Love Or Die

By tjitsar

516K 35.7K 2.4K

"Kau tahu cara membuat wanita jatuh cinta padamu?" "Memangnya menurutmu bagaimana?" "Make her laugh." This wo... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Who Plays Whom
Epilog

35

5.5K 422 29
By tjitsar

"Karena sepertinya ada gelombang besar antara aku dan dia. Ini menyedihkan,"

Jed-

**********

Jed di motel. Sinyal chip itu menunjukkan pria itu datang ke motel yang tak terkenal di daerah pinggiran kota. Ata kesal setengah mati. Apalagi sekarang, Jed? Meski sudah tahu kebiasaan Jed belakangan ini, mendapati Jed yang selalu pindah dari satu klub, bar atau motel, tak ayal membuat Ata meradang. Dia tahu itu cara Jed melupakan masalahnya. Tapi, cara yang dipilih Jed hanya akan membuat masalah baru!

Dia kembali ke kantor investigasi untuk mengisi beberapa berkas. Ada banyak yang mesti dikejar dan dilengkapi untuk kasus ini. Daftar panjang saksi juga sudah diperiksa. Rata-rata mereka semua bersikap kooperatif. Elmer yang paling kencang bersuara soal orang pelabuhan. Dia pernah diperas hampir setengah juta dolar hanya untuk meloloskan barang yang jadi incarannya waktu itu. Tak ingat betul, tapi Elmer yakin uang yang diminta galeri saat itu untuk membungkam mulut orang pelabuhan. Thomas mengakuinya. Thomas bahkan menyimpan semua transaksi ganda yang berhubungan dengan pelabuhan.

Lelah dengan berkas yang menumpuk, dia kembali mengeluarkan ponsel dan melacak Jed. Dia masih di situ, hanya sekarang ada di barnya. Dia hanya sebentar berada di motel. Apa sudah selesai? Secepat itu? Ata mengambil ponsel lain dari dalam dalam tasnya, mengontak rekan yang sedang mengawasi Jed malam ini.

"Apa yang dia lakukan di sana?"

"Hanya duduk dan minum. Dia bukan peminum yang handal, Omega!" dia tertawa. "Dia sudah mabuk digelas ketiga!"

"Dia sendirian?"

"Ada beberapa anak buahnya, mana mungkin dia sendirian."

"Apa yang mereka lakukan?" ulang Ata merasa curiga.

Motel seperti ini bukan tipe Jed. Maksudnya, jelas saja Jed tahu dimana kelasnya. Jika dia membawa wanita untuk menyenangkannya, maka Motel Orchid bukan pilihan Jed. Dia tahu cara merayu wanita, sampai dia dapat apa yang dia mau.

"Dia datang bersama beberapa orangnya ke motel. Aku tak mengikutinya karena di sana sepi dan anak buah Jed banyak sekali di sekitar sana. Mereka pasti tahu kalau aku mengawasinya."

Dahi Ata berkerut. "Jadi, kau menunggu di bar? Apa kau mabuk?"

"Tidak, Omega. Demi Tuhan, aku tahu sekarang aku sedang bertugas!"

"Baguslah, Delta!"

"Aku keluar dulu, Jed sepertinya sudah mau pulang!"

"Jangan putus teleponnya!" perintahnya.

Suara berisik terdengar di telinga Ata, lalu suara lalu lintas. Klakson, suitan, dan umpatan terdengar- khas pinggir jalanan yang liar. Harusnya Delta bisa saja membawa Jed pulang, pria itu tak perlu naik taksi dalam keadaan mabuk.

"Oh fuck, Omega!" lapor Delta seketika.

"Apa?" tanya Ata kaget.

"Irish!" dia bernafas dengan cepat. "Irish ada di motel itu. Jed mendapatkan Irish!"

Ata menelan ludah. Benar. Mereka yang dapat Irish duluan rupanya. Sialan!

"Bodoh! Omega, aku harus stay di sini."

Ata segera bangkit saat pintunya terbuka cepat dan Davi berdiri di sana. "Henry, penting!" dia menunjuk telepon di meja Ata.

Ata mengeram dan menerima panggilan. "Henry?"

"Mereka dapat Irish. Kau hubungi Alpha. Ini buruk. Kau tahu apa yang direncanakan Jed?"

"Kau pikir?" sergah Ata. "Sialan Henry!" dia menutup telepon dan mengontak Alpha.

"Aku pimpin mereka ke sana, tak ada yang boleh bergerak selain tim yang kubawa. Kau dengar aku, Omega? Jangan kacaukan ini. Delta harus di sana, dia tahu lokasi persisnya. Kirim orang lain untuk mengikuti Jed. Siapapun asal jangan kau!" perintahnya tegas.

"Apa maksudmu?"

"Minta tim medis bersiap. Aku yakin Irish sudah babak belur sekarang!" suara Alpha terdengar dalam. "Kau paham? Setelah itu, kau kabari Henry dan pulang."

"Kau memerintahku?"

"Apa kau akan menolak kuperintah? Kau tidak punya banyak waktu. Cepat kirim orang lain mengikuti Jed!"

Ata membanting gagang telepon dan mengontak balik Henry. "Aku akan kirim Gamma mengikuti Jed," lapornya.

Henry menghela nafas. "Baik." Henry setuju.

Ata segera mengontak Gamma, menugasinya untuk mengikuti Jed yang kini sudah naik taksi menuju jembatan kota. Ata mendesah berat dan duduk tak nyaman di bangkunya. Dari semua tempat, kenapa malah jembatan kota? Oh Jed, maafkan aku!

Ata membereskan berkas di mejanya secepat yang dia bisa. Sambil tetap memerhatikan dimana Jed sekarang. Laporan Gamma juga tetap diterimanya. Rekannya itu hampir sampai di lokasi Jed sekarang. Tangan Ata meraih gelas yang terisi air putih dan meneguknya cepat. Dia menyumpal telinganya dengan bluetooth headset dan berjalan keluar ruangan menuju lift. Dering ponselnya ditambah suara berisik orang-orang di kantor membuat kepalanya mau pecah. Dia menghentikan langkahnya, menarik nafas untuk coba tenang. Dia bisa gila kalau seperti ini.

"Kau baik-baik saja, Ata?" tegur salah satu rekan yang melihat Ata sangat pucat.

Ata mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku tak papa. Kau mau turun juga?"

"Iya," dia menekan tombol di samping pintu lift. "Ponselmu bunyi,"

Ata menghela nafas. Dia memang sengaja membiarkan ponselnya berbunyi. Dia menekan satu tombol pada headsetnya dan mendengar laporan.

"Jed is down. Jed is down. Jed is down." Gamma melapor pada semua orang yang sekarang menerima panggilannya. "Jembatan kota. Jed is down. Red code!"

"FUCK!" geram Ata sebelum dia berlari menuju ujung ruangan dan membuka pintu darurat.

* *

*

Semuanya berubah secepat membalikkan telapak tangan.

Jed harus menerima bahwa gadis itu juga tokoh antagonis dalam hidupnya.

Pelan, dia membuka matanya yang terasa perih dan berat. Tatapannya perlahan memutari langit-langit. Aroma yang familier, langit-langit yang familier. Dia membuka matanya lebih besar dan rasa sakit membuat Jed meringis. Dia berada di kamarnya sendiri. Di rumah besarnya.

"Jed,"

Oh, suara yang familier!

Jed menolehkan kepalanya, mendapati Ata duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Mengenakan pakaian biasa, t-shirt dan jeans. Rambutnya tak disisir rapi dan wajahnya tampak kelelahan. Namun, dia menatap Jed dengan sorot lega. Laki-laki itu sudah siuman. Jed mengalihkan pandangannya dan mencoba mengingat apa yang mengantarnya kesini. Saat dia mencoba membangunkan tubuhnya, Ata menolongnya.

Fuck!

Jed menelan ludah saat tangan Ata memegangi lengannya, membantunya untuk duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Masih merasa bingung, pintu kamar Jed terbuka tiba-tiba. Henry masuk dengan percakapan di ponselnya. Dia melihat Jed dengan pandangan lega, lalu melihat Ata.

"Baik, aku akan mengurusnya. Jed baru saja sadar, Alpha." dia melihat Jed. Henry mendesah berat. "Karena dia mabuk. Iya, diperkirakan ada delapan orang?" Henry mengangguk beberapa kali, lalu dia memutuskan sambungan.

"Apa...aw," dia meringis. Membawa tangannya meraba bibirnya yang terasa perih. Ada goresan di sana. Lalu, dia meraba bagian lain di wajahnya. Luka-luka lainnya yang masih basah dan membuatnya sakit.

"Kau sudah ingat apa yang terjadi padamu?" tanya Henry berdiri di depan tempat tidur Jed.

Jed menggeleng, lalu melihat Ata. Mungkin gadis itu tahu apa yang terjadi padanya. Ata menunggunya, berharap Jed ingat.

"Kau ingat kau kemana tadi malam? Setelah pekerjaanmu selesai?" tanya Henry.

Dia melihat Henry kemudian. "Aku," dia berujar pelan. "Aku pergi ke bar,"

"Apa yang kau lakukan di sana?" sela Ata.

"Aku rasa aku terlalu banyak minum, lalu aku ke..."

"Apa yang terjadi di bawah jembatan kota, Jed?" tanya Ata. Dia mendesak Jed. Dia sudah tahu apa yang dilakukan Jed malam itu.

Aku ke sana, menurutmu kenapa? Jed mengusap kepalanya. "Siapa yang memukuliku? Mereka menyerangku dari belakang. Sesuatu menghantam belakangku dan aku jatuh. Aku tak tahu apa-apa lagi."

"Kami akan meningkatkan perlindunganmu, Jed!" kata Henry. "Kau akan diawasi 24 jam mulai sekarang!"

Jed menggeleng. "Tidak perlu,"

"Mereka preman pelabuhan Jed. Aku rasa mereka tahu kau sudah membeberkan semua hal tentang pelabuhan!"

"Oh," kata Jed.

Pintu Jed terbuka makin lebar saat seseorang dari pihak investigasi membawa masuk peralatan medis di tangannya. Dia berjalan di belakang Henry, menuju Ata. Ata menerima baki itu dan meletakkannya di meja di dekatnya. Dia keluar setelah menyerahkan peralatan itu.

"Kita tidak bisa bersikap lengah Jed, kau tahu nyawamu dalam ancaman. Kami berjanji untuk melindungimu dan inilah yang akan kami lakukan!"

"Aku punya orang-orangku sendiri," tolak Jed. "Aku tidak bersedia!"

"Tidak bisa!" Henry bersikeras. "Itu keputusannya."

"Jed," kata Ata.

Apalagi sekarang, Ata?

"Kami sudah menangkap dua orang yang ikut dalam penyeranganmu malam itu. Kami perkirakan ada delapan orang. Kau sudah diperiksa dokter, mereka bilang kau akan baik-baik saja. Tapi, jika kau merasa pusing atau apa, katakan saja. Mereka akan memeriksamu lagi."

Jed mendengus mendengarnya. Ada delapan preman yang menyerangnya saat dia mabuk? Tidak masuk akal.

"Baiklah, istirahat. Kita akan menunda pemeriksaan sampai kau merasa baikan." Henry bersimpati. "Ada orang-orangku di luar. Kami akan berusaha sebaik mungkin menangkap mereka."

"Henry, sudah kukatakan..."

"Dan soal Irish," dia menyela, membuat Jed menghentikan protesnya. "Dia sudah kami amankan. Setidaknya, dia masih bisa bernafas dengan normal," dia berbalik dan keluar.

Mereka menemukan Irish! Demi Tuhan, Thomas!

"Tak ada siapa-siapa di kamar motel waktu kami menemukan Irish," ujar Ata.

Jed menoleh padanya. Melihat mata hitam Ata yang membuatnya ingin berlari sekarang. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada yang bisa dia pikirkan.

Tangan Ata lalu meraih peralatan medis dan mengerjakannya dengan cepat. Dia mengolesi cairan yang terasa sangat dingin ke kulit Jed yang terluka. Namun, sesudahnya rasa nyeri parah merayap di kulit-kulit itu. Jed meringis.

"Sorry, pasti sangat perih!" ujar Ata pelan.

Lalu, hati-hati sekali Ata melumuri tepi bibir Jed dengan salep. Wajahnya ikut meringis setiap dia mendengar suara tak nyaman Jed. Jed menelan ludah, makin tak mampu berkata-kata. Dia memerhatikan wajah Ata sesekali, memerhatikan matanya yang berkedip-kedip, juga bibirnya yang komat-kamit tak jelas. Mungkin dia sedang bersenandung dalam hatinya. Atau apalah.

Ata menyelesaikan pekerjaannya dengan olesan terakhir di ujung dagu Jed.

"Kau masih belum mau bicara denganku, Jed?" tanya Ata pelan seraya membereskan peralatannya kembali.

Jed menelan ludah. Egonya tidak mengijinkan dia menjawab pertanyaan Ata.

Ata mendongak padanya, melihat ke matanya. "Wajahmu luka. Kau memar di beberapa tempat. Siku, bahu, punggung, dan pinggang. Kakimu juga terkilir. Kau harus istirahat beberapa hari. Kau tahu, kau beruntung bisa siuman secepat ini."

Dia berdiri, bersiap pergi dari kamar Jed. Meski, semua gerakan yang dilakukan Ata sengaja dibuat lama, tak ada indikasi Jed akan menghentikannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan berjalan menuju pintu.

Aku rindu padamu, Ata.

Dia melihat tubuh perempuan itu hilang di balik pintu tanpa ada niat mencegahnya. Jed menghela nafas berat dan merasakan tusukan di bagian pinggangnya. Dia menyingkap bajunya ke atas dan bukti-bukti penyerangan malam itu sangat meyakinkan. Preman pelabuhan memang tidak main-main. Ada memar berwarna mengerikan di sepanjang pinggang hingga tengah perutnya.

"Oooh!" keluhnya sambil menarik nafas panjang. "Dari mana mereka tahu lokasi Irish?" tanya Jed pada dirinya sendiri.

Dia melihat sekitarnya, mencoba menemukan ponselnya. Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh. "Masuk," kata Jed.

Lisa muncul dari sana. Membawa nampan berisi makanan untuk Jed. Dia melempar senyuman pada Jed dan berjalan menyeberangi kamar.

"Bagaimana keadannmu, Tuan?" tanya Lisa setelah dia meletakkan nampan berisi kue buah dan kopi kesukaan Jed, serta air putih.

"Aku tidak baik," kata Jed menggeleng. "Disini," dia menunjuk wajahnya. "Dan disini," dia menunjuk dadanya.

"Ata bilang semuanya akan baik-baik saja, Tuan!"

"Kau," Jed meringis menarik nafasnya. "Oh, kau... kau masih percaya padanya?"

Lisa tertawa pelan. "Apa yang bisa aku bantu, Tuan?"

"Kau bisa mencari ponselku? Dan tolong buka jendelanya,"

Lisa menuruti permintaan Jed. Dia membuka jendela hingga angin semilir menerobos masuk ke dalam kamar Jed. Setelah itu, dia mencari ponsel Jed di sekitar kamar. Namun, tak menemukannya.

"Kau tahu dimana pakaianku semalam? Mungkin ponselku masih berada di kantong celana, aku tak ingat. Aku butuh itu,"

"Oh, ya!" Lisa teringat sesuatu. Dia berjalan ke kamar mandi Jed dan kembali dengan ponsel.

Jed menerima ponsel itu dan memeriksanya cepat. "Kau bisa pergi, Lisa. Terima kasih,"

Ada panggilan tak terjawab masing-masing dari Shae, Kiev, Thomas dan Trevin. Ada dua kali panggilan tak terjawab dari Ata. Wanita itu menghubunginya. Lalu, ada pesan singkat yang tak bernafsu untuk dia baca. Dia mengontak balik mereka. Menghubungi Trevin tak ada jawaban. Kini, dia menunggu Thomas menerima panggilannya.

"Thomas?" panggilnya pelan. "Apa yang terjadi?"

"Untung Trevin datang! Kau menghubunginya? Kami pergi tepat sebelum polisi datang!" Thomas bercerita dengan suara berat. Sepertinya dia masih tidur saat Jed menelpon. "Aku tak tahu siapa yang memberitahu posisi kita, tapi kita aman. Tak ada saksi. Oh, mereka hanya bilang kau mabuk di bar."

"Kau tak apa-apa?"

"Aku tidak tahu, Jed. Kau bagaimana? Kau bisa bangun?"

Jed tertawa pelan. "Ouh, ya," dia tersengal-sengal dengan sakitnya. "Aku kena karma, Tom!"

Laki-laki di seberang telpon itu ikut tertawa. "Dan menurutmu aku akan kena juga, Sialan?"

"Well, kuharap!"

"Sialan! Kau tetap bajingan, Jed. Aku akan ke sana nanti."

Malam itu, saat Thomas masuk ke kamar Jed, Ata sedang ada di sana. Duduk di depan Jed, mengobati wajahnya. Mendengar deheman Thomas, Ata menoleh dan tersenyum tipis. Dia mempercepat tangannya memberi antiseptik pada luka Jed. Kemudian, dia meninggalkan kedua orang itu, setelah lebih dulu menyapa dan menanyakan kabar Thomas.

"Hoooo, kau memang kena karma!" kata Thomas duduk di ujung tempat tidur Jed. "Kau dipukuli dan Ata yang merawatmu!"

Jed mencibir.

"Belum berbaikan?"

"Tidak bisa,"

"Kenapa?"

"Karena sepertinya ada gelombang besar antara aku dan dia. Ini menyedihkan,"

"Hm?"

"Karena dia masih di sini, dia tidak pergi jauh. Tapi, dia tidak ada lagi di hidupku,"

"Kau yang berpikir seperti itu!" Thomas menghela nafas. "Kau yang membuatnya seperti itu!"

"Kau tidak di posisiku, Tom!"

"Yeah, twist and cruel," Thomas menepuk ujung kaki Jed. "Kenapa tak bicara dulu dengannya? Mungkin kau bisa sedikit lebih lega. Jika kau tak bisa merelakan ini, setidaknya biarkan dia menjelaskan semuanya dulu,"

"Oke, cukup." kata Jed kasar. "Sebelum kuminta kau keluar, lebih baik hentikan apapun yang mau kau katakan tentang aku dan dia!"

Thomas mengedikkan bahu. "Jadi, mereka sudah mengamankan Irish malam itu. Trevin datang dan mengajak kami pergi. Dia dengar pemilik motel menelepon polisi lantaran suara Irish yang begitu kencang dari belakang. Tepat setelah kami pergi, polisi datang."

"Seberapa parah kau melukainya?"

"Hanya membuat tanda. Dengan siapa dia berurusan!"

"Dia memberimu nama?"

"Daxton, Jed! Tentu saja dia. Aku sudah memberitahu anak buahku. Polisi tak mungkin bisa menanyai Irish saat ini, kau mau aku memberitahu polisi dimana lukisan itu berada?"

"Katakan saja, kita hanya perlu mengeluarkan satunya lagi, kan?" Jed menarik nafas. "Dan wanita itu, siapa dia?"

Thomas menyeringai. "Mungkin akan tiba giliran kau yang menerima hadiah,"

"Ata?" ujarnya tanpa pikir panjang.

Thomas mengedikkan bahunya, lalu mendekat pada Jed. "Tapi, kau tahu, aku merasa Trevin agak aneh belakangan ini,"

"Aneh?" Jed mencoba mengingat sikap Trevin beberapa hari belakangan ini. "Aneh bagaimana?" tanya Jed saat merasa tak ada keanehan dari sikap Trevin.

Dia datang ke kantor seperti biasa, sering menemui Shae untuk mengantarkan makanan seperti yang diperintahkan Jed-karena adiknya tak mau masak, dan mengerjakan tugas-tugas di kantor. Tak ada yang aneh.

"Apa kau tak merasa dia sedikit pendiam?"

"Menurutmu dia aneh dengan jadi pendiam? Tak masuk akal!"

"Kau tak merasa? Dia sering menyendiri dengan laptop, catatan, dan kadang berbicara aneh di teleponnya!"

"Yang benar saja, Tom. Oh you waste your time gossiping!" Jed lalu teringat kejadian beberapa hari lalu. "Oh my God!" katanya. "Aku rasa dia ketagihan sex online!"

"What?" Thomas kaget. "Hell no, Jed!"

"Dia menonton porno di kantor beberapa hari lalu."

"Anak itu? Tunggu, apa kau yakin dia menonton blue film?"

"Entahlah, yang jelas dia kelihatan kesal waktu aku ingin melihat apa yang sedang dia lakukan di laptopnya."

Thomas lalu tertawa, diikuti Jed tak lama kemudian. Mereka sama-sama bersimpati untuk Trevin yang sudah terlalu jauh melenceng dalam hal kebutuhan biologisnya.

"Jed, tidakkah terasa aneh saat kau berduaan saja dengan Ata di kamar ini?"

Itu pertanyaan Thomas sebelum dia pulang, saat jam menunjukkan pukul sembilan tadi. Sekitar dua jam yang lalu. Tayangan televisi di depan Jed tak diperhatikannya. Sekarang, yang ada di dalam kepalanya adalah kamar ini memiliki sejarah yang penuh gairah dengan Ata. Disini, di atas ranjang ini pertama kali dia menyatu dengan Ata. Ada Ata diingatannya. Ata melakukan ini, Ata melakukan itu. Disini, di kamarnya.

Dia melihat ke salah satu sudut kamarnya. Wanita itu tertidur dalam posisi duduk di sofa dekat jendela. Kali ini nyata, bukan hanya diingatannya atau kenangan bersama Ata. Ata tertidur di sana, mungkin terlalu lelah menjaganya. Sedang Jed tak bisa tidur. Keadaan seperti ini begitu sulit untuk dilupakan, bahkan hanya untuk tidur.

Kenapa harus Ata lagi? Ya, aneh. Thomas benar. Aneh. Dan pilu.

*

Jed sudah tidak tahan seperti ini. Dia ingin pergi, tapi penjagaan mereka sungguh tak main-main mengingat kondisinya sekarang. Disamping itu, dia tidak nyaman berada di kamar- yang kebanyakan dihabiskan dengan hanya mendengarkan Ata. Meski masih ada rasa sakit yang menyergapnya, tapi ada banyak hal yang mau dia lakukan.

"Hei," sapa Trevin saat dia melihat Jed tengah berdiam diri di kamarnya. "Bagaimana keadaanmu?"

"Kenapa kau baru datang sekarang?" tanya Jed. Dia sudah tiga hari terkapar di kamarnya dan Trevin baru muncul menjenguknya.

Trevin tersenyum tipis. "Apa itu masalah sekarang? Urusan kantormu, kau pikir siapa yang urus?" dia melihat sekitar. "Ayo pergi," katanya.

"Kemana? Ata sedang tak ada. Aku tak diijinkan pergi tanpa dia. Begitu perjanjiannya!" Jed bangun dan berjalan tertatih ke dekat jendela kamarnya. "Aku rasa setengah jam lagi dia baru kembali,"

Trevin mendengus. "Kau takut atau kau ingin terus-terusan di dekatnya?" selidiknya.

"Aku sedang tak ingin macam-macam sekarang!"

"Tak apa! Ayo, tak akan terjadi apa-apa, aku jamin! Lagipula, apa ruginya menempatkan Ata pada posisi sulit sekali-kali?" dia menyeringai.

Jed berbalik melihat Trevin, tersenyum saat mendapati seringai Trevin. Dia segera membuka pintu lemari, mengenakan jaket kulit dan mengangguk pada Trevin.

"Ayo pergi, Vin!"

Entah kenapa, Jed merasa Thomas benar tentang Trevin. Dia menjadi aneh. Dia percaya karena mereka ada di sini sekarang. Bedua. Menghadapi gelombang pantai yang terhempas, di atas pasir tak jauh dari garis pantainya. Tak cukup ramai di sini karena pantainya tidak terlalu bagus. Ombaknya juga tidak mendukung untuk olahraga surfing atau menyelam. Namun, kesunyian seperti ini membuat keduanya berpikir dalam.

"Kau sering datang ke sini?" tanya Jed.

"Ya," kata Trevin. "Lumayan kan di sini?" dia berdehem pelan.

"Ya, kita harus lebih sering ke sini," Jed setuju. "Ada apa denganmu, Vin?"

"Ada apa?" dia melihat Jed. "Apa yang salah denganku? Kenapa Thomas juga berpikir ada yang salah denganku?"

"Ini," kata Jed memberikan ponselnya pada Trevin. "Aku punya banyak nomor teman wanita. Aku bisa mengenalkan mereka padamu, well, kau mau tipe wanita seperti apa?"

"Seriously?" Trevin kaget. "What the heck, Man. Jadi, kau dan Thomas pikir aku sebegitu parahnya?"

"Bukan?" tanya Jed. "Thomas bilang kau jadi penyendiri belakangan ini dan beberapa hari lalu, kau nonton bokep di kantor."

Trevin mendesah, "Demi Tuhan!" serunya pada pantai di depannya. "Aku tak percaya kalian menganggapku begitu. Fuck no!" Trevin mengembalikan ponsel pada Jed. "Astaga, Jed aku tidak menonton hal semacam itu di kantor!"

"Bukan karena wanita?" Jed bertanya ragu. "Jadi, apa yang salah denganmu belakangan ini?"

"Come on, Jed!" Trevin melengos.

Jed melihat Trevin. "Aku hanya khawatir, kau bisa bilang kalau ada apa-apa denganmu, Vin!"

Trevin mendengus. Lalu, mereka hanya diam menyaksikan riak gelombang yang terhempas ke pingir, menyapu pasir kecokelatan, lalu tergulung lagi ke tengah pantai. Mendengarkan suara burung yang terbang berseliweran di sana. Tak ada keramaian yang berarti, bahkan hingga sore menjelang.

Trevin mengeluarkan rokoknya dan menyesapnya dalam diam. Jed melihat temannya itu, masih merasa ada yang salah dengan Trevin, meski pria itu berkeras dia baik-baik saja. Trevin tak pernah sedemikian pendiam saat mereka berdua.

"Kau tak mau bertanya apa-apa?" tanya Jed tiba-tiba. Dia mengadah, pada sinaran matahari yang mulai turun ke barat.

"Soal apa?" tanya Trevin tak tertarik.

"Yang terjadi padaku,"

"We ain't gossiping, Jed." Trevin melihat Jed sebentar.

"Tapi, ini bukan gosip, Trey!"

"Lalu apa? Aku akan dapat jawaban yang berbeda dari kau dan Ata. Lalu apa? Siapa yang akan kupercaya? Ini tak penting buatku." asap rokok Trevin cepat dihambur angin saat dia menghembuskannya ke udara.

"Kau bertanya pada Ata?"

"Tidak! Sudah kubilang aku tak ingin tahu apa-apa! Dengar, yang kupikir penting sekarang adalah urusan Royal Company, membantumu mengembalikan lukisan itu, membersihkan namamu. Urusan lainnya, kau yang urus sendiri!"

"Trevin," ujar Jed. "Aku tak tahu kau sebegitu peduli padaku,"

"Mungkin karena aku merasa bersalah padamu." Trevin mengangkat alisnya melihat Jed.

"Bersalah untuk apa?" Jed melanjutkan.

Trevin menyeringai. "Kau mau berenang?"

"Bersalah kenapa, Vin?" Jed belum puas dengan penjelasan Trevin. Tapi, temannya itu sudah tak peduli lagi.

Trevin berdiri dan menyerahkan rokoknya pada Jed. Dia lalu membuka kaos dan celana jeans yang dia kenakan. Mengenakan boxer, dia berjalan ke arah pantai meninggalkan Jed. Jed memperhatikan tubuh Trevin yang kini sudah berada di dalam air.

Menyesap rokok pelan, dia menarik nafas panjang. Mengembuskannya bersama asap rokok yang seketika hilang dibawa angin. Tatapannya masih pada Trevin yang hilang timbul di pantai.

"Ada yang salah denganmu, Trevin!" gumam Jed pelan.

*****

Continue Reading

You'll Also Like

7.3K 592 15
Saat pulang sekolah zaki melihat krow yang sedang membunuh kekasih nya di akibatkan cemburu dengan nya
72.7K 6.3K 100
Tokyo Noir Familia salah satu keluarga Mafia di kota TokyoVerse.Dipimpin oleh Rion Kenzo yang dipanggil dengan Papi dan Caine Chana yang selalu dipan...
11.9K 1K 18
Sebuah Geng motor yang berambisi untuk mengembalikan Hak mereka yang hilang karena oknum yang tidak bertanggung jawab Saksikan Kisah selanjutnya... ...
22.4K 3K 36
Kisah seorang gadis yang menjadi pemuda karena ibunya, dengan sederetan rahasia keluarga dan masalah yang ia lalui di sekolahnya. ...