Senja Dan Jingga

Mayalsa

481K 27.2K 771

Sequel of "FRIENDSHIP IS NEVER ENOUGH" Apa hanya sekedar ilusi, sayang? Jika berharap kau akan segera pulang... Еще

Harap Dibaca
Prolog
1. Hujan
2. Janji dan Sebuah Perasaan
3. Teman
4. Suatu Tempat
5. Kebetulan yang Menyakitkan
6. Sekolah dan Kamu [ Repost ]
7. Sekolah dan Kamu 2
8. Senandung Terindah
9. Peredam Nyeri
10. Minggu Sendu
11. Jadi Pacar Saya, mau?
12. Kita Pacaran, 'kan?
13. Untuk Apa Kembali?
14. Hancur Berkeping
15. Terlalu Rumit
16. Sama-sama Patah Hati
17. Belum Terlatih Patah Hati
19. Itu Hanya Kamu
20. Hujan Yang Sama
21. Dandelion
Cuap-Cuap Dikit
22. Post It
23. Kembali
24. Bumi
25. Sekali Ini Saja
26. Takdir
27. Kemenangan Semu [Repost]
28. Senja Yang Memudar
29. Senja dan Cerita Yang Telah Usai
Info Kelanjutan Senja Dan Jingga
My Coldest Ocean
Harus Banget Baca!!!
Kelanjutan...
Paper Hearts
My Beautiful Storm

18. Serba Salah

9.8K 673 9
Mayalsa

Jingga meringis saat Jane meneteskan obat merah ke luka goresannya. Sungguh ini suatu kebodohan seumur hidup karena tidak berhati-hati. Tadi, saat penyerangan yang dilakukan terhadap sekolahnya, Jingga dan ketiga temannya memutuskan untuk mempertahankan daerah teritori keamanannya. Dan juga ia tidak mau di anggap lemah oleh lawannya, Arnold. Arnold yang selalu menyimpan dendam pada Jingga karena Jingga selalu memenangkan pertaruhan tersebut. Dan saat Jingga sedang menghabiskan satu persatu pasukan Arnold, Jingga melihat Arnold ingin melukai Karel dengan pedang panjang yang di sebut samurai. Alhasil, Jingga mendorong Karel hingga Karel terpental, sehingga samurai itu menggores otot Jingga yang berbalut kemeja putih hingga bagian lengannya ikut robek. Awalnya, Jingga tidak merasakan luka itu bahkan ia mati-matian membabi buta Arnold, namun saat itu juga Didi berteriak, "Ga, lengan lo!" Dan Jingga langsung melirik lengannya yang sudah mengeluarkan darah segar. Bagi Jingga, itu bukan apa-apa, sakitnya tidak sebanding dengan kehilangan Senja. Namun, pasukan kelas 10 menyeret Jingga dengan paksa agar lukanya bisa terobati, dan saat ia sudah di dudukkan di ranjang UKS, lukanya baru terasa, Jingga pun tidak tau bagaimana Jane sudah berada di dalam ruang UKS ini. Masa bodo, intinya Jingga tidak ingin memikiran hal yang tidak jelas. Terserah Jane akan melakukan apapun pada dirinya, asal itu masih sewajarnya saja.

Saat Jane mengobati lukanya, Jingga terkejut akan kedatangan adiknya yang terlihat panik setengah hidup itu. Tapi itu manis untuk Jingga, Shania yang selalu melontarkan kata-kata kasar padanya dan sekarang dia menjadi seorang adik pada umumnya. Syukurlah, Jingga tersenyum mengetahui itu.

Shania menatap Jingga dengan nanar, lalu ditelitinya seluruh tubuh Jingga, mulai dari wajahnya, badannya yang sudah terbebas dari kemeja putih hingga sekarang ia bertelanjang dada. Shania menemukan beberapa luka memar di bagian siku, dahi, bahu dan punggung Jingga.

"Bisa nggak sih lo nggak usah ikut tawuran? Lo nggak mikir, gimana nanti kalo Mama tau keadaan lo? Lo nggak kasian sama Mama? Punya otak nggak lo? Nggak usah sok jagoan lo. Lo cuma Jingga, bukan Hulk, bukan Iron Man, bukan Batman, bukan Superman, bukan Captain America. Lo manusia biasa, inget itu. Jangan bikin Mama Papa khawatir, bego." Tanpa babibu, Shania langsung memarahi Jingga atas kebodohan yang telah ia lakukan. Shania benci Jingga yang brutal tidak karuan.

Jingga meringis, antara sakit di lukanya atau mendengar ocehan adiknya yang sepanjang kereta itu. "Adikku sayang, kakanda lebih dari beberapa karakter superhero yang adinda sebutkan. Superhero itu kan cuma membela negara saat di film. Lah kakandamu ini kan bertaruh sungguhan, membela sekolah tercinta." Hardik Jingga dengan penuh drama. Sedangkan Jane hanya tertawa geli mendengarnya. Sungguh, Shania muak mendengarnya. Sayang saja Jingga terlanjur lahir sebagai kakaknya. Salah tidak kalau sekarang Shania menginginkan kakak laki-laki yang seperti di novel dan film-film kebanyakan?

Shania mendecih ketus. "Jijik bahasa lo." Shania menoyor pipi Jingga tanpa dosa.

Jingga melihat sekitar Shania, lalu melihat ke arah pintu yang dipenuhi oleh gerombolan murid yang ingin tau keadaan Jingga, hingga Jane kualahan mengobati Jingga yang tidak bisa diam. "Lo sendiri, Shan?" Tanya Jingga pada Shania.

Shania tau betul kemana arah pertanyaan itu. "Yaiyalah, lo ngarepin gue dateng sama siapa?" Tanya Shania balik dengan nada sarkasme sambil bertolak pinggang.

Jingga hanya menghela napas kekecewaan. "Bagus kalo dateng sendiri. Gue kira, lo bawa temen lo." Jawabnya terpaksa, ia harus menutupi perasaannya dengan kekecewaan yang mendalam. Padahal dalam lubuk hatinya, Jingga menginginkan dia ada di sini.

Nyatanya, sebelum Jingga memperhatikan sekeliling, Senja sempat ada di antara kerumunan itu, namun Jingga tidak melihatnya. Jarak di antara mereka semakin runyam dan tampak semu, hingga tanpa sadar mereka sama-sama membangun dinding kokoh di antaranya tanpa berniat untuk sesekali tegur sapa.

Ah iya, saat tadi Jingga melewati Senja begitu saja, hati Jingga terasa sangat berat. Ingin sekali ia merengkuh tubuh mungil itu ke dalam dekapannya, namun mengapa seolah Jingga menghindari Senja?

Dan sekarang, Jingga terlanjur memikirkan Senja, padahal ia tidak ingin memikirkan Senja lagi. Susah memang kalau sudah terlanjur cinta.

***

Senja menghapus air matanya dengan kasar dan menatap lurus ke cermin yang terpampang di depannya. Seseorang boleh bersedih bahkan menangisi kepergian oranv yang disayangi, namun jangan sampai terlarut dalam kesedihan tersebut. Senja harus bangkit, dan berucap pada dirinya sendiri bahwa ia pun pantas untuk bahagia.

Selama ini, Senja terlalu memikirkan kebahagiaan orang lain tanpa memikirkan kebahagiaannya sendiri. Ia terlalu terbebani dengan kesedihan kakaknya, tanpa ia sadari ia sedang menjahit pakaian sobek dan ia lupa bahwa jarum bisa menusuk jarinya kapanpun. Ia berusaha memperbaiki hubungan dirinya dengan kakaknya, bukan? Dan ia tidak tau bahwa caranya akan menyakiti dirinya sendiri.

Senja memang baik hati, namun terlalu baik hingga ia tidak peduli terhadap dirinya sendiri, terhadap perasaannya. Yang Senja tau hanya kebahagiaan kakaknya.

Senja meyakinkan dirinya untuk tidak terlihat begitu menyedihkan. Lalu ia merapihkan pakaiannya, dan segera keluar dari toilet tersebut. Senja melihat keadaan sekitar yang terlihat sangat sepi. Rupanya, serangan dari sekolah tetangga itu sudah berakhir. Sekarang, Senja bisa pulang.

Senja melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu, keinginan hatinya bertolak belakang dengan logikanya. Hatinya ingin sekali lagi saja melihat Jingga, memastikan bahwa Jingga memang benar baik-baik saja. Namun keinginan itu segera di tepis olehnya.

Senja berjalan dengan gontai sambil melihat sekitar dengan ragu. Ia takut seseorang mengetahui bahwa dirinya habis menangis nanar di dalam toilet. Namun dunia seolah terhenti ketika Senja melihat Jingga yang sedang berjalan dengan Jane dan Shania sambil tertawa bahagia. Jane memang pantas untuk Jingga, setidaknya Jane lebih baik dari dirinya, batin Senja.

Senja menginterupsi hatinya agar tidak terbawa suasana haru biru yang tidak ada ujungnya, perlahan ia mulai mensugestikan pikirannya agar tidak tersita oleh Jingga, sejujurnya ini berat, namun Senja yakin bisa melewatinya.

Untuk yang kedua kalinya, mereka pas-pasan saat berjalan. Hanya saja kali ini pandangan mereka saling bertemu satu sama lain. Awalnya, Senja terlihat gusar lalu ia menggigit bibir bawahnya agar tidak menangis saat ini juga. Jane bergelayut di lengan Jingga dengan manja. Sedangkan hati Senja berdenyut melihatnya.

"Senja, yang lain mana?" Senja terpaksa berhenti ketika Shania menanyakan teman-temannya.

Senja tersenyum tipis. "Udah pulang, Shani. Kamu tiba-tiba ngilang, yang lain pada nyariin." Padahal, Senja tidak tau apakah Sere dan Sofi sudah pulang atau belum. Asal jawab saja, masa iya ia harus bilang ia tidak tau karena habis menangis di toilet? Kan tidak lucu.

Shania mengangguk-ngangguk mengerti. "Hehe gara-gara si kunyuk nih." Senja melirik Jingga yang ternyata sedang memalingkan wajahnya. Astaga, ingin sekali Senja mengubur perasaannya dalam-dalam. Sakit ketika orang yang kita sayangi mengabaikan kita. "Yaudah gue duluan ya, Senja." Pamit Shania.

Senja tersenyum paksa dan mengindahkan perkataan Shania. Lalu Shania, Jingga dan Jane pergi meninggalkannya.

Kau tidak mengejarku. Karena ketika aku melihat ke belakang, kita berlari pada lintasan yang berbeda.

Aku hanya Senja, dan kamu hanya Jingga. Nama kita tidak tersirat pada kertas yang sama.

Jalan yang mereka tempuh memang terlihat begitu runyam.

***

Di sini lah Senja sekarang, menghadap sang mentari yang ingin tenggelam sambil duduk termenung sendirian. Hebat sekali sesuatu bernama cinta itu, ia mampu mengubah seorang periang menjadi sang pemurung pekat.

Tempat ini menjadi saksi bisu antara pertemuannya dengan Jingga, juga perasaannya. Tempat yang akan selalu Senja kunjungi, meskipun terbesit segelintir kenangan yang menggenang di kepala Senja.

Bukan Senja menyesali takdir yang telah terjadi. Bahkan Senja ingin berterima kasih pada Tuhan yang telah mempertemukannya dengan Jingga, sepenggal kebahagiaan yang Tuhan selipkan untuk perjalanan hidup Senja yang singkat.

Perlahan, penglihatan Senja seperti terhalangi selaput bening yang akan membanjiri pipinya dengan sekali kedipan mata. "Ma, kenapa untuk bahagia saja rasanya sulit?" Gumam Senja. Seolah ia memang sedang berbicara pada ibunya.

"Ma, Senja tidak pantas bahagia, ya? Tihan tidak mengijinkannya."

"Senja lelah jika harus seperti ini terus, Ma. Berpura-pura kuat di depan semua orang, tanpa mereka tau apa yang sudah Senja alami, apa yang sebenarnya terjadi."

"Bukannya Senja mengeluh, hanya saja Senja ingin semua berjalan baik-baik saja. Masalah perasaan, Senja tidak menyalahkannya."

"Jujur, Senja tersiksa dengan keadaan seperti ini, namun Senja bisa apa, Ma?"

"Tidak ada satu orangpun yang tidak ingin bahagia, namun Senja percaya cara Tuhan menunjukkan kebahagiaan memang beda-beda. Namun Senja ragu terhadap diri Senja. Seolah musuh terbesar Senja adalah ego Senja sendiri."

"Senja ingin bahagia, Ma. Jemput Senja secepatnya... "

. . . . .

Aku percaya, jika aku adalah rumahmu, kau akan kembali secepatnya. Lebih cepat dari kecepatan cahaya yang turun ke bumi.

- Senja .R

***

Hwaaaa ku update lagiiiiiii😆😆😆

Lagi semangat nulis ayay, doain aja cepet kelar, aku pengen fokus ke editing FINE biar cepet kelar juga, terus belajar buat bikin cerita romance wkwk soalnya bukan anak SMA lagi jadi yaaaaa tbtb aja genrenya pindah haluan bhaq😂

16 September 2016

Продолжить чтение

Вам также понравится

Aku Benci Cinta Dita Syafa

Подростковая литература

9.4K 434 10
Cinta itu menyakitkan. Itulah yang dipercayai seorang gadis most wanted yang bernama Syafa. Di sinilah dia, memulai kisah cinta di SMA kelas 11 ipa...
63.8K 1.2K 34
Berisi kutipan-kutipan yang tertuang dalam Novel Rindu karya Tere Liye. Selamat membaca Terimakasih.
Frendzone hrlnrvianti_

Подростковая литература

9.2K 174 5
Terkadang kita tidak tau apa yang akan terjadi dimasa mendatang,bisa jadi hari ini kita bahagia dengan orang yang kita sayang dan di hari yang akan d...
Monster Tyrant Nursida122004

Подростковая литература

882K 87.2K 49
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...