Terukir Indah Namamu

By raschaqouren

1.7M 108K 6.2K

Tiga hari menjelang pernikahannya Joana dan keluarganya dibuat geger ketika mengetahui adik perempuannya seda... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bagian 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
pengumuman
info
info kedua

Bab 4

59.7K 4.7K 35
By raschaqouren

Aku terbangun dari tidurku setelah merasakan perutku terasa perih minta di isi makanan. Sepulang dari rumah sakit aku langsung tidur begitu tiba di rumah. Belum sempat utuh kesadaranku, suara ketukan pintu kamarku membuatku segera bangkit dari tempat tidur.

Dengan malas aku membuka pintu kamarku untuk melihat siapa yang mengetuk dari luar. Saat pintu terbuka, aku mendapati bik Sumi yang memandangku dengan panik.

"Ada apa bi?" Tanyaku heran kepada bik Sumi

"Bapak,non..." jawab bik Sumi sambil mencoba menahan air matanya.

Kelakuan bik sumi otomatis membuatku cemas seketika "Iya, kenapa dengan papa?" tanyaku penasaran.

"Bapak tadi kena serangan jantung. Daritadi mas Indra hubungin non Ana tapi katanya gak diangkat, karena itu mas Indra jadinya hubungi ke telepon rumah."

"Jadi gimana sekarang keadaan papa?!" Aku memotong ucapan bik sumi dengan tidak sabar.

"Tadi mas Indra bilang sampai sekarang bapak belum juga sadarkan diri. Terus kata mas Indra bapak sudah dipindahkan ke ruangan ICU. Mas Indra juga pesan biar non Ana datang ke rumah sakit."

Mendengar penjelasan bik Sumi aku segera memeriksa ponselku yang kuletakkan asal di atas tempat tidurku. Di layar tertera panggilan tak terjawab dari mas Indra sebanyak lima belas kali. Aku menyesal telah mengubah dering ponselku menjadi nada getar. Tadi setelah mengirim pesan kepada mas Indra kalau aku sudah sampai di rumah, aku memutuskan untuk tidak ingin diganggu oleh suara ponsel.

Tak menghiraukan perih di perutku aku menyuruh bik Sumi untuk segera menelepon taxi agar aku tidak perlu menunggu lagi.

"Bik, tolong pesanin taxi ke rumah sakit ya,"

Dengan cepat bik sumi berlalu dari hadapanku.

Tanpa berlama lama aku segera mengganti bajuku dengan kaos dan skiny jeans. Rambutku kuikat dengan asal. Tanpa riasan wajah aku segera turun ke bawah. Aku hanya membawa dompet dan ponsel di tangan. Untung saja taxi yang dipesan bik Sumi telah tiba.

Selama di dalam taxi aku merasa jarak dari rumah sampai ke rumah sakit terasa jauh sekali. Berkali kali aku hampir mengumpat ketika taxi yang kutumpangi berhenti di lampu merah.

Begitu sampai di rumah sakit aku segera berlari ke ruang ICU. Untung saja seminggu menjaga papa di rumah sakit, membuatku mengetahui letak ruangannya.

Aku menghentikan langkahku di depan ruang ICU. Mataku tertuju melihat mama menangis dipelukan mas Indra dengan tersedu sedu. Sedangkan mbak Rita beserta anak anaknya tidak terlihat keberadaannya.Dugaanku mereka sudah pulang.

Baik mama maupun mas Indra tidak menyadari kedatanganku. Dengan pelan aku mendekati mereka.

"Mas...."

Mas Indra segera membalikkan badannya, "Kamu sudah datang?" Aku melihat ada kelegaan di wajah mas Indra.

Aku menggangukkan kepalaku, "Maaf, aku datang terlambat," Ucapku lirih penuh penyesalan.

Mendengar suaraku, mama yang berada dalam pelukan mas Indra mengangkat kepalanya untuk dapat melihatku.

Mama memandangku dengan sedih. Seketika itu juga kemarahanku terhadap mama sirna sudah. Tanpa dapat kutahan aku segera menghampiri mama.

"Mama takut...,"

Hatiku sakit mendengar ucapan mama kepadaku dan mas Indra di sela sela tangisannya.

"Mama takut kalau papa pergi meninggalkan kita, seperti Sandra."

Kali ini aku ikut menangis bersama mama. Sama seperti mama, aku juga takut kalau papa kenapa kenapa. Aku menyesal telah melawan papa sore tadi.

Mas Indra yang berada di tengah tengah kami mencoba untuk menenangkan aku dan mama.

"Papa pasti kuat, percayalah. Jangan membuat papa sedih mendengar tangisan kalian. Daripada menangis lebih baik kita sama sama berdoa agar papa segera sadar."

Mendengar kata kata mas Indra, aku dan mama berusaha menghentikan tangisan kami.

Setelah dapat tenang, dengan pelan aku melangkahkan kakiku melihat keadaan papa di dalam ruang ICU dari jendela kaca. Aku kembali menangis melihat papa yang terbaring lemah ditemani oleh alat alat monitor yang terpasang di tubuhnya.

Maafkan Joana pa...

Dari balik kaca aku mencoba minta maaf kepada papa. Aku berharap papa segera sadar dan mau memaafkan aku.

Entah berapa lama aku berdiri dari kaca melihat keadaan papa, sampai aku mendengar sebuah suara dari belakang.

"Maaf, aku terlambat datang"

Aku mendengar suara Argenta dari balik punggungku. Ketika aku berbalik untuk memastikan pendengaranku, tanpa disengaja mataku bertubrukan dengan tatapan Argenta yang juga melihatku.

Argenta dengan cepat memutus kontak mata di antara kami.

"Bagaimana keadaan papa sekarang, mas?" Argenta menanyakan keadaan papa kepada mas Indra yang berdiri di depannya.

"Masih belum sadar juga, Gen. Tolong bantu doakan ya, biar papa cepat sembuh."

"Pasti mas." Balas Argenta cepat.

"Josan mana?"

Kali ini aku mendengar mama bersuara menanyakan kabar cucunya tersebut

"Masih di rumah, ma. Tadi Argen tidak sempat melihat keadaan Josan. Dari bandara langsung menuju ke mari."

Sepertinya Argenta baru pulang dari luar kota.Pantas saja aku tidak melihat Argenta menjenguk papa dua hari ini.

Setelah itu keadaan kembali hening. Aku dan mama masih setia melihat keadaan papa dari balik kaca. Sedangkan mas indra permisi meninggalkan kami ketika menjawab telepon dari mbak Rita. Lalu Argenta dari ekor mataku terlihat dia memilih duduk di kursi yang disediakan oleh pihak rumah sakit.

Kakiku sudah mulai lelah berdiri daritadi. Perutku yang masih kosong membuat aku menjadi pusing. Hanya saja aku lebih memilih berdiri daripada harus duduk di samping Argenta. Haram bagiku dekat dekat dengan pria itu.

"Shhh...." Spontan aku meringis saat tiba tiba merasakan perih di perutku semakin menjadi jadi.

Mama yang berada di sampingku segera menoleh kepadaku.

"Kamu kenapa?"

Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun lamanya aku melihat mama khawatir kepadaku.

"Tidak apa apa,ma"

"Tidak apa bagaimana? Lihat muka kamu sudah pucat begitu."

Aku mencoba tersenyum menenangkan mama. "Ana cuma laper ma....tadi gak sempat makan di rumah" bisikku malu, takut terdengar orang lain.

"Ya ampun Ana, kenapa sampai semalam ini kamu belum mengisi perut kamu? " aku meringis mendengar suara mama yang terdengar jelas di ruangan ini. Tapi tetap saja aku tidak dapat menutupi kebahagiaanku melihat perhatian mama.

"Sudah sudah, sana panggil Indra untuk menemanimu cari makanan" mama memutar kepalanya mencari keberadaan mas Indra. "Nah,itu dia," mama menunjuk mas Indra yang berjalan ke arah kami.

"Tapi... papa gimana?" Tanyaku berat hati.

"Ada mama dan Argen di sini. Lagipula waktu untuk makan tidak sampai memakan waktu seharian. Jadi sekarang lebih baik kamu isi perut kamu dulu, daripada nanti kamu yang jadinya sakit."

Sepertinya aku harus menuruti kata kata mama barusan. Sebaiknya aku mengisi perutku dulu, baru setelah itu aku kembali ikut menjaga papa.

Baru saja aku ingin mengatakan kepada mas Indra untuk menemaniku makan, rasa pusing dikepala menyerangku. Rasanya sakit sekali. Aku melihat semua menjadi buram, lalu berubah menjadi gelap, sebelum aku jatuh tak sadarkan diri.

Satu satunya yang dapat kuingat sebelum semuanya menjadi gelap adalah selain suara jeritan mama yang memanggil namaku, adalah sebuah tangan yang sigap menangkap tubuhku sebelum aku jatuh ke lantai ke dalam dekapannya.

Samar samar aku masih mendengarnya menyebut namaku dengan panik,

"Ana...!"

*****

Aku mengenal Argenta saat masih mengenakan seragam putih abu abu. Aku bertemu dengan Argenta saat hari pertama ospek. Waktu itu aku sama sekali belum memiliki teman. Bisa dibilang Argenta adalah teman pertamaku saat di SMA. Argenta yang berprestasi, pintar, dan menawan membuatnya menjadi pria yang di idolakan oleh seluruh siswi di sekolah kami saat itu. Jangan juga lupakan keramahannya yang menjadi poin penting bagi Argenta.

Hubunganku dengan Argenta meningkat dari teman menjadi sahabat. Dan seperti dikatakan kebanyakan orang bahwa tak ada yang murni persahabatan antara pria dan wanita, maka aku menyetujuinya. Diam diam di balik kata persahabatan aku mencintai Argenta tanpa di ketahui oleh siapapun.

Persahabatanku dengan Argenta terus berlanjut hingga kami sama sama dewasa dan memiliki pekerjaan masing masing. Saking dekatnya hubungan kami sampai sampai kedua keluarga kami juga ikut saling kenal dan menjadi akrab.

Ternyata tidak sia sia hampir sepuluh tahun aku memendam rasa cintaku kepada Argenta. Penantianku berbuah manis. Tanpa pernah kuduga di ulang tahunku yang ke dua puluh lima, Argenta datang melamarku di hadapan seluruh keluargaku dan keluarganya yang juga ikut hadir pada saat itu. Jangan tanya bagaimana bahagianya perasaanku saat itu.

Sayangnya kebahagiaanku tidak bertahan lama. Badai itu datang di saat hari pernikahanku tinggal tiga hari lagi . Dan tak pernah kusangka yang menjadi penghancur kebahagiaanku adalah seseorang yang kuanggap tidak akan tega mengkhianatiku.

Dia adalah Sandra. Adik kesayanganku.

Samar samar aku mendengar suara suara orang yang berbicara di telingaku. Aku mencoba menggerakkan tanganku yang terasa kaku. Sayangnya aku tidak dapat menggerakkannya ketika merasakan tanganku digenggam dengan hangat oleh seseorang. Dengan berat aku memaksakan agar mataku terbuka untuk melihat apa yang terjadi.

"Ana, kamu sudah sadar?"

Mas Indra langsung menanyaiku begitu aku dapat membuka mataku.

"Mana yang sakit?"

Aku dapat melihat jelas kekhawatiran mas Indra kepadaku. Hanya saja aku malas menjawab pertanyaannya begitu menyadari tangan siapa yang mengenggam tanganku dengan hangat.

Tangan itu adalah tangan milik Argenta.

Dengan cepat aku langsung melepaskan genggaman tangan Argenta. Terlihat raut terkejut di wajahnya.

" Mas, Usir dia dari sini." Tanpa tedeng aling aling aku menyuruh mas Indra untuk mengusir Argenta pergi dari hadapanku.

Aku tidak peduli melihat mas Indra yang terkejut atas sikap kasarku.

"Dek, tenang dulu," mas Indra berusaha membujukku.

Tidak, aku tidak akan tenang sebelum Argenta pergi dari hadapanku. Melihatnya saja aku tidak suka, jadi berani sekali tadi dia menggenggam tanganku.

"Dia yang keluar, atau aku yang pergi!" Kali ini aku serius dengan ucapanku. Aku mencoba untuk melepaskan jarum infus yang dipasang di tanganku.

Belum sempat aku melaksanakannya, aku mendengar suara kursi yang digeser. Rupanya Argenta bangkit dari duduknya yang berada di sampingku.

"Aku keluar dulu ya mas, nemanin mama,"

Aku mendengus tidak suka melihat raut wajah tidak enak yang ditunjukkan mas Indra ketika mendengar ucapan Argenta.

Sebelum meninggalkan kami aku masih sempat melihat Argenta menatapku dengan datar yang kubalas dengan tatapan marah yang tidak kusembunyikan.

Tbc.










Continue Reading

You'll Also Like

99.9K 2.5K 25
Rosalind Fredella Zvonimira mencintai Ravindra Yoshi Callum sejak duduk di bangku kelas 1 SMP. Akan tetapi, Ravindra hanya mencintai Jenny Dorelia Is...
1.7M 65.4K 42
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...
1M 81K 33
Riri meninggalkan semua masa lalunya dengan hati yang hancur. Setelah bertahun-tahun mencoba menata hatinya, masa lalu yang dulu menghancurkannya dat...
9.5K 1.2K 28
Tidak ada yang salah dari mengejar sebuah mimpi dan keinginan bukan?