Unfailing (#4 MDA Series)

Por ZenithaSinta

236K 20.6K 2.2K

Daisy tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah bersinggungan dengan Maxwell Maynard Addison. P... Más

Baca Dulu!
Prolog
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Minta Pendapat
Chapter 33
Minta Pendapat (2)
Chapter 34
Pengumuman Open Pre Order
Chapter 35 (END) - 1
Diskon Besar-besaran!!!

Chapter 03

7.4K 493 27
Por ZenithaSinta

Cerita ini hanya dipublikasikan di Wattpad!

Selamat membaca pembaca setiaku yang manis!

---

"Aku masih belum membutuhkannya" Daisy berseru dengan ekspresi kesal sembari melihat ketiga sahabatnya bergantian. Bibirnya mencebik seraya menepis kasar bungkusan foil yang baru saja disodorkan oleh Gwen.

Cukup lama Daisy menatap Gwenda Tricia, salah satu sahabatnya yang terkenal murah hati. Begitu murah hatinya hingga memberikannya "pengaman" tanpa merasa bersalah sama sekali. Kemurahan hatinya membuat Gwen tidak ragu jika dirinya akan dengan senang hati membagi-bagikan salah satu benda favoritnya itu pada orang lain.

"Oh, ayolah. Ini Hari Kasih Sayang, Daisy" seruan dari arah samping mampu membuat Daisy berpaling dari Gwen untuk kemudian memandang Emily Jeslyn. Sahabatnya yang terkenal cantik dan sedikit angkuh. Keangkuhan yang mana katanya dia berhak untuk memilikinya.

"Kau membutuhkannya malam ini karena sudah waktunya untukmu dan Billy melakukannya, Sayang."

Lanjutan perkataan dari Emily sudah membuktikan bahwa sahabat Daisy satu itu terlalu terbuka dalam segala hal. Termasuk berkata lancar tanpa malu jika mengenai hal yang berbau "ranjang". Ditambah hubungan jarak jauh yang dijalani Emily dengan seorang dokter spesialis mata yang tampan dan seksi bernama Diaz Andres Camilo. Pria yang berhasil menjatuhkan ego seorang Emily benar-benar dianggap luar biasa. Terlebih lagi mampu membuat sahabatnya itu bertekuk lutut karena cinta.

"Kau juga harus tahu, Daisy. Hari ini Diaz menunda kesibukannya untuk terbang kemari. Setidaknya kita berdua sudah berniat untuk menghabiskan malam dengan aktivitas panas penuh gairah."

Daisy hanya bisa menahan nafas setiap mendengar lontaran kata dari Emily. Daisy tidak habis pikir di mana pikiran Emily ketika berbicara panjang lebar tanpa adanya rasa malu. Oke ... mungkin bagi sebagian besar orang menganggap bahwa hal itu adalah wajar. Mengingat usia mereka sudah sepantasnya berpikir tentang hal itu. Tapi bagi Daisy? Rasanya sulit untuk membayangkan, apalagi diucapkan secara lantang di depan banyak orang. Seperti saat ini. Tepatnya, di kafetaria kampus yang mana banyak mahasiswa menghabiskan waktu jeda untuk bersantai ria.

"Oh, tidak hanya kau, Emily Sayang. Calvin juga meluangkan waktunya untukku malam ini. Ah ... rasanya tidak sabar menunggu untuk melakukannya." Kembali Gwen berseru seraya memejamkan mata seolah membayangkan hal yang tidak-tidak dengan kekasihnya itu. Sedang Daisy memilih untuk diam saja seraya menahan diri untuk menahan luapan emosi.

"Gwenda Tricia, please!" kini seruan dari arah samping Gwen menginterupsi perkatannya.

Ada Joanna Harriet Carrington sedang menunjukkan ekspresi jijik menatap Gwen hingga memunculkan senyum di bibir Daisy. Setidaknya masih ada sahabat yang sepemikiran dengan Daisy.

"Kau baru sehari tidak melakukannya dengan Calvin. Kau tahu kenapa aku tahu tentang hal ini? Karena setiap melakukannya, kalian membuat suara keras tanpa berpikir bahwa ada orang lain yang akan mendengarnya. Suara erangan kalian berdua seperti dua ekor kucing dalam masa kawin."

Selanjutnya bukan hanya Daisy yang tertawa tetapi juga Emily. Keduanya tertawa keras hingga membuat beberapa pasang kepala menengok ke arah meja mereka berempat. Tentunya, tidak ada yang berani menengur atau bahkan mendesis sedikit pun. Pasalnya, Daisy, Emily, Joanna, dan Gwen adalah kumpulan wanita terkenal dengan kecantikan dan segudang bakat. Tidak lupa juga bahwa mereka adalah putri dari jajaran donatur besar di kampus yang saat ini mereka tempati untuk mengejar gelar sarjana. Ya katakanlah semacam "kumpulan wanita beruntung".

"Oh, please! Suaraku dan Calvin adalah salah satu seni yang tidak akan pernah bisa tergantikan oleh siapa pun." Seperti biasa, selanjutnya perdebatan antara Gwen dan Joanna berlanjut pada sesi berikutnya.

Gwen -jenis wanita tak tahu aturan- dan Joanna -jenis wanita taat aturan- tidak akan pernah berhenti berdebat jika tidak ada sesuatu yang dapat mengalihkan perhatian keduanya. Gwen memiliki sifat yang hampir sama dengan Emily. Pemikiran keduanya tidak jauh dari hal yang berhubungan dengan ranjang, tapi untungnya juga pemuja kesetiaan. Jadi, Gwen tidak akan melakukannya jika tidak dengan Calvin. Begitu pula dengan Emily yang tidak akan melakukannya jika tidak dengan Diaz. Daisy juga berani bertaruh bahwa keduanya tidak akan pernah ragu mengatakan "ya" jika masing-masing dari pria mereka berlutut dengan menawarkan sebuah komitmen. Pernikahan, misalnya.

"Kau yakin tidak mau?" pertanyaan lengkap dengan colekan dari Emily membuat Daisy tersentak dari lamunan. Daisy menengok ke arah Emily dan segera melotot ketika melihat tangan sahabatnya itu menyodorkan bungkusan foil, seperti yang Gwen lakukan beberapa menit lalu.

"Belum" jawab Daisy diplomatis seraya menggeleng kuat. Apa-apaan Emily? Apa dia ingin membuat Daisy jantungan karena takut orang-orang bisa saja tahu bahwa Daisy masih perawan? Oh, yang benar saja!

"Hei! Santai, Sayang" Emily kembali bergumam. "Pada awalnya memang menyakitkan. Tapi lama-kelamaan kau akan menikmatinya. Sungguh!" seolah ia bekerja dengan tugas promosi dan sejenisnya.

Sedang jelas apa pun yang dilakukan Emily tidak akan pernah berhasil terhadap Daisy. Daisy sendiri tidak tahu kenapa ada ketakutan terdalam jika menyangkut tentang hal itu. Seolah ada sesuatu yang memerangkapnya untuk tidak ingin memikirannya lebih jauh. Termasuk dengan Billy sekali pun.

"Aku tahu kau dan Billy sudah terhitung dua tahun. Tapi, jelas aku tidak percaya jika Billy sesuci itu hingga tidak pernah menyentuhmu. Aku tahu dia. Sepupu yang terkenal dengan sifat arogan dan libido tinggi. Billy Joslin ..."

"Aku membiarkannya untuk melakukan seks dengan orang lain."

"Kau ... apa?" bukan Emily saja yang berseru kaget, Gwen dan Joanna pun berhenti berdebat dan memilih untuk ikut terkejut. Reaksi ketiga sahabat Daisy sama. Seolah Daisy telah menjatuhkan bom atom di sekeliling mereka.

"Kau serius?" tanya Joanna sembari membenarkan letak kacamatanya. Mata indah di balik kacamatanya mengerjap tak percaya. Sedang Gwen terlihat menganga lebar saking terkejutnya.

Daisy mengangguk dan mereka tertawa miris.

"Demi Tuhan!" Gwen berseru, lalu sedikit membungkuk dan berbisik, "aku tidak pernah bisa mengizinkan ... oh jangankan mengizinkan, membayangkan Calvinku saja berhubungan seks dengan orang lain tidak akan pernah bisa aku lakukan. Aku mencintainya dia mencintaiku dan kita berdua memiliki hak mutlak untuk saling memiliki. Seutuhnya. Bahkan nafasku pun untuknya."

Daisy memutar bola mata mendengarkan kalimatnya yang seolah menjadi hiperbola menakutkan.

"Aku juga tidak akan pernah bisa membayangkan jika Diaz berhubungan seks dengan orang lain. Mencium orang lain saja aku cemburu setengah mati." Emily melanjutkan kalimat hiperbola Gwen. Daisy tetap saja diam dan menunggu Joanna menimpali atau setidaknya melanjutkan perkataan keduanya.

"Dengar!" seperti yang Daisy pikirkan, Joanna siap melanjutkan perkataan Gwen dan Emily. "Walau sampai detik ini aku tidak pernah jatuh cinta pada pria, aku tetap berpikir selayaknya orang normal pada umumnya bahwa aku tidak akan mungkin mau berbagi dengan wanita lain."

"Jadi, kau menilaiku abnormal?" tanya Daisy dengan nada tidak percaya. Begitulah Joanna. Sekali berkata, perkataannya membuat orang yang dituju merasa sangat tersinggung.

"Ya, setidaknya kadar kenormalanmu dipertanyakan" dengan sadis Joanna menjawab dan Daisy hanya mengerang kesal.

"Kau harus pergi ke psikolog! Setidaknya membuktikan bahwa kau tidak memiliki memori menakutkan atau semacamnya tentang hal yang berhubungan dengan seks atau segala macamnya." Gwen kembali memberikan saran andalannya.

"Tidak ada yang aku perlu cari tahu." Tetap saja Daisy berkilah sembari mengangkat bahu tanda tak acuh.

"Oh, Sayang ..." Emily berkata dengan tangan mengusap pelan bahu Daisy. "Kau memang harus pergi ke sana. Aku memiliki kenalan banyak psikolog atau jika perlu aku ..."

Ucapan Emily itu terhenti oleh isyarat tangan Daisy yang menandakan bahwa dia tidak ingin sahabatnya itu melanjutkan ucapannya.

"Tidak perlu" Daisy berucap dengan nada kesal seraya menatap tajam ke arah Emily.

"Oke, aku diam." Emily merespon seraya mengangkat kedua tangan karena ia cukup tahu batasan tentang seberapa jauh ia memberi saran pada Daisy.

"Omong-omong," Joanna berucap lirih sembari memerbaiki letak kacamatanya. Dia menatap ketiga sahabatnya bergantian. "Hari ini ada kunjungan seseorang yang banyak orang menantikannya."

Bukan tanpa tujuan Joanna memberitahukan informasi tersebut pada para sahabatnya. Dia hanya perlu mengubah topik pembicaraan agar mereka kembali pada posisi merasa "aman" tanpa mengusik tentang hal yang bersifat sangat pribadi.

"Siapa?" tanya Gwen yang selalu saja bertindak heboh jika menyangkut hal berbau teka-teki atau semacamnya.

"Seorang pengusaha muda sekaligus putra dari donatur besar kampus ini. Karena kunjungannyalah kampus memanfaatkannya untuk kuliah umum. Kalian tentu mengenalnya atau mungkin hanya sekedar tahu." Joanna menjawab yang kali ini lengkap dengan senyum lebarnya.

"Oh, aku tahu!" Emily yang sedari tadi menyimak tiba-tiba berseru. Dari ekspresinya sudah terlihat jelas jika dia begitu antusias tentang apa yang dibicarakan Joanna. Sedang Daisy juga semakin penasaran dibuatnya. Pasalnya baru kali ini ia melihat Joanna bersemangat memberikan sebuah informasi.

"Kalian pasti tahu." Emily kembali berbicara. Kali ini seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Joanna yang mana segera mendapat tawa ringan dari gadis berkacatama itu.

"Dia ... dapat dikatakan sebagai pria paling mumpuni untuk dijadikan sebagai suami idaman. Pesona, aura, uang, kepintaran, kekuasaan hampir semua dimiliki olehnya. Rasa-rasanya tidak ada yang mustahil jika ia berkehendak karena selain apa yang dimilikinya, dia juga berasal dari keluarga dengan gen terbaik." Emily menjelaskan semuanya dengan sekali tarikan nafas. Matanya bersinar riang seolah apa yang dibicarakan adalah topik yang paling ia sukai.

Daisy, Gwen, juga Joanna menjadi pendengar yang baik di mana sesekali mereka mengangguk tanda paham. Daisy sesekali mengetuk jari telunjuknya di atas meja. Bahasa tubuh yang tidak disadari oleh sahabatnya bahwa kali ini wanita itu merasa penasaran setengah mati tentang siapa yang dimaksud Emily. Tapi tentu saja Daisy bertindak seolah ia tidak merasa begitu penasaran. Sebut saja dia terlalu angkuh dalam menunjukkan sisi ekspresifnya.

"Di dunia ini memang tidak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dirinya yang bisa dikatakan begitu sulit disentuh. Kepribadiannya seolah menjadi sebuah pertanyaan karena dia begitu jarang memerlihatkan tindakannya dalam berinteraksi. Walau jiwa sosialnya tidak perlu diragukan karena hampir setiap bulan ia mengeluarkan uang dengan nominal yang tidak dapat dikatakan sedikit."

"Sepertinya kau mengenal baik tentang dirinya." Gwen angkat bicara sembari memerlihatkan keningnya yang berkerut heran.

Emily jelas saja segera tertawa seolah apa yang dikatakan Gwen baru saja adalah perkataan konyol semacam komedi yang dipentaskan. "Tentu saja. Dia termasuk bagian dari keluarga Camilo. Diaz pernah bercerita perihal dirinya. Tidak selalu tentang dirinya memang. Semuanya diceritakan sampai aku benar-benar tahu tentang kepribadian setiap anggota keluarga Camilo-Addison-Rodney-Cavan."

"Apakah dia seorang player atau mungkin mantan player?" Gwen bertanya. Dapat dikatakan dia dan Daisy tidak begitu up to date jika berkenaan tentang segala hal yang berkaitan dengan kegiatan kampus. Jika alasan Gwen karena memang tidak mau tahu, lain lagi dengan Daisy yang sibuk akan jadwal padatnya sebagai seorang model.

"Tidak. Hubungan asmaranya begitu tertutup hingga sampai detik ini ia tidak pernah terlihat menggandeng seorang wanita di depan publik. Jika pun terlihat dengan wanita, ya ... wanita itu tentu masih memiliki hubungan darah atau masih terhitung anggota dari keluarga besarnya."

"Jika begitu, aku pikir kau sedari tadi berbicara tentang Maxwell Maynard Addison." Gwen tiba-tiba berseru. Memotong penjelasan Emily yang segera melotot tak percaya mendengar tebakan dari sahabatnya itu.

"Alasannya?"

"Pendeskripsianmu terlalu detil. Aku tahu segalanya tentang keluarga Addison, Camilo, Cavan, Rodney atau hal apa pun yang menyangkut mereka. Segala kehidupan mereka bagai mimpi. Bayangkan saja, mereka dikaruniai fisik sempurna, kekuasaan, kekayaan, kepintaran, dan hal sempurna lainnya. Tapi yang paling utama adalah kepopuleran para pewaris kekayaan seperti Maxwell, Nicholas, dan Erick. Nicholas baru saja melepas masa lajangnya dengan si bungsu Addison. Erick ya ... akhir-akhir ini sudah menunjukkan bahwa ia mungkin pensiun dini menjadi seorang playboy. Hanya Maxwell yang mana kisah romantisnya begitu tertutup hingga banyak orang berpikir bahwa kemungkinan dia pecinta sesama jenis."

"Tidak mungkin" Joanna sedikit berteriak dengan raut wajah tak terima hingga mengundang ketiga sahabatnya untuk menengok ke arahnya. "Fin pernah bersumpah bahwa Max bukan tipe pria seperti itu."

"Fin siapa yang kau maksud?" Gwen bertanya dengan raut wajah penuh curiga, sedang Joanna yang mendapat tatapan penasaran dari ketiga sahabatnya menjadi gelagapan.

"Jeff Finley Addison?" Daisy yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara. Tatapannya mengarah lurus ke arah Joanna hingga memunculkan rona merah di wajah gadis itu.

Sebenarnya tidak sulit bagi Daisy menghubungkan nama keluarga yang disandang penyanyi pria yang terkenal itu dengan sosok Maxwell Maynard Addison. Sebagai seorang model di bawah kepemilikan Nicholas Sebastian Rodney, Daisy tentu mengenal benar bagaimana keluarga bos dari bosnya itu.

Pada awalnya Daisy tidak tahu bahwa Maxwell yang menjadi topik pembicaraan para sahabatnya. Setelah tebakan Gwen benar, barulah otak Daisy berputar menggali sebuah ingatan tentang seorang pria yang diam-diam ia cari tahu tentang detil kehidupannya.

"Kau ... apa? Jangan bilang selama ini kau memiliki hubungan dengan mantan penyanyi tampan itu!" Gwen berteriak memecah keramaian kafetaria kampus hingga beberapa mahasiswa menengok ke arah meja mereka.

"Tidak ada yang istimewa antara aku dan Fin. Hanya sebatas teman karena dulu pernah satu sekolah dengannya. Bahkan setiap bertemu tidak pernah lepas dari kegiatan berdebat yang tidak penting." Joanna menjelaskan sepelan mungkin. "Jadi tidak menutup kemungkinan aku selalu membanding-bandingkannya dengan Max."

"Keduanya jelas tidak dapat dibandingkan, Sayang." Emily bersuara dengan senyum lebarnya. "Semuanya memiliki ciri khas yang menjadi daya tarik sendiri. Aku pikir hubungan Max dengan adik-adiknya sangat baik. Itu terlihat dari setiap wawancaranya yang mengatakan bahwa keluarga adalah segalanya bagi pria itu. Oh jangan pernah lupa juga tentang prinsip keluarga besar mereka yang mengutamakan kepentingan keluarga di atas segalanya."

"Aku pikir tidak akan pernah bisa habis jika kita membicarakan Max dan semua keluarganya. Kita hanya perlu menghadiri kuliah umum dan tinggal melihat bagaimana dirinya ketika berbicara di depan banyak orang." Gwen memberi saran sembari menghabiskan jus apelnya yang segera mendapat persetujuan dari yang lain.

"Kau ikut?" tanya Emily ketika melihat Daisy ikut beranjak. Ekspresinya jelas menggambarkan sebuah keheranan. Tidak biasanya Daisy tertarik dengan segala hal yang berbau dengan kegiatan kampus. Dari empat orang tersebut, Daisy memang paling enggan jika berurusan dengan kegiatan yang membutuhkan otak untuk bekerja lebih keras.

"Ada yang salah?" Daisy malah balik bertanya yang segera membuat semuanya menggeleng.

"Tidak" ketiganya menjawab serempak.

Daisy yang mendengarnya hanya berlagak tak acuh. Sedang pikirannya mengembara bahwa Maxwell Maynard Addison, sepertinya menjadi tangkapan bagus untuk bisa ia manfaatkan untuk mencapai keinginannya.

---00---

Don't copy without my permission!

Emily Jeslyn

Gwenda Tricia

Joanna Harriet Carrington

Btw, versi ebook My Death Angel sudah tersedia di Play Store :-)

Silakan cek langsung yaa ;-)

Selamat beraktivitas kembali!

Seguir leyendo

También te gustarán

354K 46K 48
Novel Dewasa Setelah lima tahun berlalu, Tessa bertemu kembali dengan Jason, si Lady Killer kampus dan terjebak dalam lingkaran kekuasaan pria itu...
134K 6.9K 11
Ini kisah tentang Deril Hernandez yang merubah dirinya-dengan berpakaian seperti perempuan-demi membalaskan dendam adiknya. Ia masuk ke sebuah sekola...
223K 34.1K 31
Ken Ishmael Kendrick (30) menjalani rehat dari dunia kedokteran setelah uji klinisnya gagal total. Terbang 13 jam untuk menghindari rumah sakit hingg...
1.2M 70.7K 40
This is Kim Hyun and Ashley's story : ***** Kim-Hyun, adalah seorang pengacara dengan kesan dingin yang sukses membuat para seniornya -Nadine Natasha...