Love Or Die

By tjitsar

516K 35.7K 2.4K

"Kau tahu cara membuat wanita jatuh cinta padamu?" "Memangnya menurutmu bagaimana?" "Make her laugh." This wo... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
Who Plays Whom
Epilog

45

13.3K 613 168
By tjitsar

"Jed,"

Ata-

************

Udara malam hari Kindaren benar-benar sejuk. Terletak di dataran tinggi, dikelilingi pegunungan dan lautan, tak heran cuaca malamnya begitu dingin, bahkan pada musim dingin berada di bawah titik nol derajat. Anginnya juga berhembus kencang. Rata-rata rumah orang Kindaren memiliki jendela yang kecil. Mereka mengantisipasi udara dingin yang menusuk.

Begitu pula rumah keluarga Zoff. Memiliki dua lantai, mereka punya banyak jendela kaca namun begitu jarang dibuka. Ada perapian di beberapa ruangan. Salah satunya, ada di ruang makan ini. Tapi, hangatnya ruangan itu pelan-pelan seperti menekan Jed hingga dia sulit bernafas.

Di tatapnya semua orang, lalu Ata yang paling akhir. Dia melepaskan tangannya dari genggaman Ata.

PERNIKAHAN? Dia akan pulang malam ini juga. Itu yang dikatakan Jed pada dirinya sendiri. Dia sudah cukup dengan semua ini. Mungkin Ata bukanlah segalanya. Nanti, dia akan menemukan penggantinya. Jika dia dan Ata harus berpisah, itu artinya Jed masih diberi kesempatan untuk menemukan gadis lain. Bedebah! Ata tak pantas untuknya. Hubungan ini, dia menginginkannya tapi tidak seperti ini. Tidak dia sebagai korban berulang-ulang.

Ata adalah semua yang dia inginkan sekarang. Mati dan hidupnya. Tapi, dia selalu membuat Jed ingin mati. Pernikahan itu masalah serius bagi Jed. Dia rasa, karena itulah dia belum ingin menikah di usianya yang mau menginjak 34 tahun. Bukankah efek yang diberikan Ata begitu besar bagi Jed, hingga dia ingin mengajak Ata menikah? Tapi, dia dihancurkan lagi. Dia bersumpah, dia lelah.

"Aku-" Jed menelan ludah, meletakkan garpu di meja dan menarik nafas. "dia tak pernah bilang kalau dia sudah pernah-" Jed menelan ludahnya lagi. "menikah."

Dia melihat Lachlan, pria itu menggeleng. "I am sorry, Jed." katanya melihat Jed, lalu istrinya.

"Sebaiknya aku-"

Jed benar-benar bodoh sekarang. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Pergi dari sini sekarang, atau meminta penjelasan. Bagaimana kalau penjelasan itu makin mematikannya? Tapi, kalau dia tak tahu apa yang sebenarnya, dia tak akan merasa puas.

"Lachlan, Sayang," ujar Estella. "Kenapa kau melakukan ini pada Jed?"

Jed lalu memberanikan diri melihat Ata. Wanita itu melihat Jed dengan tatapan kasual, seakan tak ada yang penting dari pengakuan Lachlan barusan. Dia sudah menikah! Dengan siapa dia menikah? Siapa? Harusnya dia mengatakan itu dari awal. Harusnya dia bilang pada Jed, agar Jed bisa memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini atau tidak. Tidakkah Ata memakai otaknya?

Dua orang benar untuk ini. Pertama, Chelsea yang bilang Ata tak pandai menggunakan otaknya. Itu benar sepenuhnya. Dia tak akan merahasiakan ini pada Jed jika dia punya otak. Kedua, Thomas. Sahabatnya itu mengingatkan kemungkinan rahasia gelap keluarga Ata. Bukan soal pembunuhan kakek atau apapun, tapi ini pembunuhan pada dirinya, secara mental.

"Kenapa kau tak pernah cerita?"

Ata mengerutkan keningnya. "Jed, Darling!"

"Please, don't 'Darling' me!"

Ata merapatkan bibirnya. Entahlah, Jed tak paham. Haruskah dia menampar perempuan itu agar dia berpikir dengan benar? Ini masalah serius. Oke, dia mungkin tak lagi menjadi istri seseorang sekarang, tapi Jed berhak tahu masa lalu Ata.

Jed sudah membuka semua kartunya, kelemahan dan kekurangannya, rahasia tergelapnya, rasa bersalahnya, dan semua hal yang dia harap bisa perbaiki. Tapi, Ata memilih meninggalkan kertas kosong padanya. Seakan dia adalah orang suci.

"Jed," suara Estella terdengar pelan. "I am sorry."

"I think I am done," Jed mendorong piringnya menjauh. Dia tak ingin apa-apa lagi. Done with everything. "Why?" ujar Jed pelan. Lebih pada pertanyaan untuk diri sendiri.

"Jed," panggil Lachlan.

Jed menoleh padanya. Kalau Lachlan bisa membaca pikiran, pasti dia sekarang tahu ada banyak sumpah buruk dalam otaknya. Jed menatapnya tajam.

"I GOT YOU, Jed!" seru Lachlan lantang, dengan tepukan tangan berulang-ulang.

Lalu, semua orang di ruang makan tertawa pecah. Termasuk Ata yang hanya tersenyum pada Jed. Jed melihat ke sekelilingnya. Chelsea bahkan tak bisa menahan air matanya saking senangnya dia.

FUCK!

"Kau mengumpat lagi!" ujar Lachlan. "We got you, Boy!" dia menunjuk Jed seraya tertawa keras. Memukul meja berkali-kali.

"Jed, oh Tuhan, maaf!" ujar Estella.

Jed berusaha tenang meski ada gelombang besar dalam dadanya. Dia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa ini?"

"Itu hanya cerita bohong, Jed!" ujar Estella.

Jed melihat Lachlan. Pria itu juga kini tengah mengelap sudut matanya, menahan air mata yang ingin turun. Ini pasti lucu sekali baginya. Sudah berapa lama dia tak tertawa seperti itu, huh?

"Aku belum pernah menikah, Sayang. Papap hanya mengerjaimu!" ujar Ata.

Jed menelan ludah, merapatkan rahangnya.

"Kubilang apa, Pap. Dia tak akan senang dengan ini!" ujar Niko. "Easy, Jed. Inhale, exhale. Kau baru saja dikerjai Lachlan. Sekarang, kau bisa menjadi anggota keluarganya!"

Jed melihat Niko. Pria militer itu mengangguk dan mengangkat gelas ke udara.

"Kau tahu, aku dengar apa saat akan melamar Chelsea?"

Jed diam saja. Dia masih berada di fase melepaskan semua amarahnya. Shocked and confused.

"Lachlan sendiri yang bilang padaku kalau Chelsea adalah seorang lesbi. Kau percaya itu?" dia meneguk air putihnya. "Pria ini gila, Jed!"

"Jed, are you okay?" Estella kelihatan cemas.

Jed melihat Ata, memohon dengan tatapannya. Ata segera memeluk Jed, menepuk punggungnya dan membisikkan sesuatu.

"Kau dikerjai, Sayang. Papap selalu melakukan itu! Hei, it's all bullshit!"

"Fuck, Ata! Fuck!" ujar Jed. "Oh, God! Goddamnit!"

Ata melepas pelukannya, menepuk pipi Jed sambil tertawa. "You look so pale."

Jed melihat Lachlan sekarang. Dia mengangkat alisnya.

"You got me all around, Old Man!"

"My speciality!" katanya. "Kau baik-baik saja?"

Estella bahkan repot-repot bangkit dari bangkunya untuk mengelus bahu Jed pelan.

"Itu kebiasaannya, maaf, Jed."

Jed mendongak pada Estella, memegang tangan di bahunya. "Aku sudah berniat pulang malam ini, Mrs. Zoff. Aku ingin mati!"

"Minumlah." dia memerintah.

Setelah menghabiskan air putih, Jed mengusap wajahnya. Semua orang masih tertawa pelan, menikmati sandiwara yang mereka buat.

"Jadi, aku akan bertanggung jawab." Lachlan berkata seraya memakan pencuci mulutnya. "Jed, Ata belum pernah menikah sama sekali. Kau dikerjai!"

Jed mengangguk pasrah. Ata menepuk bahunya, tertawa.

"You wanna know the truth?" Lachlan melihatnya serius.

"Tidak, tidak lagi!" ujar Jed. "I can burn your house down, Tuan!"

Lachlan tertawa. "The truth is, I like you."


Ata membuka pelan pintu kamar Jed. Saat angin menerpa wajahnya, dia tahu Jed ada di balkon. Dia menikmati angin malam yang sejuk dengan bintang-bintangnya. Jed menoleh saat mendengar langkah kaki. Melihat Ata, dia menggeleng padanya.

Ata tak memilih duduk di kursi sebelah Jed, melainkan duduk di pangkuan Jed. Mengalungkan tangan di leher pria itu, diikuti tatapan manja yang akhir-akhir ini selalu bisa melumpuhkan Jed. Jed melepaskan rokok di tangan untuk menaruh tangannya di pinggul Ata.

"Masih ingat rasi bintang itu?" tanya Ata tanpa melihat ke langit. "Gubuk penceng!"

"Satu-satunya yang kau tahu!"

"Kau kaget?"

"Sudah jelas! Lachlan luar biasa!"

"Itulah yang selalu ingin dia lakukan pada pria yang dekat dengan puterinya."

"Tapi, lelucon semacam itu?"

"Maafkan dia. Dia hanya menyukaimu, ya, kan? Dia akan menceritakan banyak hal padamu. Lihat saja. Kau akan bosan mendengarnya. Kau akan diberitahu rahasia spionase."

"Sejauh itu?"

"Karena dia menyukaimu!"

"Bagaimana denganmu?"

"Kau tak perlu bertanya lagi, Jed."

Ata mendekatkan wajahnya, menempelkan bibirnya pada bibir Jed sekilas. Seperti kuas menggores kanvas sekali jalan. Jed mengeram. Ata menggoda Jed dengan gigitan kecil di telinganya.

"Kau lebih baik memberi tahu semua rahasiamu sekarang, Atlanta!" ujar Jed dengan nafas tertahan.

"No more secrets!" bisik Ata. "You can relax now."

Jed mencengkram pinggul Ata kuat, mengatur posisinya. Ata tahu ada yang berkembang di sana. Jed menutup matanya, mengeram lebih dalam. Udara dingin tak lagi dia pedulikan. Disini, dia dan Ata seperti terbakar. Gairahnya sudah terpancing.

Jed mendapatkan bibir Ata dalam mulutnya. Bernafas dari nafas yang mereka transfer bolak-balik. Tangan Jed meremas bokong Ata, membuat Ata memperdalam ciumannya dengan sedikit sengatan kali ini.

"Jed!" desah Ata saat dia tak bisa mengimbangi Jed lagi. "I want you."

"So do I." Jed mengulum bibir bawah Ata. "but-" dia menurunkan ciumannya ke leher Ata. "Lachlan tak akan suka dengan ini!"

"Yeah!" Ata menarik sejumput rambut Jed saat tangan Jed sudah pindah ke bagian depan.

"Shit!" desis Jed.

"Jehd!" suara Ata terdengar begitu seksi karena ada ketakutan saat suara itu jadi besar dan didengar.

"Listen," kata Jed, bernafa di depan Ata, masih mencuri ciuman dari bibir Ata. "Kalau kau lanjutkan, aku tak akan berhenti. Jika kau berhenti, kita akan berhenti sekarang!"

Ata terengah."Papap mungkin bisa mendengar kita!"

Jed menggigit bibir bawahnya sendiri. Menekan pusat tubuhnya yang mendamba. "Jangan bergerak!" Jed menutup matanya. "Please, jangan bergerak!"

Ata tertawa pelan, menuruti Jed.

Jed menelan ludah. "Okay, you can kiss me!" kata Jed. "Just stop moving so much. It hurts!"

Ata menjatuhkan kepalanya di lekukan leher Jed. Dia mencium leher Jed ringan. Lalu, memagut bibirnya pelan dan lama. Membuat tangan Jed lagi-lagi bergerak tanpa diperintah. Dia ingin merobek kaos yang sedang dipakai Ata sekarang.

"Jed?"

Ata dan Jed terkesiap, melepaskan bibir lalu saling tatap saat suara Lachlan terdengar dari luar. Dia tak mengetuk pintu, hanya memanggil Jed dengan suara tegas.

No fucking way!

Jed berdeham. "Ya?" dia memejamkan matanya, menjawab dengan susah payah.

Ata tak bergerak di pangkuan Jed sekarang. Dia menenggelamkan wajahnya di dada Jed, mencoba tak bersuara sedikitpun.

"Kau bilang kau akan ikut aku mengantar Niko,"

Jed menggigit bibirnya lagi, lalu melihat Ata. Ata mengangkat kepalanya sedikit, meringis. "Salahmu!" kata Ata.

"Yeah, yeah, aku ikut!" kata Jed.

"Aku akan tunggu di bawah. Sepuluh menit, Jed, selesaikan urusanmu!"

"Aku pikir dia tahu!" bisik Ata.

Jed meringis. "Okay, I'll drive. Tunggu aku!"

Ata mengusap bibir Jed tipis saat yakin Lachlan sudah menjauh dari depan pintu kamar Jed.

"I like vanilla better!" kata Jed.

"I know!" Ata tersenyum, berdiri dari pangkuan Jed.

Tak kaget dengan apa yang disembunyikan Jed di antara dua pahanya, dia menepuk bahu Jed. "You can handle it?"

"I'll take shower." kata Jed.

"It's freezing!" goda Ata. "You'll get numb! Ditambah, kau sudah ditunggu."

"Or else, Babe-" Jed menyeringai bodoh. "we have ten minutes!"

*

Jadi, Ata benar tentang Lachlan. Dia menyukai Jed. Hingga membangunkan Jed pagi ini dan mengajak berjalan-jalan pagi. Mereka melewati tepi jalanan untuk jalan santai. Rerumputan hijau liar dan ombak dari lautan jernih menyambut mereka saat melintas di jalanan yang berbatasan dengan laut biru tua.

"Kau suka tinggal di sini, Tuan?"

"Lachlan saja," katanya. "Tentu saja. Udara sejuk, bersih, orang- orang yang ramah, rumah nyaman. Aku bahkan punya kebunku sendiri."

"Kota juga begitu!"

"Percaya padaku, Jed. Saat kau setua umurku sekarang, tempat seperti inilah yang kau inginkan untuk kau tinggali. Untuk kau kenang sebelum mati."

"Oh ya? Kurasa aku lebih suka kota besar. Gedung tinggi, kesibukan kota, kafe dengan kopi mahal, semacam itu. Kereta api ekspress."

"Lihat saja nanti."

"Every man to his taste." kata Jed. "Jadi, kau selalu berolahraga pagi?"

"Ya."

"Bagaimana rasanya akan melepas puterimu menikah? Chelsea akan menikah."

"Niko pria yang baik. Aku percaya padanya, meski begitu sedih melihat dia keluar dari rumah, dan memulai keluarga kecilnya sendiri. Tapi, it has to be it is! Kami para orang tua- kalau kami bisa, kami ingin selamanya tinggal bersama anak-anak kami. Tapi, seperti yang dikatakan di buku, anak-anak itu bukan anak orang tuanya. Dia punya kehidupan sendiri. Kalian seperti anak panah yang lepas dari busur!"

Jed menatap sisi wajah Laclan yang mulai berkerut banyak. Dia menghirup nafas panjang dan menatap ke arah lautan.

"Makanya, penting untuk memastikan kalian memilih orang yang tepat dan yang bersedia berkorban seperti apa yang orang tua korbankan untuk anaknya."

"Kau punya hati yang lembut, Lachlan."

Lachlan mengangguk. "Kau mau ngopi sebentar? Ada kafe di ujung jalan. Bukan kopi instan, yang jelas."

"Ya." ujar Jed seraya menarik resleting jaketnya sampai pangkal leher. Dia merasa kedinginan.

"Tapi, aku ingin bertanya dulu."

"Apa?"

"Apa rencanamu pada Atlanta puteriku?"

"Aku akan menjadikannya wanita paling bahagia saat dia bersamaku!"

"Kau yakin? Apa kau bisa?"

"She did the worst thing to me, yet I stay. Lalu, setelah bertemu denganmu, aku tak bisa lebih yakin dari ini!"

"She is my precious, Jed. I'll hang you to death if you do any harms to her!"

"I'll hang myself before you do. Please not to worry, Old Man. She is in the right company."

"Kau bawa dompet, kan?"

Jed mengerutkan dahi. Tangannya refleks meraba bokongnya, tempat dia biasa menaruh dompetnya. Tapi, dia baru sadar kalau tak ada kantong di bagian belakang celana olahraganya.

Lachlan mengembuskan nafas malas. "Let's go home then!"

"No!" cegah Jed. "Kau ke sana duluan, aku kan pulang mengambil dompet dan menyusulmu."

"Ayo kita pulang saja!" Lachlan mengubah arah perjalanannya.

"Sorry, Lachlan!"

"You little prick!"

Jed tertawa. Pria tua itu juga mengumpat.

"Lachlan, ada yang ingin kukatakan!" ujar Jed seraya menyusul Lachlan.

Sarapan di rumah Ata dilakukan di halaman belakang. Melewati jalan setapak dari pintu dapur, bunga di kiri dan kanan, ruang makan outdoor ini indah. Dinaungi atap rendah, di depannya ada air mancur yang menambah suasana segar pagi ini. Kursi yang dipilih terbuat dari besi, hingga kesan yang ditampilkan begitu santai. Pijakannya, dibuat dari batu alam berwarna putih, membuatnya lebih berkilau daripada rumput-rumput di sekelilingnya.

"Kopi atau jus?" tanya Estella pada Jed yang baru bergabung.

"Kopi, please." dia tersenyum. "Selamat pagi, Chelsea." sapanya pada satu-satunya orang yang belum dia temui pagi ini.

"Hai, Jed. Bagaimana jalan-jalan pagimu?"

"Oh," kata Jed melihat Lachlan yang kini meletakkan korannya dan membalas tatapan Jed. "Dia marah karena aku tak membawa dompetku!"

Chelsea dan Ata tertawa bersamaan, juga ibu mereka.

"Thank you, Mrs. Zoff." Jed menerima cangkir kopinya.

"Ata yang memasak ini." Estella menunjuk pada menu di atas meja.

Jed mengangkat alisnya, lalu menoleh ke sampingnya. Ata tersenyum padanya.

"What a morning!" kata Jed.

"Jed, ini hanya menu sarapan standar. Siapapun bisa membuatnya." sela Chelsea, lalu menerima jus dari ibunya. "Tomat dan jamur panggang, ayam panggang, saus apa ini? Apel atau peach? Ini mudah."

"What's your problem, Chel!" Ata tertawa pelan melihat kakaknya. "Aku buatkan salad buah dan sayur kesukaanmu."

"Wow," Chelsea melihat mangkok berisi salad yang khusus dibuat Ata untuknya. "Kau memasukkan bawang?"

"Sure!"

"Salad buah dan sayur pakai bawang?" tanya Jed dengan pandangan tak yakin.

Ata mengangguk. "Oh, don't mind her!" kata Ata.

Tepat sebelum mereka memulai makan paginya, Jed mengambil alih perhatian mereka semua. Pria itu berdiri dan menggenggam tangan Ata di sisi tubuhnya.

"Um, bisa aku minta waktu sebentar. Aku harus mengatakan sesuatu." ujar Jed.

Lachlan melihatnya. "Silahkan, Jed."

"Tuan dan Nyonya Zoff, ijinkan aku mengatakan kalau aku jatuh cinta pada puteri kalian ini."

Suasana berubah menjadi hening. Jed menarik nafasnya.

"Dan aku tak melihat jalan lain bagi kami selain pernikahan."

"Jed," ucap Estella tanpa sadar. "Oh, Boy." dia tersenyum pada Jed.

"Maka, aku minta ijin untuk membawanya bersamaku, hidup bersamaku sampai nanti. Aku berjanji dia akan jadi yang terakhir bagiku. Yang pasti akan kuberikan padanya adalah kasih sayang. Well, aku bisa memberinya dunia, tapi kupikir dia tak butuh itu!" Jed tersenyum saat tangan Ata menggenggam tangannya erat.

"Semua yang aku inginkan adalah Ata. Aku ingin berakhir dengannya. Aku akan menjaganya seperti apa yang kalian lakukan selama ini. Akan kupertaruhkan semuanya."

Jed bisa melihat Mrs. Zoff mengatupkan dua bibirnya rapat dengan senyuman anehnya. Lachlan mendengarkan, sedang Chelsea tersenyum di tempat duduknya.

"Atlanta akan jadi pelajaran tersulit dalam hidupku. Kontrak paling mahal sepanjang hidupku. Tak akan pernah jadi kesalahan. Aku mencintainya dengan semua keyakinan yang kupunya. Maaf kalau aku terlalu lancang, tapi biarkan aku berterima kasih pada kalian karena telah melahirkan dan membesarkan wanita ini." Jed menunduk untuk melihat Ata. "Terima kasih pada tahun-tahun berat yang kalian lewati saat dia menjadi keras kepala dan seenaknya sendiri. Terima kasih karena kalian tidak menyerah membuat Ata menjadi seperti dia yang sekarang. Terima kasih."

"Jed," lirih Ata.

"Jadi, aku ingin meminta ijin pada kalian," Jed mengambil nafas. "Untuk menikahinya."

"No way!" seru Chelsea menutup mulutnya tak percaya.

Jed menatap semua anggota keluarga Ata dengan keyakinan. Seperti dia yakin saat pertama kali memimpin rapat ketua dewan. Bahkan lebih yakin dari itu.

"Jed," Estella menggeleng, tak tahu mau berkata apa.

Jed tahu, respon yang diterimanya sekarang bukan penolakan, tapi lebih pada tak percaya kalau dia berniat menikahi Ata- mungkin pula dalam waktu dekat.

"Apa kau serius?" tanya Lachlan. "Aku sudah bertanya itu berulang kali, kan?"

Jed melihat Lachlan. "Aku tak mungkin menemukan Ata lain dalam hidupku. Untuk pertama kalinya, aku yakin inilah yang aku inginkan. Menikah dengannya."

"Tak akan mudah, Jed. Kau tahu?"

Jed mengangguk mantap. "She gave me both war and peace. I need to taste them more."

Pria tua itu berdehem. "Kau sadar seperti apa pernikahan itu? Itu artinya kau hidup untuk orang lain."

"Mungkin tak akan selalu indah, aku yakin itu. Tapi, aku ingin melewati itu semua dengan Ata. Harus Ata. Dengan Ata-lah," dia melihat Ata. "Aku ingin berakhir."

Estella mengelap sudut matanya. "My God!"

"Aku akan menyerahkannya pada Ata." Lachlan menatap Ata.

Jed kini melihat Ata. Mata perempuan itu kini berkaca-kaca. Dengan sebelah tangannya yang bebas, Jed merogoh saku celananya. Dari saku celananya, Jed mengeluarkan gulungan tali. Dengan salah satu ujung tali yang dipegangnya, dia menjatuhkannya ujung yang lainnya. Tepat pada ujung yang menjuntai, ada sebuah cincin yang terikat.

"Aku sudah menggantinya seperti permintaanmu," Jed berujar. "Menikah denganku, Atlanta Charlotte Zoff."

Ata tak punya firasat apa-apa kalau hari ini adalah hari dimana Jed akan 'memintanya' pada Lachlan dan Estella. Dia tahu Jed serius, hanya saja dia tak punya bayangan kalau pagi ini resmi dia dilamar Jed.

"Jed," Ata melihatnya. "Yes, absolutely yes!" jawab Ata dengan buliran air mata di ujung keduanya matanya.

Jed tersenyum. Dia melepaskan cincin dengan berlian kecil di tengahnya itu dari tali yang mengikatnya. Lalu, dipasangkannya benda putih itu pada jemari Ata yang gemetar. Dia mengecup tipis cincin yang melingkar di jari manis Ata.

"I love you, Atlanta!"

Jed memeluk Ata erat, mengecup sisi kepalanya. Di depan mereka, Estella dan Chelsea juga berpelukan. Lachlan tersenyum, menahan rasa sedih yang normal dalam hatinya. Pria tua itu menarik nafas dan mengangguk pada Estella saat sang istri melihatnya.

Ata melepas pelukan dan menarik leher Jed ke arahnya. Jed tersenyum saat tahu dia merasakan vanilla dari bibir Ata. Melepaskan ciumannya, Ata menatap Jed lagi.

"Aku mencintaimu. Cinta yang tak bisa lagi diwakili kata-kata!"

Jed tertawa. "Great, Atlanta!"

Ata mencium Jed lagi sekilas. Dia melihat Lachlan dan Estella bergantian. Dia beranjak untuk memberikan mereka ciuman di dahi. "Thank you." ujarnya. "Thank you so much, Mam, Pap!"

Lachlan tersenyum tipis, sementara Estella mengangguk.

"Anak ini membuatku tak bisa berkata apa-apa saat dia bilang ingin menikahimu pagi ini." ujar Lachlan.

"Dia bilang apa, Pap?" Chelsea penasaran.

Lachlan mengkode Jed untuk memberi tahu anggota keluarganya.

Dengan tangan Ata dalam genggamannya, dia berujar. "Kubilang padanya, kalau bersama Ata adalah hal yang paling sering kuminta saat aku bicara dengan Tuhan!"

*

Ada satu berita baik yang sudah diterima Thomas siang ini. Jed sudah melamar Ata dan mereka akan menikah. Mereka sedang memikirkan untuk melakukannya tak lama setelah pernikahan kakak Ata. Thomas tak percaya Jed akan menikah. Ini akan jadi rekor. Bagaimana tidak? Oke, sudah cukup membicarakan sikap playboy Jed, tapi komitmen? Ini yang Jed tak punya selain pada pekerjaan.

Komitmen itu berat, karena pekerjaannya konstan dan monoton. Tak terlihat, yang kau lakukan itu-itu saja. Makanya, banyak orang bosan dan menghancurkan komitmen. Karena yang dinamis lebih menarik dibanding yang monoton! Dengan ini, komitmen Jed pada hidup naik satu tingkat. Thomas hanya akan mendoakan agar komitmen Jed tak akan hancur sebelum 'pekerjaannya' bersama Ata selesai.

Jadi, jika Jed sudah mengaku, dia pikir ini juga waktu baginya untuk mengaku. Apa susahnya bilang suka pada seseorang? Thomas bisa dengan mudah mengatakannya!

"Akan kutelepon nanti, Trey." ujar Thomas sebelum dia keluar mobil Trevin.

Trevin mendengus. "Untuk apa menelepon?"

"Bisa saja dia menolakku, kan?"

"Siapa yang akan menolak pria sepertimu! Dia pasti tak waras!"

Thomas tersenyum sombong. "Aku tak tahu yang kau ucapkan itu bohong atau tidak, tapi aku suka mendengarnya!"

"Aku membayangkan kau dan Rinchi pergi bersama ke pernikahan Jed dan Ata!"

"Jangan sejauh itu dulu."

"Terserah kau, sana cepat. Aku harus kembali ke kantor!"

"Thank you. I am just gonna shoot it straight to the point!"

"Yeah." Kata Trevin mulai bosan dengan ocehan Thomas. "Come on!"

Thomas membuka pintu dan keluar dari mobil. Dia melambaikan tangan pada kepergian mobil Trevin. Menengok kiri dan kanan, setelah yakin tak ada kendaraan lewat, dia menyeberang jalan untuk mencapai tempat janjiannya dan Rinchi.

Thomas sudah bisa melihat Rinchi dari jauh. Dia duduk di area smoking kafe, di halaman samping. Tangannya membolak-balik majalah di meja, sepertinya dia tidak bekerja hari ini. Thomas mendengus saat otaknya memberitahu kalau dia tak perlu tersenyum sekarang.

"Hai, kau sudah lama?" tanya Thomas.

"Kau jalan kaki? Kenapa lama sekali!" dia acuh.

"Maaf!" Thomas duduk di depan Rinchi. "Jadi, kau tak kerja?"

"Ya, aku libur hari ini." Rinchi melihat Thomas.

Thomas tak paham benar soal fashion para wanita, apalagi make up. Dia tak paham kenapa ada yang membuat lipstick berwarna hitam, seperti yang digunakan Rinchi saat ini. Dan yang makin membuatnya tak paham adalah, kenapa warna itu begitu bagus saat menempel di bibir Rinchi. Kenapa bibir itu kini begitu seksi bagi Thomas? Kenapa dia tak tahu kalau ada yang begitu cocok dengan lipstick hitam seperti ini? Kenapa Thomas begitu tak sabar ingin mencicipi apa rasa lipstick hitam itu?

"Kau tak mau bicara apa-apa?" tanya Rinchi. "Jangan seperti orang bodoh yang baru pertama kali melihat lipstick hitam!"

"Hell yeah!" jawab Thomas. "Rasa apa itu?" tanyanya. "Um, maksudku-"

"Penasaran?" potong Rinchi.

Thomas menatap Rinchi kaget. Sangat, ujarnya dalam hati. Dia hanya tertawa saja.

"Ada apa? Mau numpang duduk di sini, atau apa?"

Thomas mengambil nafas. "Aku menyukaimu! Aku serius!"

Rinchi tergelak melihat Thomas. Dia menyambar rokok yang dia taruh di asbak dan menyesapnya panjang. "Lalu?"

"Aku tak tahu!" jawabnya. "Kau pikir aku harus apa?"

"Apa kau pernah menyatakan suka sebelumnya? Ini terlihat tidak alami!"

Thomas menghela nafas. Masih sempat berpikir kalau ini tidak alami? Perempuan macam apa yang disukainya ini?

"Dulu sekali. Mungkin, SMA terakhir aku bilang suka pada perempuan!"

"Hmm, setelah itu? Tak ada yang mendengarnya lagi? Apa kau lelaki normal? Look at you, you have world in your hand, really? Tak ada yang membuatmu mengaku seperti tadi!"

"None!" kata Thomas mantap. "Aku cenderung melakukannya dengan mudah tanpa penyataan!"

"Kau sama saja seperti yang lainnya! Mengaku suka, tapi hanya untuk mengusir kebosanan, menjawab rasa penasaran, mengukur kemampuan, lalu pergi!"

Big fat yes, batin Thomas. Rinchi sepertinya juga sudah tahu tipe seperti apa Thomas. Wajar saja jika dia tidak termakan kata-kata Thomas. Sayangnya, Thomas tidak ingin main-main sekarang.

"Aku tak suka mengikat orang lain seperti itu, makanya aku... yang kau katakan benar!"

Mengaku sajalah.

"Aku tak ingin mengikat perempuan yang akupun tak yakin dengannya!" jelas Thomas.

"Dan aku?"

"Aku tak tahu, mungkin ini agak egois. Ini berbeda. Aku benar-benar ingin kau!" tegasnya.

"Dengan kata lain, kau yakin denganku?"

"I have this feeling. Tapi, akan kuhargai kalau kau tak mau bersamaku!"

"Lalu?" Rinchi melesakkan ujung rokok agar apinya mati. Dia mengangkat cangkirnya dan meneguk kopinya.

"Apanya yang lalu?"

"Kalau aku tak mau, kau akan pergi? Begitu saja?"

"Apa yang bisa kulakukan? Kalau kau tak mau, mana mungkin aku memaksamu!"

Rinchi tersenyum. "Well, aku baru mengenalmu dan kurasa kau tak bisa bersamaku,"

"Kenapa?" sergah Thomas.

Perempuan ini membuat malamnya agak aktif belakangan ini. Membayangkannya saja membuat Thomas pening sendiri. "Kau percaya pada cinta pandangan pertama?"

"What a bullshit, Thomas! Katakan hal yang masuk akal!" kata Rinchi. "Kita bukan akan SMA lagi. I won't buy that!"

"Oke, bukan pada pandangan pertama. Tapi, harus kuakui, kau sangat mengangguku-in a good way. Kau menarik!"

"Uh-huh. Kalau aku katakan aku tetap tak bisa bersamamu?"

Thomas mengerutkan dahi. "Kau tak menyukaiku? Kenapa kau selalu bersedia bertemu denganku kalau begitu?" dia masih bingung.

"I am a dominant type!" katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Thomas membasahi bibirnya. "Dominan? Maksudmu dom dan sub?"

Wanita ini penikmat BDSM? Yang benar saja!

"Tidak, aku bukan BDSM type, tapi aku- kau tahu, aku lebih memegang kendali dalam berhubungan, aku akan mengaturmu, seperti itu! Lupakan masalah sex, tapi dalam hal keseharian."

Thomas tertawa pelan.

"Aku menyukaimu kalau kau ingin tahu. Aku harus jujur padamu, Tom, tak pernah ada yang membuatku ingin berhenti merokok, bahkan ibuku. Tapi, setelah kau bilang kau benci wanita perokok, aku berusaha keras mengurangi konsumsi rokokku, demi kau!" dia tertawa "Aku tak percaya ini!"

"Well, I am moved, Chi!"

"You deserved that!" katanya santai. "Kalau kau bersedia, kita bisa mulai dari sini."

Thomas mengetukkan ujung jarinya, lalu menghela nafas pelan.

"What is your call, Tom?"

"I don't play your game!"

Thomas bisa melihat perubahan air muka Rinchi. Perempuan itu menelan ludah lalu memalingkan wajahnya sebentar.

"Well, then-" dia melihat Thomas dengan senyum miring. "Kita baiknya menyudahi pertemuan tak berguna ini!"

"I am sorry, Chi!" ujar Thomas seraya bangkit dari kursi.

"It ain't game, Tom!" serunya cepat. "Bagaimana kau bisa melihat ini sebagai game?"

"That's game! Karena aku tak melihat keseimbangan dalam hubungan ini. Ini bukan hubungan yang aku mau, ini hanya permainan yang suatu saat bisa saja kita hentikan! Saat kau tak bisa mengendalikanku, kau akan menghentikan ini, tak peduli betapa aku menyayangimu!"

Rinchi menelan ludah. "What do you want?"

"I want your soul, I want your mind, I want yours, and you'll own mine. As simple as that."

"Kalau memang sesimpel itu, tak ada pasangan patah hati!"

"Tak perlu memikirkan orang lain. Pikirkan saja kita! Apa kau bersedia memberikan semuanya dan mendapatkan semua dariku? Dengan cara yang benar, Chi. Kalau kau ingin jadi dominan saat bersamaku, aku tak bisa!"

"Ya sudah, sampai jumpa lagi!" ego Rinchi terluka.

Thomas seperti mendengar hatinya pecah lagi. Oh, rupanya masih butuh beberapa patahan lagi agar dia menjadi mati rasa. Karena rasanya masih sakit sekali. Dia tidak terbiasa.

Thomas seperti diperintah berjalan ke luar kafe, berbelok di trotoar untuk bergabung dengan pejalan kaki lainnya. Tidak, dia tak akan menoleh ke belakang. Bukan hubungan seperti itu yang dia mau. Tertawa pelan, Thomas mengusap kepalanya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Trevin.

"Kali ini kau salah, Trey!" ujarnya langsung. "Tokoh utama dalam dunia nyata tak harus bahagia selamanya, kan?"

"Dimana kau?"

"Kau tahu TK Belingos? Aku akan menunggumu di sana. Itu TK paling bagus. Kalau kau tidak tahu, mati saja kau!"

"Kau mau kubawakan sesuatu?"

"Burger. Aku lapar."

"Triple cheese and root beer will be okay?"

"That's the finest, Trey. At the end, it's just you and me again."

Trevin tertawa. "You should be thankful for that. Kau bisa tunggu satu jam?"

"I'll be there until my burger come!"

Dia memutus sambungan dan mencari satu nama lagi. Dia tak boleh seperti pria tanpa martabat, pergi begitu saja tanpa kata. Rinchi itu wanita yang berhak diperlakukan sebaik-baiknya. Diperhatikan. Meski, perempuan itu menolaknya. Setidaknya, itu yang Thomas hafal tentang memperlakukan seorang wanita. Treat her like a queen.

Saat suara di seberang menyapa, Thomas menelan ludah. Dia hanya ingin menyampaikan ini.

"Good bye, Rinchi. It has been nice meeting you."




* ***end*** *





Terima kasih pada kalian semua yang sudah membaca cerita ini sampai pada bagian ini.

Hit the star and post your comment, that would be great for me.

Ada epilognya, tunggu saja.
Semoga weekend kalian menyenangkan.

❤❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

180K 13.3K 24
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...
17.7K 3.1K 27
Bagaimana ceritanya ketika kalian yang sedang menikmati hidup dengan senang, tenang dan tanpa gangguan. Namun tiba tiba datang entah virus darimana...
12.4K 1K 19
Sebuah Geng motor yang berambisi untuk mengembalikan Hak mereka yang hilang karena oknum yang tidak bertanggung jawab Saksikan Kisah selanjutnya... ...
220K 8.8K 20
WARNING ⚠️⚠️ Sing jelas bl HOMOPHOBIC DILARANG MENDEKAT dosa ditanggung sendiri yh cuyy🥶