Dumb-Dumb ✓

Lignenoiree tarafından

327K 38.3K 8K

Bermula dari kebencian berubah saling menyayangi.. Awal dua geng yang sering kelahi dengan satu pihak yang me... Daha Fazla

Prolog + Intro
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11 / Wenga Part
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28 / Wenga & Jungri Part
Chapter 29 / Vrene Part
Chapter 30
Chapter 31 / JinRose Part
Chapter 32 / Seulmin Part
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50 (Last Chapter)
Epilog

Chapter 35

6.4K 769 215
Lignenoiree tarafından

°°°

Namjoon kembali mengecek suhu tubuh Lisa. Dia dapat bernafas lega karena panas Lisa mulai turun. Sejak bertemu dengan bambam waktu itu. Lisa jadi selalu merasa takut dan gelisah, bahkan sampai mengalami demam seperti ini.

Lisa juga gak mau pulang ke rumahnya. Dan selalu ingin bersama Namjoon sepanjang waktu, sampai Namjoon ingin sekolah saja tidak bisa.

"Habis ini minum obat, ya..."

Lisa mengangguk malas. Namjoon pun berdiri ingin mengambil air minum ke dapur.

Tiba-tiba Lisa menarik ujung baju Namjoon. "Mau ke mana?" tanyanya.

"Ambil minum."

"Jangan pergi."

"Cuma ke dapur."

"Jangan tinggalin."

"Cuma ambil minum, babe, buat lo minum obat."

"Ikut...."

"Dibilangin cuma ke dapur!" sedikit bentakan dari Namjoon hingga Lisa merajuk. Dia membiarkan ingin segera mengambil minum, namum belum juga melangkah ponsel Lisa berbunyi.

"Joon, ambilin!"

Namjoon berbalik dengan malas untuk mengambil ponsel Lisa yang jaraknya tidak jauh dari Lisa. Padahal kalau Lisa mengulurkan tangan juga pasti dapat.

"Dari siapa?" tanya Lisa pada Namjoon.

"Dari Yeri."

“Padahal dia udah nelpon. Kenapa nelpon lagi?” Lisa bertanya-tanya dan mengambil alih ponselnya dari tangan Namjoon.

"Ada yang penting kali." Namjoon pun cuek dan berjalan ke dapur seperti tujuan awalnya.

Lisa mengangkat dengan santai. "Halo..........." Alisnya berkerut saat mendengar suara aneh dari panggilan Yeri. Terdengar suara sesuatu yang jatuh cukup keras. Berkali-kali dia mengecek ke layar ponsel, menyakinkan bahwa benar Yeri yang menelepon. "Yeri!" kali ini Lisa memanggil cukup keras.

Tidak ada jawaban. Malah suara-suara aneh makin terdengar. Lisa dapat mendengar orang-orang berbicara, namun dia tidak dapat mendengar dengan jelas. Dia makin bingung. Tapi, entah mengapa dia tidak punya niatan untuk mematikan panggilan itu.

Namjoon pun kembali dengan segelas air bening di tangannya. "Kenapa?" tanya Namjoon saat melihat raut wajah Lisa yang terlihat bingung.

"Ini aneh. Coba lo denger..." Lisa pun menyodorkan ponselnya pada Namjoon.

Namjoon menerima setelah meletakkan gelas di atas nakas. Dia coba menyalakan loudspeaker pada panggilan tersebut.

"...... ja~~~an be~~~nda..."

"Ucap...... ....at ....ggal d.....am .............."

"BRUUUKKKKK"

.........

.........

.........

"JOY!"

"AWAS!!"

"AAAHKKKKKKKKK!!"

Seketika Lisa dan Namjoon terdiam dan saling pandang.

"Joy," gumam Lisa pelan. "JOY KENAPA, JOON?" Tiba-tiba Lisa menjadi panik.

Namjoon berusaha menenangkan Lisa. "Tenang... Joy pasti baik-baik aja."

"Lo gak denger suara Rose yang teriak? Dia teriakin nama Joy. Joy pasti kenapa-kenapa!" Lisa bergegas bangun lalu mencari jaket untuk dia kenakan. "Kita susul mereka."

"Tapi lo lagi sakit, babe."

"Gue gak peduli. Keselamatan temen gue jauh lebih penting!" Lisa berucap tegas.

Tetapi Namjoon tampaknya tidak setuju dengan keputusan pacarnya itu. "Lo diam aja di rumah biar gue yang nyusul," pinta Namjoon memohon.

Walau ekspresi Namjoon begitu membuat dirinya terenyuh. Tetapi jika menyangkut temannya begini, maka tidak ada yang boleh menghalangi. "Gak. Gue harus ikut!"


"Terus ini ke mana?" tanya Namjoon pada Lisa.

"Belok kiri." Lisa menunjukkan arah jalan. Mereka mencari keberadaan blackvelvet dengan cara melacak nomor ponsel Yeri. Awalnya mereka ke sekolah, tetapi ketika bertanya pada salah satu murid. Murid itu menjelaskan bahwa tadi ada kejadian seseorang menabrak yeri dan lalu mereka pergi setelah seseorang itu berbisik.

Namjoon juga sebenarnya berniat untuk mendatangi BTS. Namun, Lisa melarangnya karena tidak ada waktu buat mencari BTS.

Namjoon melirik Lisa sekilas yang terlihat panik dan khawatir. "Tenang, mereka pasti baik-baik aja." Dengan genggaman tangan Namjoon yang hangat.

“Tapi, gue... Eh, berhenti!”

Mendadak Namjoon berhenti. "Bener di sini, nih?" tanya Namjoon.

"Sepertinya, sih." Lisa pun mulai turun dari mobil. Di susul dengan Namjoon yang sebenarnya ragu.

"Coba masuk, yuk!" ajak Lisa. Tetapi baru saja mendekati pintu gerbang, para penjaga gedung menghentikan langkah mereka.

"Gila, banyak banget yang jaga."

Belum juga selesai dengan keheranan itu, tiba-tiba seseorang yang menepuk bahu mereka berdua. Namjoon dan Lisa menengok dengan refleks.

"Jisoo..."

"Ssttttttt... ikut gue!" Jisoo mengajak Lisa dan Namjoon pergi menjauh dari gedung itu.

"Lo kok di sini, Jis?" Lisa bertanya dengan penasaran sembari mengikuti langkah Jisoo.

"Lo berdua juga ngapain di sini?" tanya Jisoo balik.

"Kita mau tolongin geng gue. Elo?"

"Gue ikuti Jennie."

"Jennie?"

"Iya, Jennie mencurigakan beberapa hari ni. Dia kembali hubungin temen-temen premannya yang dulu. Gue yakin pasti ada apa-apa. Gue gak mau Jennie kayak dulu lagi."

Lisa dan Namjoon seketika terdiam, tampak berpikir sejenak. "Jangan bilang ini ada hubungannya sama blackvelvet?" Namjoon penuh curiga.

"Bisa jadi. Bisa dibilang kalau Jennie balas dendam." Jisoo membenarkan hingga membuat Lisa mulai merasa takut. Dia menatap Namjoon yang ada di sampingnya.

"Jadi sekarang kita harus gimana? Telepon polisi?" saran Namjoon.

"Jangan. Jangan sampai kita berurusan sama polisi. Itu bikin ribet. Sekarang, kita masuk dulu. Gue punya jalan lain tanpa melewati anak buah Jennie di depan."

Lisa dan Namjoon pun mulai mengikuti Jisoo kembali. Cukup lama mereka berjalan hingga Lisa pun mulai bertanya lagi. "Lo sendiri aja, Jis?"

Tanpa ragu Jisoo menjawab. "Gak, gue bawa temen gue. Tadinya gue keluar mau minta bantuan orang buat dobrak pintu. Karena gue lihat kalian jadi mending minta tolong kalian aja."

"Jadi, sekarang temen lo mana?"

"Ada di sana masih coba dobrak pintu kali."

Tidak lama mereka bertiga pun sampai di depan pintu belakang gedung yang terkunci rapat. "June, gimana?" tanya Jisoo pada temannya.

"Masih gak bisa, Jis, gue gak kuat sendiri." keluh June.

Yaps. Temen yang Jisoo sebut itu adalah June. Jisoo gak mungkin sendiri mengikuti Jennie. Dan kebetulan Jisoo hanya kenal dengan June, karena dia baru pindah dan pastinya tidak punya teman lain.

Kenapa tidak minta bantuan Jin?

Ah, rasanya akan canggung karena mereka baru putus. Terlebih lagi Jin yang memutuskan hubungan. Akan terasa aneh jika Jisoo meminta bantuan padanya.

"Sini gue bantu!"

June dan Namjoon bersama-sama menyatukan kekuatan mereka. Hingga pintu berhasil terbuka dan membuat mereka semua tersenyum.

"Gue tinggal di luar deh buat jaga-jaga," usul June.

Mereka pun mengiyakan, lalu Jisoo masuk lebih dulu ke dalam gedung tua tersebut.

Jennie mulai mengangkat tangan mengarahkan pistol ke tubuh Irene yang hanya menampakkan punggung.

"JANGAN!" Yeri berteriak histeris dia ingin mendatangi Irene, namun ditahan oleh Rose.

"Yeri..." Rose menahan air matanya. "Jangan buat Irene makin sulit." Tanpa terduga air mata yang ditahan-tahan jatuh juga. Seketika tangisan mereka pecah. Baik Rose, maupun Yeri menangis seraya berpelukan.

Irene yang mendengar pun tidak tahan untuk tidak menangis. Dia menangis dengan mata tertutup. Tangannya mengepal menahan rasa takut. Dia takut, sangat takut.

"Taehyung." Tiba-tiba Irene teringat dengan cowok itu. Matanya terbuka. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah. Bolehkah dia berharap Taehyung akan menyelamatkannya? Atau melihat Taehyung untuk terakhirnya? Dia ingin mengatakan sesuatu yang selama ini dirinya pendam begitu lama. Sesuatu yang harusnya dia katakan dari dulu. Sebelum terjadinya kesalahpahaman di antara mereka.

"Bersiaplah," ucap Jennie membuyarkan lamunan Irene.

Irene memalingkan wajahnya untuk menatap Jennie. Saat itu juga....

.

.

.

.

.

.

.

Jennie meluncurkan pelurunya.

Dengan sangat jelas Irene melihat peluru itu mengarah padanya. Matanya terbuka lebar saat peluru kecil itu menembus punggung. Rasa sakit yang dia rasakan seketika menjalar ke seluruh tubuhnya sampai kakinya bergetar tidak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Mulutnya juga mengeluarkan darah, pengganti jeritan yang tidak dapat dia keluarkan. Hingga tubuhnya jatuh dengan berlumuran darah.

Tangisan dan jeritan Yeri semakin terdengar meneriakan nama Irene, sedangkan Rose menangis dalam diam, dia menenggelamkan kepalanya sambil menutup kuping. Mencoba untuk tidak melihat keadaan Irene. Apalagi rasa bersalah terus meruak di dirinya. Dirinya yang pengecut dan hanya diam.

Dan lagi terdengar dengan jelas bahwa Jennie kembali menarik pelatuk pistol yang ingin menembak Irene untuk kedua kalinya.

Rose bener-bener tidak ingin melihat. Dia semakin kuat menutup kuping dan mata hingga suara tembakan diiringi dengan teriakan kembali terdengar, kali ini teriakan itu mampu mengalihkan perhatian Rose.

Rose terdiri terkejut. Bukan, itu bukan suara Irene, sangat jelas itu bukan suara Irene. Dia beralih menatap Jennie yang seketika menjatuhkan pistol begitu saja.

"JISSOOOO!" Jennie berteriak tidak percaya, mendatangi Jisoo yang tidak sengaja dia tembak. Iya, Jennie tidak sengaja menembak sahabatnya yang berlari melindungi tubuh Irene.

Namjoon dan Lisa yang baru sampai mendadak terdiam. Itu kah alasannya mengapa Jisoo berlari lebih cepat saat mereka baru memasuki ruangan yang digunakan Jennie untuk menghabisi teman-temannya.

"JISOOO.... BA-BANGUN... KENAPA LO ADA DI SINI?" Jennie berusaha membuat Jisoo sadar dipelukannya. Mengguncang-guncang tubuh itu dengan penyesalan yang amat dalam. Jennie memegang luka tembak yang dia buat. Mengapa harus tepat di jantung?

Jennie menangis terisak-isak merasa bersalah. Apa yang telah merasuki dirinya hingga menembak dua orang yang berbeda dalam waktu yang sama.

Pemandangan Jennie itu membuat Lisa membeku sejenak, seiring dengan itu dia juga perlahan-lahan menyadari keadaan teman-temannya.

Wendy, Seulgi, Joy, dan Irene mereka terkapar, hanya Rose dan Yeri yang masih baik-baik saja. Dia mengepalkan tangannya, begitu marah atas ulah Jennie yang beraninya menyakiti keempat temannya.

"JENNIIIEEEEEEEEE!"  Dengan lantang Lisa berteriak dan mendatangi Jennie yang tampak tidak menyadari kemarahan Lisa. "LO APAKAN TEMEN GUE, BANGSAT!" Amarah Lisa membuat jambakan begitu kuat pada rambut Jennie. Tidak segan-segan Lisa juga mendorong Jennie hingga tersungkur di depannya.

"LO GAK TAU BETAPA BERHARGANYA MEREKA BAGI GUE!"

Kemarahan Lisa membuatnya membabi buta untuk menginjak-injak. Hal itu tidak dibiarkan oleh Namjoon.

"JANGAN HALANGAN GUE!" Lisa marah pada Namjoon.

"Lis, harusnya lo sadar, ini bukan saatnya pikirkan siapa pelakunya. Lo seharusnya pikirkan keadaan temen lo sekarang. Mereka perlu bantuan... lo harus tetap tenang. Oke." Namjoon memegang kedua bahu Lisa agar pacarnya itu mengerti. “Masalah Jennie kita urus nanti. Keadaan teman-teman lo jauh lebih penting.”

Lisa menahan tangis saat melihat kondisi temen-temennya yang sangat mengkhawatirkan. Dia bersandar di tembok samping pintu ruang operasi. Menghela napas gusar, dia merasa kecewa, kesal, takut, marah atas kondisi teman-temannya.

Lisa lalu menoleh menatap dua temannya yang terdiam dengan pikiran yang kosong. Cukup mengkhawatirkan juga, namun dia patut bersyukur karena dua temannya terlihat baik-baik saja. "Kalian gak ada yang luka, ‘kan? " Lisa ikut bergabung dan duduk di antara mereka.

"Kita baik-kita aja," ucap Yeri tanpa semangat.

"Syukurlah," balas Lisa pelan.

"Namjoon sama June ke mana?" tanya Rose.

"Mungkin lagi urus Jennie. Gue gak tau lagi, gue serahkan aja ke mereka."

Setelah percakapan itu ketiga kembali terdiam. Hingga seseorang membuyarkan lamunan mereka.

"Keluarga atau wali dari nona Jisoo?" Ketiganya serentak terkejut saat seorang dokter keluar dari ruang operasi.

Rose dan Lisa saling pandang. Namun, pada akhirnya mereka berdualah yang berdiri.

"Kita, dok."

"Mohon maaf kita telah berusaha sekuat mungkin. Namun, Tuhan berkehendak lain. Nona Jisoo dinyatakan meninggal pukul 10.14 pagi ini."

Semuanya terdiam dengan pikiran kosong.

"Gimana sama yang lain, dok?"

"Nona Joy hanya pingsan karena mendapat pukulan tepat di punggungnya. Selebihnya dia baik-baik saja hanya sedikit memar bekas pukulan tersebut. Lalu nona Wendy mendapat perban di sekujur tubuhnya walaupun tidak ada tulang yang patah goresan-goresan lukanya cukup parah. Jadi, dia perlu perawatan yang cukup lama untuk memulihkannya kembali. Untuk nona Seulgi, dia dalam keadaan kritis. Nona Seulgi kekurangan banyak darah karena tidak ditangani dengan cepat. Lalu kemudian bagian hidungnya patah. Apakah sasaran memukulnya banyak di daerah kepala?"

"Iya, dok," jawab Rose.

"Itu lah sebabnya, nona Seulgi mendapat banyak luka di kepalanya dan hampir tidak ada luka di tubuhnya. Ini berbahaya jika lebih lama lagi tidak ditangani. Mari kita berdoa untuk kebaikannya."

Selesai menjelaskan semuanya. Sang dokter pun ingin pergi, tetapi pertanyaan Lisa menghentikan langkah si dokter.

"Bagaimana dengan Irene, dok?"

"Nona Irene masih dalam masa operasi. Saya belum bisa mengatakan apapun tentang keadaannya."

Ketiganya kembali terdiam hingga Rose berceletuk, "Gue coba hubungi keluarga mereka satu-satu."

Rose terdiam dibalik tembok dengan wajah datar. Pikirannya bercamuk tidak karuan. Dia masih merasa menjadi pengecut. Setelah mendengar keadaan teman-temannya dan melihat keadaan dirinya. Dia merasa tidak adil. Di saat teman-temannya merasa kesakitan, dirinya malah tidak merasa sakit sedikit pun.

Dia juga marah mengingat Irene menyerah begitu mudahnya demi mereka. Apa sebenarnya yang ada dipikiran Irene? Dia begitu menyesal pada dirinya sendiri. Apalagi Jisoo yang merelakan nyawanya untuk melindungi Irene. Dan dia hanya menangis dan menutup kuping.

"Rose...."

Rose menolehkan pada lelaki yang berdiri di dekatnya. Dengan tiba-tiba Rose memeluk tubuh June dengan isakan kecil. Dia butuh tempat untuk melampiaskan perasaannya.

June tidak bertanya apapun pada Rose. Dia hanya membiarkan Rose membasahi bajunya dengan pelukan erat.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena dehaman seseorang membuat pelukan mereka terlepas.

Jin dengan salah tingkahnya berpaling dan berucap, “Sorry.”

A/n: Padahal ya aku nulis dan up chapter ini sekitar 2017, di mana waktu itu aku gak pernah bayangin wendy bakal ada insiden kecelakaan itu. Terus sewaktu aku revisi ini, aku sedih bgt beneran kejadian.

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

19.1K 1.7K 19
sebuah kisah pendek mengenai kehidupan ku...... Jennie Kim
176K 13.8K 68
[END] N1n3 9!rl$ || ||||||||||| 》》》》》》》》》》 || B . L . A . C . K . V. E . L . V . E . T ♡ ///////////// \\\\...
32.8K 1.2K 52
Singapore - Yogyakarta. 3 tahun LDR Singapura - Yogyakarta,itu bukan jarak yang deket. "Bagaimana bisa bertahan sampai nikah?sedangkan LDRnya aja jau...
368K 40.3K 54
When nine girls live together in the same place called Blackvelvet House