About Time ✔

By VanillaLattee_

39.9K 9K 3.8K

Semua tentang waktu. Waktu untuk bertemu. Waktu untuk bersama. Waktu untuk berpisah. Waktu untuk melupakan. D... More

Pemberitahuan
Prolog
BAB 1 : Telepon yang Mencurigakan
BAB 2 : Quality Time
BAB 3 : Jalan-Jalan
BAB 4 : Vino yang Berubah-Ubah
BAB 5 : Pasien Anna
BAB 6 : Vino yang Menjengkelkan
BAB 7 : Hobi Baru
BAB 8 : Masalah Ponsel
BAB 9 : Sementara
BAB 10 : Sebuah Hadiah
BAB 11 : Penjelasan
BAB 12 : Sekolah
BAB 13 : Ikuti Kata Hati
BAB 14 : Bestfriend
BAB 15 : Tak Dapat Ditebak
BAB 16 : Dia Berbeda
BAB 17 : Time
BAB 18 : Bolos
BAB 19 : Luka
BAB 20 : Hati yang Patah
BAB 21 : Perkelahian
BAB 22 : Terjawab Sudah
BAB 23 : Permintaan Maaf
BAB 24 : Berita
BAB 26 : Merelakan
BAB 27 : Berharap
BAB 28 : Kebahagiaannya Kembali
BAB 29 : Menurunkan Ego
BAB 30 : Pernyataan Cinta
Epilogue

BAB 25 : Fakta yang Mengejutkan

450 51 4
By VanillaLattee_

Pagi ini, dengan di jemput Elang, Anna datang ke Rumah Sakit Harapan Indah. Setelah Elang menceritakan seluruhnya tentang bagaimana perasaan Alvaro, seketika membuat Anna lemas. Laki-laki yang sering bersamanya, sering menghabiskan waktu dengannya, sering mengantar dan menjemputnya. Memiliki rasa untuknya. Namun anehnya, Elang tidak menceritakan penyakit Alvaro. Dia hanya bilang bahwa Alvaro sakit. Tanpa menjelaskan detailnya seperti apa.

Elang mengajak Anna untuk masuk. Namun Anna masih saja berdiri di depan pintu. Membuat sebagian orang yang berlalu lalang merasa terganggu.

"Ayo," ucap Elang sembari menarik telapak tangan Anna. Anna masih saja tidak bergerak sedikit pun. Pandangannya kosong menatap pintu masuk rumah sakit.

Sejenak Elang mendesah pelan. "Ini yang bikin gue males buat ngomong sama lo."

Anna tidak menanggapi ucapan Elang. Mendengar saja bahkan tidak.

"Anna, lo itu udah sampai sini." Elang angkat bicara kembali sembari menatap Anna.

"Kak, aku takut," ujar Anna tanpa mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk rumah sakit. "Aku mau pulang aja."

Elang hanya memandang Anna dalam diam. Dia tahu, sebenarnya Anna ingin masuk. Tatapan Anna yang tak beralih ke arah lain pun menandakan bahwa dia ingin masuk ke dalam. Tetapi, raganya tidak berani melangkah karena terlalu takut.

"Gue yakin, kalau lo datang, pasti Alvaro bakal senang."

Perlahan, kaki Anna melangkah menuju pintu masuk. Sejenak Elang bernapas lega karena akhirnya Anna mau masuk ke dalam rumah sakit.

****

"Kita langsung ke lantai empat aja." Elang mengajak Anna untuk menaiki lift menuju ke lantai empat. Sepanjang di dalam lift, Anna terus saja diam dengan pandangan hampa. Dia benar-benar takut. Dan Elang dapat merasakan ketakutannya tersebut.


Tak butuh waktu lama untuk menunggu pintu itu terbuka. Begitu terbuka, Elang langsung membawa Anna menuju ruang dimana Alvaro di rawat.

"Ini kamarnya," tunjuk Elang ke arah kamar tersebut.

Anna pun sempat terdiam menatap kamar tersebut. ICU? Seberapa parah sakitnya laki-laki itu?

"Lo boleh masuk sekarang," kata Vigo yang datang dari kantin rumah sakit. Memecahkan keheningan seketika.

Anna yang tersadar dari lamumannya memilih untuk mundur beberapa langkah. Mereka pun kaget akan apa yang baru saja Anna lakukan.

"Lo kenapa, Na?"

"Lo nggak mau masuk?"

Lagi-lagi yang keluar dari mulut Anna hanyalah ketakutan dan gelengan kepala. Entah kenapa, Anna benar-benar takut akan hal ini. Walaupun dia belum melihat secara langsung. Tapi ia bisa membayangkan bagaimana laki-laki itu di dalam sana.

"Lo cuma harapan satu-satunya, Na." Bayu menatap mata Anna yang perlahan mengeluarkan air mata. "Jadi kita mohon bantuan lo."

Anna menghapus air matanya sambil menatap kakak kelasnya. "Katanya, dia cuma sakit biasa. Tapi kenapa Kak Alvaro nggak masuk ke ruang biasa? Kenapa harus ada di ruang ICU disaat ruang lain banyak yang kosong?"

Pertanyaan demi pertanyaan keluar begitu saja dari mulut Anna. Bayu, Elang, maupun Vigo bingung harus menjawab seperti apa. Tidak mungkin mereka menceritakan semuanya ketika Anna telah berdiri di depan pintu kamar Alvaro.

"Lo langsung masuk aja."

Anna menerima baju khusus ketika Bayu memberikannya. Memakai bajunya dan perlahan melangkahkan ke arah kamar itu. Anna berdiri di depan pintu cukup lama. Ada rasa tidak sanggup jika apa yang dia bayangkan selama ini benar adanya. Dia belum siap atas segalanya.

"Tunggu apalagi?" tanya Vigo yang berdiri di dekat pintu.

Dan tangan Anna perlahan memutar kenop pintu itu.

****

Bau menyengat obat pun menusuk penciuman Anna. Tepat saat dia membalikkan badan, terdapat seseorang yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit dengan berbagai alat yang terpasang di tubuhnya. Jantung Anna serasa mau copot saat melihat siapa seseorang itu.

Perlahan, Anna mendekat ke arah ranjang itu. Ditatapnya seseorang itu cukup lama. Hingga dia tidak dapat menahan air matanya. Awalnya, hanya satu tetes air mata. Lalu dia menghapusnya. Tetapi entah kenapa, tiba-tiba saja tetesan-tetesan tersebut berubah menjadi isakan.

Isakan yang berubah menjadi tangis kencang. Bagaimana seseorang yang dia kenal kuat bisa menjadi lemah seperti ini?

Tangannya pun terulur untuk menyentuh dahinya yang tertutup perban dan mengusap perlahan.

"Kak, lo sakit apa sih? Kenapa lo di sini? Kenapa lo nggak berangkat sekolah? Terus, kenapa banyak luka di tubuh lo? Lo dipukul sama Keano lagi?"  

"Kak, jawab dong. Jangan cuma diem aja." Tangis Anna benar-benar pecah seketika. Ia tidak kuasa menahannya.

Tanpa henti, air matanya pun turun dan membasahi pipinya.

"Lo nggak akan ninggalin gue, kan? Lo pasti bakal sehat lagi, kan? Pasti bakal balik kayak Kak Alvaro yang gue kenal dulu, kan?" Bertubi-tubi pertanyaan keluar dari mulut Anna. Sayangnya, seseorang itu hanya diam dengan kondisi mata tertutup rapat. Bergerak untuk membalas pertanyaan Anna pun tidak.

"Kak, jawab dong..." Anna memeluk tubuh laki-laki itu. "Gue minta maaf kalau punya salah sama lo. Maafin gue."

Alvaro Pranadipta yang dia kenal berubah sejak detik ini. Dia bukan Alvaro yang kuat, tegar, bahkan sehat. Anna memang bodoh karena meninggalkannya begitu saja. Melukai hati laki-laki yang bahkan mati-matian menjaga hatinya. Anna benar-benar menyesal.

"Kak, bangun, ya. Gue kangen sama lo."

Tidak ada yang tahu bahwa Alvaro meneteskan air matanya.

****

Bayu, Elang, dan Vigo saling mengobrol satu sama lain di luar. Bayu mulai membicarakan masalah kemarin. Saat ia menemui dokter yang menangani Alvaro.

"Dok, bagaimana keadaan teman saya?"

Dokter tersebut hanya diam. Otomatis membuat Bayu bingung.

"Bagaimana keadaan teman saya, Dok?"

"Saya tidak bisa mengatakan karena hanya Tuhan yang tahu kapan manusia akan meninggal. Namun, jika melihat kondisi Alvaro yang semakin hari semakin menurun, tidak ada perkembangan sama sekali, terpaksa saya melepas seluruh alat-alat yang menempel pada tubuhnya."

"Ma -maksud dokter?"

"Kita hanya bisa menunggu keajaiban datang. Entah dari seseorang yang mungkin berarti bagi Alvaro."

Setelah itu, Dokter tersebut ijin menangani pasien lain.

Yah, begitulah percakapan antara dirinya dengan sang dokter. Elang dan Vigo yang mendengarkan hanya bisa mendesah.

"Nunggu keajaiban?" tanya Elang dengan tertawa hambar. 

Ketika itu juga, pintu terbuka lebar. Menampilkan wajah Anna yang sembab dan berantakan. Dia keluar karena tidak kuat melihat seseorang--yang begitu berarti baginya--terbujur kaku di atas brankar.

Mereka pun bangkit dari duduknya dan menghapiri Anna yang terlihat lemas. Sangat lemas. Air matanya pun masih saja menetes. Hanya saja, tidak sebanyak waktu berada di dalam ruangan.

Mereka jadi kasihan menatap Anna. Pasti Anna akan menyalahkan dirinya sendiri. Pasti Anna berpikir bahwa semua karenanya. Karena telah menolak dan menyuruh laki-laki itu untuk pergi darinya.

Anna diam dengan tatapan kosong dan air mata yang terus menetes. "Gue mau di sini. Nungguin Kak Alvaro sampai sadar," ucapnya secara tiba-tiba.

"Lo nggak mungkin di sini terus. Lo juga harus sekolah, Na," kata Bayu secara perlahan. Dia tidak bisa membiarkan Anna terus menerus berada di dekat Alvaro. Tapi dia juga tidak bisa membiarkan Anna pergi dari Alvaro.

Anna menggelengkan kepala dan tetap kukuh ingin berada di samping Alvaro. Dia tidak ingin pulang, apalagi untuk berangkat sekolah.

"Anna, lo pulang aja nggak papa. Kasihan lo-nya kalo mau di sini," tutur Elang.

"Gue mau tetap di sini."

****

Anna kembali masuk ke dalam dan duduk di samping brankar Alvaro. Sakit ketika melihat orang yang biasanya ada di samping kita. Sekarang malah terbujur di atas brankar dengan mata, berbagai macam alat, serta luka di tubuhnya.

Anna mendesah pelan. Hatinya masih saja sakit melihat pemandangan di depannya. Laki-laki itu enggan untuk membuka matanya. Apa dia tidak ingin melihat Anna?

"Kak, kok lo nggak bangun-bangun, sih," ujar Anna sembari mengambil tangan Alvaro untuk digenggamnya. "Gue udah ada di sini. Tapi lo-nya nggak mau melek."

Anna menatap wajah Alvaro lama. Ternyata, rindu dengan seseorang dalam keadaan tidak sadarkan diri lebih sulit. Daripada rindu dengan seseorang yang berada jauh dari kita.

"Segitu bencinya, ya, lo sama gue sampai-sampai nggak mau buka mata." Anna kembali mendesah. Menjatuhkan pandangannya pada ubin ruangan tersebut. "Maafin gue, ya, Kak. Maafin gue karena waktu itu gue minta Kakak supaya jauh-jauh dari hidup gue."

"Padahal lo susah payah jaga perasaan gue biar nggak terluka. Gue emang nggak tahu diri, ya?" tanyanya sambil memaksakan diri untuk tertawa. Walaupun nyatanya hanya air mata yang keluar.

Penyesalan memang selalu datang di akhir kejadian. Jika di awal, bukan penyesalan namanya. Tapi pendaftaran. Dan Anna kembali menyesali dirinya yang gegabah dalam mengambil keputusan. Tanpa memikirkan kedepannya akan seperti apa.

****

Nana, Vivi, Levie, Caramel, dan Adele sedang duduk bersama di dalam kelas. Anna yang tidak berangkat tiba-tiba membuat semuanya kebingungan. Apalagi, melihat surat izinnya yang ada di atas meja. Tertera bahwa dia sakit. Padahal, semalam mereka habis pergi menonton dan jalan-jalan bersama.

"Lo beneran nggak bisa telepon dia?"

"Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif..."

Levie menjauhkan ponselnya ketika mendengar suara operator mulai berbicara. "Ponselnya nggak aktif daritadi."

"Gue nggak percaya sama surat di atas meja itu," kata Vivi yang telah membaca surat tersebut. "Nggak mungkin Anna sakit mendadak."

Mereka menyetujui perkataan Vivi. Anna tidak akan sakit jika tidak ada sebabnya.

Adele mengedarkan pandangannya untuk mencari seseorang yang menaruh surat Anna di atas meja. Hanya dia informasi yang dapat mereka dapatkan. Matanya berhenti pada seseorang yang duduk tak jauh dari mereka. Sedang mendengarkan musik dengan pejaman mata. "Kita bisa tanya dia,"

Seluruh mata mereka mengikuti arah pandang Adele yang berhenti pada seorang laki-laki. Mereka pun terdiam menatap Adele. Tidak percaya jika dia tahu tentang kondisi Anna.

"Nggak mungkin," tukas Caramel sambil menggelengkan kepala. "Gue agak kurang percaya kalau dia tahu tentang Anna."

"Tapi nggak ada salahnya kalau kita tanya, kan?"

Adele bangkit dari bangkunya dan berjalan menuju bangku seseorang. Duduk di hadapan kedua laki-laki yang sibuk dengan dunianya masing-masing.

Belum sampai Adele bertanya, laki-laki itu sudah angkat bicara. "Mau nanya Anna dimana?"

Adele memundurkan badannya kaget. "Kok, lo tahu?"

Pandangan matanya beralih pada Adele yang terlihat kaget. "Nggak usah kaget kali," katanya santai lalu beralih menatap ponselnya kembali. "Anna nggak sakit. Cuma..."

"Cuma?" tanya Adele tidak sabar. Membuat kedua laki-laki itu mengerutkan dahi sejenak. Membuat Adele menutup mulutnya sambil menahan malu.

"Dia sekarang lagi di rumah sakit."

Adele spontan memukul laki-laki itu dengan emosi. "Itu namanya sakit oon!"

Keano yang di pukul pun mengusap lengannya sambil menatap Adele. "Bukan dia yang sakit."

Tangan yang siap untuk memukul berhenti di udara begitu saja ketika mendengar kalimat Keano. "Lah, terus?"

"Alvaro yang ada di rumah sakit. Dan Anna sekarang lagi nemenin dia."

"Al -Alvaro?"

****

Mereka berlarian menuju pusat informasi. Menanyakan dimana letak kamar seniornya berada. Petugas pun dengan sabar mencarikan nama yang mereka sebutkan. Hingga tak lama, petugas menyebutkan kamar tersebut.

Mereka terenyak di tempat ketika mendengar 'ruang ICU'. Namun mereka tidak ambil pusing dan segera berlari menuju lift. Masuk dan menekan tombol empat. Tak butuh waktu lama, pintu lift kembali terbuka. Dengan tergesa-gesa, mereka berjalan keluar. Mencari dimana letak kamar seniornya.

Ketika menyurusuri koridor rumah sakit, tak sengaja mata Levie menangkap sosok teman Alvaro. Dia melihat Bayu di depan ruangan dengan kepala menunduk.

"Itu Kak Bayu," katanya dengan menunjuk seseorang yang tak jauh darinya. Mereka segera mengikuti arah pandang Levie dan berlari ke arah Bayu.

Merasa ada orang yang berdiri di depannya, Bayu pun membuka mata sambil mendongakkan kepala. Betapa kagetnya dia ketika melihat adik kelasnya ada di sini. Mereka bukan sekadar adik kelas saja. Namun, teman-teman dari Anna.

"Kalian, tau darimana?"

"Kak, Anna ada di dalam?" Levie memaksa Bayu untuk menjawab pertanyaannya. Sedangkan Bayu bingung harus menjawab bagaimana.

"Iya, teman lo di dalam."

Mereka segera bergegas masuk. Namun, suara berat nan dingin seketika menghentikan langkahnya.

"Nggak bisa masuk semuanya."

Mereka pun menoleh ke sumber suara. Ternyata, suara milik Elang yang tengah menatap mereka. "Lebih baik kalian tunggu di luar aja."

"Kasih Anna kesempatan buat bicara sama Alvaro."

****

Baru satu hari saja, rasanya berat bagi Anna. Bagaimana kalau setiap hari? Anna tidak akan kuat menghadapinya.

"Kak, lo betah banget tidurnya?" tanya Anna lirih. "Lo nggak mau buka mata gitu?"

Walaupun tidak akan ada jawaban, namun Anna tidak lelah untuk mengajak Alvaro bicara. Anna tidak akan bosan mengajak Alvaro untuk membicarakan sesuatu. Apa saja yang ada, akan Anna bicarakan.

"Kak, bangunlah." Anna menggoyang-goyangkan badan Alvaro yang terbujur kaku. "Di sana lihat apa coba? Paling juga gelap. Nggak ada warnanya. Mending Kakak bangun sekarang."

Air mata Anna kembali jatuh. Membasahi wajah Alvaro begitu saja. "Gue janji, kalau lo bangun, gue bakal nurutin semua kemauan lo. Gue janji bakal ada di sisi lo. Gue janji bakal--"

Ucapan Anna terhenti begitu saja karena tangisnya semakin kencang. "Gue janji bakal terima lo. Jadi, bangun, ya, Kak?"

Semua orang yang mengintip mereka dari luar hanya bisa menahan sesak. Cinta memang perlu sebuah perjuangan.

****

Tbc....

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 707K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
7M 293K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
13.3M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...