Love Or Die

By tjitsar

516K 35.7K 2.4K

"Kau tahu cara membuat wanita jatuh cinta padamu?" "Memangnya menurutmu bagaimana?" "Make her laugh." This wo... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Who Plays Whom
Epilog

29

6.5K 429 40
By tjitsar

"Let's play something,"

Ata-

********

Ruangan itu remang sampai Jed menyalakan lampunya. Ata terdiam di tempatnya berdiri. Dia melihat Jed, lalu matanya menyapu ruangan. Saat dia menemukan sesuatu yang menggugahnya, dia melepaskan tangannya dari genggaman Jed.

Ini ruangan dimana hanya Jed- yang setahu Ata hanya dimiliki oleh Jed. Milik Jed pribadi! Bahkan, dia sendiri yang membersihkan ruangan ini. Ruangan yang tidak pernah dimasuki siapa-siapa, bahkan Thomas. Tak ada yang tahu apa yang Jed punya disini, tak ada yang tahu apa yang dilakukan Jed berjam-jam jika dia berdiam disini. Tapi, Ata berdiri disini sekarang. Karena Jed percaya padanya, karena Jed menyerahkan dirinya pada Ata.

Kaki Ata bergerak lambat mendekati dinding yang digantungi pigura besar. Mendongak, dia tersenyum melihat foto yang terisi di dalamnya. Dia berbalik melihat Jed. Tangannya terulur, meminta Jed mendekat padanya.

Jed benar-benar sudah menyerahkan semuanya pada Ata. Bahkan, bagian yang dia tak pernah perlihatkan pada siapapun. Ruangan ini. Ruangan dimana dia menyimpan satu-satunya foto keluarganya. Kedua orangtua dan adiknya.

"Kau kelihatan keren," Ata berujar pelan. "Itu Shae? Dia cantik!"

"Mata kalian sungguh indah," Ata berjalan makin dekat. "Kau mirip ibumu," Ata tertawa pelan, lalu melihat Jed sebentar. "Dan ayahmu juga. Pantas kau setampan ini!"

Jed menghela nafas panjang, menggamit tangan Ata. Ata menatapnya, mendekatkan tubuhnya pada Jed. "Kapan foto ini diambil?"

"Ini foto liburan terakhir kami bersama. Waktu aku lulus SMA!"

Ata mengusap lengan Jed, menarik nafas panjang. "Kau tidak memberitahu kalau ayahmu yang memimpin operasiku, Jed."

"Ya," Jed tertawa pelan. "Aku tidak menyangka dia datang malam itu. Hei, aku ingin berterima kasih karena telah- you know, kalau bukan karena kejadian itu aku mungkin belum menemui ayahku,"

Ata ikut tertawa pelan. "Kau menemuinya, apa yang kau katakan padanya hingga dia datang?"

Jed memutar tubuhnya, berdiri di depan Ata. Tangannya menyelipkan rambut Ata ke belakang telinganya, lalu tersenyum. "Kubilang untuk menyelematkan gadis ini. Kuminta dia melakukannya, karena gadis ini tertembak karena aku, menyelamatkanku!"

"Hanya itu?"

"Dan bahwa aku begitu mencintainya!"

Ata tersenyum. Tangan Jed menyentuh dagunya, menatap matanya. "Aku tidak bisa kehilanganmmu, Atlanta!" Jed berujar.

Kalimat yang membuat hati Ata berbunga-bunga karena bahagia. Senyumnya hadir lagi, kali ini menyentuh semua perasaan dalam dirinya. Matanya menyipit, dan Jed suka sekali dengan senyuman Ata seperti sekarang. Dia menarik Ata dalam pelukannya, memeluknya begitu erat. Setelah lewat beberapa menit hanya dengan mendengarkan helaan nafas pelan mereka, Jed melepaskan pelukannya.

"Thank you." ujar Ata.

Dia menepuk pipi Jed pelan, lalu mundur. Dia berbalik untuk melihat ruangan Jed. Benar-benar tidak ada apa-apa, selain sofa panjang besar yang mirip ranjang di dekat mereka, menghadap ke arah foto yang tergantung. Ata menduga inilah yang dilakukan Jed berjam-jam disini. Duduk disini, memandangi foto keluarganya. Lalu, hanya ada satu jendela besar disini. Dan sesuatu di dekat jendela itu!

"No way!" ujar Ata saat dia menangkap teleskop di bibir jendela Jed, menghadap ke langit terbuka.

Jed tertawa, mengikuti Ata mendekati teropong itu. Ata membungkuk, memposisikan matanya pada ujung teleskop dan berdecak kagum "My God, it is amazing!" dia mengangkat wajahnya dan mencari Jed.

Saat dia menemukan Jed berdiri di belakangnya, tangannya terulur untuk memukul lengan pria itu. "Sialan kau!"

"Lihat lagi," perintah Jed. Dia mengarahkan teropong itu seraya melihat ke langit luas. Saat dia menemukan rasi bintang satu-satunya yang diketahui Ata, tangannya berhenti.

"Itu satu-satunya rasi bintang yang kau tahu, gubuk penceng." ujar Jed.

"Yeah, ini keren! Oh, rupanya bukan hanya empat bintang!"

"Rasi Crux mereka menyebutnya. Dulu digunakan sebagai kompas bagi pelaut. Tersusun dari beberapa bintang Alpha Crux, Gama Crux, Mimosa, Delta Crucis dan Eplison. Mimosa adalah yang paling terang diantara mereka,"

"Enough said!" seru Ata tak ingin dengar ocehan Jed lagi.

Jed tertawa pelan, lalu mengusap kepala Ata pelan. "You can't beat me, Baby!"

Ata mengangkat wajahnya, melihat Jed. Yeah, dia tahu, tak ada laki-laki yang suka kalah. Dan laki-laki ini memang sulit untuk dikalahkan.

"Jadi, selama ini kau hanya pura-pura tidak tahu saat aku menjelaskan gubuk penceng, huh?"

"Kau tidak memberiku kesemepatan untuk menjelaskan," Jed membuang pandangannya ke langit, sementara tangannya mengatur posisi teleskop untuk menangkap sesuatu.

"Coba lihat lagi,"

Ata menurut dan mendekatkan matanya. Dia melihat gugusan bintang di sebelah utara, dengan tujuh bintang yang tersusun. Gugusan yang membentuk sebuah pola lain "Apa yang ini?"

"Rasi Biduk, terlihat sepanjang tahun."

"Keren!" seru Ata. "Ada berapa rasi bintang di dunia ini?" Ata mengangkat wajahnya melihat Jed, menunggu jawaban.

"88 buah." jawab Jed mantap.

Ata mencibir, ingin sekali mengalahkan pria ini. Dia menghela nafas, mengangkat dua tangan ke udara, menyerah.

"Thomas bilang mungkin kau menyimpan skateboard disini," Ata melihat ke belakang Jed.

"Ada satu memang," Jed berjalan ke pojok ruangan, dimana dia meletakkan satu papan luncur. Dia memberikannya pada Ata. "Mau main?" tanyanya.

Ata mengambil papan itu dan meletakkannya di lantai. Tidak heran dia punya skateboard disini. Ruangan luas ini memungkinkan Jed memainkan benda ini tanpa hambatan sama sekali. Ata melepas heelsnya dan menaikkan satu kaki. Mendorong pelan menjauhi Jed dan meluncur. Namun, dia tidak sepenuhnya berhasil lantaran tidak berani menaikkan dua kakinya.

"Aku masih tidak bisa main, Jed!" dia tertawa dan memungut papan itu. Berjalan ke arah Jed. "Ini bukan untukku," tawanya hadir lagi.

"Kau tahu bagaimana cara membuat wanita jatuh cinta menurut Trevin?"

"Trevin?" ulang Ata. "Tidak tahu," dia menggeleng. "Kau percaya Trevin?"dia tertawa.

"Dia bilang buat wanita itu tertawa," Jed tersenyum.

Ata mendengus, menghilangkan tawa dan menggantinya dengan senyuman "Make her laugh, yes. It will work, Jed. So?" dia memiringkan kepalanya melihat Jed. "Does it work for you?"

"Aku mencoba membuatmu tertawa, jadi pada akhirnya kau akan menyukaiku, jatuh cinta padaku. Tapi, alih-alih membuatmu jatuh cinta padaku, aku malah jatuh cinta padamu, tiap kali kau tertawa." mata Jed begitu sungguh-sungguh saat dia berkata demikian.

Tangan Ata refleks menjatuhkan papan luncur dan menarik wajah Jed ke arahnya. Dia berjinjit untuk meraih bibir Jed. Mengecupnya lembut. Tangan Jed seperti menemukan jalan yang familier. Mengelus pelan punggung perempuan itu, lalu naik ke belakang lehernya. Menahan pagutan itu saat Ata ingin menyudahinya.

Nafas mereka memburu saat Jed menyandarkan tubuh Ata pada dinding ruangan itu. Tidak membuang kesempatan, Jed memperdalam ciumannya. Menjelajahi mulut Ata seperti pertama kali.

"Jed,"

Jed memiringkan kepalanya, menurunkan bibirnya ke tulang rahang Ata. Tangan Jed melakukan tugas lainnya. Turun hingga paha gadis itu dan mengangkatnya. Menelusup di balik dress Ata, dia memancing perempuan itu. Tanpa melepaskan pagutan mereka, Ata pun seperti tidak menemukan kesulitan saat kakinya mengait pada pinggul Jed.

"Hhm," lenguh Ata saat tangan Jed menari-nari di pahanya.

Tangannya menarik sejumput rambut Jed saat gigi pria itu kini juga coba memancingnya. Ata merasa dia tidak punya kekuatan lagi pada kedua kakinya. Pekerjaan Jed begitu intens, atas dan bawah!

"Atlanta," gumam Jed saat tangan Ata menarik tangan pria itu di paha dalamnya. Menurunkan kakinya di pinggul Jed.

"Jed," dia menarik wajahnya menjauhi Jed, lalu menangkup wajah laki-laki itu.

Kilatan gairah jelas bisa Ata lihat di matanya. Mereka seperti mengejar nafas satu sama lain, saling memburu. Jed cepat menormalkan nafasnya, lalu menjatuhkan wajahnya di lekukan leher Ata. Memeluk gadis itu.

"I am sorry Jed," bisik Ata pelan seraya mengusap kepala Jed.

"What?" tanya Jed sambil mencecapi pangkal leher Ata tidak sabar.

Ata menarik wajah Jed, tersenyum menatap laki-laki yang sedang berusaha menahan segalanya sekarang. Ata mendorong dada Jed untuk mundur. Laki-laki itu merapatkan rahangnya kuat.

Ata tertawa. "Look at you," ujarnya manja. "Ada apa dengan wajahmu, Jed?"

"Kau sedang bermain-main, Ata?" tanya Jed.

Ata berjalan mengelilingi Jed, menyentuh bahunya dengan sentuhan yang ringan, menyapa kulit wajahnya dengan ujung jarinya, dan menikmati saat Jed mengeram tak sabar. Dia berdiri dengan jarak aman di depan Jed, melihat manik mata lelaki itu. Dia tertawa pelan. Tawa yang membuat Jed jatuh cinta.

"Hanya karena tawa ini?" tanya Ata.

"Ata!" geram Jed. "Aku bisa menghabiskan malam ini mengatakan alasannya!"

Ata menyeringai, lalu tangannya menuju punggungnya, menarik resleting dressnya. Jed menelan ludah.

"Let's play something," ujarnya genit.

Jed suka permainan seperti ini. Setelah resletingnya mencapai ujung, Ata menunjuk kemeja Jed dengan dagunya. Jed paham maksud Ata. Jemarinya secara efektif membuka kancing kemejanya satu-satu, menampakkan bagian tubuh atasnya yang bersih. Lalu, dia menaikkan alis, melihat Ata. Menunggu apa yang akan dilakukan gadis itu. Jelas, dia punya banyak hal yang perlu dibuka dibanding Jed.

Ata menggeleng, lalu menurunkan lengan dressnya hingga dada atasnya, sengaja mempermainkan Jed. Namun, konsentrasi laki-laki itu terpecah dengan bekas luka di dada kanan Ata. Dia menatapnya lekat, sampai tangan Ata menutupinya.

"Giliranmu," ujar Ata tanpa ada niatan untuk mengenang kisah itu.

Laki-laki itu mengangguk, tanpa ragu melepas kemejanya dan menjatuhkannya ke lantai. Dia melipat tangan di depan dadanya.

Apa yang akan kau lakukan sekarang, Ata?

"Kau menungguku, Sayang?"

Tangan Jed merasa gatal untuk menarik turun dress berwarna camel itu. Bahkan kepalanya terasa pusing sekarang. Jemari Ata dengan pelan, memegang kembali lengan bajunya. Sengaja menurunkannya sangat lambat. Dia menikmati air muka Jed sekarang. Raut wajah gemas, kesal dan penasaran.

Jed tersenyum saat Ata menurunkan dressnya hingga pinggang. Bagian atas tubuh wanita itu terbuka. Jed membasahi bibirnya, membuang wajahnya sebentar. Dia tidak bisa berpikir lagi sekarang. Disuguhi pemandangan seperti itu, sedekat ini, namun hanya bisa menonton saja, dia sungguh tersiksa.

Ata tersenyum, berjalan mendekati Jed. Jed menghirup aroma tubuh perempuan itu. Wanita itu memiringkan kepalanya, mengerling nakal. Tangannya meraih ikat pinggang Jed, dan melepaskannya.

"You're gonna have a rough night, Atlanta! I promise you!"

Ata mendongak menatap mata Jed. Mata abu-abu yang terang, namun berkabut. Wanita itu seperti melakukan demo di depan Jed.

"Lakukan Ata!" desisnya. "Lakukan!"

Jed benar-benar tidak menyangka Ata bisa seberani ini. Dia benar-benar melakukan apa yang diminta Jed. Jeans pria itu kini sudah bergulung di ujung kakinya, menyisakan pakaian dalam. Ata mengecup pipi Jed sesaat sebelum dia berjalan mundur. Tersenyum, tangannya menurunkan dressnya.

"Fuck!" desis Jed menahan bibirnya agar tidak terbuka lebar.

Ata berdiri di depannya. Persis seperti model wanita di majalah pria dewasa. Sepasang lingerie dan heels. What the hell! Ata tentu saja lebih cantik dari mereka semua, jauh lebih menarik, menggoda dan memancing Jed, lebih dari sekedar gambar cetak dua dimensi. Jed mengusap wajahnya dan menyeringai.

Ata berjalan pelan. Tanpa diduga Jed, wanita itu memeluknya erat. Jed seperti tidak sabaran membalas pelukan itu dengan raupan dan dekapan lebih erat. Bibirnya jatuh di sepajang bahu Ata, menciuminya. Meski tangan Ata beberapa kali menarik rambutnya, godaan tubuh Ata jauh lebih kuat.

"Aku kira waktu bermain sudah habis, Baby," ujarnya mantap.

Dia mengeluarkan kakinya dari gulungan celananya untuk mengangkat tubuh Ata dan dia bawa ke sofa di tengah ruangan itu. Berada di atas Ata, dia tersenyum nakal. Jemari Jed menelusuri wajah Ata, lalu turun menuju lehernya, membuat Ata tersenyum tipis.

"I'd like to put you in a picture now, hang it in my bedroom. So that, you are the latest one I see and the first time to see when I wake up. And the one I have with dirty mind!"

"Why don't you have the real me, instead of my picture hanging in?"

Jed mendengus. Liar. Ini liar. Jed menurunkan wajahnya, mencium bibir Ata. Ciuman yang sudah dia tunggu-tunggu. Ciuman yang membuatnya rela melakukan apapun. Bibirnya dan bibir Ata adalah sebuah kecocokan. Jed mencium banyak wanita sebelumnya. Yeah, dia menyukainya, tapi, dengan Ata dia merasa pas.

"That's the invitation?" tanya Jed setelah dia melepaskan ciuman panas mereka.

Tubuh Ata menggeliat. Tangannya melayang ke dada Jed, merabanya, seperti dia akan menghapalnya. "I welcome you,"

Jed menelan ludah. I really wanna fuck her brain! Bibirnya membentuk senyuman yang begitu indah di mata Ata. Tangan Ata berpindah untuk memindai wajah lelakinya itu.

"I just love you, Jed,"

Jed memejamkan matanya sebentar, merasakan sentuhan ujung jari Ata di matanya. Saat dia membukanya, dia menemukan mata Ata yang juga tak kalah indah. Hal yang membuatnya ingin memiliki gadis ini. Sepasang mata yang begitu menyesatkannya.

Jed menghadiahinya dengan ciuman, lalu berbisik di telinga Ata. "Aku tersesat di matamu, dan aku berharap tak pernah tahu caranya keluar dari situ. Aku tidak tahu kalau tersesat akan terasa begitu menyenangkan!"

Ata mengkalim bibir Jed. Menciumnya seperti inilah ciuman pertama juga terakhir mereka. Keduanya seperti magnet yang berbeda kutub. Jed tidak membuang waktu lagi. Hal terakhir yang dia tahu adalah dia ingin berada di dalam gadis ini!



"Aku pikir mungkin aku seorang mutan. Tapi, saat aku terkena sayatan pisau, aku tahu aku tidak kebal." Ata tertawa pelan. Jed ikut tertawa pelan mendengarnya. Jemarinya mengusap bekas jahitan di dada Ata.

"Then, I thought I might be bulletproof! Tapi, tidak juga. Aku tertembus peluru malam itu,"

"Ata," ujar Jed. Dia menurunkan bibirnya untuk mengecup bekas itu lembut. "Jangan pikir untuk melukai dirimu dengan apa-apa lagi!" dia mencium sekali lagi.

Tangan Ata mengusap kepala Jed lembut, tersenyum.

"Darimana kau mendapatkan senjata, Sayang?"

Ata menggeleng. "Aku punya saja. Aku diburu Jed, jadi aku rasa wajar kalau aku punya satu."

Jed melihat Ata. "Apa yang akan kau lakukan dengan senjatamu kalau kau terdesak?"

"Um," tangan Ata menyisir rambut Jed. Laki-laki itu berbaling terlungkup di sebelahnya. "Aku akan menggunakannya. Kau tahu aku bisa menembak, kan?" dia menggigit bibirnya.

"Just like that night," ujar Jed. Bibirnya mendekati bibir Ata, lalu menciumnya sekali. "Harusnya aku yang melindungimu," Jed berdecak.

"Ya, harusnya kau malu!" kata Ata menjawil pipi Jed. "Apa yang akan kau lakukan sekarang, huh? Tebuslah."

"Aku akan mencintaimu sampai kau membenciku!"

"Ah, itu lagu lama!"

"Tak akan ada yang mencintaimu seperti aku! Aku tak akan mati, aku akan hidup lebih lama darimu hanya untuk mencintaimu. Aku tak tahu apa-apa lagi, aku hanya akan berada di sisimu, selamanya. Apa masih kurang?"

"Sialan!" hujat Ata seraya tersenyum.

Jed tersenyum. Semua wanita suka gombalan. Bahkan gombalan murahan.

"Itu sungguh-sungguh. Kau bisa ambil yang kau mau, tapi bawa aku denganmu, Ata!"

"My God, Jed!" mata Ata berbinar-binar. Dia menarik kepala Jed pelan dan mencium keningnya. "Aku mencintaimu juga!"

That's my girl. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan," dia bangun dan segera berdiri.

"Kenakan pakaianmumu, Jed. Kau sungguh mengangguku!"

Jed mencibir, malah berpose di depan Ata. Benar-benar model tanpa busana. "Seperti ini?" ujarnya seraya berbalik cepat. Dia memungut kemejanya dan mengenakannya tanpa bawahan. Dia berdiri di tengah ruangannya, berusaha menemukan sesuatu. Tapi, tidak ada apa-apa disini.

"Apa yang mau kau lakukan?"

"Aku harus ke ruanganku dulu, Ata!"

"Jed, pakai celanamu. Mereka punya banyak kamera pengawas di sepanjang koridor."

Jed tertawa lalu melihat Ata. "Aku bisa minta mereka menghapusnya besok pagi,"

"Jed, please. Atau aku yang akan keluar, naked!" tantangnya.

Jed menutupi mulutnya, menggeleng. "Kau tidak berani!"

Ata duduk, lalu berdiri. Dia memungut dressnya dan menutup bagian depan tubuhnya "Bagaimana? Aku bisa langsung menjatuhkannya saat aku keluar dari pintu itu,"

Jed mendekatinya, menarik pinggangnya mendekat. "If I know you were this brave, I would prepare some ideas!" bibirnya menyentuh milik Ata, tidak melepasnya bahkan saat Ata mendorong tubuhnya.

Setelah Jed merasa benar-benar tidak bisa mencuri nafas lagi, dia melepaskan bibirnya. "Tunggu aku disana!" dia menunjuk sofa. "Kau akan tahu apa yang akan kau hadapi saat aku kembali,"

Jed membungkuk untuk mengambil celana panjangnya. Mengenakannya cepat, dia keluar. Ata juga mengenakan dressnya, meski dia tidak mengancing bagian belakangnya. Setelah itu, dia kembali melihat foto keluarga Jed yang digantung disana. Dengan latar belakang gunung yang diselimuti salju, mereka berpose berdempetan. Begitu hangat. Senyum lebar Jed melihat kamera, tawa lepas sang adik, dan senyum bangga kedua orangtua mereka. They are so beautiful.

Pintu terbuka dan Jed berdiri disana dengan senyumnya. Senyum yang nyaris sama dengan senyumnya di foto ini. Ata memiringkan kepalanya. Tangan Jed terulur untuk membawa Ata kembali pada sofa. Ata tidak bisa menahan rasa penasarannya sekarang. Mereka duduk berhadapan.

"Aku hanya tahu kalau aku harus melakukannya lagi sekarang," ujar Jed bersungguh-sungguh. "Aku menemukan apa yang selama ini aku inginkan padamu, Atlanta." senyumnya tidak hilang. "Semuanya!"

Ata melihat ke dalam mata Jed, berusaha menebak kemana arah pembicaraan mereka kali ini. Jed terlalu serius!

"Aku tidak mengerti, Jed!"

"Aku tidak bisa menemukan apa-apa di ruanganku," dia mendesah. "Tapi," dia menarik tangan kiri Ata, mengambil jari manisnya.

"Jed Ferdinand!" panggil Ata.

Jed mengeluarkan seutas tali amplop dari celananya. Tali yang sudah dia potong pendek. Dia melihat Ata.

"I can't picture me without you now. I won't ask you again."

"No, Jed!" ujar Ata pelan.

"I'm just gonna marry you, Atlanta!"

Jemari Jed mengikatkan tali itu pada jari manis tangan Ata. Melingkari jemari itu, lalu membuat simpul pita di atasnya. Masih terlalu panjang, tapi Jed merasa puas dengan apa yang dia buat. Dia benar-benar sial. Seingatnya, dia pernah menyimpan cincin di ruangannya, cincin yang diberikan Trevin dulu. Teknisnya, cincin yang diminta Jed waktu dia ingin menggoda salah satu perempuan. Tapi, cincinnya hilang. Dia juga tidak bisa menemukan hal lain yang bisa dia gunakan sebagai cincin! Maka, satu-satunya pilihan adalah tali pada amplop besar berwarna cokelat itu yang diguntingnya.

Dia tidak tahu. Ini momen lain baginya. Momen dimana dia merasa sangat yakin dengan perasaannya. Momen dimana dia harus mengungkapkan ini lagi. Melamar gadis ini. Dia tidak mungkin bisa menahan perasaan ini lagi. Berada di dekat Ata, bersama dengan Ata, menghabiskan waktu bersamanya adalah yang dia mau! Dia ingin menikahi Atlanta! Ingin memiliki wanita ini secara sah, lahir dan batin! Bersama selamanya.

"Jed," tatapan Ata belum pindah dari untaian tali di jari manisnya.

Tidak pernah menyangka akan diberi kejutan seperti ini dari Jed. Seutas tali dari CEO Royal Prime Enterprise!

"Tidak bisa," ujar Ata mendongak melihat Jed. Dia menggeleng, tidak bisa menerima lamaran ini.

"Aku tahu!" kata Jed. Tangannya menyentuh pipi Atlanta. "Maaf, aku akan menggantinya! Maaf,"

"Tapi, aku tidak bisa menerima ini," wajahnya berubah sedih.

Jed menyatukan dahi mereka berdua, berujar pelan. "Sayang, kau punya waktu sampai aku menukarnya dengan berlian!" dia menarik senyuman tipis. "Sekarang, ini dulu."

Ata mendengus bersamaan dengan turunnya airmata bening dari sudut matanya. "Jed,"

"Sst," Jed mengusap buliran itu dengan ujung telunjuknya. "Aku tahu ini terlalu berlebihan untukmu, maaf. Aku benar-benar tidak bisa menemukan apa-apa selain tali ini!"

"Ini..." Ata menangis.

Jed menarik Ata untuk dia dekap di dadanya. Mengecup puncak kepala Ata. "Sudah. Mutan tidak menangis seperti ini!"

Ata tertawa diantara tangisannya. Dia menghirup aroma Jed. Keringat, parfum, bau tembakau, aroma sabun mandinya, aroma tubunya yang menempel pada Jed, juga aroma asli tubuh pria ini. Wangi favoritnya. Dia bisa bertahan di sana selamanya. Dia mengusap dada Jed, merasakan detak jantungnya yang begitu cepat.

Jed tertawa. "Yeah, aku juga deg-degan meski hanya dengan tali itu!"

Ata mendongak, menyentuhkan tangannya ke dagu Jed, membuat pria itu menunduk melihatnya. Kedua tangan Ata menangkup wajah Jed dan mencium bibirnya. Seperti menyerang Jed dengan ciuman beraninya. Dia tidak menjeda ciumannya dengan Jed.

"Yes, Baby!" ujar Jed saat tangan Ata kembali membuka kemejanya.

Tangan Jed menarik wajah Ata, memiringkannya hingga dia bisa mencecap leher jenjang gadis itu. Ata melenguh, menancapkan ujung kukunya pada bahu Jed. Perbuatan yang makin menggoda Jed. Pikirannya sudah kosong. Yang dia ingat hanya sentuhan dari perempuan ini. Setiap inchi tubuh Ata yang dia jejaki. Ciuman mereka, lenguhan, desahan, teriakan tertahan, serta kekaguman.

"You have no idea how perfect you are, Atlanta!" desis Jed. "And how much I love you!"

*

Setidaknya, Jed punya dua alasan kenapa dia harus menghentikan deringan ponsel itu. Pertama, suaranya sungguh menganggu dan dia khawatir itu membuat Ata terbangun. Kedua, dia penasaran siapa yang menghubungi Ata pada jam segini. Dia melepaskan tangannya yang melingkari perut Ata dan menyingkap selimut yang- untungnya- ada di ruangannya. Dia berdiri dan melihat sekelilingnya untuk menemukan tas perempuan itu. Tas kecil itu tergeletak di dekat pintu masuk.

"Thomas?" ujar Jed tidak percaya saat dia mengecek ponsel Ata. "What the... halo?"

"Apa ini benar-benar kebiasaan barumu, Jed?" tanya Thomas setelah mendengar suaranya. "Kau benar-benar bersama Ata sekarang, huh!"

"Kau sengaja menelpon Ata?" tanya Jed dengan suara parau.

"Kau mematikan ponselmu, Idiot! Bisa kau aktifkan sekarang? Ada hal penting yang harus aku katakan padamu, cepatlah!"

Jed menurut. Dia mengenakan pakaiannya kembali, lalu mengaktifkan ponselnya. Dia segera mengontak balik Thomas. "Ada apa?" tanya Jed sambil mengusap wajah dengan sebelah tangan.

"Pemerintah Elgori siap menuntut kita, menuntut galeri!"

"Apa?"

"Dan sepertinya ada seseorang yang tahu kalau kau punya pasangan Cool-aged Demon!"

"Tunggu," Jed memejamkan matanya. "Bisa kau ulangi semuanya?"

"Jed..." suara pelan Ata membuatnya menoleh pada gadis itu. Jed menarik selimut menutupi tubuh Ata, lalu dia beranjak menjauh. Sepertinya suara kekagetannya membangunkan Ata.

"Tom, aku tidak mengerti apa yang terjadi,"

"Pemerintah Elgori berencana menuntut galeri karena pemilikan tidak sah atas Cool-aged Demon. Mereka tetap menilai lukisan itu dicuri dari negara mereka."

"Sial! Lalu, bagaimana?"

"Jika tuduhan mereka terbukti, kau dan aku bisa terseret ke penjara. Dan, hilangnya lukisan itu menambah kecurigaan mereka. Mereka menduga ini hanya persekongkolan kita agar galeri tidak mengembalikan lukisannya!"

Jed mendesah. Antara paham dan tidak. Intinya, dia bisa dipenjara! "Kau sudah menghubungi pengacara?" tanya Jed. Dia menyandarkan dahinya pada kusen jendela, melihat ke bawah. Pada pos pengamanan galeri.

"Tentu. Kau tidak usah khawatir soal itu. Sejauh ini dokumen kita masih lengkap. Tapi, hilangnya lukisan itu, aku tidak tahu, Jed!"

"Tom, masih terlalu pagi untuk semua ini. Lalu, siapa yang tahu kita punya pasangan Cool-aged Demon?"

"Seseorang mengirimiku email. Dia bilang dia tahu kalau kita menyembunyikannya."

"My God!" desis Jed. "Kau bisa melacak pengirimnya, kan?"

"Masih dilakukan. Sepertinya emailku juga dihack, Jed!" Thomas mendesah pelan. "Maaf harus memberitahumu ini. Aku hanya berpikir kalau kau tidak boleh lengah!"

Jed mengangguk. "Ini saatnya mengeluarkan wild card yang kita punya. Dengar," Jed menarik nafas. "Kita akan membicarakan ini nanti,"

"Baiklah. Bye," tutup Thomas.

Setelah penggilannya usai, Jed segera mengontak Tedja. "Bawakan mobil ke galeri. Parkir di belakang, tinggalkan kuncinya disana," perintah yang langsung dimengerti oleh Tedja.

Jed mengusap wajahnya. Berbalik, dia mendapati Ata yang duduk, tengah melihatnya. Wanita itu tampak sangat cantik, meski dengan penampilan semrawutnya. Jed berjalan mendekat, lalu duduk di sebelah Ata. Tangan Ata terulur untuk mengusap wajah Jed.

"Ada apa?"

"Tidak, masih terlalu pagi membahasnya." Jed menatap Ata. "Aku masih ingin tidur, Sayang." Jed berbaring dan memejamkan matanya. Mengelabuhi Ata agar wanita itu tidak menanyainya macam-macam. Dia masih belum bisa berpikir apa-apa sekarang.

*

* *

Omega membanting surat perintah itu ke meja dan menatap semua orang dalam ruangan itu.

"Sudah saatnya bergerak, atau kita akan kalah cepat!" jelas Delta, mencoba menenangkan rekannya itu.

"Bukan seperti ini caranya. Kenapa baru memberitahuku sekarang?" Omega membantah.

"Omega, dengarkan dulu. Hei, duduklah dan dengar ini," sela Optima. "Alpha,"

"Baiklah," potong Alpha. "Elgori sudah menghubungi pemerintah. Kau tahu, Royal galeri sedang dalam proses penuntutan atas pencurian warisan negara, pemalsuan dokumen, dan dugaan penghilangan secara sengaja barang warisan negara! Kalau Royal galeri ternyata terbukti melakukan semuanya, mereka bisa dipenjara dan kita akan kalah cepat. Pertama, kita tidak akan bisa melacak kebobrokan pelabuhan. Kedua, kita bisa kehilangan semua lukisan itu dan pemerintah akan menanggung semuanya. Ketiga, aset negara yang selama ini kita selidiki tidak akan pernah ditemukan karena pemilik Royal galeri aku pastikan akan tutup mulut. Keempat, dia bisa dipenjara!" dia melihat Omega. "What do you think?"

"Kita berurusan dan mengurusi hal paling abstrak sekarang. Kejahatan yang berhubungan dengan kekayaan intelektual, hak milik, seni, sekaligus transaksi jumlah besar tidak mudah, Omega. Kita tidak bisa kalah selangkahpun!" ujar Delta.

Omega menggeleng. "Sialan!" ujarnya. "Apa mereka punya bunya bukti yang kuat untuk menuntut galeri itu?"

"Ini sudah lebih dari masalah lukisan dan bukti untuk menuntut galeri," kali ini Optima yang bicara. "Aku paham posisimu, Omega. Tapi, kita sudah memutuskan operasi ini akan segera dimulai. Investigasi sudah berjalan dan perintah sudah turun. Selain menemukan Cool-aged Demon dan pasangannya, kita juga bertugas melindugi pemilik galeri itu, karena dia punya informasi penting. Pasangan lukisan yang hilang itu, aku yakin mereka tahu dimana!"

"Sekarang bagaimana?" tanya Zetha.

"Kita bisa mengadakan investigasi pada Jed, dan bahkan mencekalnya. Terakhir, kita bahkan bisa menangkapnya!"

Ruangan itu senyap. Hanya suara pendingan udara yang pelan terdengar. Semua orang melihat pada Optima bergantian, lalu pada Omega. Beberapa dari mereka menekuri berkas yang baru saja mereka dapat. Surat penindakan berupa pemeriksaan dan penyidikan.

"Umh, apa tuntutan Elgori sudah turun dan sesuai prosedur? Maksudku, apakah resmi?" tanya Omega malas-malasan.

"Malam ini, kabarnya mereka akan mengantar surat perintah penuntutan malam ini. Ya, secara resmi!"

"Oke, ini perkembangan terbaru atas pengejaran orang-orang yang menyerang galeri malam itu," Gamma berdiri, membagikan laporan berupa lembaran kertas tebal yang sudah dia revisi.

"Jadi, semua mengarah pada Daxton, kan?" Delta memastikan sambil melihat Gamma. "Dimana mereka menyembunyikan Irish dan perempuan misterius ini?"

"Kamera pengawas lalu lintas mengidentifikasi Irish, gambar satu." dia menjelaskan. "Ini tiga hari yang lalu di jalanan Kota Sominuru. Disanalah dia selama ini bersembunyi." Gamma menarik nafas panjang.

"Optima sudah memberikan ijin untuk melakukan pengintaian dan tim sudah bergerak. Mengenai perempuan yang katanya juga ikut dalam perencanaan malam itu, kami belum menemukan siapa dia. Dia tidak terlihat bersama Irish."

"Jadi, mereka sudah berada di luar negeri. Yeah, kita tidak sempat mencekal mereka!" kata Alpha. "Siapa perempuan ini?" dia bergumam.

"Mungkin perempuan ini tidak kemana-mana, maksudku, bisa saja dia tetap berada di galeri dan berpura-pura tidak ada yang terjadi," ujar Omega sambil mencatat sesuatu di kertas. Dia sedang membuat beberapa perkiraan.

"Tapi, akan sulit untuk berbaur. Ini masalah krusial,"

"Tidak sulit kurasa. Galeri bahkan sudah dibuka kembali setelah sepuluh hari ditutup. See, dia bisa menggunakan sepuluh hari untuk menyiapkan semuanya. Bedanya dengan Irish, dia memilih tidak kabur!" Omega berpendapat. "Kurasa ini bisa jadi kamuflase yang sempurna!"

"Kami masih melakukan penyelidikan pada semua karyawan galeri sampai sekarang, Omega. Kita lihat saja apa ada keterangan yang berbeda dari beberapa karyawan wanita!"

Optima berdehem. "Mari kita fokuskan satu masalah dulu. Urusan perempuan yang belum kita ketahui ini, akan terbuka begitu tim menangkap Irish. Selain itu, kita juga masih berusaha menemukan Daxton dan anak buahnya. Sekarang, aku mau kita fokus dengan Elgori dan penyelidikan soal Royal Gallery itu. Jika tuntutan itu benar-benar terjadi malam ini, bisa dipastikan Jed Ferdinand akan segara diselidiki!"

* *

*

*******




Continue Reading

You'll Also Like

45.2K 1.9K 26
Keila Alexia Xander seorang yang terkenal akan kekuatan nya di dunia bawah dan juga dunia atas ya dia adalah Mafia terkejam dan di takuti oleh seluru...
8.5K 870 11
Jika ada sesuatu pada dia. Jangan harap nyawamu berada di ragamu . - Aksa Putra Permana Aku akan selalu menjaga hati ini. Untuk kamu seorang. Saat k...
118K 450 5
collection of short stories
229K 16.9K 52
[ 1 ] { Terdapat beberapa Part yang ditambahkan di Chapter awal } Teman masa kecil Boboiboy sebelum pindah ke Pulau Rintis Agatsuma (Name). ⚠️ Warnin...