Love Or Die

By tjitsar

516K 35.7K 2.4K

"Kau tahu cara membuat wanita jatuh cinta padamu?" "Memangnya menurutmu bagaimana?" "Make her laugh." This wo... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
41
42
43
44
45
Who Plays Whom
Epilog

40

6.8K 495 100
By tjitsar


"Bukankah kau ingin satu ciuman?"

Ata-

*********

Bersikap biasa, Tom. Perintahnya pada dirinya sendiri.

Thomas mengatur nafas dan menuju eskalator. Dia memberi senyuman pada perawat yang dia jumpai sepanjang koridor menuju kamar perawatan Irish. Mendekati kamar nomor 407, dia sempat ingin membatalkan niatnya untuk menemui Irish lantaran ada dua petugas jaga di depan kamar anak itu.

Easy, Idiot!

Thomas melenggang santai dan menyapa dua petugas itu. Menunjukkan kartu pas yang dia punya.

"Ada perlu apa anda menemui Irish?"

Thomas menelan ludah. "Aku harus mengonfirmasi sesuatu." Thomas meneliti petugas itu.

"Sesuatu apa?" dia bertanya lagi.

Bagaimana kalau kubilang aku juga belum tahu? ujar Thomas dalam hatinya.

"Biarkan dia masuk, Sir. Ketua Henry yang mengirimnya untuk mengonfirmasi foto tersangka." seru seseorang yang berdiri di ujung koridor.

Mereka menoleh ke arah suara. Thomas menajamkan matanya, melihat perempuan itu. Dia mengenakan pakaian perawat. Memegang peralatan di tangannya, dia mengangguk pada kedua petugas itu.

"Henry tidak memberi tahu kalian?"

Thomas menelan ludah. Apa yang sedang terjadi sekarang? Matanya meneliti dua petugas di depannya. Apa mereka akan mempercayai perawat ini? Aneh. Perempuan ini juga aneh. Thomas bukan anggota biro investigasi! Jelas dia tak mengenal Thomas. Tapi, kenapa dia menolong Thomas untuk masuk ruang perawatan Irish?

"Baik. Silahkan, Tuan!" ujar salah satu petugas.

Ragu, Thomas tersenyum tipis. "Thank you," dia menempelkan kartu pada panel sensor dan pintu terbuka.

Dia menutup pintu dengan suara sepelan yang dia bisa dan melangkah masuk. Hanya ada satu ranjang yang terisi.

"Hai," sapa Thomas dengan suara yang sengaja dia buat ramah.

Iris mengalihkan pandangan dari jendela di sampingnya dan seketika dia mematung. "Tuan,"

Thomas tersenyum dengan sebelah ujung bibir yang terangkat. "Bagaimana kabarmu, Jagoan?"

"Tu-tuan..." Irish mencicit. Suaranya seperti tertelan dalam kerongkongannya sendiri.

Thomas bahkan bisa melihat jemari Irish yang terulur pada tombol emergency di meja sebelah tempat tidurnya.

"Kalau aku jadi kau, aku tak akan menekan tombol itu!"

Gerakan Irish terhenti. Dia menundukkan kepalanya, tak berani melihat bosnya itu. Thomas sengaja memperdengarkan ketukan sepatunya dengan keras pada Irish. Berharap suara itu akan memberi efek horor. Thomas tak punya rasa kasihan sama sekali melihat penampilan Irish. Jika dia bisa, dia malah ingin merusaknya lebih parah.

Man, dia baru saja melepaskan Parting Demon in Ages secara cuma-cuma pada Elgori. Dia kehilangan pasangannya. Jika ditotal, kerugiannya bahkan tak bisa dibayar Irish seumur hidupnya sebagai pegawai galeri. Jika Jed menyesal telah melihat Irish seperi ini, Thomas malah menikmatinya. Dia ingat dari mana luka yang membuat mulut Irish terkoyak itu. Dia melakukannya dengan tangannya sendiri. Dia mesti membuang salah satu setelan terbaiknya setelah itu, lantaran noda darah yang tak mungkin hilang. Menyesal? Come on! Thomas ingin mencongkel dua mata Irish sekarang.

"Apa maksud kode itu, I?" tanyanya langsung. "Ayo akhiri ini!"

"Aku tak tahu, Tuan. Aku bersumpah!" dia masih menunduk. "Aku benar-benar tidak tahu maksud kode itu!"

Thomas mengerang dalam. "Jangan membodohiku, I! Jangan sampai aku memaksamu, karena kali ini, aku melihat matamu bisa jadi mainan yang menyenangkan!"

Irish melihat Thomas sesaat, lalu menunduk lagi. "Demi Tuhan, Tuan Thomas. Aku tak tahu kode itu!"

"Irish, aku akan mengaku padamu!" Thomas mengambil kursi dan meletakkannya di samping tempat tidur Irish.

Tubuh Irish seketika menegang, saat Thomas duduk di sana, lalu menjauhkan tombol emergency. Dia mengusap sisi kepala Irish pelan, lalu mendengus.

"I, aku memungutmu dari jalanan, membawamu ke galeri, memberimu pendidikan soal galeri dan seni. Aku memberimu tempat terbaik yang bisa kau impikan selama hidupmu. Aku mempercayaimu, menyayangimu seperti adikku sendiri karena kau tak punya siapa-siapa. Kalaupun kau masih punya seorang Bibi, dia tak peduli padamu!"

Irish melepas nafasnya dengan berat. Ya, dia punya banyak hutang dengan Thomas. Dibanding Jed, Thomas memang seperti kakak baginya. Thomas yang selalu ada untuknya kapanpun dia dalam masalah. Bertahun-tahun tinggal di jalanan membuat Irish susah untuk beradaptasi dengan kehidupan sipil. Dia terlibat beberapa kali perkelahian di dalam dan luar galeri. Begitu susah baginya untuk mengendalikan emosi. Belum lagi, masalah yang dia bawa sebelum masuk galeri. Hutang karena minuman dan narkoba, dendam tak berkesudahan antar geng. Thomas lah yang menyelesaikan semuanya. Lunas.

"Lalu, seperti petir di siang bolong, Irish, kau menusukku dari belakang!" Thomas mendengus lagi. "Apa yang harus kulakukan padamu? Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan? Aku bisa membunuhmu sekarang. Aku tak akan dipenjara, akan kubeli semua petugas itu dengan uangku! Aku bisa! Aku bisa membunuhmu dan bebas. Tapi, lihat kau! Apa kau tak pernah berpikir apa yang akan terjadi jika kau mengkhianatiku? Dimana kau taruh otakmu, Bodoh?" dia menoyor kepala Irish kuat.

"Maaf, Tuan!" Irish terisak.

"Bagian mana yang membuatmu berpikir bisa bebas dariku, Irish? Bagaimana bisa kau pikir Daxton akan lebih baik dari pada aku? Fuck, Irish!" serunya tertahan.

Tangan Irish terulur mengambil tangan Thomas. "Maafkan aku!"

"Lepas!" Thomas menyentak tangannya. "Kau bukan lagi Irish adikku!" ujar Thomas. Sekarang, dia sedih mengucapkan ini. Dia tahu kisah Irish. Kedua orang tuanya dan kedua adiknya.

"Tuan!" wajah Irish sudah basah lantaran air mata yang terus mengalir. Dia menghela nafasnya berat, melihat Thomas dengan pandangan menyesal. "Aku sungguh minta maaf, Tuan!" dia menunduk lagi. Tubuhnya berguncang seiring dengan desakan tangis yang makin jadi.

Thomas melihatnya nanar.

"Daxton pergi dengan lukisan itu. Kunci dalam kotak kaca, katakan maksudnya!"

Irish menggugu. Menggeleng lemah pada Thomas.

Dengan nafas tertahan, Thomas berdiri. "Where did I go wrong with you, I?" dia berkacak pinggang, melihat ke jendela sebentar, lalu melihat Irish lagi.

"Aku pernah begitu kecewa padamu satu kali, ingat saat kau pura-pura sakit dan tidak masuk kerja? Kau malah pergi menemui teman lamamu dan memeras nenek bernama Graneta di jalan? Aku begitu kecewa padamu saat itu. Tapi, aku maafkan karena kau begitu tertekan dengan beban kerja yang kuberikan." Thomas melipat tangan di depan dada.

"Maaf, Tuan. Maaf!" mohon Irish.

"Kali ini, aku tak bisa memaafkanmu. Aku sedih harus melihatmu serendah ini lagi, I. Bahkan lebih rendah dari pada penjahat di jalanan, dari binatang! Aku kecewa harus bertemu denganmu seperti ini. Aku tak bisa memaafkanmu!" Thomas mengambil langkah panjang untuk cepat mencapai pintu dan keluar dari sana.

Dia tersenyum pada petugas di depan pintu dan mengucapkan terima kasih. Cepat melangkah menuju eskalator, dadanya seperti bergemuruh. Dia patah hati lagi.

Apa yang salah denganku?

Saat melewati meja resepsonis, mata Thomas menajam. Dia berusaha mencari sosok perawat yang telah meloloskanya masuk ke ruangan Irish. Tapi, wajah itu tak ada di barisan depan rumah sakit ini. Dimana dia? Hingga mencapai pintu depan, dia tak bertemu lagi dengan perawat itu.

Menunggu supirnya tiba, Thomas memikirkan apa maksud kode itu? Apa benar Irish tidak tahu? Atau anak itu melindungi Daxton? Apa kesalahan yang dia buat hingga Irish mengkhianatinya separah ini?

"Dari mana kau dapat kartu itu?"

Thomas menoleh dan menelan ludah.

Lentiknya bulu mata sayangnya tak bisa menyembunyikan mata lelah dan kantung hitam di sekitar matanya. Well, hidungnya menggemaskan meski bukan tipe hidung favorit Thomas. Hei, Thomas tahu benar apa yang dia inginkan. Bibirnya dipoles lipstick warna pink, terlihat menggoda sekaligus mencerahkan wajahnya.

Here she is. Perawat itu berdiri di samping Thomas, tersenyum misterius padanya.

"Apa maksudmu?" tanya Thomas.

"Kau mungkin bisa lolos dari petugas di depan kamar Irish dengan kartu curian itu. Tapi, aku tak cukup bodoh untuk kau bohongi juga. Jadi, siapa yang memberimu kartu pas?"

"Kartu pas itu milikku!" jawab Thomas. "Jaga ucapanmu!"

"Kau bukan petugas investigasi! Jangan bersikap aku orang bodoh yang akan percaya kartu itu milikmu! Kau harusnya berterima kasih padaku sudah menolongmu masuk!"

"Siapa kau ini?" selidik Thomas. "Kita tak pernah bertemu, kan?"

"Tak penting siapa aku. Kau tahu, kau bisa masuk penjara!" perawat itu tertawa sinis.

"Apa yang kau inginkan?" dia penasaran sekarang.

"Aku hanya ingin tahu siapa yang telah memberimu kartu itu!"

"Kembalilah bekerja. Kau tak ingin berurusan denganku. Kau mau uang tutup mulut? Berapa? Katakan padaku nomor rekeningmu dan malam ini kau bisa keluar dari rumah sakit ini. Kau akan hidup untuk satu tahun dengan uang yang kuberikan!"

"Kau pikir aku sama dengan wanita yang mengincarmu demi uang?"

"Kau mengincarku? Siapa kau?" Thomas meneliti setiap bagian yang ditangkap matanya.

"Untuk nama yang memberimu kartu nama? Ya!" dia tersenyum "Siapa yang memberimu kartu?"

"Aku tahu tipe wanita sepertimu! Jual mahal di awal, tapi akan memohon padaku berikutnya! Kau tak mengincarku? Lalu, dari mana kau tahu aku bukan anggota biro?"

Dia tertawa. Thomas mengumpat dalam hati. Suara tawanya mengganggu Thomas. "Aku tak tertarik denganmu!" tuntasnya dan mengalihkan pandangan.

"Irish itu tangkapan untuk kasus yang besar. Melibatkan banyak orang penting dan negara lain. Jadi, pasti ada orang besar yang berada di belakangmu, kan? Irish bukan sembarangan tersangka. Dia penting!"

Sialan, dia tahu semuanya.

Sedan hitam Thomas melintas dan berhenti tak jauh dari pintu masuk rumah sakit. Dia melihat wanita itu lagi. "Mind your own business, Sugar!"

"Thomas Miers!" dia tersenyum tipis. "Senang bertemu denganmu." perempuan itu berbalik lebih dulu, meninggalkan Thomas dengan seribu tanda tanya dalam kepalanya.

Bukan hanya kartu pas curian, kasus Irish, barusan wanita itu bahkan menyebutkan namanya dengan lengkap. Ini luar biasa aneh. Dia pasti sudah diikuti dengan perempuan itu selama ini, kan?

Masih mau bilang tidak mengincarku, huh? Kau sama saja dengan yang lainnya. Mari lihat kau akan berakhir dimana, Sayang.

"Sebentar," Thomas menahan seoarang perawat yang baru saja melintasinya. "Siapa yang itu?" dia menunjuk punggung wanita itu.

"Yang baru saja pergi? Dia perawat pengganti. Aku lupa siapa namanya!" perawat itu berlalu setelah menjawab pertanyaan Thomas.

Perawat pengganti, huh?

"Tuan?" supir Thomas menghampirinya.

Thomas tersadar dan menoleh sekali lagi. Dari pintu kaca besar dan transparan, dia bisa melihat perawat itu tengah menuntun seorang anak naik eskalator.

"Tuan Thomas, ada apa?" tanya supirnya.

"Tidak," Thomas mengusap wajahnya. "Ayo temui Trevin!" ajaknya.

*

"Dua hari yang lalu, apa yang kau berikan saat kau bertemu Elgori?"

Jed tersenyum tipis. Ata sudah tahu dia menyerahkan pasangan Cool-aged Demon pada Elgori. Siapa lagi yang membocorkan ini?

"Kenapa kau tak bilang kalau kau punya pasangan lukisan itu?" cecar Ata kesal.

"Tak ada hubungannya denganmu, kurasa."

"Ada Jed, tentu saja ada. Semua hal yang berhubungan dengan galerimu, sekarang sudah jadi urusan investigasi. Kapan kau menemukannya?"

Jed mencibir. "Kau marah?"

"Ya! Kenapa kau menyembunyikannya dariku. Kita sudah janji untuk menyelesaikan ini bersama-sama, Jed. Kapan kau menemukannya? Dimana?"

"Well," Jed mengangkat bahunya. "Dari awal sudah ada padaku."

Ata mengerutkan dahinya dalam. "Maksudmu?"

Jed tertawa pelan. "Kau serius sekali, Sayang!" goda Jed. "Bagaimana dengan satu ciuman dulu?"

Ata berkacak pinggang, melengos marah. "Katakan!"

"Aku suka kau seperti ini!" Jed membasahi bibirnya. "Aku suka saat kau memaksaku seperti ini, Ata."

"Jed, ini penting!" Ata mencoba tak terpengaruh. Meski aroma tubuh Jed sudah memenuhi indera penciumannya sekarang. Pria itu berjalan mengelilinginya, mengintimidasinya.

"Kita pernah memainkan permaianan seperti ini sebelumnya dan kau kalah." Jed mengendus rambut Ata dari belakang. "Minta baik-baik, sebuah ciuman!" bisiknya.

"Berhenti main-main, Jed. Kita tidak punya banyak waktu sekarang!"

"Ata!" Jed mencium tengkuk Ata, membuat wanita itu menelan ludah. "Ada banyak petugas yang akan mengurusnya, aku tak suka kau bekerja terlalu keras dan mengabaikanku. Kaupun tak memberi tahuku sejauh mana kasus ini sudah berjalan. Kau tak memberi tahu kalau kalian salah melacak keberadaan Daxton, kalian belum menemukan wanita yang besama Irish, kau tak memberi tahuku apa-apa."

"Itu bukan urusanmu. Hentikan!" bentak Ata.

Jed tertawa. "Aku juga ingin tahu. Galeri rugi milyaran dolar, aku pemiliknya. Jadi, aku perlu tahu, sejauh mana aku harus memperbaikinya nanti."

Ata berbalik, menahan tangan Jed yang masih bergerilya di bahu dan tengkuk Ata.

"Oke, katakan dulu soal pasangan lukisan itu, dan kuberi tahu soal perkembangan kasus ini!"

"Kau mau membahasnya sambil berdiri?" tanya jed.

Ata menghela nafas dan mengikuti Jed saat pria itu menarik tangannya. Mereka duduk di sofa besar di depan perpustakaan Jed. Dia memaksa untuk memangku Ata, meski Ata bersikeras dia ingin meluruskan kakinya di sofa besar ini, Jed tak mengijinkan. Dia ingin memeluk tubuh Ata.

"Kami mendapat lukisan itu nyaris bersamaan dari dua orang yang berbeda. Rencanannya, kedua lukisan itu akan dipamerkan dalam waktu yang berdekatan pula. Tapi, penyerangan galeri malam itu mengubah semuanya. Parting Demon in Ages sengaja kutahan, memang untuk wild cardku. Hanya saja, tidak sukses sepenuhnya. Elgori begitu cepat mengancamku," Jed tertawa. "Jadi, apa itu menjawab pertanyaanmu?"

"Iya dan tidak." Ata menghela nafas. "Kenapa aku tak sadar?"

Jed mengusap bibir Ata dengan ibu jarinya. "Karena aku terlalu mahir, Ata!"

"Argh!" geram Ata. Dia menyandarkan kepalanya di dada Jed. "Aku lelah sekali, Jed!"

"Aku bisa menghilangkan lelahmu, Ata!" Jed memberi kecupan-kecupan kecil pada bibir Ata. Sampai wanita itu kesal dan akhirnya menahan wajah Jed untuk menahan pagutannya lebih lama.

"Bukankah kau ingin satu ciuman?" Ata tersenyum kecil.

"Kau butuh istirahat, Sayang. Ini sudah terlalu larut. Kuantar kau ke kamarmu."

Jed membopong tubuh Ata untuk menuju kamarnya. Ata bergelayut manja di leher Jed, menikmati sikap Jed yang begitu perhatian. Ada untungnya pulang telat seperti sekarang, lalu mengadu kelelahan pada Jed. Namun, belum sampai di kamarnya, ponsel dalam saku celana Ata bergetar.

"Oh!" keluhnya seraya mengambil ponsel di saku belakang celananya.

"Dari kantor?" tanya Jed malas. "Katakan kau baru saja tiba, bahkan belum sempat mandi. Ata, demi apapun, kau bau pewangi ruangan!" ejek Jed.

Ata tertawa sebelum wajahnya berubah menjadi tegang saat dia mengecek ponselnya.

"Jed," suara Ata berubah dalam.

"Apa?" tanya Jed, seketika menghentikan langkahnya. Ini pasti penting.

"Aku harus kembali ke kantor. Irish menitipkan sesuatu untuk Thomas!"



Jed tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Dia hanya berdiri di sana, setelah membiarkan Ata setengah berlari memasuki sebuah ruangan besar yang pintunya terbuka. Hilir mudik petugas biro, kebisingan luar biasa, suara telepon yang berdering memaksa diangkat, atau teriakan dari petugas-petugas itu, membuat Jed tak paham. Belum lagi suara baling-baling helikopter dari atas gedung.

Dia melangkah sedikit untuk masuk ke dalam ruangan itu. Beberapa orang tak sengaja menabrak tubuhnya, namun Jed tak marah sama sekali. Dia hanya bingung, seperti masuk dalam dimensi lain. Baru kali ini dia melihat ada banyak orang bekerja dan tahu apa yang harus mereka kerjakan. Matanya menangkap sosok Ata. Perempuan itu berdiri di depan Henry, tangannya menunjuk-nunjuk kertas, lalu pada seseorang yang duduk di dekat lemari besar yang penuh dengan berkas.

"Thomas?" desis Jed pelan.

Demi Tuhan, pria itu teler!

Jed mempercepat langkahnya untuk bisa mendekati Thomas. Apa yang terjadi sekarang?

"Jed," ujar Ata saat melihat Jed mendekat. Dia melihat Jed sedih.

"Tom?" Jed mengoyang bahu Thomas.

Pria itu mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. Dia benar-benar teler. Matanya merah seperti dipaksa bangun dari tidur lelapnya. Jed berjongkok di depan Thomas dan menopang kepala temannya itu. Kemeja putih dibalik jas abu-abunya berantakan. Jed bisa melihat beberapa bekas lipstick di sana. Tiga kancing atasnya terbuka. Pria ini sepertinya bersenang-senang. Bau alkohol tercium sangat kuat saat Thomas buka suara.

"My heart ached so bad, Jed, like it torn apart!"

"Hei, apa yang diberikan Irish padamu?" tanyanya tak memedulikan keluhan Irish.

"Jed, jaga Thomas sebentar!" ujar Ata seraya berjalan keluar bersama Henry.

Jed melihat Ata, lalu kembali fokus pada Thomas. "Dari mana kau?"

"Sialan mereka!" hujat Thomas. "Kenapa membawaku ke sini? Kepalaku sakit sekali, Man!" dia mendesah. "And my heart broke."

Jed ikut menghela nafas panjang dan memukul pelan pipi Thomas. "Apa yang diberikan Irish? Dia bilang apa?"

"Anak itu? Just a fucking piece of paper, Jed." Thomas tersenyum. "Dia memecahkan kode!"

"Dia tahu kode itu?" Jed memperjelasnya.

Thomas mengangguk. "Pacuan kuda milik Daxton, Jed!"

"Pacuan kuda? Mana kertasnya?" dia merogoh saku jas Thomas.

"Mereka mengambilnya. Kenapa kau di sini?" tanya Thomas.

Jed menarik tangannya saat tahu usaha menemukan kertas itu sia-sia.

"Tuhan! Berapa banyak kau minum? Kau bisa berdiri?" tanya Jed, dia menegakkan badannya "Tom?"

"Nah, sekarang aku lebih ingin tiduran dari pada berdiri, Jed."

"Dimana mereka menjemputmu?"

"Mana Trevin?" tanya Thomas.

"Trevin? Dia ada di sini?" Jed memutar tubuhnya menemukan sosok Trevin. Harusnya anak itu di dekat Thomas kalau dia di sini. "Kau bersama dia?"

"Dia yang mengantarku kemari!" Thomas menarik nafas dengan susah payah. "God! Kepalaku sakit sekali. It's too much, Jed!"

"Kau mabuk, Tom. Jelas-jelas supirmu yang mengantarmu ke sini. Aku melihatnya di bawah!"

"Bukan Trevin?" tanya Thomas seraya tertawa pelan. "Aku pasti mabuk, ya! Kau harus coba minuman mereka, Jed!"

Thomas! Keluh Jed dalam hati.

Ata kembali dan segera berdiri di samping Jed. Dia melihat Jed, tersenyum tipis.

"Pacuan kuda, huh?" tanya Jed.

Ata mengangguk. "Baguslah otak Irish masih jalan. Kunci dalam kotak kaca adalah pacuan kuda, itu hebat." dia berujar. "Henry tak begitu menjelaskan. Aku juga tak tahu kenapa dia memberi tahu Thomas, bukan petugas."

Thomas tersenyum aneh. Persis pria teler bodoh yang tak tahu apa-apa. Taruhan, dia tak akan sadar jika dia dirampok sekarang.

"Kami akan pergi ke pacuan kuda milik Daxton. Kau harus pulang." ujar Ata.

"Kau akan ke sana?" tanya Jed tak senang. "Tak bisakah kau menyusul besok pagi? Ata, kau belum istirahat!"

Ata memijit tengkuknya. "Ini tak bisa menunggu, Jed." dia meyakinkan Jed.

"Aku tak peduli. Bisakah kau pikirkan dirimu dulu? Ada banyak petugas. Lihat!" Jed menunjuk acak para petugas investigasi di dalam ruangan. "Kau tak perlu mengerjakan semuanya. Daxton tak akan kemana-mana!"

Ata tertawa pelan melihat sikap posesif Jed. "Aku yang memimpin tim ini, Sayang!"

Mereka kompak melihat pada Thomas yang mendengus.

"Henry! Apa kau lupa?" Jed masih berkeras.

"Biarkan dia melakukan tugasnya, Jed!" sela Thomas. "Lagipula, kau harus mengurus temanmu ini!"

"Fuck, no!"

Ata mengangkat bahu.

"Aku mau melihat apa yang diberikan Irish!"

"Sudah dibawa Henry!"

Jed menggeram marah. "Sudah kubilang kalau ini juga ada hubungannya denganku, Ata!"

Ata mendesah. "Maaf, tapi aku pun tak lihat kertas itu, Jed. Henry sudah membawanya untuk diverifikasi!"

"Bukan waktunya untuk berdebat, Birds!" sela Thomas lagi. "Jangan cengeng, Jed!"

Jed melihatnya marah, lalu melihat Ata lagi. "Kapan kau akan kembali?"

"Mungkin besok malam, sini!" Ata menarik tangan Jed menuju sebuah ruangan.

Dia menutup pintunya dan berdiri di depan Jed.

"Kau temani Thomas. Dia hancur!"

"Dia hanya mabuk!" sergah Jed. "Ata-"

Ata mengangkat tangannya. "Ini kesempatan kita, Jed. Mungkin akan jadi yang terakhir. Kami akan menolongmu. Kita sudah janji kan mau menyelesaikan ini bersama..."

"Kurasa kau sendiri yang terobsesi dengan kasus ini, Ata!"

"Jed!" Ata mulai frustrasi. "Bukan begitu. Dengar, jika kita mendapatkan Daxton, kita akan dapat lukisan yang dia curi, dengan begitu kau bisa bebas dari tuntutan Elgori. Jed, aku tak mau kau kenapa-napa!"

"Lalu, kau pikir aku akan diam saja saat kau mengejar Daxton? Ata, kau tak tahu siapa dia. Pria itu berbahaya! Biarkan mereka yang mengurusnya!"

Ata meraih tangan Jed, menggenggamnya erat. "Kita pernah membicarakan ini. Pekerjaan ini yang ingin aku lakukan, Jed."

"Biarkan aku ikut!"

Ata menggeleng. "Itu tidak mungkin. Kau tak mungkin bisa bergabung, Jed! Tak akan ada yang mengijinkan itu!"

"Kenapa?"

"Tak bisa! Kau orang luar!"

"Ata, lukisan itu-"

"Please, Jed, hm?" Ata berjinjit untuk mencium bibir Jed sebentar.

"Kau pikir aku akan cool karena kau menciumku?" tanya Jed.

"Entahlah, kurasa tidak!" Ata tertawa, menepuk pipi Jed pelan. "Sayang, we're about to come to an end, bersikap baiklah."

"Ata, aku tak bisa membiarkan sesuatu yang buruk terjadi lagi padamu. Aku bisa gila!"

Ata tersenyum. "Aku janji aku tak akan kenapa-napa. Aku akan kembali padamu utuh besok malam, tak ada luka, mungkin hanya sedikit capek dan kotor?"

"Aku tak suka ini, Ata. Kau tahu itu!"

Ata memeluk Jed. "Kau tahu jadwalmu besok? Akan kukirimkan pada Bu Yahya. Jangan menungguku, paham?"

Jed diam saja.

"Kau tak mau balas memelukku?"

Tangan Jed melingkari tubuh Ata, lalu menghirup nafas panjang.

"Thomas lebih butuh kau sekarang. Temani dia, It's all messed up, Jed. I am so sorry."

Dahi Jed mengerut dalam. "Tuhan, apa lagi ini?"

"Thomas akan memberitahumu," Ata melepaskan pelukannya. "Aku akan meninggalkanmu sekarang. Dengar, kau harus pulang. Apapun yang terjadi setelah kau keluar dari ruangan ini, berjanjilah kau akan pulang dan istirahat!"

Jed merasa dia akan diterpa ombak super kencang. Tak ada tanda-tanda yang dia dapat dari perkataan Ata. Tapi, kode semacam ini tentu saja akan menuju akhir yang buruk. Apakah ini alasan kenapa Thomas terus-terusan bilang hatinya sakit? Namun, dia kurang peka untuk bertanya mengenai perasaan pribadi sahabatnya itu.

"Janji, Jed?"

"What the hell is going on?"

"Janji dulu padaku!"

Ponsel Ata bergetar di sakunya. Dia mengeceknya sebentar, lalu melihat Jed lagi. "Janji kau akan pulang?"

"Ya." ujar Jed singkat.

"Kau bisa membawa pulang Thomas bersamamu. Kami berterima kasih padanya."

Ata mencium Jed lagi. Pelan dan hati-hati. Setelah dia puas, dia melepaskan bibirnya. Jed terlihat masih bingung namun menyunggingkan senyumnya. Dasar pria!

"Aku akan pergi. Kuhubungi kau kalau aku bisa. Aku mencintaimu!"

"Kau harus kembali tanpa luka, Ata. Berjanjilah!"

"Aku janji. See you!"

Jed merasa kosong saat tubuh Ata menghilang di balik pintu. "Aku mencintaimu, Ata!" balasnya kemudian.

Lalu, gerakannya cepat membuka pintu saat teringat Thomas. Pria itu tidur di kursi, kepalanya terkulai ke samping.

"Tom," Jed memaksa tubuh Thomas untuk duduk tegap. Dia menepuk pipi Thomas kuat agar pria itu membuka matanya. "Thomas, bangun. Lihat aku!"

"Hai, Jed. Kau di sini lagi. Dari mana kau?"

"Apa yang lebih penting dari pada ini, Tom? Ata bilang ada yang lebih penting. Apa yang belum aku tahu?"

"Kau baiknya tak tahu, Jed. Less you know, the better!"

"Fuck! Tell me!"

Thomas tertawa pelan. "They keep breaking my heart, Jed!" Thomas tertunduk.

"Demi Tuhan!" Jed merasa kepalanya begitu sakit. Ada banyak hal yang coba dia mengerti sekarang. "Katakan!" dia mencengkram jas Thomas. "Ada apa?" bentaknya.

"Kau tak akan percaya ini, Jed. Kau tak akan percaya!"

"Apa?" bentak Jed dengan suara lebih kuat kali ini, membuat beberapa petugas menoleh padanya.

"Katakan aku harus bagaimana? Katakan apa salahku pada mereka, Jed? Kenapa mereka tega mengkhianati kita Jed!"

"Tom?"

"Maaf karena kau harus tahu hal ini."

"Siapa?"

"Jed, kau mengenalnya dengan baik, aku mengenalnya dengan baik. Tapi, itu tak cukup untuknya, Jed!"

"Siapa orangnya? Siapa yang bersama Irish?"

"Bagaimana kalau dia bukan seorang perempuan? Pikirkan apa yang bisa kita lakukan kalau dia bukan perempuan, Jed! Damn it!"

"Thomas," suara Jed ragu. "Siapa?"

"Kau tahu siapa. Kau kenal dia dengan baik, Jed!"

Tidak. Kali ini, Jed benar-benar tak siap.



* **** *

Nah lo, siapa hayo???

wkwkwk suka deh bikin pembaca terlibat dalam pikiran liar mereka kalo endingnya dibuat gini.

makasiihh....

-tjitsar

Continue Reading

You'll Also Like

48.4K 3.2K 43
Siapapun yang menyakiti orang terdekatku akan merasakan dekatnya kematian. -freya Ini Hanya Fiksi Jangan Dibawah Kedunia Nyata JADWAL UP (SEBISANYA D...
111K 7.7K 55
WARNING WP INI BXB JIKA ANDA HOMOPHOBIC MENJAUH!!! JANGAN BACA SEMUANYA KARANGAN 100% GAADA YANG BERDASARKAN RL!! JANGAN MEMBAWA SEMUA CERITA YANG AD...
919K 25.4K 21
Ini adalah versi revisi!! Hidupku hancur setelah hari itu tiba, kehidupan yang awalnya selalu di landasi dengan keceriaan kini telah hilang ditelan o...
142K 916 3
Love,Race And Family "No matter how you are, a race is still race" "Don't be afraid about you car, be afraid if you can't control it" "You mess with...