Love Or Die

By tjitsar

518K 35.7K 2.4K

"Kau tahu cara membuat wanita jatuh cinta padamu?" "Memangnya menurutmu bagaimana?" "Make her laugh." This wo... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Who Plays Whom
Epilog

9

12.4K 844 20
By tjitsar

".....Ada perasaan yang begitu familier, dan aku tahu aku hanya merasakan itu padamu, saat melihatmu. Kau tak akan mengerti."

Jed-

*********

Jed tak pernah tahu ada toko bunga yang tidak jauh di belakang gedung kantornya. Selama ini, yang dia tahu, dulu Clara selalu membeli bunga dalam perjalanan ke kantor- di dekat rumahnya. Sekarang, Ata membelinya di dekat kantor mereka.

Dia melihat Ata yang sedang memilih bunga dari dalam mobilnya. Segera menghilangkan senyum kecil yang terbentuk tidak sengaja- saat Ata melihat ke arah mobil. Jed menggeram, membuang pandangannya pada arah berlawanan. Dia mengatur nafasnya, tersenyum lagi. Dia pasti berada pada dimensi yang lain!

Siapa perempuan ini? pemikiran ini masih mengganggu Jed.

Penyelidikan yang dilakukan Kiev, semuanya mengambang. Tak ada catatan penting tentang Ata dan keluarganya. Atau, menurut Kiev, semuanya seperti disembunyikan- dikubur dalam-dalam! Sedikit catatan tentang hubungan ayahnya dengan beberapa orang penagih hutang sama sekali tidak menolongnya menggali informasi tentang siapa yang membuntuti Ata. Memang jumlah hutang yang mesti ditanggung ayah Ata sempat membuat Jed bertanya-tanya apa yang ayah perempuan itu lakukan? Namun, hutang itu sudah lunas satu tahun lalu. Jadi, siapa yang sekarang? Apa yang mereka inginkan dari gadis seperti Ata?

Saat Ata membuka pintu mobil, dia menoleh. Gadis itu membawa dua bungkusan bunga didekapannya. Satu jelas lilacs seperti permintaan Jed, sementara yang lain adalah bunga yang tak bisa dikenali Jed. Ata duduk dan aroma tubuhnya menguar bercampur dengan aroma bunga yang dibawanya. Jed bisa menghirup semuanya dengan jelas. Cantik!

"Bunga apa ini?" dia menunjuk pada bunga berwarna pink pucat.

Ata menunduk lalu tersenyum "Poni," katanya melihat Jed "Cantik, ya?"

"Untuk apa kau bunga ini? Kenapa hanya tiga tangkai?"

Ata mendesah "Aku tak perlu banyak-banyak, lagipula ini agak mahal."

"Um, bunga kesukaanmu?"

"Tidak juga, aku suka banyak bunga. Tapi, hari ini, aku ingin bunga ini ada dimejaku." Ata mendekatkan bunga poni itu ke hidungnya.

Jed mengulum senyumnya.

"Apa lilacs ini bunga paforitmu?"

Jed tertawa pelan "Pertanyaan macam apa itu? Bunga paforitku? Yang benar saja!"

"Lalu kenapa kau membeli ini terus?" pancing Ata.

Jed tidak menjawab. Ata bisa melihat dia mengalihkan pandangannya ke jalan raya yang tampak di depannya .

"Sesuka-sukanya orang sama mawar, pasti ada satu titik dimana dia ingin mengganti mawar dengan yang lain, itu perumpamaannya." tambah Ata "Sedang kau, setiap hari harus lilacs. You must be like lilacs to death!"

"Yeah." kata Jed pendek, tak ingin Ata melanjutkannya.

Ata menyandarkan punggungnya ke jok mobil. Ini untuk pertama kalinya dia berangkat bersama dengan Jed ke kantor. Ata sesungguhnya ingin menolak ajakan Jed, namun, mendengar alasan Jed tadi, dia tidak bisa menolaknya. Sebegitu cemaskah Jed akan keselamatannya? Hingga dia harus pergi bersama dengan laki-laki itu. Ata merasakan pipinya panas. Ah.

Mereka sampai di kantor dan keduanya langsung menuju ruangan Jed. Hari masih terlalu pagi untuk Jed datang, sehingga Bu Yahya bingung melihat penampakan Jed di kantor sepagi ini. Tapi, Jed meyakinkannya ini tak akan sering terjadi. Dia hanya butuh melakukan ini beberapa hari saja, atau ya dia tidak tahu. Mungkin sampai dia tenang dan berani membiarkan Ata tanpa pengawasan langsung darinya!

Ata memasukkan bunga ke dalam vas setelah mengeluarkan yang lainnya. Merapikannya sebentar, lalu menaruhnya di meja. Bunga itu memang tampak sebagai pemberi kehidupan diruang monokrom ini. Kalau bukan, ya hanya pemandangan berupa gedung perkantoran lain yang tersaji dari jendela kaca besar di sekeliling Jed.

Jed memperhatikan semua hal yang Ata lakukan, seperti majikan yang baru saja menerima pembantu baru di rumahnya. Matanya lekat pada gadis itu, bibirnya sesekali tertarik membentuk senyuman tipis. Bagaimana Ata merapikan meja kerjanya, meletakkan laporan di depannya, atau membuatkannya catatan kecil tentang kegiatan hari ini.

Ata sadar dia diperhatikan Jed sejak mereka masuk tadi. Tatapan Jed tidak beralih padanya, seakan takut Ata kabur. Ibaratnya, Ata adalah mangsa yang kini sedang ditunggu Jed untuk disergap. Hanya butuh waktu yang tepat. Setelah melakukan semua hal yang biasa dia lakukan tanpa pengawasan dari Jed, dia berdiri di depan meja Jed.

"Aku harusnya marah karena kau terus-terusan melihatku, Jed. Itu pelecehan!" dia melipat tangan di depan dadanya.

Jed menutup mulut dengan jemarinya "Oh ya? Maaf." katanya santai "Aku tidak bisa mengabaikanmu." tatapnya.

Ata mengulas senyumnya, menggeleng. Aku juga tidak bisa! Dia menumpangkan tangannya di meja Jed, lalu memajukan wajahnya ke arah Jed.

"Kau wangi sekali. Parfummu, bunga, kau!" tambah Jed sebelum Ata sempat mengatakan apapun itu "Aku suka."

Ata membuka mulutnya, lalu menarik nafas. Pria ini!

"Oke, kau bisa meninggalkanku sekarang." Jed mengambil salah satu dokumen "Aku harus konsentrasi, Atlanta!"

Say my name again. Atlanta sounds better with your mouth!

"Atlanta?" dia mengulang.

Ata mendesis. Apa ada bintang jatuh barusan? Jed mengabulkan permintaannya!!!

Ata mengangguk, lalu menegakkan badannya. Dia berbalik dan mengambil bunga lilacs lama, lalu keluar dari ruangan Jed.

Atlanta.

Ata memegang tas kecil itu dengan tatapan tak percaya. Tangannya membolak-balik dokumen kecil itu, lalu mengambil yang lainnya. Foto dirinya ada disana, namanya, tempat tanggal lahir pokoknya semua identitas pribadi lengkap. Ini luar biasa.

"Bagaimana bisa? Paspor, visa, ID, apa ini? SIM? Trevin!" seru Ata.

Trevin mengangkat bahunya "Kau tahu kau berurusan dengan siapa? Jed Ferdinand! He makes everything possible!" dia menepuk bahu Ata "Kau siap pergi besok?" tanyanya.

Ata melihatnya, lalu memberikan tatapan sedih untuk Trevin "Aku ingin disini. Ada banyak yang harus aku kerjakan, Vin. Apa tidak bisa aku saja yang datang ke pembukaan besok?"

Tangan Trevin menggaruk alisnya "Thomas tak akan setuju." dia tertawa "Ditambah, dua orang sialan itu belum mengenalmu, Quins dan Qings!"

Ata melihat kembali semua identitas pribadi yang baru diterimanya dari Trevin. Semuanya legal, bercap dan sesuai. Apapun yang dilakukan orang-orang dibalik ini semua, mereka berhak dikurung atas pidana pemalsuan dokumen!

"Ata, good luck." ujar Trevin sebelum dia kembali ke ruangannya.

Yeah, good luck!

*

Peserta konferensi internasional sudah siap berangkat pagi ini. Mereka menikmati penerbangan kelas satu disponsori oleh perusahaan Jed, Royal Airlines. Perjalanan akan memakan waktu delapan jam dengan pesawat terbang. Maka, perjamuan dianggap sangat penting.

Ata berada diantara salah satu orang yang beruntung itu. Duduk di kursi single, tatapannya tak pindah dari jendela kecil di sampingnya. Hamparan lembut awan putih bergelombang membuatnya betah. Semburat kuning emas dari cahaya matahari membuat perpaduan yang sangat cantik. Di depannya, kursi ditempati oleh Jed. Berbeda dengan Ata, yang dilakukan Jed untuk merayakan perjalanan pagi ini adalah tidur!

"Anda ingin minum, Nona?" tanya seorang pramugari saat dia melewati Ata dengan nampan berisi minuman yang dibawanya.

Ata menoleh dan tersenyum. Pramugari yang cantik! "Jus buah saja, tolong." katanya.

Pramugari itu menyodorkan jus buah pada Ata "Apa Jed masih tidur?" tanyanya pelan.

Wanita tinggi semampai itu menganguk "Ya,"

"Oh, oke terima kasih." katanya mengangkat gelas.

Huh, bagaimana bisa Jed masih tidur sejak empat jam yang lalu?

Jed memang kelihatan lebih segar saat dia keluar dari bandara. Syukurlah, tidur enam jam memang membantu mengembalikan stamina tubuhnya. Dia tidak langsung membawa Ata ke hotel tempat mereka menginap, tapi membawa gadis itu berjalan-jalan dulu. Menikmati jalanan kota di sore hari, saat sinar matahari mulai berwarna kemerahan.

Ata membuka jendela mobilnya dan membiarkan dirinya diterpa angin Kota Cascara. Jalanannya besar, namun tidak ramai. Yang ramai adalah trotoar dengan pejalan kaki. Pohon-pohon sedang meranggas, beraganti daun. Hingga begitu banyak yang berjatuhan di jalanan. Warnanya begitu kontras dan cantik. Meski begitu, suhu udaranya lumayan dingin.

"Cantik." kata Ata tanpa sadar.

Jed tersenyum, melihat ke arah jendela Ata yang sepertinya jauh lebih menarik daripada miliknya "Ya." dia setuju.

Ata melihat ke arahnya "Bisakah kita keluar dan menikmati ini?"

"Tidak, tidak sekarang. Kita hampir terlambat untuk pertemuan." Jed melihat jamnya. Pembukaan acara memang dilaksanakan malam hari, dua jam dari sekarang.

Ata sontak melihat jam tangannya dan mengumpat "Apa yang aku lakukan?" katanya pada diri sendiri. Dia memajukan tubuhnya ke arah sopir taksi "Tolong antar kami ke hotel Cascara, cepat." katanya dengan penekanan pada kata terakhir.

Konferensi Internasional tentang keselamatan transportasi udara diadakan di Hotel Cascara, hotel terbaik kota ini. Pembukaan dihadiri lebih dari seratus peserta berasal dari berbagai negara dan latar belakang. Mulai dari pejabat negara, pengusaha, pengamat, ahli penerbangan serta maskapai penerbangan yang menjadi tamu utama pada konferensi ini.

Acara resmi pembukaan konferensi sudah selesai sekitar lima belas menit lalu dan sekarang beberapa orang tengah bercakap-cakap dengan Jed. Ata dengan setia menunggu di bagian belakang ruangan bersama dua orang lainnya dengan nasib serupa-menunggu bos mereka.

"Oke, terima kasih." ujar Jed sambil menjabat tangan orang-orang di dekatnya.

Dia berbalik dan menghela nafas. Tak bisa disebutkan betapa lelahnya dia hari ini. Berjalan menuju pintu ruang konferensi, dia melihat Ata. Dia yakin, Ata sama lelahnya. Mereka belum sempat istirahat, oh Ata yang tidak istirahat. Dia ingat, dia tidur hampir selama perjalanan udaranya!

"Sudah selesai?" tanya Ata saat dia mendekat.

Jed mengangguk. Dia mengulurkan tangannya menyuruh Ata keluar lebih dulu dari sana.

Suasana di luar ruang konferensi tidak lebih sepi daripada di dalam. Para wartawan sudah berkerumun, media cetak dan elektronik. Ditambah tamu hotel yang kebetulan tertarik dengan kerumunan. Masih ditambah peserta konferensi yang masih berada di sekitar sini.

Ata mesti menjauh dari Jed saat dia diwawancarai wartawan yang sudah lapar berita. Dia melihat Jed dari jauh. Lelah, namun tetap prima. Jed kelihatan menawan dengan jas hitam dan kemeja linen putih di dalamnya. Setelan klasik yang sangat cocok untuknya. Well, Ata yang memilihkannya! Ditangannya, ada tas hitam kulit dengan ukuran sedang.

Setelah menjawab beberapa pertanyaan, Jed akhirnya lolos dari pertanyaan lainnya. Dia berterima kasih dan segera menyusul Ata "Argh, jangan lagi." ucapnya pada Ata "Aku lelah sekali!" dia mengeluh.

Ata menekan tombol lift. Lift tidak kosong saat mereka masuk. Jed memilih bagian paling belakang, dimana setidaknya dia bisa menyandarkan punggungnya untuk sekitar sepuluh detik lagi. Dari sini, juga dia masih bisa mengawasi Ata yang berdiri di depannya.

Jed menghirup nafas, samar dia bisa mencium parfum yang dipakai Ata. Merasa familiar dengan aroma itu. Bibirnya tertarik, membuat senyuman tipis.

"Permisi." ujar Ata saat pintu lift terbuka dan dia harus menerobos kerumunan di depannya.

Saat Jed keluar dari lift, dia sadar ada masalah lain disini. Kamar mereka!

Ata tertegun saat dia akhirnya sadar kalau dia dan Jed akan berada dalam satu kamar! Dia berbalik melihat Jed saat mereka tiba di kamar nomor 3204. Jed melihatnya dengan senyum pongah.

"Ini tidak baik." kata Ata menatapnya.

"Oke, aku akan melihat apa kita bisa mendapatkan kamar lain. Kau masuklah duluan." dia menunjuk pintu "Um, bisa kau bawa ini bersamamu, ini kuncinya." dia memberi Ata kunci kamar serta tasnya.

"Tak perlu kamar yang mewah, single bed will work for me." kata Ata sebelum Jed berbalik.

"Noted that." katanya berjalan kembali ke lift.

Sepanjang jalan menuju meja resepsionis, Jed berpikir kalau kejadian ini mungkin bisa jadi kesempatan untuknya. Siapa yang akan tahu kalau dia dan Ata yang akan berada dalam satu kamar, bukan dia dan Trevin! Dia tersenyum tipis saat tahu itu tidak mungkin. Ata ingin kamar sendiri! Ketika dia sampai, resepsionis menyambutnya riang, meski sudah jam sepuluh malam.

"Selamat malam Tuan, ada yang bisa saya bantu?"

"Hai, apa aku bisa memesan satu kamar?"

Resepsionis itu tersenyum "Tapi, bukankah anda peserta konferensi?" dia melihat nametag yang masih dikenakan Jed.

"Ya, um..." Jed menarik nafas "Jadi, apa bisa aku memesan satu kamar lain?" dia acuh.

"Maaf Tuan, tapi semua kamar sudah penuh." dia menunjukkan wajah menyesalnya pada Jed.

Dahi Jed berkerut "Semuanya? Maksudmu semua kamar di hotel ini sudah penuh? Yang paling kecil sekalipun?"

"Ya, sudah terisi." dia mengangguk.

"Oke, baik." Jed tesenyum padanya "Terima kasih."

Tidak, Jed sama sekali tidak kecewa dengan kenyataan kalau dia dan Ata akan menghabisakan dua malam bersama berada dalam satu kamar. Apa lagi yang bisa dia dapat sekarang? Senyumnya baru hilang saat dia menekan bel pintu dan Ata membukanya.

"Bagaimana?" tanya Ata. Dia kelihatan sudah siap untuk pindah kamar. Tasnya sudah diletakkan di dekat pintu.

"Full booked." kata Jed mengangkat bahunya.

"Apa?" seru Ata "Kau serius?"

Jed mengangguk "Kau pikir aku berbohong?" dia mendengus "Kalau kau tak percaya, kau bisa menanyakannya sendiri."

"Penuh?" Ata menggaruk dahinya "Lalu?"

"Lalu apa? Memangnya apa yang akan terjadi kalau kita berdua, satu kamar?" dia duduk di sofa, mengadahkan kepalanya "Ata, aku bisa tidur disini, dan kau di dalam."

"Jed," ujarnya "Aku tidak..."

"Tidak apa-apa, hei apakah kau tidak lelah? Lagian, ini hanya dua hari dan tak akan terjadi hal yang tidak-tidak, aku jamin!"

"Um,..."

Jed melihat Ata, sesuatu coba disampaikannya "Apa?"

"Maaf, tapi, aku tadi menerima panggilan dari ponselmu. Aku kira itu panggilan penting, jadi aku mengangkatnya."

"Hm," Jed mendesah "Siapa yang menelpon?"

"Shae," Ata menjulurkan tangannya, mengembalikan ponsel Jed.

Shae?

Jed bangkit dan mengambil ponselnya dari tangan Ata. Dia mengeceknya dan menemukan panggilan masuk dari Shae. Dia melihata Ata tajam "Apa yang dikatakannya?"

"Um," Ata menelan ludah "Dia ingin bicara denganmu, hanya itu."

Jed berbalik, mengambil kunci yang tergeletak di meja dan berjalan keluar kamar. Ata menghembuskan nafas berat. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya siapa Shae! Dari suaranya, Shae adalah orang yang dikenal dan mengenal Jed atau bahkan lebih dari itu!

Mengingat Jed yang pergi membawa kunci kamar, Ata tahu dia tidak akan kembali dalam waktu dekat, atau mungkin juga dia tidak akan kembali ke kamar. Ata meregangkan tubuhnya, membuat suara seperti remukan pelan terdengar dari tulang-tulangnya. Dia tidak akan menunggu Jed. Dia sudah cukup besar mengurusi masalahnya. Tapi siapa wanita itu? Ata menggelengkan kepalanya, menepuk pipinya dan segera berbaring di tempat tidur. Dia lelah luar biasa, ngantuk minta ampun. Jika dia tidak ingin terlambat lagi besok pagi, dia harus istirahat sekarang.

Tangan Ata menggapai tombol lampu dimeja. Matanya menyipit dan dia bangkit dari tempat tidur. Langkahnya diseret menuju kamar kecil, panggilan alam memakasnya untuk bangun.

"Huwaaa!!!" serunya saat mendapati Jed duduk di toilet, merokok.

Jed menoleh padanya. Ata mendengus kesal "Apa yang kau lakukan disini, My God!" suaranya masih tinggi.

Ata bisa melihat Jed yang sama sekali belum mengganti pakaian. Dia bahkan masih mengenakan jasnya. Asap rokok memenuhi indera penciuman Ata "Apa kau tidak bisa merokok diluar saja? Ugh!"

"Cuacanya dingin!"

"Aku harus menggunakan itu, bisakah kau keluar?"

Jed mendesah, lalu berdiri. Ata cepat menutup pintu dan segera melakukan bisnisnya. Dia keluar beberapa menit kemudian, menemukan Jed duduk diatas tempat tidur. Ata melipat tangan di depan dadanya, menatap Jed "Ini karena telpon itu, kan?" tebaknya "Shae!"

Jed mengangkat bahunya. Ata menghela nafas, lalu duduk disebelah Jed "Siapa Shae?"

Jed menggeleng "Jangan tanya apa-apa dulu." kata Jed.

"Oke" kata Ata "Jadi, apa aku bisa melanjutkan tidurku atau bagaimana?" dia merasa Jed sedang mengabaikannya, jadi harga dirinya terluka "Kau pergilah ke tempat lain untuk merokok Jed, jangan disini. Atau, yang harusnya kau lakukan sekarang adalah istirahat. Mandi atau tidur, terserah padamu." Ata naik ke atas tempat tidur, memilih sisi yang paling jauh dari Jed.

Jed melihat Ata dari balik bahunya. Gadis itu sudah menarik selimut hingga tinggal kepalanya yang terlihat. Jed menuruti permintaan Ata. Dia bangkit dan mematikan lampu. Hanya cahaya puntung rokok yang terbakar yang bisa dilihatnya sekarang. Pelan, dia menghembuskan nafasnya.

*

Ata tidak pernah membayangkan konferensi hari pertama bisa memakan waktu selama ini. Dia duduk dibagian tengah ruangan besar itu, masih mendengarkan pidato entah dari siapa dan entah untuk yang keberapa kali. Yang dia tahu, dia sudah disini selama lima jam lebih. Dari jam delapan tadi pagi, sampai menjelang pukul dua sore! Jed duduk dibagian paling depan dan dia diminta menyampaikan pidato singkatnya untuk hari terakhir besok.

Peserta butuh dua jam lagi bertahan dikursi masing-masing, hingga pukul empat sore kegiatan hari pertama resmi selesai. Jed cepat meninggalkan ruangan karena tidak ingin dihambat oleh siapa-siapa lagi seperti kemarin malam. Dia segera menemui Ata dibelakang.

"Konferensi macam apa selama ini, sial!" umpatnya seraya berjalan keluar. Senyum tak lepas dari wajahnya karena setiap orang yang berpapasan dengan Jed, cenderung memberi senyuman.

"Aku benar-benar tak ingin ikut lagi acara seperti ini, Jed." kata Ata seraya memperbaiki ujung syal Jed yang tersangkut di kerah jasnya.

"Thank you." kata Jed melihatnya "Ayo keluar."

"Oh," seru Ata "Serius?" dia kesenangan.

"Titipkan tas ini dulu pada resepsionis, Ata." perintahnya.

"Hm, berikan padaku." kata Ata dan cepat menuju resepsionis.

Jed melangkah lebih dulu keluar hotel. Udara memang dingin sore ini, tak jauh beda dari sore kemarin. Halaman Hotel Cascara dipenuhi mobil yang berlalu-lalang, petugas yang membawakan barang pengunjung, juga pada tamu yang menghabiskan sorenya di taman hotel.

Jed berjalan bersama Ata di trotoar, bersama warga Cascara. Menikmati sore yang indah meski dingin. Toko-toko kecil dihiasi lampu warna-warni, dipenuhi pengunjung. Lapangan olahraga kecil juga dipergunakan dengan baik oleh warga. Mereka berolahraga bersama disini, dan sebagian lain hanya sekedar duduk.

"Indah sekali." puji Ata "Aku senang kau mengajakku keluar. Aku bisa gila berada disana seharian."

"Bukankah kau pergi bersama laki-laki itu tadi?" selidik Jed.

"Evan? Kau melihat kami?" Ata tertawa "Dia hanya mengajakku duduk di taman sebentar."

"Kau suka padanya?"

Ata mengerutkan dahinya "Secepat itu, huh?" Ata melipat tangan di depan dadanya. Angin yang baru saja berhembus membuatnya merasa lebih dingin "Tidak, Jed. Aku tidak jatuh cinta secepat itu, atau tidak pada Evan!" dia mengoreksi.

Jed mengangguk "Baguslah, karena aku tidak suka dia."

Dia bukan kau!

Setelah berjalan beberapa blok dari Hotel Cascara, Jed dan Ata memutuskan untuk menikmati makan malam di sebuah kafe kecil di ujung jalan. Suasana hangat dan ramah. Kursi single diatur mengelilingi meja kecil yang diletakkan berdekatan. Dindingnya berupa batu bata bercat putih oleh pemiliknya. Lampu-lampu kecil berbentuk bintang diletakkan di langit-langit. Serta iringan musik pelan melengkapi suasan makan malam yang menyenangkan di kafe ini.

Jed menuruti Ata untuk duduk dibagian paling belakang kafe, di depan jendela kecil. Mereka menyebutkan pesanan saat pelayan datang dan dimita menunggu. Ata menikmati sepenggal kehidupan sore milik warga Cascara yang bisa dia lihat dari jendela di depannya.

"Aku tidak bisa membayangkan kalau sekarang yang duduk bersamaku adalah Trevin." ujar Jed.

Ata tertawa kecil "Kemungkinan kalian berada disini juga sangat kecil. Kalian akan memilih bar yang berisik dan penuh wanita." katanya tanpa menoleh.

Gentian Jed yang tertawa. Dia menoleh ke arah jendela "Kau tahu kenapa kebanyakan kami melakukan itu?"

"Hm?" gumam Ata "Karena yang ada dipikiran kalian hanya itu!"

"Well, bagiku karena kami belum menemukan orang yang benar-benar pas. The one! Kau tahu, saat aku melihatmu, aku tidak jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi aku jelas menyukaimu. Ada perasaan yang begitu familiar, dan aku tahu aku hanya merasakan itu padamu, saat melihatmu. Kau tak akan mengerti."

"Buat aku mengerti!" Ata melihat Jed.

"Aku," dia menghela nafas "Aku belum tahu seperti apa itu, nanti aku akan membuatmu mengerti saat aku sudah tahu perasaan familiar seperti apa ini."

"Seperti saat kau melihat wanita lainnya, ya." Ata mengangguk.

"No,"

Pelayan datang membuat Jed menghentikan kalimatnya. Mereka tersenyum pada pelayan itu. Pesanan Jed dan Ata sudah tersedia di meja. Ata memegang sendoknya, melihat Jed "Aku akan beritahu sesuatu, apa yang aku suka darimu."

"Apa?" tanya Jed mengangkat wajahnya.

"Sekarang, saat kau mengamati makanan di depanmu dan kau terlihat sedang memikirkan bagaimana kau akan membuat ini lebih baik dan enak. Saat matamu mengukur seberapa tinggi ilmu yang harus kau miliki untuk bisa membuatnya. Keningmu berkerut, tapi pada akhirnya kau akan tersenyum, ya seperti sekarang," tunjuk Ata "Dan menikmatinya."

Jed tersenyum menunjukkan barisan giginya yang putih sempurna. Dia melihat Ata yang sedang menikmati makanan dari piringnya.

Seperti rasa yang sudah lama kau rindukan, familiar seperti itu. Aneh, namun begitu menyenangkan! pikir Jed.

Mereka menghabiskan waktu satu jam di kafe itu. Pengunjungnya silih berganti. Ata menyukai tempat ini. Dia harus kesini lagi besok, hari terakhir mereka di Cascara. Hari sudah mulai gelap saat mereka keluar dari kafe itu.

"Sekarang kemana lagi?" tanya Ata, merapatkan mantelnya.

"Let's go everywhere." kata Jed berjalan duluan di depan Ata, lalu berbalik untuk berjalan mundur agar dia bisa melihat wajah Ata.

Ata tersenyum "Jed, ini bukan kota kita. Kita bisa tersesat, mungkin ke sarang mafia dan dibunuhnya."

"Nope, aku tak akan membiarkan itu terjadi, lagipula kau bisa berkelahi."

"Jangan main-main lagi, ini sudah hampir gelap. Mau kemana kita?" tanya Ata.

Jed melihat kebelakang Ata dan mengayunkan tangannya pada sebuah taksi. Saat taksi itu berhenti di sampingnya, dia membuka pintu untuk Ata. Setelah itu, dia masuk dari pintu yang lain. Jed menyapa supir taksi itu dan memintanya mengantarkan mereka kemanapun tujuan wisata yang paling wajib dikunjungi pelancong.

Ada banyak pilihan yang disebukan oleh sopir taksi bernama Dimiar itu. Mereka memilih sebuah lokasi. Oh, bukan mereka, Jed lebih tepatnya!

"Jadi kita akan kesana, setuju?" Jed melihat Ata.

"Jangan kecewakan aku dengan tempat itu, Jed!" Ata mengancamnya.

**********

                                                                                     

Continue Reading

You'll Also Like

25.1K 1.5K 19
seorang pria yang selalu di tuntut menjadi sempurna oleh ayahnya sehingga membuatnya sebagai alat untuk melindungi keluarga saja sehingga ayahnya men...
14.4K 2.3K 11
"kapan mau jadi pacar gue" "Kapan-kapan" -_+
17.5K 3.2K 20
Freo adalah seorang pemimpin geng motor dengan julukan handsome badboy. la adalah sosok yang keras kepala dan menjadi pribadi yang membangkang. Perke...
17.9K 3.4K 23
Sekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mere...