Love Or Die

By tjitsar

518K 35.7K 2.4K

"Kau tahu cara membuat wanita jatuh cinta padamu?" "Memangnya menurutmu bagaimana?" "Make her laugh." This wo... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Who Plays Whom
Epilog

23

6.1K 481 12
By tjitsar

"You keep choosing the wrong one!"

Jed-

************

Cutinya akan berakhir dalam empat hari. Setalah itu, dia akan bertugas kembali. Jed memainkan kotak permen karet ditangannya. Dia mendengus, tertawa pelan. Kemudian, menarik handel pintu dan memasuki ruangan itu.

Dr. Theon Albert Graham punya ruangan yang luas, tentu saja. Dia direktur rumah sakit ini. Ruangannya tidak dipenuhi banyak furnitur. Hanya meja kerja, ruang duduk di dekat pintu- tempat dia menerima tamu, lalu sofa empuk di pojok ruangan, membelakangi jendela.

Jed berjalan menuju meja kerjanya, mengamati apa saja yang ada disana. Rapi. Meski sedang cuti, beberapa file tetap berada disini, menunggu untuk diproses. Jed mengambil salah satunya. Rencana pengembangan pusat studi otak tahap lanjutan. Dia menggeleng, membayangkannya saja dia pasti sudah gila. Entah bagaimana ayahnya bisa mengurusi hal-hal seperti ini di umurnya yang sekarang.

Tangan Jed terulur untuk mengambil sebuah figura. Dia tidak segera membaliknya, melainkan menebak apa yang mungkin terpajang disana. Dia mulai mengira-ngira kalau itu adalah foto mereka sekeluarga. Saat dia membaliknya, dia tahu dia benar. Setidaknya, bagian otaknya masih berfungsi dengan benar.

Melankolis tidak menolong sama sekali!

Kedatangannya saat operasi Ata, harusnya Jed tidak menyimpulkan lebih dari itu. Dia datang sebagai Dr. Graham seperti permintaannya, bukan sebagai ayahnya. Jed menggeleng. Dia mengembalikan figura yang hanya berisi foto pemandangan itu. Setelah itu, dia meletakkan kotak yang dia pegang dari tadi. Permen karet paforit sang ayah. Jed tahu pria itu masih suka mengkonsumsinya. Dia tidak tahu harus bagaimana, hanya ingin memberi ayahnya permen karet ini saja. Dia berterima kasih.

Dia kembali ke ruangan Ata setelah mengunjungi ruangan ayahnya. Menarik kursi di dekat tempat tidur Ata, dia duduk disana. Menumpangkan kepalanya di atas ranjang Ata, sedang tangannya memegang tangan gadis itu.

Operasinya berjalan lancar, meski lebih lama dari perkiraan. Proyektil berhasil diangkat dan sepertinya tidak terjadi efek samping yang berarti. Tapi, Ata belum siuman. Kondisinya belum terlalu stabil. Jed mendesah. Bersalah.

"Atlanta," dia berujar. "Terima kasih, karena kau, aku menemui papaku lagi. Ternyata, aku begitu merindukan mereka, Ata. Aku tahu dia juga, tapi dia masih marah. Kau tak akan percaya kalau dialah yang akhirnya memimpin operasimu, Sayang. Saat aku melihat dia datang malam itu, aku seperti akan meledak. Apa kau pernah merasa tersengat listrik? Aku pernah. Dan saat melihat papa datang malam itu, aku seperti tersengat listrik. Semua saraf dalam tubuhku terbangun."

Jed mengetukkan ujung jarinya pada telapak tangan Ata. "Hei, sudah saatnya bangun, Pemalas." Jed mengangkat kepalanya. "Ada banyak yang harus kita lakukan!" Jed mengusap pipi Ata pelan.

"Aku merasa bersalah padamu, pada Trevin juga. Aku tahu dia begitu khawatir padamu, Baby. Aku rasa, dia bisa saja membunuhku kalau dia mau. Untungnya dia berteman denganku lebih lama daripada dia mengenalmu." Jed tertawa. "Oh Baby," Jed mendesah pelan. "I miss you."

*

Thomas mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu itu. Dia berjalan menuju jendela dan berdiri disana. Memperhatikan halaman samping galeri yang sepi, tanpa pengunjung. Kafe galeri tutup. Thomas berbalik, melihat pintu kayu itu. Sudah dua jam Jed berada di dalam sana. Jed ingin sendiri. Seperti kebiasaannya selama ini, ruangan pribadinya yang satu inilah yang dia pilih.

Thomas menarik nafas, lalu berjalan mendekat. Menggaruk tengkuknya, dia akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu itu. Tak ada sahutan apa-apa dari dalam. Dia mengetuk lagi, masih bergeming. Tak ada respon, bahkan suara Jed-jika dia ingin Thomas pergi.

"Jed?" Thomas memanggilnya, namun nihil.

Dia menghela nafas, berbalik. Mungkin Jed masih butuh berjam-jam lainnya agar dia tenang. Dia berjalan gontai menuju ruangannya dan bertahan disana. Memperhatikan CCTV yang gagal merekam. Seperti memang sudah direncanakan. CCTV galeri semuanya tidak aktif. Well, semuanya masih baik-baik saja, sampai ada sebuah suara sapaan ramah, lalu CCTV mati. Thomas mengepalkan tangannya.

Kurang ajar!

"Perintahkan kapal itu memutar balik. Jangan bersandar di pelabuhan manapun." ujar Jed tepat setelah dia membuka pintu ruangan Thomas tiba-tiba.

"Apa maksudmu?" tanya Thomas tidak mengerti. "Mereka akan tiba dalam dua hari."

"Suruh mereka putar arah. Pergi kemanapun yang mereka mau dan jangan bersandar. Lukisan itu, kita akan menjadikannya wild card kita!"

"Jed?"

"Tom, Elgori ingin kedua lukisan itu kembali. Pemerintah ingin bertemu denganku karena lukisan ini. Biro investigasi sedang menyelidikiku. Apa lagi sekarang?" Jed mengusap kepalanya. "Kita harus menyimpan yang satu ini sebagai jaminan. Aku tidak mau berakhir dengan kerugian di pihak kita. Jika ada yang harus merugi, maka itu adalah Elgori. Oh, dan pihak pelabuhan atas tindakan suap dan korupsi mereka."

Thomas menarik nafas. "Bagaimana kau akan menggunakan wild cardmu?"

"Aku akan cari cara. Siapa saja yang tahu kalau kita memiliki kedua lukisan itu?"

Thomas melipat tangan di dadanya. "Hanya aku dan kau yang tahu,"

"Trevin?"

"Sepertinya dia tidak tahu kalau sebenarnya lukisan itu sudah jadi milik kita. Hanya kau dan aku yang tahu."

"Bagus," dia mengangguk. "Baik."

"Bagaimana kabar Ata pagi ini?"

Jed menggeleng, mendesah lelah. "Dia belum siuman dan tekanan darahnya menurun sejak tadi malam."

"Oh no," ujar Thomas. "Tapi, dia akan baik-baik saja, kan?"

Suara ponsel Jed menyela percakapan dua orang itu. Mata Jed menajam saat melihat nama penelponnya. "Dimana dia?" suaranya dingin.

"Djinati Tower, Jed." jawabnya. "Just control yourself!"

"Mind your own business!" rahang Jed mengeras dan tajam.

Dia mengakhiri sambungan dan melihat Thomas "Jangan ada kesalahan lagi!" dia berbalik cepat dan pergi.

"JED!!!" panggilan Thomas menjadi angin lalu bagi Jed.

Menara Djinati sudah ditinggalkan bertahun-tahun lamanya. Menara itu milik Elmer sekarang, setelah dia membelinya dari seorang pengusaha. Kenapa menara tigabelas lantai itu dibiarkan kosong oleh Elmer? Itu karena dia salah membuat perencanaan. Gedung itu tidak memiliki nilai strategis maupun ekonomis untuk dijadikan salah satu cabang perusaahaan ekspornya. Jadi, dia membiarkan menara itu kosong tak terpakai.

Bersama dua orang pengawal, Jed masuk ke dalam lift dan menuju bawah tanah. Jantungnya berdebar tidak sabar. Dia sudah menahan keinginannya untuk menghabisi orang ini selama tiga hari.

Tangan Jed terkepal di sisi tubuhnya saat dia melangkah keluar. Salah satu pengawalnya mengetukkan gembok tua karatan dan pintu terbuka. Jed berdiri tegang, menatap lurus pada korbannya itu.

"Tuan," ujar salah seorang yang membukakan pintu, yang juga mengantarkan Jed berjalan ke arah laki-laki itu.

Tubuhnya terikat, dua tanganya terikat di lengan kursi yang didudukinya, mulut ditutupi lakban. Jed menatapnya, merendahkan tubuhnya agar dia bisa menatap mata pria malang itu. Lalu, tatapannya turun pada tangan pria itu. Tiga lingkaran di punggung tangan kanannya. Dia mengangguk. Ini orangnya. Jed mencengkram pipinya kasar, membuat laki-laki itu meringis.

Jed menarik lakban dan suara tarikannya lepas dari kulit sangat menyakitkan. Laki-laki itu berteriak. "Tolong, bebaskan aku!" dia memohon pada Jed.

Jed menahan dirinya, amarahnya. Dia berjalan mengelilingi laki-laki itu. "Bukankah kau juga butuh akhir yang indah?" Jed menamparnya.

Kepala laki-laki itu terkulai seiring dengan datangnya tamparan kedua yang lebih menyakitkan. Jed menahan kepalanya, menarik rambutnya hingga pria itu meraung meminta dilepaskan. Tapi, Jed menulikan pendengarannya. Dia menggigit lidahnya sendiri saat dia menerjang laki-laki itu. Jatuh ke lantai bersama kursinya, berdebam.

"Kau tak tahu apa yang aku lewati setalah malam itu!" ujar Jed menginjak perutnya. "Tapi, dengan ini kau akan tahu bagaimana aku melewati tiga hari terakhir ini. Berharap kau mati saja!"

Kaki Jed terangkat dan menginjak-nginjak pria itu disekujur tubuhnya. Setelah dia memuntahkan darah segar dari mulutnya, Jed baru berhenti. Dia menjauh sedikit, membiarkan pria itu merasakan betapa sakitnya dia. Tak sampai sepuluh detik, Jed membangkitkan kursi dengan tangannya sendiri.

Darah segar keluar dari mulutnya saat dia menunduk. Jed mendongakkan kepala pria itu, melihatnya.

"Ampun." lirih, nyaris tidak terdengar. Dia terbatuk dan menyemburkan darah.

Jed mengusap wajahnya. "Shit!"

Dia menghajarnya dengan tinju bertubi-tubi. Tangannya seperti tanpa beban menghujani wajah pria itu dengan pukulan. Seperti ada tenaga yang disimpan Jed. Memecahkan bibir juga pipinya. Membuat wajahnya babak belur, kebiruan dan bengkak. Bukan penampilan yang bagus, terlebih lagi darah yang menutupinya.

Jed membuka jas dan kemejanya. Hingga kini dia bertelanjang dada. "Siapa yang memasukkanmu?" dia bertanya seraya menjambak beberapa helai rambut pria itu. "Untuk siapa kau bekerja?" bentaknya.

Dia menggeleng, mata kanannya sudah tidak bisa lagi terbuka. Meringis, menahan sakit.

"Lepaskan aku, tolong."

Jed menamparnya lagi, membuatnya muntah darah. Laki-laki itu tidak bisa lagi mengangkat kepalnya. Dia sudah tidak punya tenaga.

Jed berbalik, meminta sesuatu pada pengawalnya. Semua yang berada di ruangan itu menatap lekat padanya saat memberikan Beretta 92 ke tangan Jed. Jed mengokang senjatanya, memeriksa korban di depannya ini.

Suara itu membuat pria bertato itu mendongak. Sepucuk senjata sudah mengarah padanya.

"Tidak, jangan. Please." suaranya serak, tidak jelas.

Jed tidak banyak bersuara. Gelombang amarah seperti menggulung-gulungnya. Kenyataan kalau dia hampir kehilangan Ata untuk selamanya, membuatnya tidak bisa memikirkan apapun. Belum pernah dia seperti ini sebelumnya. Dia jatuh cinta pada gadis itu, menemukan perasaan familiar yang membuatnya tenang dan bahagia.

Lalu, dengan bodohnya orang ini menyarangkan peluru di dadanya. Menghadiahinya kenyataan kalau tangan Ata mungkin tidak bisa digunakan seperti sedia kala, membuatnya menghadapi operasi, dan sekarang menunggunya membuka mata. Bagaimana Jed bisa berdamai dengan itu?

Bibir pria itu tidak henti memohon ampunan Jed. Menangis, memuntahkan darah, mengiba.

"Maaf. Tolong jangan."

Jed mendengus, tertawa pelan. Dia menampar laki-laki itu dengan pistol, membuat jeritan dan raungan makin mengerikan memenuhi ruangan. Pengawal Jed dan orang-orang Elmer yang berjaga disitu, ngeri melihat Jed. Mereka menunduk setiap laki-laki itu mengerang kesakitan.

"Siapa yang mengirimmu masuk?" tanya Jed lagi, dia meludah ke samping.

Pria itu menggeleng, "Aku tidak tahu."

"You keep choosing the wrong one!"

Jed melepaskan timah panasnya tanpa peringatan. Telapak tangan kiri pria itu.

"ARRGHHH!!! FUCK!!!" serunya.

Asap panas melayang keluar dari bekas tembakan Jed. Tembakan yang meninggalkan lubang ditengah telapak tangan, tembus ke lengan kursi kayu. Darah menetes turun.

"FUCK! FUCK!" dia berseru, menggeliat di kursinya berusaha membagi rasa sakitnya ke sekujur tubuh. "Oh FUCK!" Nafasnya tersengal-sengal. "Please, no!" dia berujar "No! Oh Tuhan!" dia berusaha mengepalkan tangannya, namun gerakan itu malah memicu nyeri tanpa ampun di sekujur tangan hingga lengan atasnya.

"SHIT!" dia mendesis.

Jed menyeringai, menancapkan ujung pistolnya ke dalam lubang bekas pelurunya. Menekannya kuat.

"NO!!!!" dia mengerang, menggema dia tiap sudut ruangan ini. "NO!!! PLEASE!! No!!!" tangannya bergetar luar biasa. "NOOO!!!" tubuhnya bergerak tanpa henti. "STOP!!!! Please! Stop! Stop."

Keringat mengalir turun dari punggung dan dada Jed. Dia menelan ludah. Setelah yang dia lakukan, dia sama sekali tidak merasa puas. Tidak sama sekali merasa apa yang dilakukannya benar. Atau salah. Dia hanya harus melakukan ini. Laki-laki ini harus membayarnya.

"Tuan-" ujar Kiev.

"Shut up!" bentak Jed. Dia tahu mereka ingin Jed berhenti. Persetan.

Jed menarik ujung pistol itu kasar, membuat luka menganga makin lebar. Pria itu mengerang, memejamkan matanya. Darah, liur, keringat, airmata. Dia sudah membayar sebanyak itu. Dan Jed belum ingin berhenti.

Jed menghembuskan nafasnya seraya merogoh saku celananya saat dia mendengar ponselnya berbunyi. Dia bisa saja mengabaikan benda sialan itu, tapi dia sedang menunggu kabar. Dan dia benar. Dari rumah sakit.

" Halo?" ujarnya dingin.

" Maaf Tuan, Nona Ata-"

Jed melihat laki-laki itu tajam. Dia sudah mendengar apa yang perlu dia dengar. Dia mematikan ponsel, memasukkannya kembali ke saku celananya. "Katakan siapa!" Jed merapatkan rahangnya. "Atau kau yang akan membayarnya!"

"Please, don't." dia menangis, menggelengkan kepalanya. "Hentikan, aku mohon! Stop!"

"Tuan, saya rasa sudah cukup!" ujar salah satu pengawal Jed. "Biar kami yang mengurusnya."

Jed meludah, menjatuhkan pistol, dia kembali memukuli pria itu di perutnya. Hingga pria itu mengeluh kesakitan, mengerjap dan kehilangan nafas. Darah melumuri sekujur tubuhnya dan di sekitar kakinya, seperti genangan.

Jed kembali memungut pistol yang tadi dijatuhkan. Menarik palatuknya dan menempelkannya pada dahi pria itu.

Pria itu menggeleng pelan "Aku mohon!"

"Give me- a- fucking-name!" bentak Jed.

"Aku tidak..-ARRRGGHHH!!!"

Jed melepaskan peluru keduanya. Bukan pada kepala pria itu. Tapi, tepat pada telapak tangan sebelah kanan. Tepat pada lingkaran tengah tato miliknya. Sekali lagi dengan keadaan yang sama dengan telapak tangan kiri. Berdarah. Dan kini, lingkaran itu jadi kenyataan. Berlubang.

Erangan dan raungan luar biasa kuat dan menyakitkan. Hanya itu.

Kiev tidak bisa membiarkan itu. Bosnya bisa berurusan dengan pasal penganiayaan berat atau bahkan pembunuhan. Melihat korban yang sudah tak berdaya, itu bukan mustahil. Menahan pukulan Jed di udara, dia menghentikan Jed. Bekerja sebegai pangawal Jed selama ini, sudah bisa memberinya gambaran seperti apa kekuatan Jed, terlebih lagi saat dia marah. Dia brutal.

Jed menghela nafas, menyeringai. Dia menarik tangannya dari jegalan pengawalnya sendiri. Melangkah mundur. "I want a fucking name!"

Jed menjatuhkan pistolnya dan berbalik. Pria itu menerima pakaiannya dan berjalan menuju pintu. Langkahnya cepat menuju mobilnya untuk pergi dari sana, segera.

***

Continue Reading

You'll Also Like

73.1K 5.4K 23
patah hati? yah itu yang di alami seorang Prienss,pria yang baru saja melihat sang kekasih bersama pria lain yg sedang bercumbu di kafe. akibat patah...
16.5K 2.2K 27
Seorang gadis yang hanya menginginkan kehidupan tenang dan keluar dari masa lalu nya yang kelam itu tapi malah terseret kedalam organisasi khas krimi...
28.9K 3.5K 40
[ BL!, bahasa!, rioncaine!AU, tnf!AU, tokyoverse!AU, on-going! ] Seorang perusuh dan seorang penolong seharusnya berbeda seperti api dan air. Tetapi...
13.8K 2K 19
Sekolah menengah atas 48, Sekolah khusus wanita, Sekolah berandalan yang ada di Distrik 8 kota Nagasaki, Sekolah para berandalan yang mencari kebebas...