan yang bikin aku sakit ati, kamu malah bela dia timbang aku!"

Apa aku sedang menonton drama korea di sini? Aku pegawai baru, tapi dengan mudahnya mereka mengeluarkan unek-uneknya di depanku. Dan si bosy, hanya perlu memanggilku dengan niat menjadikanku model. Tepatnya model calon pelakor. Na'udzubillah.

Duniaku seolah bergeser 180°. Entah kelucuan apa yang mereka buat. Membuatku menjadikan ini sebagai hiburan dari si bosy.

Akbar. Bagaimana kabarmu sekarang? Lihatlah! Aku juga bisa bahagia tanpamu. Seolah Tuhan pun ingin menghiburku dengan kejadian-kejadian lucu yang kulewati dalam hari-hariku.

Miranda keluar ruangan. Aku pun segera pamit karena tak ingin disebut calon pelakor selanjutnya oleh tunangan pak bosy. Miranda bukannya melangkah pergi malah di depan ruangan bosy menungguku. Aku takut dia salah paham terhadapku.

"Seandainya ada orang yang menyukai orang yang kau cinta, gimana perasaanmu?" Miranda tanpa aba-aba, langsung menyerobotiku dengan pertanyaan itu.

Aku tergagap sejenak. Namun kembali kuingat Anggrek. Wanita yang sudah menjadi bunga bangkai dalam hubungan harmonisku.

"Selama orang yang kau cintai itu masih menjaga hati dan cintanya untukmu, tanpa mempedulikan orang yang menyukainya, kurasa semua baik-baik saja."

"Tapi gimana kalo orang itu berusaha keras mengambil orang kau cintai?"

Wanita tunangan si bosy ini kembali mengingatkanku akan Anggrek. Usaha perempuan itu sudah berhasil memisahkanku dan Akbar.

"Berusaha mempertahankan bila mampu. Namun lihat saja hasilnya."

"Kalo dia berhasil?"

"Lepaskan saja orang yang kau cintai itu. Karena bukan hanya orang itu yang berusaha keras, tapi juga orang kau cintai tak bisa menjaga hatinya untukmu. Dia sudah tidak pantas menjadi kekasihmu. Karena yang pantas adalah orang yang baik. Dan ukuran dari kebaikan orang yang mencinta adalah kesetiaan."

Miranda terdiam mendengar ucapanku. Sebenarnya aku tidak berniat memberikan nasehat, aku hanya ingat akan nasibku sendiri. Setelah mengatakan itu, aku beranjak pergi dengan sisa air bening di sudut mataku.

Akbar, aku masih mengenangmu. Namun kau sudah tak pantas lagi untukku karena yang pantas bagiku hanya orang yang tulus mencintai dan menerimaku seutuhnya.

🌿🌿🌿

Author's PoV

Akbar berada di sini. Termenung menatap cincin pernikahan yang dikembalikan oleh Ambar setelah mereka resmi bercerai. Kenangan akan Ambar dan kepolosannya masih terngiang jelas. Bagaimana perhatian istri, tepatnya mantan istrinya itu. Ada rasa sesal memang. Namun saat mengingat Anggrek, ia kembali tersadar bahwa mungkin saja Anggrek-lah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya.

Mama Ira yang sudah terlanjur sayang pada Ambar hanya bisa menangis mengenang menantu, mantan menantu kesayangannya itu. Selain Ambar adalah sosok yang diam menurutnya, Ambar juga perempuan lugu dan tak banyak menuntut.

Saat Anggrek mengunjungi rumah orangtua Akbar, Mira hanya menyapanya sejenak dan setelah itu, ia tak menanggapi calon menantu barunya itu lagi.

"Mas, Tante Ira sepertinya kurang suka sama aku. Padahal dulu Tante Ira selalu muji aku. Selalu nyebut aku mantunya. Sekarang, Tante malah gitu," ucap Anggrek pada Akbar.

"Semua butuh waktu, An. Sabar ya?"

Anggrek tersenyum manis dan mengangguk. "Yang penting itu Mas Akbar. Kalo yang lain, Anggrek gak terlalu ambil pusing sih." Akbar mengusap rambut wanita di sampingnya itu penuh sayang.

Sejak memutuskan bertunangan dengan Anggrek, Akbar lebih sering pulang ke rumah orang tuanya. Mereka kini duduk di teras rumah orang tua Akbar. Akbar bahagia karena akhirnya ia bisa mendapatkan kembali cintanya yang pernah hilang itu. Masalah Ambar, mantan istrinya itu masih selalu terkenang di pelupuk mata. Kadang, ada rindu ingin bertemu sang mantan. Tapi ia menjaga perasaan Anggrek.

Anggrek adalah gadis yang Akbar sukai dari dulu. Adik dari teman masa kecilnya, Anggun. Selain karena cantik, Anggrek juga gadis yang cerdas. Banyak pemuda yang menyukainya membuat Akbar selalu dihinggapi api cemburu dan tak tenang setiap saat. Akhirnya dengan nekat, Akbar menyatakan perasaannya pada Anggrek. Perasaan Akbar tak bertepuk sebelah tangan, Anggrek menyambut perasaan sukanya itu dan mereka merajut kasih cukup lama. Namun setelah itu, Anggrek memutuskan pergi dari Akbar dengan alasan pendidikan ke negeri seberang. Hal itu sempat membuat Akbar frustasi sampai harus diopname karena jatuh sakit dan tak kunjung sembuh. Ira dan suami berpikir keras agar Akbar bisa melupakan Anggrek. Akhirnya muncul ide untuk memindahkan kuliah Akbar ke rumah saudaranya di luar kota. Ternyata ide itu sukses besar, terbukti setelah beberapa tahun kemudian, Akbar membawa calon istri bernama Ambar. Tentu saja orangtua Akbar langsung setuju dan senang. Sementara di luar sana, Anggrek menatap pernikahan mantan kekasihnya itu dengan tangisan pilu. Ia pikir, Akbar akan sudi menunggunya.

Dari balik jendela ruang tamu, Ira menatap tak suka pada pasangan yang sedang dilanda kasmaran itu. Sang suami, Hendru, hanya bisa menggeleng pelan.

"Awas aja si Anggrek nyakitin ati anak kita lagi. Mama gantung dia."

"Sudahlah, Ma. Ikhlasin aja."

"Gak bisa, Pa. Dia udah ngerusak hubungan rumah tangga Akbar sama Ambar. Perempuan macam apa itu?" teriak Mira.

Tentu saja hal itu didengar langsung oleh Akbar dan Anggrek. Anggrek langsung tertunduk. Sementara Akbar juga tak banyak komentar.

"Ma, pelan-pelan ngomongnya," ucap Hendru.

Mama Ira seolah tersadar dengan ucapan sang suami. Tak berguna juga ia berdebat, semua sudah terlanjur terjadi. Ira hanya diam.

Sementara di luar sana, Anggrek pamit pulang. Akbar langsung masuk ke rumah dan menemui kedua orang tuanya. Ia duduk di sebelah sang mama pelan-pelan.

"Ma, lain kali, belajar terima Anggrek ya?" pinta Akbar.

Ira memalingkan wajah dan mengangguk berat. "Tapi mama gak janji. Gimana pun juga, Ambar adalah menantu tersayang mama dan gak bisa digantikan dengan yang lain. Jujur, mama kangen sama Ambar." Setelah mengatakan itu, Ira masuk ke dalam kamar dan disusul Hendru.

Akbar menghela napas perlahan. Sepertinya memang ini tak mudah. Ia rela mengorbankan Ambar demi keegoisannya. Anggrek seolah poros hidup yang tak bisa dilewatkan. Namun entah mengapa, bayangan Ambar dan senyum manjanya selalu terngiang menyiksa kalbu Akbar.

Ambar, maafin mas ya, Sayang. Mas sayang kamu. Mas juga kangen sama kamu sama seperti mama. Kamu sedang apa sekarang? bisik hati Akbar.

🎑🎑🎑

Bersambung.
Situbondo, 17 Juli 2018

_______________________________________

Duhai pembaca, kalianlah yang menjadi saksi bahwa ini karyaku, Mawar Malka. Bila ada yang memplagiasi karyaku, mohon tegur dia tanpa memberitahuku, tak apa.

Biarlah kalian, lalu Allah yang menjadi saksinya😍

Continue Reading

You'll Also Like

593K 83.7K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
308K 38.7K 39
[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan...
144K 6.7K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
1.2M 55.9K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...