Unfailing (#4 MDA Series)

By ZenithaSinta

235K 20.6K 2.2K

Daisy tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah bersinggungan dengan Maxwell Maynard Addison. P... More

Baca Dulu!
Prolog
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Minta Pendapat
Chapter 33
Minta Pendapat (2)
Chapter 34
Pengumuman Open Pre Order
Chapter 35 (END) - 1
Diskon Besar-besaran!!!

Chapter 09

5.4K 443 21
By ZenithaSinta

Cerita ini hanya dipublikasikan di Wattpad!

Selamat membaca, pembaca setiaku yang manis :*

---

Rencana berlibur atau setidaknya menikmati hari bebas di Hanauma Bay atau objek wisata menarik lainnya ternyata berakhir sebagai wacana saja. Alasannya karena Lily harus kembali ke London sesegera mungkin. Mengingat pemberitaan mengenai kondisi ayah Lily yang harus mendapat perawatan. Sebenarnya Lily sudah memaksa Daisy untuk melanjutkan liburannya, namun tentu saja ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Daisy mana mungkin berlibur hanya dengan seorang diri? Jika begitu di mana letak keseruannya?

Maka dari itu, di sinilah Daisy sekarang. Menikmati hari santainya dengan mengecat kuku cantiknya dengan warna nude. Dia bisa saja pergi ke salon atau tempat kecantikan langganannya. Hanya saja untuk hari ini Daisy terlalu malas keluar dari apartemen pribadinya. Rambut panjangnya ia gelung ke atas hingga menyisakan anak rambut yang membuatnya terlihat lebih manis daripada biasanya. Memakai kaos longgar yang cukup menutupi setengah paha. Hanya memakai celana dalam tanpa berniat menggunakan hot pants atau semacamnya.

Berpenampilan "berantakan" dan terbuka memang menjadi kebiasaan Daisy ketika tidak ada orang lain di apartemen pribadinya. Lagi pula hari ini dia tidak memiliki agenda temu dengan orang lain. Lily masih sibuk dengan urusan keluarganya dan ketiga sahabatnya sudah tentu memiliki kesibukan masing-masing. Lalu Billy? Ah ... rasanya Daisy merindukan kekasihnya itu. Pasalnya sudah hampir sebulan Billy tidak menghubunginya sedikit pun dan Daisy memang tidak pernah mencari tahu. Gadis itu berpikir bahwa kemungkinan hilangnya Billy karena kesibukan pria itu yang kini mulai bekerja sebagai manajer HRD di perusahaan milik keluarga.

Mungkin orang lain menganggap hubungan antara Daisy dan Billy bukan hubungan kekasih yang baik. Atau hubungan yang datar-datar saja tanpa ada gairah atau kemesraan di dalamnya. Tapi Daisy dan Billy jelas tahu tentang alasan mengapa hubungan mereka dapat dinilai sebagai hubungan yang "jalan di tempat" tanpa ada kemajuan berarti. Alasan di mana hanya Billy seorang yang tahu dan Daisy jelas menghargai keteguhan pria itu dalam menjaga rahasianya. Sikap menghargai hingga memunculkan kecintaan Daisy terhadap Billy.

Billy Joslin. Orang lain menilai pria itu sebagai pria yang memiliki reputasi buruk di kampus. Arogan, mau menang sendiri, sok diktator, namun semua sikap tersebut sirna di hadapan Daisy. Pria itu berubah menjadi pria terbaik bagi Daisy. Pria yang selalu berlaku sebagai sosok pelindung juga pengobat dirinya akan sesuatu. Pendeknya, hubungan mereka merupakan hubungan saling menguntungkan. Muncul untuk saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Daisy juga memastikan jika Billy akan segera menyetujui niatnya untuk menjerat si sulung Addison. Setidaknya untuk kebaikan bersama.

Berbicara kembali tentang kegiatan Daisy, gadis itu sudah menyelesaikannya. Mata birunya kembali awas untuk meneliti seberapa bagus hasil mengecat kuku-kuku cantiknya itu. Ternyata hasilnya lumayan bagus mengingat Daisy tipe orang yang sedikit ceroboh. Hanya tinggal menunggu waktu hingga catnya mengering dan karena itulah Daisy kembali merentangkan kedua tangan bermaksud merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa kaku.

Selanjutnya, sembari menunggu cat kukunya mengering, Daisy menghidupkan televisi dengan remote yang ada di atas meja. Dengan hati-hati gadis itu menekan tombol hingga televisi menampilkan sebuah berita yang membuat Daisy menyesal karena telah menyalakan televisinya.

Pertunangan Aktris Cantik Elma Cornelia dengan Rex Francesco.

Setidaknya kalimat itulah yang menjadi topik pemberitaan hingga membuat Daisy cepat-cepat kembali mematikan saluran televisinya. Dia mengerucutkan bibir tanda suasana hatinya memburuk. Tahu betul tentang siapa yang menjadi topik pemberitaan kali ini. Elma Cornelia -saudara tiri Daisy- dengan Rex Francesco. Pria yang merupakan cinta pertama dari seorang Daisy Tertia Camilla.

Bukan karena Daisy tidak menyukai atau bahkan membenci Elma atau Rex. Tidak ada alasan bagi Daisy untuk tidak menyukai keduanya karena baik Elma maupun Rex bersikap baik dan penuh perhatian pada dirinya. Hanya saja Daisy tidak ingin ingatannya kembali mengembara untuk kemudian berhenti pada pengalaman pahitnya. Mungkin tidak cocok disebut sebagai pengalaman pahit, karena faktanya sampai detik ini pengalaman tersebut terus berulang, seolah menjadi takdir yang melekat erat pada dirinya. Entah sampai kapan.

Lamunan Daisy berlangsung hingga sadar sendiri seberapa lama ia melamun. Dilihatnya kembali kuku-kuku cantiknya dan tersenyum karena telah mengering. Selanjutnya dia bangkit menuju dapur. Bermaksud membuat teh hijau tanpa gula guna menjernihkan pikirannya yang mulai berkabut.

Daisy berpikir bahwa menit berikutnya akan menjadi menit-menit yang membosankan karena tidak ada agenda apa pun hari ini. Kemungkinan besar dia akan menghabiskan waktu luangnya untuk menonton film, bersantai, dan makan. Beruntunglah dia yang makan sebanyak apa pun tidak akan memengaruhi bobot tubuhnya. Dia dianugerahkan tubuh langsing ideal yang tentu saja ia manfaatkan sebaik-baiknya. Seperti saat ini di mana jemarinya dengan lincah mengirim pesan pada restoran langganannya untuk mengirim beberapa menu makanan yang sudah ia tentukan sebelumnya.

Tepat setelah ia menekan tombol kirim, bel pintu apartemennya berbunyi. Menandakan seseorang sedang berkunjung ke apartemennya. Daisy berpikir bahwa yang datang kemungkinan salah satu sahabatnya karena hanya orang tertentulah yang memang tahu alamat apartemen pribadinya itu. Maka tanpa berpikir panjang sembari memegang segelas teh hijau, Daisy membuka pintu apartemen. Lalu detik berikutnya, Daisy terbelalak dengan gelas yang nyaris jatuh ke lantai. Namun dengan gerak gesit orang yang berada di hadapannya menangkap gelas tersebut.

Melihat kegesitan orang tersebut, bertambah pula keterkejutan Daisy. Matanya masih saja terbelalak dengan mulut menganga. Gadis itu tidak pernah bermimpi sedikit pun jika seorang Maxwell Maynard Addison menjadi salah satu orang yang berkunjung ke apartemen pribadinya. Menjadi tamunya!

"Mau sampai kapan kau membiarkanku di luar pintu apartemen ini?" adalah kalimat pertama Max yang mana terpaksa pria itu lontarkan karena Daisy belum bisa menguasai keterkejutannya.

Mendengar kalimat Max, lekas-lekas Daisy menguasai diri. Lebih didongakkan wajahnya yang mana tingginya hanya sebatas leher Max. Mengingat Daisy saat ini hanya menggunakan sandal tanpa memiliki hak sedikit pun. Dilihatnya Max mengangkat alis seolah menantang Daisy tentang apa yang dilakukan gadis itu selanjutnya. Ya Daisy selalu nyaris tidak bisa mengendalikan diri jika berhadapan langsung dengan Max.

"Kau benar-benar Mr. Maxwell?"

Pertanyaan konyol yang membuat Max diam-diam tersenyum karena tingkah bodoh Daisy. Tapi tetap saja hal itu tidak diperlihatkan karena ekspresinya masihlah sama.

"Oke, berarti kau memang dia." Pada akhirnya Daisy mengambil simpulan sendiri hingga lupa batas kesopanan yang mengharuskan ia sedikit saja memperlihatkan rasa segan dan hormat. Bahkan rupanya Daisy juga lupa untuk selalu tampil sempurna guna memuluskan segala rencana dalam menjerat pria itu.

Max sendiri tentunya tidak mempermasalahkan sikap Daisy karena pada dasarnya dia memang sudah muak dalam segala bentuk kesopanan. Terlebih untuk hari ini di mana ia merasa lelah karena sesampainya di London, dia harus menyampaikan sesuatu pada Daisy. Walau pada dasarnya dia harus mati-matian menahan sesuatu dalam dirinya.

Netra hazelnya tanpa ragu mengamati seluruh penampilan Daisy dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pria itu yakin bahwa yang bersangkutan tidak menyadari karena kemungkinan besar Daisy belum sadar sepenuhnya. Gadis itu memakai kaos besar berwarna putih hingga memperlihatkan tulang selangka dengan tali bra berwarna hitam. Kaosnya terlihat cukup tipis karenanya jelas juga mencetak celana dalam yang juga berwarna hitam. Membuat tangan Max gatal ingin merobek guna memuaskan pandangannya terhadap tubuh gadis itu. Jangan diragukan pula tentang hasrat yang ia pendam menjadi membumbung tinggi karena melihat keseluruhan penampilan Daisy hari ini.

Wajah gadis itu bersih dari riasan bahkan juga dari polesan lipstik. Rambutnya digelung tinggi menyisakan anak rambut hingga terkesan begitu manis. Dari sana kecantikan alami Daisy semakin terlihat. Mata birunya masih mampu menenggelamkan Max. Seolah membawa pria itu tenggelam di samudera terdalam. Bibirnya merah muda alami seakan mengundang Max untuk mendaratkan ciuman tanpa jeda. Pendeknya, Max menyukai penampilan Daisy hari ini. Namun tetap, mana mungkin Max menyuarakan pemikirannya apalagi mengungkapkan secara gamblang betapa cantiknya gadis itu.

"Hm ... silakan masuk, Sir!" Ucap Daisy seraya mengambil gelas yang sedari tadi dipegang Max dengan bahasa tubuh yang salah tingkah. Selanjutnya memberi jalan agar pria itu dapat masuk ke apartemennya.

Max sendiri, tanpa disuruh dua kali segera melangkah masuk. Matanya mengamati keseluruhan apartemen Daisy. Rapi dan tentu saja seluruhnya mengindentikkan bahwa penghuninya adalah seorang perempuan. Walau Max tahu detail pembangunan apartemen Daisy -karena apartemennya bagian dari aset properti Addison Group- tapi tetap saja akan berbeda jika sudah berpenghuni. Untuk alasan yang tetap itulah, Max begitu mudah menemukan keberadaan gadis itu.

"Silakan duduk! Aku akan mengganti pakaian terlebih dahulu." Ucap Daisy setelah sadar bahwa pakaiannya tidak pantas dilihat. Apalagi tepat di depan Max. Tentu saja membuat wajahnya merona merah karena tidak ingin dinilai sebagai wanita murahan. Tapi tidak mungkin Max berpikir begitu bukan? Lagi pula pria itu datang sendiri dalam keadaan Daisy yang berantakan. Lain persoalan jika Daisy yang mengundang pria itu datang ke apartemen lalu menyambut Max dengan penampilannya seperti sekarang.

"Ya" tidak ada yang dilakukan Max selain mengiyakan. Mustahil baginya langsung memperlihatkan taringnya di depan Daisy. Pria itu yakin bahwa Daisy masih belum tahu menahu tentang "sisi gelap" Max hingga masih berani menunjukkan senyum tanpa ada ketakutan sedikit pun.

Max tidak peduli Daisy akan mengganti pakaian yang seperti apa. Terpenting dia berharap penampilan Daisy lebih baik dari sebelumnya. Maksudnya tidak mengundang atau memunculkan sesuatu dalam diri pria itu. Sembari menunggu Daisy, mata hazelnya mengamati penataan ruang gadis itu. Sebagai model papan atas tidak diragukan jika semuanya terlihat mewah dan berkelas. Namun ada sesuatu yang Max rasakan yaitu adanya kenyaman di dalam diri ketika duduk bersantai di ruang tamu seperti saat ini.

Mata Max berhenti pada foto yang terpajang di setiap dinding apartemen. Banyak foto di sana. Sebagian foto Daisy dalam berbagai pose. Semuanya terlihat cantik dan menawan. Dari sekian banyak foto, mata Max tertahan pada sebuah foto hitam putih. Di sana Daisy berdiri membelakangi kamera dengan wajah menengok ke belakang. Sedang tangannya terlihat menahan kain menutupi punggung yang terlihat tidak mengenakan apa-apa. Pendeknya, Max sangat menyukai foto itu. Foto yang mengingatkannya pada foto ibunya yang terpajang di kamar pribadi orangtuanya.

Mata biru Daisy memberikan intuisi tersendiri bagi Max. Seolah dengan selalu berada di sisi gadis itu, memberikan semacam keyakinan bahwa pria itu akan selalu memperoleh apa yang diinginkannya. Mata biru yang sewarna namun tak serupa dengan ibu tercinta dari seorang Maxwell Maynard Addison. Jika mata ibunya selalu meneduhkan, lain lagi dengan mata biru milik Daisy. Ada sesuatu yang membuat orang lain berlama-lama ingin selalu menatap. Atau hal itu berlaku bagi Max saja? Ah ... entahlah.

"Kau berniat untuk selalu berdiri seperti itu seharian ini?" tiba-tiba Max melontarkan pertanyaan hingga mengejutkan Daisy yang memang beberapa menit lalu telah selesai mengganti pakaiannya.

Max tahu Daisy bingung akan kunjungannya yang tiba-tiba ke apartemen gadis itu. Walau demikian tidak ada keberanian bagi Daisy untuk menyuarakan pertanyaannya hingga memilih berdiri seperti orang bodoh di belakang Max. Max jelas tahu keberadaan gadis itu karena aroma lembut Daisy selalu tertangkap indra penciumannya.

"Sir,"

"Cukup Max saja!" Max memotong ucapan Daisy.

Daisy yang mendengarnya segera mengangguk. Dia melangkah lebih dekat ke arah Max untuk kemudian mengambil posisi duduk di depan pria itu. Kegugupan Daisy kembali nampak jelas. Hal itu terlihat dari gerak tangan serta tatapan meragu ke arah Max. Padahal gadis itu sudah menunjukkan bahasa tubuh senatural mungkin sembari menyamankan posisi duduknya dengan punggung tegak dan kaki bersilang.

Setidaknya, beruntunglah Max karena saat ini Daisy menggunakan gaun bermotif floral dengan panjang selutut. Sehingga tidak terlalu sulit bagi pria itu dalam mengendalikan diri untuk tidak "menyerang" Daisy.

"Aku ke sini untuk memberikan ini padamu." Ucap Max seraya menunjukkan dua paper bag berukuran sedang yang sudah terletak rapi di atas meja. Pria itu jelas acuh tak acuh pada kegugupan atau sikap salah tingkah Daisy.

"Apa itu?"

"Kau bisa langsung melihatnya."

Daisy jelas mengutuk Max dalam hati. Mengakui benar bahwa pria di depannya itu terlahir sebagai spesies menyebalkan tingkat akut. Jika Daisy tidak memiliki tujuan tertentu, sudah tentu dia akan memilih kandidat terbaik lainnya. Sayangnya, kandidat terbaik dari yang paling baik jatuh pada Maxwell Maynard Addison hingga tidak ada yang Daisy lakukan selain berusaha lebih baik lagi guna mendapat perhatian dari sang adam.

Selanjutnya Daisy membawa paper bag yang dibawa Max ke pangkuannya. Membuka salah satu dan menemukan dua set perhiasan. Daisy jelas takjub melihatnya karena salah satu set perhiasan tersebut adalah perhiasan yang pernah dipakainya di Munich beberapa bulan lalu. Ingatkan Daisy untuk tidak berteriak senang sekarang juga. Gadis itu jelas jatuh cinta pada perhiasan yang pernah dipakainya itu. Desainnya terlihat indah dan memesona hingga menghipnotis setiap mata yang melihatnya. Bahkan Daisy merasa bahwa ia adalah gadis paling beruntung ketika perhiasan itu dipakai olehnya untuk pertama kali.

Ah ... Daisy ingin melompat saking senangnya jika tidak ingat ada seseorang yang dengan tenang selalu mengawasi perubahan gerak maupun ekspresi wajahnya.

"Hadiah dari Nicholas dan Yasmine. Kau tidak menemuinya lagi setelah pesta itu." Max memberitahu dengan tatapan yang tidak pernah meninggalkan Daisy barang sedikit. Sedang yang ditatap menjadi salah tingkah atau lebih tepatnya merasa bersalah karena lupa tidak kembali menemui Jenna, adik Max.

"Aku memiliki urusan sampai lupa menemui Yasmine" terangnya dengan wajah bersalah.

"Aku tidak begitu menyukai orang yang mengingkari janjinya sendiri dan alasannya hanya karena lupa."

Kalimat Max membuat Daisy merasa malu. Rupanya Max tipe pria yang suka berbicara gamblang tanpa peduli perasaan orang lain. Seperti saat ini di mana seolah Max memberi sebuah ultimatum bahwa Daisy memang tidaklah menarik baginya. Berpikir begitu tentu memunculkan tekad untuk membuat pria itu -walau bagaimana pun caranya- harus tunduk di bawah kendalinya.

Daisy jelas tidak menanggapi perkataan Max. Gadis itu lebih memilih untuk kembali membuka kotak perhiasan satunya dan menemukan perhiasan yang sama indahnya. Semuanya terlihat mewah dan tentu saja dengan harga fantastis. Tapi Daisy mencoba tidak peduli dengan harga karena bagi keluarga Rodney mengeluarkan uang untuk hadiah bukanlah suatu masalah.

"Dua-duanya dari Nicholas dan Yasmine?" tanya Daisy dengan nada ragu. Dia menatap Max dengan pandangan penuh tanya. Sedang yang mendapat pertanyaan tidak menjawab. Pria itu lebih memilih untuk mengangkat bahu dan Daisy jelas mengartikan bahasa tubuh Max itu mengartikan kata "iya."

"Sampaikan rasa terima kasihku pada Nicholas dan Yasmine jika begitu."

"Aku bukan penyampai pesan. Kau bisa melakukannya sendiri."

Max tidak tahu tentang dirinya yang tiba-tiba menjadi banyak bicara. Ada keinginan dalam diri untuk selalu mendebat apa pun yang diucapkan Daisy. Seolah bibirnya bergerak sendiri dan menjelma menjadi pria menyebalkan di mata gadis itu.

"Oh" tidak ada kata yang tepat bagi Daisy selain ber-o-ria. Dia segera mengalihkan perhatiannya pada paper bag lainnya. Membuka dan menemukan satu kotak aksesori salah satunya bross dengan desain bunga daisy. Semuanya terlihat cantik. Memanjakan mata hingga Daisy tidak percaya akan kenyataan yang kini dihadapinya.

Sebenarnya Daisy mampu membeli semua barang yang saat ini ada di genggamannya. Tapi tentu saja semuanya serba menyenangkan jika kau mendapat semuanya tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Ditambah barang yang kau dapatkan dengan mudah adalah hadiah dari orang yang selama ini kau anggap termasuk dalam jajaran orang penting.

Daisy kembali melihat ke dalam paper bag dan menemukan sebuah surat di sana. Diambilnya surat itu dan mulai dibacanya.

Senang bertemu denganmu, Daisy. Sampai jumpa di lain waktu!

Yasmine Rodney

Daisy jelas tersenyum membaca tulisan tangan Jenna. Ada ketulusan di setiap kata-katanya dan jelas itu membuat Daisy terharu. Jarang ada orang yang benar-benar terbuka menunjukkan rasa suka padanya. Terlebih orang itu adalah wanita hebat macam Jenna. Wanita baik dan ramah yang membuat bos besarnya tidak akan bisa berpaling dari segala pesona dari istrinya itu. Jenna adalah wanita penuh kejutan. Wanita pintar yang tidak diragukan kemampuannya dalam bidang apa pun. Tidak seperti Daisy yang membaca buku saja butuh berjam-jam hanya untuk sekedar mengumpulkan niat.

Daisy tenggelam pada pikirannya hingga lupa ada tamu yang seharusnya ia layani. Tapi tamu itu hanya diam. Lebih tepatnya terpana melihat semua ekspresi alami yang ditunjukkan Daisy. Max melihat semuanya dari bibir yang masih tidak terpoles lipstik itu tersenyum sampai mata birunya yang mengartikan suatu keterharuan. Daisy begitu cantik, menawan, anggun, namun rapuh secara bersamaan. Membuat kedua tangan Max mengepal hingga memutih. Pria itu harus bersikeras agar tangannya tidak menarik Daisy ke dalam pelukan dan mulai menjadi penghibur.

Lalu pada akhirnya Max memilih berdehem seolah membersihkan tenggorokannya yang terasa gatal guna memecah keheningan di antara mereka. Daisy jelas gelagapan dan semakin terlihat salah tingkah. Dia sudah mengabaikan tamunya.

"Maaf. Aku tidak bisa mengendalikan kegembiraanku menerima seluruh kebaikan Yasmine dan Nicholas." Daisy menjelaskan dengan wajah memerah karena malu telah bersikap tidak sopan.

"Ya Tuhan!" Daisy kembali berseru membuat Max mau tidak mau menunjukkan ekspresi bingung. "Aku belum menawarkanmu sesuatu. Katakan padaku jenis minuman apa yang kau inginkan biar aku mengambilnya untukmu." Kalimat itu diucapkan dengan satu tarikan nafas. Mata birunya menunjukkan rasa bersalah hingga Daisy bersumpah telah mendengar dengusan dari Max.

"Tidak perlu. Aku akan pulang." Tanpa mau menunggu respon Daisy, Max pun beranjak dari duduknya. Mulai melangkah ke arah pintu.

Melihat reaksi Max, jelas saja Daisy berpikir bahwa pria itu telah dibuatnya tersinggung karena telah diabaikannya. Lalu mana mungkin dia membiarkan Max pergi dengan membawa penilaian buruk terhadapnya? Memikirkan itu tentu membuat Daisy mau tidak mau sedikit berlari lalu menghadang langkah Max sembari merentangkan kedua tangan tepat di depan pria itu. Ya, faktanya Daisy berubah kekanakan dengan menanggalkan seluruh sikap angkuh juga anggunnya selama ini.

"Kau pasti tersinggung karena aku telah mengabaikanmu" Daisy berbicara dengan wajah mendongak menatap langsung ke mata Max. "Tapi sungguh! Aku benar-benar tidak bermaksud seperti itu."

"Lupakan, Tertia! Aku hanya ingin pulang" hingga aku lebih bisa mengendalikan diri untuk tidak menyentuhmu!

Max mana mungkin tersinggung dengan sikap Daisy. Bahkan ada kepuasan tersendiri setelah melihat setiap gerak dan ekspresi gadis itu. Tindakan yang pada awalnya hanya ingin memenuhi permintaan adik bungsunya tentang reaksi Daisy. Sampai di detik Max tidak ingin berlama-lama karena akan berakhir menindih gadis itu untuk diciumnya habis-habisan.

"Aku harus pulang" putus Max dengan nada tegas tak terbantahkan dan sialnya apa yang terdapat di dalam pikiran seorang Daisy Tertia Camilla? Gadis itu justru memberanikan diri untuk memegang lengan Max.

Walau lengannya terbungkus dengan kemeja juga jas yang masih melekat erat di tubuhnya, tetap saja membuat Max menegang. Dia tidak pernah berpikir bahwa Daisy bertindak di batas kesopanan dengan menyentuhnya seperti saat ini. Lalu akankah Max membiarkan gadis itu bertindak lebih? Jelas tidak karena Max segera menyentakkan lengannya agar terlepas dari tangan Daisy. Secepatnya Max harus pergi dari apartemen Daisy. Jika tidak ... bahkan dia tidak yakin akan pengendalian dirinya yang selama ini dinilai sempurna.

Tapi tindakan yang menyentak keras tangan Daisy hingga terlepas dari lengan Max, membuat gadis itu mau tidak mau menatap nanar ke arah Max. Daisy sadar bahwa dia kembali melakukan kesalahan dengan melanggar batas kesopanan. Demi Tuhan! Bagaimana Daisy lupa bahwa di antara dirinya dengan Max tidak memiliki hubungan apa-apa. Hubungan sebagai teman pun tidak. Memikirkan hal itu membuat Daisy membeku di tempat. Dia tidak bermaksud untuk bertindak sebagai seorang kekasih yang tidak ingin kekasihnya pergi. Daisy bersumpah bahwa itu adalah gerak reflek ketika merasa sangat bersalah dan mau orang lain memaafkan kesalahannya.

"Aku ..." bahkan Daisy tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Lain kali ingatlah batas kesopananmu, Nona!" ucapan Max jelas merupakan suatu peringatan. Bahkan pria itu mengucapkannya dengan nada kaku dan tentu saja tidak ada panggilan "Tertia" seperti yang sudah-sudah.

Daisy? Tidak ada yang dilakukan gadis itu selain berdiri dengan wajah pucat. Dia telah melakukan kesalahan dengan bertindak bodoh hingga berakhir menjadi wanita paling buruk dan murahan di mata Max.

Maka ketika Max melangkah melewatinya, Daisy hanya mampu bergeming. Membeku di tempatnya berdiri hingga indra pendengarnya jelas menangkap bunyi pintu dibanting keras. Menunjukkan bahwa si pelaku memiliki emosi kuat yang berhubungan dengan kekesalan atau bahkan kemarahan.

---00---

Don't copy without my permission!

Continue Reading

You'll Also Like

6.1K 832 5
Mengandung konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan. Spin-off: Dikejar Om-Om! Sebagai salah satu peserta "BPJS" alias Barisan Para Jomblo Sukses...
1.7M 8K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
980K 146K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
93.3K 18.7K 29
Setelah terjebak dalam drama penculikan, hidup Kylie Montgomery yang tiba-tiba bebas menjadi seperti terkurung dalam penjara. Kakek buyutnya dengan s...