About Time ✔

By VanillaLattee_

39.9K 9K 3.8K

Semua tentang waktu. Waktu untuk bertemu. Waktu untuk bersama. Waktu untuk berpisah. Waktu untuk melupakan. D... More

Pemberitahuan
Prolog
BAB 1 : Telepon yang Mencurigakan
BAB 2 : Quality Time
BAB 3 : Jalan-Jalan
BAB 4 : Vino yang Berubah-Ubah
BAB 5 : Pasien Anna
BAB 6 : Vino yang Menjengkelkan
BAB 7 : Hobi Baru
BAB 8 : Masalah Ponsel
BAB 9 : Sementara
BAB 10 : Sebuah Hadiah
BAB 11 : Penjelasan
BAB 12 : Sekolah
BAB 13 : Ikuti Kata Hati
BAB 14 : Bestfriend
BAB 15 : Tak Dapat Ditebak
BAB 16 : Dia Berbeda
BAB 18 : Bolos
BAB 19 : Luka
BAB 20 : Hati yang Patah
BAB 21 : Perkelahian
BAB 22 : Terjawab Sudah
BAB 23 : Permintaan Maaf
BAB 24 : Berita
BAB 25 : Fakta yang Mengejutkan
BAB 26 : Merelakan
BAB 27 : Berharap
BAB 28 : Kebahagiaannya Kembali
BAB 29 : Menurunkan Ego
BAB 30 : Pernyataan Cinta
Epilogue

BAB 17 : Time

632 99 30
By VanillaLattee_

Alvaro dapat menjawab pertanyaannya yang bahkan tidak ia sebutkan. Hanya ia tanyakan dalam hati. Sungguh, sikap dan tingkah seniornya membuat ia menjadi gila dalam sekejap.

Alvaro kembali menjalankan mobilnya. Namun tidak mengarah pada rumah Anna. Sadar akan jalan berbeda, Anna menatap Alvaro.

"Ini bukan jalan ke rumah gue."

"Emang bukan," jawabnya santai tanpa rasa bersalah.

"Kok gitu, sih? Gue mau balik sekarang."

"Gue pasti bakal anterin lo balik. Tapi sebelumnya, lo harus nemenin gue makan."

Tidak butuh waktu lama, mereka telah sampai di sebuah warung pecel lele yang cukup terkenal di daerah sini. Alvaro kemudian memarkirkan mobilnya dan mematikan mesin. "Ayo turun."

Yang diajak bicara pun masih saja diam sambil menatapnya. Membuat Alvaro mati kutu ditatap oleh Anna. Alvaro pun berdeham untuk menghilangkannya dan mengubah raut wajahnya menjadi cuek.

"Kenapa?"

"Gue juga laper. Tapi..."

Alvaro memiringkan kepalanya saat kepala Anna memiring. "Tapi?"

"Gue nggak doyan lele," rengeknya seketika. Membuat Alvaro menegakkan kepalanya kembali. "Gue temenin makan apa aja, deh. Asal jangan lele."

"Emang pernah coba?" Anna menggelengkan kepalanya.

Setiap orang pasti berbeda-beda. Ada yang suka dengan lele dan ada yang tidak. Sayangnya, Anna termasuk kategori yang tidak suka dengan lele. Awalnya, Anna merasa biasa saja dengan ikan tersebut--walaupun Bundanya atau Bi Ijah tidak pernah membeli ikan lele. Tetapi ketika tidak sengaja mendengar bagaimana buruknya hewan tersebut dari orang lain. Seketika membuat Anna menjadi tidak suka.

"Yaudah. Coba dulu."

"Nggak mau!"

"Nanti kalau nggak suka baru kita pindah tempat."

"Beneran?"

Alvaro mengangguk sebagai jawaban. "Hapus itu air matanya. Cuma gitu doang nangis." Setelahnya, ia turun lebih dulu tanpa membukakan pintu untuk Anna.

"Jahat."

****

Mereka telah duduk di salah satu sudut warung tersebut. Anna tahu kalau warung pecel lele ini sangat terkenal. Tapi ia tidak pernah sekalipun datang ke sini. Bukannya tidak mau makan di pinggir jalan atau warung seperti ini. Tapi memang Anna tidak suka dengan lele.

"Kalau gue nggak doyan--"

"Coba dulu."

Tak lama, pesanan mereka datang bersama dengan minuman. Sejenak Anna menatap lele goreng yang dilumuri dengan sambal dan lalapan di tepi. Warna yang coklat bercampur dengan merahnya sambal...

"Makan." Alvaro mulai mengambil lele milik Anna dan mengambil beberapa dagingnya untuk di letakkan di piring yang berisi nasi. "Apa perlu gue suapin?"

"Nggak!"

Anna menarik piringnya untuk mendekat. Dia kembali menatap makanan tersebut.

"Makanan itu bukan untuk di lihatin, tapi untuk di makan." Anna menatap makanan Alvaro yang hampir habis lalu menatap makanannya yang masih utuh. Belum tersentuh oleh tangannya. "Tunggu."

"Ngapain?" Anna mengerutkan dahinya kala Alvaro tiba-tiba menyudahi makannya dan mencuci tangan. Kemudian ia mengambil sendok dan garpu yang membuat Anna paham. Mungkin dia ingin makan menggunakan sendok. Pikirnya begitu.

Namun ketika sendok dan garpu tersebut diletakkan di piringnya, Anna seketika diam. Sedang Alvaro mulai menyendokkan nasi berisi daging yang bercampur dengan sedikit sambal. "Buka mulut lo."

Anna masih diam dengan mata berkedip beberapa kali. Belum sadar akan apa yang terjadi.

"Buruan buka mulut lo." Alvaro mengangkat sendok yang telah berisi nasi dan mengarahkannya pada mulut Anna. "Keburu pegal tangan gue."

"Lo nyuapin gu--"

Hap!

Satu sendok masuk tepat pada mulut Anna. Alvaro menatap Anna sambil menunggu reaksi perempuan itu dengan semangat. "Gimana rasanya?"

Anna terus saja mengunyah dengan mata tertuju pada tatapan mata Alvaro membuatnya linglung sendiri. Padahal hanya tatapan mata. Perlahan, ia menelan makanan tersebut hingga mulut kembali kosong.

"Enak, kan?"

"Lumayan."

Alvaro tersenyum lebar mendengar reaksi Anna. Dia sudah menduga jika perempuan ini akan suka. "Kenapa bisa nggak suka sama lele sedangkan lo belum pernah coba?"

Anna bercerita bagaimana awal mulanya yang ternyata sudah ia duga sejak di dalam mobil. Sejak perempuan ini berkata jika dia tidak doyan makan lele. Rata-rata, orang sudah bilang tidak suka lebih dahulu sebelum mencobanya. Orang lebih memilih tidak mau ambil resiko sebelum memulai.

"Makannya, jangan percaya sama apa yang orang bilang kalau lo belum buktiin sendiri," katanya sambil kembali menyendokkan nasi dan mengarahkannya pada Anna. "Gue kayak nyuapin bayi besar."

Anna melotot yang dibalas Alvaro dengan kekehan pelan. Dia tidak bisa tertawa karena sudut bibirnya perih.

Setelah makanan habis, Alvaro bangkit untuk membayar. Bersamaan dengan itu, Anna juga ikut bangkit dan berjalan mendahulu Alvaro. Dia tidak ingin Alvaro yang membayar.

"Berapa totalnya?"

"Lima puluh ribu."

Baik Anna maupun Alvaro sama-sama mengeluarkan selembar uang lima puluh. Alvaro menatap Anna dengan berkata, "masukin uangnya."

Anna berusaha untuk cuek dan memberikannya pada penjual tersebut. "Ini, mbak."

Bukannya penjual yang mengambil uangnya. Tetapi Alvaro yang menyambar uangnya, memasukkannya dalam saku baju dan menyerahkan uang miliknya sendiri. "Ini, mbak."

Penjualnya hanya tersenyum dan berterima kasih. Lalu mereka keluar dengan uang Anna masih berada dalam saku baju Alvaro. Anna yang tertinggal di belakang berusaha untuk berlari kecil.

"Gue nggak mau--"

"Gue yang ngajak lo makan dan gue juga yang harusnya bayar makanannya." Alvaro masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin. Anna yang masih diluar hanya menatap Alvaro garang dan terpaksa masuk ke dalam mobil ketika Alvaro membunyikan klakson berkali-kali.

"Gue marah sama lo."

"Paling juga nggak ada satu jam marah lo bakal hilang."

"Sok tahu!"

"Lihat aja nanti."

Setelahnya, mobil Fortuner hitam tersebut kembali melaju bersama kendaraan yang lainnya. Membelah jalanan kota yang semakin padat. Para pekerja mulai pulang ke rumah mereka masing-masing. Sorenya hampir berganti menjadi malam.

****

"Ngapain kita ke sini?"

Alvaro memarkirkan mobilnya di tempat yang kebetulan kosong dan mematikan mesinnya. "Gue tahu kalau lo lagi cari novel terbaru."

Anna melebarkan matanya tak percaya. Dia diantarkan ke toko buku oleh seseorang yang hampir tidak mau menginjakkan kaki di toko buku.

"Seriusan lo nganter gue ke toko buku?!" tanya Anna antusias sambil memegang kedua lengan Alvaro. "Bukannya lo..."

Alvaro hanya mendesah pelan. "Biar nggak ngambek lagi."

Seketika binar di wajah Anna hilang. Dia melepas tangannya lalu melipat di depan dada dengan membuang muka. "Ah, curang. Mainnya sogok-menyogok."

"Kalau nggak mau juga bisa pulang sekarang."

Saat Alvaro akan menghidupkan mesin kembali, Anna bergegas untuk turun dan berlari masuk ke dalam. Alvaro yang masih ada di dalam mobil hanya menggelengkan kepala dengan senyum kecil yang terbit di wajahnya.

"Gue ingin jadi alasan lo buat selalu tersenyum bahagia."

****

Ketika sampai di rak tempat novel berada, Alvaro segera mengedarkan pandangannya. Mencari keberadaan perempuan itu. Hingga akhirnya ia menemukan Anna tengah duduk di lantai sambil membaca salah satu novel yang tidak Alvaro pahami.

Alvaro ikut duduk di samping Anna sambil memperhatikan bagaimana perempuan itu serius membaca buku. Iya, perempuan itu selalu cantik dengan hal apapun. Saat sedang marah, sedang sedih, sedang senang, ataupun sedang serius seperti sekarang ini.

Sekarang, ia paham kenapa Anna sulit dilepaskan oleh Keano. Karena Anna beda dari perempuan lain pada umumnya. Dia spesies yang langka dan harus dilestarikan. Karena mencari perempuan sepertinya sudah sangat sulit. 10 berbanding 100.

"Loh, sejak kapan di sini?" Anna menutup buku tersebut dan menatap Alvaro yang sudah duduk di sampingnya.

"Sejak tadi," katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari Anna. "Novel apaan itu?"

"Ah, ini," katanya sambil menunjukkan cover novel tersebut. "Novel romance yang intinya bercerita tentang waktu. Waktu untuk berkenalan, waktu untuk bertemu, waktu untuk melupakan, waktu untuk memulai, dan waktu-waktu yang lainnya yang terjadi dalam hidup."

Alvaro mengangguk-angguk kepalanya. "Waktu untuk bertemu udah, waktu untuk berkenalan juga udah, kurang waktu untuk memulai, ya, kan?"

"Hah?"

"Iya, gue lagi cari waktu untuk memulai cerita sama lo."

Deg!

Jantung Anna seketika berdegub kencang disertai dengan darahnya yang terasa mengalir deras. Bagaimana bisa hanya dengan kata-kata, sekujur tubuhnya kaku seketika?

"Salah nggak sih, kalau gue ingin jadi alasan lo buat selalu tersenyum bahagia?"

****

Anna membayar dua buah novel dengan didampingi Alvaro. Mereka masih sama-sama diam sejak Alvaro ngomong ngelantur tadi.

Seusai membayar, mereka berjalan menuju eskalator untuk turun ke bawah. Ke tempat dimana mobil Alvaro terparkir. "Mau kemana lagi?"

"Anu pu-pulang aja," ujarnya gelagapan. Padahal kejadiannya sudah beberapa menit yang lalu. Tetapi jantungnya masih saja berdetak kencang. Dia hanya berdoa agar Alvaro tidak mendengar detak jantungnya.

Sesampainya di tempat parkir, Anna segera masuk dan duduk di kursi bagian tengah. Alvaro yang masuk terakhir pun kaget. Karena Anna berada di belakang. "Lo ngapain di situ?"

Anna mencoba untuk menyibukkan diri dengan membuka ponselnya tanpa merespon pertanyaan Alvaro--walaupun sebenarnya dengar.

Merasa tidak di respon, Alvaro turun dan berjalan ke belakang--lebih tepatnya ke arah dimana Anna duduk. Ia membua pintu mobilnya. "Pindah depan."

Anna terus mencoba untuk menyibukkan diri dengan bermain game.

"Gue tahu kalau lo cuma pura-pura sibuk." Anna berhenti bermain game, namun tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Buruan pindah depan. Gue bukan sopir lo."

Alvaro kembali masuk dan duduk di belakang kemudi. Menunggu Anna yang perlahan turun dan masuk ke dalam mobil kembali. Duduk di samping Alvaro dengan pandangan menunduk. Alvaro yang melihat tingkah Anna hanya bisa menahan senyum.

Kemudian, mobil mulai berjalan menuju rumah Anna.

Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil tersebut sangat hening. Musik yang biasanya terputar pun sekarang mati. Entah sang pemilik mobil sedang tidak ingin mendengarkan atau memang tape mobilnya rusak.

Anna berharap agar ia segera sampai di rumah. Canggung dan senyap seperti ini tidak enak di rasakan. Baru saja ia selesai berdoa, jalanan yang menuju ke rumahnya macet total. Bagaimana Anna bisa tahu? Alvaro yang mengatakan.

"Jalan rumah lo macet total."

Anna ingin segera turun dari mobilnya sekarang juga. Toh, rumahnya tidak jauh dari sini.

"Jarak dari sini sampai rumah lo masih sekitar 20km." Alvaro terus membuka GoogleMaps-nya tanpa mengalihkan pandangan ke arah Anna yang sudah gelisah seperti cacing kepanasan. "Kalau lo mau jalan juga nggak papa."

"Nggak!" sahut Anna cepat dengan mata melotot. "Gila aja gue disuruh jalan sejauh 20km."

Sedangkan Alvaro menatap Anna dengan dahi berkerut. "Gue nggak nyruh lo buat jalan." Ia mematikan ponselnya dan memasukkan ke saku bajunya. "Gue cuma menawarkan."

Alvaro mengambil selembar uang milik Anna dan menyodorkannya. "Nih, uang lo tadi."

"Nggak mau."

"Yaudah, gue masukin ke dalam tas lo."

Alvaro berniat akan memasukkan uangnya ke dalam tas Anna. Namun tangannya terhenti di udara ketika Anna mencegahnya. "Nggak mau." Wajah Anna berubah menjadi... lucu dan menggemaskan jika sedang seperti ini. Dan Alvaro akui itu.

"Makanannya, kan, udah gue bayar."

"Yaudah, uang itu simpen aja."

"Tapi ini bukan uang gue."

"Itung-itung gue yang bayar."

"Tapi gue nggak mau."

"Yaudah, di buat jajan teman-teman lo besok," ujar Anna yang masih setia mencekal tangan Alvaro. Sang pemilik tangan pun tidak menolak sekali pun.

"Gue anti yang namanya dibayarin sama cewek," katanya sambil menatap manik mata Anna. "Jadi uangnya--"

"Anggap aja gue cowok," sahutnya yang seketika membuat Alvaro tertawa kencang sebentar sebelum kembali menutup mulutnya karena sakit di ujung bibir. "Sukurin."

Alvaro pun mendesah pelan. "Terserah lo, deh."

Sepertinya, lebih baik ia mengalah daripada perdebatan tidak akan ada habisnya. Karena Anna adalah tipe orang yang keras kepala. Kalau keras kepala ditambah keras kepala. Pasti tidak akan ada habisnya. Salah satu diantara mereka harus rela mengalah. Dan Alvaro rela mengalah demi Anna.

Dia kembali fokus pada depan dan menjalankan mobilnya pelan-pelan dengan satu tangan. Tangan yang satunya masih berada dalam cekalan tangan Anna.

"Gue ngantuk," gumam Anna disertai dengan dirinya menguap.

"Tidur."

"Nanti gue bangunin kalau udah sampe rumah, ya."

Alvaro menggumam sambil terus menjalankan mobilnya pelan-pelan. Tak menunggu lama, Anna sudah terlelap dengan posisi yang menurut Alvaro tidak nyaman. Kursi yang tegak tidak bisa membuat siapa saja tidur dengan nyaman.

Maka dari itu, Alvaro mendekat ke arah Anna dan menyenderkan kursinya ke belakang. Tak lupa, ia juga menutup kaki Anna menggunakan hoodienya. Dia juga sempat mengusap lembut rambut Anna.

Rasa ingin memiliki perempuan ini semakin tinggi. Selama menjadi badboy, tidak pernah yang namanya ia merasakan yang seperti ini. Rasa yang tidak akan ia temui pada perempuan-perempuan lain. Rasa yang membuat setiap detik hatinya berdetak kencang. Rasa yang selalu meletup-letup dengan sendirinya. Dan rasa tidak ingin kehilangan. Pasti.

Sayangnya, perempuan yang tengah ia pandangi belum berdamai dengan masa lalunya. Ia masih terikat akan masa lalu kelam tersebut. Yang terkadang membuat wajah cerahnya menjadi redup dengan sendirinya, tawa bahagianya yang hilang tanpa disengaja, dan hatinya yang mungkin masih menyimpan luka.

"Hari ini, gue ketemu sama Keano, Na," gumamnya dalam sunyi. "Dia marah sama gue karena dia mikir kalau gue yang maksa lo buat datang. Gue yang ngerebut lo paksa. Padahal gue nggak pernah maksa lo sama sekali. Dia juga minta supaya lo bisa sama dia lagi."

Alvaro diam sebentar sebelum melanjutkannya kembali. "Tapi hati gue berkata 'nggak boleh'. Padahal gue bukan siapa-siapa lo, ya. Entahlah, tapi gue nggak rela lihat lo sakit. Ya, walaupun sebenarnya gue nggak tahu pastinya masa lalu lo kayak gimana, sih." Dia menghela napas panjang dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Udah, ah."

Alvaro kembali fokus menyetir tanpa menoleh ke arah Anna yang ternyata sudah membuka matanya dengan air mata yang lolos begitu saja di pipinya. Anna mendengar seluruh celotehan Alvaro dengan menahan sesak.

Jadi, babak belurnya karena Keano?

****

Tbc...

Continue Reading

You'll Also Like

903K 66.9K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
6.1M 707K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...