Shooting Star | Chenle [TAMAT]

Galing kay NadiyaN45

2K 442 1.4K

"Kamu seperti bintang jatuh, membawa harapan dan juga kebahagiaan. Terima kasih, Can, sudah menjadi manusia b... Higit pa

1. Sebuah Interaksi
3. Salah Paham
4. Dia Datang
5. Women Like Roses
6. Sejelas Ini
7. Ayo Sama Gue
8. Lo Siapanya?
9. Mulai Sibuk
10. Belajar Dari Novel
11. Seimbang
12. Ternyata Tidak Mudah
13. Dua Orang Manis
14. Saingan
15. Perhatian Besar
16. Mulai Saat Ini Dirayakan
17. Ekspektasinya Hancur
18. Berhadapan Dengan Durinya
19. Don't Give Space
20. Belum Dianggap
21. Hidupmu Sempurna
22. Ayo Baikan
23. Friendzone atau HTS?
24. Akhirnya Tahu
25. My SWOT
PENGUMUMAN
TELAH TERBIT ✨ OPEN PRE-ORDER
PEMESANAN DI TOKO BUKU ONLINE

2. Khawatir

159 34 129
Galing kay NadiyaN45

Candra merenung di dalam mobilnya, menatap langit yang sudah menggelap. Bayang-bayang keadaan Cinta tadi sangat mengusik. Gadis itu terlalu keras pada hidupnya.

Ia mengenal Cinta baru dua minggu, sejak semester pertama baru dimulai, tetapi Candra tak tahu jika gadis itu akan seambisi ini. Memang dalam keseharian saat mata kuliah berlangsung, Cinta sangat aktif. Bahkan, tak pernah melewatkan untuk bertanya.

Di mata Candra, gadis itu tangguh. Hanya sebatas itu.

Namun, setelah kejadian tadi, pandangannya berubah. Bukan hanya tangguh, gadis itu sangat kuat. Lebih kuat dari apa yang Candra kira. Bagaimana bisa Cinta bertahan tanpa tidur dengan keadaan seperti itu untuk menyelesaikan sebuah bisnis plan?

Benar-benar tidak habis pikir.

Tanpa disadari oleh Candra, Hendery memperhatikannya. Pemuda blasteran itu merengut bingung, ia sampai melambai-lambaikan tangan di wajah Candra. Namun, masih tak digubris. Sampai pada akhirnya Hendery mendekatkan diri ke pemuda itu.

"Can! Sadar!!"

Candra tersentak dan tak sengaja menampar pipi Hendery karena terkejut.

"Sakit!!" Hendery memegangi pipi dengan wajah kesakitan.

"Lo kenapa teriak di telinga gue??" protes Candra.

"Lo ngapain ngelamun? Mikir apa, sih?" protes Hendery balik. "Nyawa lo masih nyangkut di wall?” tebaknya.

Candra berpaling, kemudian meraup wajahnya gusar. Ia tampak bingung dengan dirinya sendiri. Untuk apa tadi ia repot-repot memikirkan Cinta? Aneh.

"Jangan ngelamun lagi woy!" Interupsi Hendery.

Candra tidak menoleh, ia menatap lurus ke depan, masih belum menyalakan mobil. Kemudian ia melirik sekilas pada Hendery, ada rasa ragu yang Candra rasakan, tetapi berikutnya ia pun mulai bertanya, "Hen ... menurut lo wajar gak, sih, yang awalnya lo gak peduli jadi peduli?"

Hendery memasukkan ponselnya ke tas, menoleh pada pemuda itu memberikan atensi. "Wajarlah, kan, lo masih manusia. Manusia itu hakekatnya peduli sesama. Kecuali...."

Candra menoleh, lalu menaikkan alis. "Kecuali?"

Hendery tersenyum. "Kecuali orang yang lo peduliin itu perempuan. Itu artinya lo suka."

Mendengar itu Candra diam, menatap Hendery lama. "Terlalu cepet buat gue suka sama dia," ungkapnya.

Hendery melebarkan mata. "Jadi beneran perempuan?" tanyanya nyaring. Berikutnya sebuah cengiran penuh selidik tercipta dari wajah putih pemuda itu. Seolah-olah dia menangkap basah Candra.

Malas menjawab, Candra memilih untuk menjalankan mobil dan mengantarkan pemuda itu pulang.

Tak berapa lama, mereka sampai di depan rumah yang didesain serba menggunakan kayu, bergaya klasik modern.

"Thanks!" ujar Hendery pada Candra yang tidak turun dari mobil dan dibalas dengan anggukan kepala.

"Oh iya!" Candra yang hendak menaikkan kaca mobil terpaksa berhenti ketika Hendery tiba-tiba berteriak. "Jangan sampai lo kehilangan dia karena lo terlambat menyadari!" Pemuda itu menyengir.

Tampaknya masih menganggap jika Candra sedang jatuh cinta. Omong kosong. Itu hanya pemikiran Hendery yang tanpa dasar. Peduli bukan berarti suka. Tak mau berpikir lama, Candra langsung menancap gas, lalu pergi.

Saat di lampu merah, ia tak sengaja menoleh ke seberang kanan. Matanya tiba-tiba menyipit memastikan sesuatu dengan kening mengerut. Ia melihat perempuan mirip dengan Cinta sedang membuang sampah, lalu masuk ke dalam sebuah kafe. Gadis itu memakai seragam putih dengan topi dan celemek hitam.

Berikutnya suara klakson dari belakang membuyarkan pengamatan Candra. Lampu sudah berubah hijau dan ia segera memasang lampu sen ke kanan. Memutarkan kemudi cepat menuju ke tempat yang ada di pikirannya sekarang.

Pemuda itu masuk ke wilayah parkiran kafe, ia turun dari mobil, lalu beranjak ke dalam kafe itu. Matanya memendar mencari keberadaan Cinta. Hingga akhirnya ia menemukan gadis itu yang sedang berada di belakang mesin kasir.

"Selamat datang di Aneka Cita, Kakak ingin memesan apa—" Cinta yang sedari tadi merapikan uang mendongak, lalu berhenti berkata. "Candra? Kamu Ngapain di sini?" tanyanya dengan suara tinggi.

Sementara orang yang dimaksud masih sibuk memperhatikan sekitar. "Jadi lo kerja di sini," ujar Candra seraya terus memindai, nada kata itu datar karena tak meminta validasi.

"Kamu kalau enggak mau beli, mending minggir. Kamu menghalangi antrean." Cinta bersuara tegas, seolah Candra sedang menghambat pekerjaannya.

Reflek Candra menoleh ke belakang memastikan antrean. Ada dua orang yang menunggu di sana. Gadis itu melebih-lebihkan, atau memang apa yang ia lakukan saat ini terlihat menyebalkan di mata gadis itu.

"Gue beli, kok," putusnya, lalu melihat menu. "Gue beli ice capuccino sama croffle cheese cream," kata Candra seraya melihat Cinta yang kini fokus menatap layar di depannya.

Tangan gadis itu dengan gesit menekan menu yang dimaksud. "Totalnya 25rb. Di makan sini atau take away?"

"Makan sini," jawab Candra sambil memberikan uang.

Ketika Cinta hendak mengambil uang, pergerakannya berhenti sesaat. Candra memandanginya tanpa ekspresi. Bibir pemuda itu datar, tetapi bola matanya sedikit merekah dan itu menimbulkan sebuah perasaan aneh bagi Cinta.

Ia segera menunduk setelah mengambil uang itu. Sementara Candra kembali mengeluarkan senyuman tipis melihat gadis itu ketika sedikit salah tingkah.

"Uangnya 50 ribu, kembalinya 25 ribu terus ini struknya. Silakan ditunggu," kata Cinta masih sopan, tanpa berani menatap mata Candra.

"Ok, thanks."

Candra duduk di meja yang tak jauh dari tempat Cinta. Ia memerhatikan gadis itu dari tempatnya. Hingga makanan datang diantar oleh seorang pemuda.

Gadis itu terlihat gesit merapikan meja ketika tidak ada yang mengantre untuk memesan. Dan Candra menikmati semua itu, entah mengapa tak ada tanda kelelahan dari wajah Cinta. Ajaib, atau mungkin karena sudah menjadi rutinitas sehingga gadis itu terbiasa.

Ketika Candra sedang sibuk dengan ponsel tiba-tiba suara Cinta memanggil namanya. Pemuda itu mendongak, menatap Cinta yang merapikan rambut agar masuk ke topi.

"Can, kamu di sini udah dari tadi. Kamu gak mau pulang? Kafe sebentar lagi tutup."

Sontak matanya memindai sekitar. Tempat itu sudah sepi, bahkan beberapa bagian kafe lampunya sudah mati. Ia buru-buru mengecek jam di tangannya, pukul sebelas malam. Ia tak sadar jika sudah di sana selama itu.

"Lo pulang jam berapa?"

"Kenapa?"

"Gue nungguin elo," jawab Candra yang membuat mata Cinta sedikit melebar.

"Gak perlu nungguin aku, kamu pulang sekarang." Ada kegugupan dari suara Cinta.

"Lo tadi mimisan. Gue sedikit khawatir, gue mau anterin lo pulang."

Cinta segera berpaling, menatap samping ketika merasakan pipinya menghangat. "Aku gak mau merepotkan orang lain. Mending kamu pulang," balasnya kini benar-benar tak memandang Candra.

Hal itu mengundang Candra kembali tersenyum, senyuman kali ini merekah dua kali lipat dari sebelumnya. Ada ekspresi jahil yang menambahi di sana.

"Kalau gitu gue gak mau pulang."

Cinta menggembungkan pipi, lalu membuang seluruh udara di dalamnya. Ia mencoba menguatkan diri sebelum akhirnya kembali menatap Candra. "Oke, tapi kamu tunggu di luar ya. Tempatnya mau dibersihkan dulu."

Candra mengangguk, lalu berdiri dan  keluar.

Angin malam mulai terasa membelai tubuh, Candra yang bersandar di mobil, melipat tangan sekaligus menghangatkannya. Kemudian ia melihat Cinta yang memakai tas di bahu sebelah kiri kini melambai pada teman kerjanya.

"Kamu beneran nungguin aku," ujar Cinta saat sudah mendekat.

"Hm," jawab Candra, lalu membuka pintu mobil untuk Cinta. "Masuk."

Cinta mengangguk pelan, sedikit ragu, lalu akhirnya masuk.

Candra segera memutari mobil dan ikut masuk. Ia memakai sabuk pengaman, lalu melirik Cinta dengan sabuk pengaman yang terpasang baik.

"Rumah lo di mana?" tanya Candra.

"Gak jauh dari sini. Habis lampu merah di depan, belok kanan," jawab Cinta pelan.

"Oh ok."

Dalam perjalanan itu mereka tak banyak bicara, dua-duanya juga tampak bingung untuk memulai percakapan.

"Berhenti di depan gerbang hitam itu," titah Cinta menuding.

Ketika mobil Candra berhenti, ia menoleh, memastikan tempat tinggal Cinta tidak salah tempat ketika melihat tulisan panti asuhan.

"Lo tinggal di sini?" tanya Candra hati-hati.

"Iya."

Gadis itu turun dari mobil yang diikuti oleh Candra.

Cinta membenahi tas di bahunya lalu berkata, "Makasih ya." Yang dibalas anggukan oleh Candra. "Baju kamu abis ini aku cuci, jadi kemungkinan dua hari lagi kering." Pemuda itu kembali mengangguk.

Merasa cukup bicara, Cinta melipat bibirnya ke dalam, lalu ia bergerak menuju gerbang hitam membuka gembok dengan tangan masuk ke sela-sela pagar besi. Setelah terbuka, ia mendorong gerbang itu. Padahal ia sudah mengeluarkan semua tenaganya, tetapi gerbang itu terlalu berat hari ini.

Tiba-tiba ia merasakan punggungnya menyentuh sesuatu, lalu terlihat dua tangan mengungkung Cinta seolah sedang dipeluk dari belakang. Gadis itu tersentak dan spontan berbalik.

Membuat Cinta berada dalam situasi yang sangat canggung ketika hidungnya membentur dada Candra yang terbalut kemeja hitam. Matanya mendongak, menatap mata pemuda itu yang sedang memperhatikannya juga.

Dengan debaran jantung yang mulai terasa berpacu cepat, Cinta mendorong tubuh Candra keras.

"Sorry," ujar Candra, "gue cuma mau bantu," lanjutnya.

Cinta diam di tempat, ia berusaha menjernihkan pikiran. Lalu menyingkir ketika Candra kembali mendekati gerbang, pemuda itu mendorong gerbang untuknya.

"Lo masuk. Nanti gue dorong lagi buat tutup gerbangnya," titah Candra.

Tanpa kata Cinta menurut dan masuk ke sela yang sudah dibuat oleh.  Candra.

Melihat gadis itu sudah ada di dalam, Candra kembali mendorong gerbang, kemudian tatapan mereka kembali bertemu karena Cinta memperhatikan sejak tadi.

"Makasih ya, sekali lagi," ujar Cinta.

Candra sudah selesai menutup gerbang. "Sesama teman emang harus saling menolong, tapi lain kali kalau ada temen cowok di samping lo, minta tolong sama mereka. Jangan apa-apa lo kerjain sendiri," kata Candra dan terdengar seperti omelan di telinga Cinta.

"Iya."

"Kalau gitu gue balik dulu," pamit Candra.

"Hati-hati."

Candra mengangguk, tapi sebelum kakinya beranjak ia berkata, "Lo ... jaga kesehatan. Jangan lupa tidur." Ia memegang besi yang ada di gerbang berusaha lebih dekat dengan Cinta di dalam sana. "Ambis boleh, tapi istirahat juga penting buat tubuh lo."

"Aku hanya memanfaatkan hidup."

"Istirahat juga bagian dari memanfaatkan hidup," jawab Candra cepat.

"Itu—"

Candra meletakkan telunjuk di depan bibirnya, menyuruh Cinta untuk tidak lagi bicara.

"Cukup debatnya."

"Tapi—"

"Sst!" desisnya dengan jari masih menempel di bibir. "Udah, gue balik, bye."

"Bye," jawab Cinta yang melihat tubuh Candra beranjak dan masuk ke mobil. Ia melambaikan tangan. Meskipun ia tak bisa melihat jelas apakah Candra merespon lambaiannya.

TBC

Hendery Keinta

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

1.6M 57.1K 29
"how have you never held a gun before?" - DISCLAIMER: profanity, homicide, organized crime - #1 in chan | january 8, 2020 #1 in felix | september 11...
1.7M 78.8K 42
♢ He was the one everyone stayed away from, she was the one everyone loved