Win-Ka-Win

By diaparamita

1.1M 150K 15.1K

Win, kawin! Winka Winata terjebak dalam dilema ketika harus memilih antara kawin dengan pria pilihan bapaknya... More

1. Masih Harus Sepupuan
2. Misteri Mahasiswi Yang Bikin Gagal Move On
3. Spesies Manusia Kelainan
4. Sesuatu Yang Nggak Pernah Terduga Sebelumnya
5. Gadis Eksentrik Berambut Aneh
6. Pemikiran-Pemikiran Yang Tiba-Tiba Datang
7. Dia Nyeleneh, Tapi Baik
8.1 Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
8.2. Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
9. Pembicaraan Dua Orang Dewasa
10. Modus Pria Matang
11. Bagi Denganku, Jangan Dengan Orang Lain
PO Pesona Rasa Toko Buku Online, Shopee, dan Tokopedia
12. Seseorang Yang Saya Usahakan Sebagai Saya
13. Perasaan Manusia, Memangnya Bisa Ditebak?
14. Diputuskan
15. Kalau Minta Restu Itu Mudah
16. Lamaran
17. Seni Menahan Diri
18. Saya Berhak
19. Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 1
19. 2 Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 2
POV GALIH 1 - Satu Tahun Sebelum Hari Ini: Risau
Pesona Rasa After Marriage
20. Winkanya
POV Galih 2 - Mulai Bisa Menebak
Bab 21 dan Baca Duluan
21. Tujuan Hidup: Berada di Sisinya
22. Hari Ketika Aku Mengecewakanmu Kembali
23. Win, Please!
24. Win Ka Win
25. Sibling
26. Tanpa Terkecuali
Menjemput Pesona Rasa
27. Malapetaka (Part 1)
27. Malapetaka (Part 2)
28. Tidak Sadar
29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?
30. Gemes Banget Calon Bapak-Bapak
31. Timbal Balik
Wedding Invitation
32. Cara Laki-Laki Bertransaksi
34. Kontroversial
35. Menemukan Kedamaian
36. Cinta Pertama dan Patah Hati Pertama
37. Renata Dwita (1)

33. Adalah Takdir (Part 1)

9.4K 1.3K 94
By diaparamita

33. Adalah Takdir (Part 1)

Marina tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau dia akan mendatangi tempat ini. Terbersit niat pun tidak. Dia berusaha menghindar dan tidak bersinggungan. Menemui gadis itu adalah hal yang seharusnya tidak dia lakukan. Menemui gadis itu hanya akan merusak harga dirinya, atau sesungguhnya menemui gadis itu membuat Marina harus mengingat kembali masa lalu.

"Kamu tunggu saja di sini!"

"Nggak. Mama nggak boleh masuk sendirian." Jani menolak.

"Kamu nggak akan banyak membantu di dalam."

Jani melepaskan kemudi. "Ma, kita nggak perlu lakuin ini. Toh, Juna juga belum tentu dipenjara. Papa nggak mungkin setega itu ke kita."

"Kamu nggak kenal papamu."

Jani menghela nafas. "Memangnya papa mau kenal aku?"

Marina enggan menjawab. "Mama harus bawa pulang Adrian dan kasih peringatan ke Winka."

"Ngapain Mama kasih peringatan ke Winka? Dia nggak ada salah sama kita."

"Dia ambil adik kamu. Dia juga berniat untuk memenjarakan kakakmu."

"Tapi, itu bukan salah Winka." Jani menghela nafas. "Kalau Mama begini terus, kita cuma bakal kehilangan segalanya."

"Kamu mulai simpati ke Winka?" tanya Marina curiga.

"Bukan, Ma. Cuma nggak masuk akal aja kalau Mama salahin Winka terus."

"Jani, gara-gara dia kakak sama adikmu berantem sampai babak belur begitu. Dia juga udah berani ancam Mama dan Juna."

"Winka nggak ancam Mama, dia cuma mempertahankan diri. Kita harus rasional, Ma, mumpung kita belum kehilangan segalanya. Mama dan Juna udah dapat banyak. Adrian juga bakal dapat bagian yang banyak dari Papa. Kita udah hidup lebih dari cukup, lalu apalagi yang Mama dan Juna cari? Emang, Mama, nggak capek hidup kayak gini terus?"

"Kamu kenapa sekarang balik mojokin Mama?"

Jani menatap Marina tidak percaya. "Aku cuma capek. Hidup keluarga kita berantakan semenjak Mama dan Juna menginginkan sesuatu yang bukan menjadi hak kita."

"Kamu nggak ngerti."

"Aku nggak akan ngerti sampai Mama kasih aku alasan yang jelas."

#

"Pak Galih, tahu nggak kalau Mbak Winka itu pelit banget?" Galih menggeleng. "Masa dia cuma kasih aku gopek buat hidup seminggu," adu Adrian dengan dramatis.

"Heh! Jatah jajan lo sebulan itu hampir setengah UMR Jakarta. Belum bisa cari duit, dimohon untuk tidak belagu."

"Padahal hidup di Jakarta mahal banget, apalagi anak kampus swasta."

"Lo udah lulus dari kapan tahun, ya!"

"Tapi, kan, gue belum wisuda."

"Udah bisa cari kerja."

"Lo pikir gampang cari kerja di Jarkarta?"

"Makanya jangan boros!"

"Jadi kakak nggak boleh toxic!"

"Kalian kalau mau berantem terus, keluar sana!" Lita memperingatkan dengan tegas. "Lagian kamu sama adiknya perhitungan banget, Win!" tegur Lita kemudian.

"Wah, Mama nggak tahu, nih, borosnya Adrian. Kalau pegang uang maunya ngelayap terus, Mama."

Galih melirik Adrian yang sedang mencoba mencari perlindungan pada Lita. Anak itu jelas menikmati peran sebagai si bungsu dalam keluarga ini. Galih masih diam dan belum mengatakan apa-apa pada Winka tentang keputusan Adrian untuk terlibat dalam perusahaan Bram. Pria itu merasa tidak berhak untuk mendahului menyampaikan berita tersebut karena sesungguhnya itu akan menjadi isu yang sangat sensitif untuk Winka.

Persidangan pertama Bram akan dimulai besok. Galih tahu benar, meskipun terlihat tenang, Winka tetap menyimpan kekhawatiran. Galih memahami nurani gadis itu yang sedang bergejolak antara membela ayahnya atau menerima bahwa Bram memang melakukan tindakan yang salah. Melihat dari sifat gadis itu, sepertinya Winka sedang mencoba untuk tidak mencari tahu hal-hal yang akan terjaid pada Bram setelah sidang diputuskan. Gadis itu sedang mencoba untuk memposisikan diri sebagai anak. Winka sedang mengamankan kewarasaan, serta menjaga agar nuraninya tidak hilang. Sebab gadis itu juga tidak ingin memandang Bram sebagai ayah yang jahat.

"Besok kamu juga ikut datang?" tanya Trias yang sedang memangku Pepper. Kucing berjenis Scottish Fold itu berbaring malas sambil menikmati elusan di kepalanya.

"Iya."

"Kamu benar cuma mau ditemani Galih?"

Winka mengangguk. "Besok ada banyak wartawan. Ayah dan Mama nggak bakalan nyaman." Winka melendot nyaman pada Galih tanpa rasa sungkan.

"Jaga diri deh lo, Mbak," peringat Adrian. Pria itu menggeleng pasrah ketika mendapat respon abai dari Winka. "Belum halal itu."

"Nggak ngapa-ngapain juga." Winka sedikit memberi jarak dengan Galih. "Udah?"

Adrian memberikan jempolnya sambil tersenyum. "Cakep."

Galih hanya bisa memaklumi sikap kekanakan sepasang saudara tersebut. Benaknya mensyukuri keputusannya untuk mampir makan malam di rumah orang tua Winka. Bersantai selepas makan malam seperti ini membuat pikiran Galih yang telah tersita untuk pekerjaan menjadi lebih rileks.

"Ma, karena temanku nggak banyak, aku nggak usah kasih mereka seragam untuk bridesmaid, ya?"

"Yakin?"

"Yakin, Ma. Temanku bisa dihitung pakai jari. Sayang kalau mereka dikasih baju cuma untuk dipakai satu hari. Nanti aku kasih tahu aja tone warna untuk baju yang aku pakai, biar mereka menyesuaikan sendiri sama pakaian yang udah mereka punya di lemari."

"Mama manut aja. Berarti kita juga nggak perlu kasih seragam ke keluarga?"

"Nggak usahlah. Kita kasih mereka dress code aja. Palingan aku maunya keluarga, termasuk tamu undangan lain pakai atasan putih dan bawahan khaki. Simpel."

"Kamu omongin dulu masalah ini sama Budhe Dewi. Siapa tahu dia punya rencana lain," saran Lita.

"Nah, kalau itu tugasnya Pak Gal. Mari kita serahkan saja pada ahlinya." Winka menepuk pundak Galih dengan hikmat.

"Sulit." Galih bukannya agak pesimis, tapi memang pesimis. Ibunya bukan jenis orang yang mudah digoyahkan pendiriannya. "Kamu tahu Mama."

"Diusahakan dulu." Bujuk Winka.

Adrian mengamati sepasang calon suami istri itu dengan penasaran. "Kalian berdua merasa ngambang nggak, sih, membicarakan hal kayak gini di saat semuanya masih belum jelas?"

"Ini namanya sedia payung sebelum hujan," kilah Winka.

"Sebelum, badai menerpa?" balas Adrian. "Kalian bahkan nggak perlu payung. Kalian bisa hujan-hujan sepuasnya tanpa takut masuk angin asal punya imun yang kuat."

"Tetap saja, lebih aman kami bawa payung karena tubuh kami sudah jompo."

"Kayak kalau sakit perlu perawatan khusus?"

"Nah, karena itu kami nggak bisa main-main lagi. Karena sudah tua, segala sesuatunya bisa di nalar dan diperhitungkan. Lagian, hari gini bayar asuransi kesehatan mahal amat."

"Hiduplah dengan sehat dan selalu buat hidup ayah kalian nggak tenang." Lita menasehati sepenuh hati.

"Tante masih punya dendam kesumat ke Papa, ya?"

"Nggak. Urusanku dan Bram sudah selesai." Lita menatap Trias dengan senyum lembut. "Hanya saja menyenangkan melihat ayahmu menderita karena 'kenakalan' kalian." Wanita itu memasang wajah riang.

"Pantas Mama dulu enggan banget dapat uang tunjangan dari Papa."

"Mama dulu kerja dan menghasilkan uang, cuma uang tunjangan dari Papamu emang gede."

"Sebenarnya sabi kan, Ma, buat beli tas?"

"Banget."

"Tapi, semuanya di masukkan ke tabungan sekolahku."

"Ya, buat apa juga? Mama setelah itu juga ketemu ayah. Dan masalah dengan papamu selesai. Case close." Lita jumawa. "Sekarang biarin aja dia pusing sama kelakuannya sendiri dan kalian berdua. Mama nggak mau ikut campur terlalu jauh. Hubungan kami sudah selesai, nggak etis kalau Mama masih mengurusi masalah papamu." Lita melirik Adrian. "Lagian ibunya kalau cemburuan suka gila."

Adrian tidak mengelak, anak itu justru tertawa-tawa. "Mama memang suka nggak masuk akal kalau cemburu. Papa bahkan sampai harus ganti asisten gara-gara dilabrak Mama. Belum lagi kalau Papa pergi ke luar kota, beuh... bisa ramai rumah gara-gara Mama jadi uring-uringan."

Galih mengidentifikasikan itu sebagai rasa tidak percaya diri, kemudian hal itu diperjelas oleh Winka. "Dia mungkin takut merasakan de javu."

Adrian terbahak-bahak. Sekarang dia paham kenapa Winka bisa berbicara seblak-blakan itu. Jelas Winka mewarisi sifat Lita dan gadis itu belajar dasar-dasar bertahan hidup dari ahlinya.

"Kalian bisa kualat." Trias berkomentar dengan kalem.

"Gitu-gitu warisan buat kita banyak, Mbak." Adrian nggak berniat mengamini komentar Trias, tetapi dia juga diuntungkan lahir dari pria semacam Bram.

"Tapi, gue nggak hidup kayak lo."

"Lo pikir uang saku gue lancar jaya?" Adrian mengeluh. "Uang saku gue dalam bentuk cash. Sekalinya dikasih cashless syaratnya kayak jauhkan Hamba dari setan yang terkutuk."

"Karena kamu banyak tingkah." Lita menyambung.

"Kan saya bukan anak emas kayak dia." Adrian menunjuk Winka. "Yang mulus banget jalan hidupnya. Punya wajah cakep, financial freedoom, bapak bucin nggak masuk akal, pacar yang setipe kayak durian runtuh, lingkungan suportif, dan warisan melimpah. Lah saya? dari kecil nontonnya drama Korea."

"Asem banget." Winka tertawa, meledek.

"Kamu aja yang kurang bersyukur," serang Galih.

"Ya Allah, Pak Gal!" Adrian merana. "Saya nggak pernah diajarin bersyukur." Pria itu menempel pada Lita seperti lem. Kepalanya bersandar pada bahu wanita itu, sedangkan lengannya ia lilit seperti piton.

Winka menggeleng dengan prihatin. "Mau jadi apa anak ini kelak?"

"Masa depan gue secerah bunga deposito Papa."

"Anak nggak tahu diri." Winka menonyor kepala Adrian sepenuh hati.

"Kan..." Adrian belum menyelesaikan kalimatnya ketika bel berbunyi.

Winka refleks berdiri dengan rasa heran. "Tumben jam segini ada yang bertamu." Gadis itu berjalan menuju pintu depan diikuti Trias yang menggendong Pepper.

"Kamu nggak pesan sesuatu?"

"Nggak ada, Yah." Winka menatap Trias sambil memutar kunci. "Kalau udah jam segini biasanya kurir menangguhkan kiriman buat dikirim besok." Pintu terbuka, dengan ototmatis Winka mengubah arah pandangnya. Gadis itu terpaku sejenak, seperti mencari letak kebetulan yang mungkin saja terjadi. Dia hampir terbahak-bahak kerena tidak percaya. Hingga usia dua puluh empat, Winka tidak pernah mebayangkan hal seperti ini akan terjadi.

Marina yang terkenal (dan benar) tidak ingin bersinggungan dengannya berdiri di depan pintu rumahnya. Dengan riasan rapi dan pakaian terbaik, wanita itu menatap angkuh pada Winka.

"Kejutan?" Gadis itu sama sekali tidak terintimidasi.

"Kita perlu bicara."

"Di jam segini?" Winka menatap langsung mata wanita yang berhasil menyingkirkan ibunya tersebut.

"Saya nggak merencanakan di hari yang lain."

Entah Winka harus mengusir atau menyeret wanita itu menjauh dari rumahnya. Winka terdiam sejenak sebelum menyingkir untuk memberi wanita itu izin sekaligus jalan masuk.

Marina menatap Trias dan menegur pria itu dengan sopan. "Bisa kami bicara berdua saja?"

"Tentu." Trias tanpa banyak bicara meninggalkan keduanya.

"Kamu terlihat baik-baik saja," katanya setelah mereka duduk saling berhadapan.

"Tante juga sama." Winka membalas. "Untuk ukuran istri yang suaminya sedang di dalam penjara, Tante, nggak banyak berubah."

"Saya harus bertahan untuk papanya Adrian."

Sesungguhnya pernyataan itu terdengar ambigu untuk Winka. Wanita yang sedang duduk di depannya ini tidak mudah ditebak. Marina memiliki jalan pikiran yang tidak biasa. Dia cerdas dan tahu bagaimana untuk memanfaatkan kecerdasannya. Untuk berada di posisinya sekarang bukanlah hal yang mudah. Menjadikan Bram sebagai batu loncatan tentu keputusan yang amat briliant.

"Saya harus bersyukur karena Papa ternyata dicintai sedalam itu."

"Kmau nggak perlu mengkhawatirkan hubungan saya dengan Bram." Marina tidak suka berbasa-basi. "Saya akan membawa pulang Adrian."

"Sekarang?"

"Dia anak saya."

"Adrian masih belum sehat."

"Kamu nggak bisa terus menahannya di sini."

"Adrian yang memilih untuk datang ke sini atas keputusannya sendiri. Kenapa, Tante, sekarang begitu khawatir? Bukannya kemarin, Tante, bersikap nggak peduli?"

"Kemarin kamu terus menyudutkan saya. Saya nggak pumya pilihan lain, selain membiarkan Adrian pergi bersama kamu."

"Tante, jangan ngaco."

"Kenapa kamu terus menyerang saya?"

"Saya nggak punya energi untuk melakukan hal yang nggak masuk akal."

"Kamu benar-benar membenci saya, kan?"

"Iya." Winka tidak menyangkal. "Meskipun rasanya sia-sia, tapi saya nggak bisa mengabaikannya."

"Kebencianmu itu nggak akan menyurutkan langkah saya untuk melindungi hak-hak yang seharusnya diperoleh anak saya."

"Anak, Tante, yang mana? Kalau membicarakan Adrian, dia sudah mendapatkan bagiannya sendiri. Namun, kalau yang kita bicarakan Juna, maka saya nggak bisa membantu banyak. Tante, seharusnya tahu orang seperti apa Papa. Dia nggak akan memberikan keuntungan kepada orang lain secara cuma-cuma. Papa sudah berbisnis sejak muda dan dia tahu benar cara memanfaatkan peluang. Kalau Tante berharap banyak setelah Juna menyerahkan segalanya untuk perusahaan, maka, Tante, salah besar. Papa bukan orang sedermawan itu. Sekarang kalin hanya perlu menerima dan melakukan hal yang benar. Jangan sia-siakan waktu, Tante, untuk mengejar sesuatu yang semu. Papa nggak akan berubah, dan saya juga nggak punya niat untuk mundur setelah apa yang Tante lakukan."

"Kamu tahu? Saya bukan orang yang akan menyerah begitu saja. Saya tidak suka menerima kekalahan dengan lapang dada. Saya juga bukan orang yang akan bahagia melihat orang lain bahagia ketika saya sendiri menderita. Saya akan mendapatkan segalanya, meskipun kamu menghalangi saya. Saya akan merebut kembali Bram dan hak-hak saya."

"Tante, nggak capek?" Winka menatap wanita itu miris. "Nggak ingin istirahat?"

"Tidak, sebelum masa depan anak saya jelas."

"Juna bisa dapat hidup yang lebih baik. Dia talented, profesional, dan punya nilai tawar yang tinggi. Juna nggak harus ikut Papa buat berkembang."

"Kamu naif sekali." Marina menatap tajam. "Dunia nggak sebaik itu tanpa privilage. Karir Juna melesat bukan hanya karena kemampuannya, tetapi didukung dengan hak istimewa sebagai anak tiri Bram Winata. Jika Juna nggak dapat bagian apa pun, dia harus memulai semuanya dari awal dan itu nggak akan semudah ketika dia berada di bawah bayang-bayang ayah kamu."

#

"Siapa?" Lita menghampiri Trias.

Trias terdiam sejenak. Dia menatap Lita sebelum berkata, "Marina." Seisi ruangan hening. Refleks Adrian berdiri dan berjalan cepat menuju ke ruang depan. Tidak ada satu orang pun di sana yang berniat untuk mencegah anak itu.

"Aku sebaiknya nggak ikut campur." Lita bimbang.

"Kamu memang lebih baik nggak ikut campur." Trias mengamini sambil kembali duduk.

"Biar saya yang temani mereka." Galih mengajukan diri. Pria itu bergegas menyusul Winka dan Adrian.

Lita menatap Trias dengan was-was. "Mereka sudah dewasa," kata Trias menenangkan.

"Kamu yakin?"

"Percaya aja." Trias mencium Pepper dengan gemas. Lita mendengkus, lantas duduk di sebelah Trias dengan wajah masam.

"Wanita itu ular."

"Kamu Singa."

"Maksudnya?"

Trias terperanjat. Sepertinya dia salah bicara. Lita memicingkan mata penuh dendam. "Ayah?"

Pria itu berdeham beberapa kali sebelum menerima nasib kalau setelah ini dia mungkin terancam tidur di luar kamar. Sedangkan Pepper di pangkuannya hanya bisa prihatin menatap sang tuan. Kucing itu mengerjap sekali, lantas dengan tidak tahu diri merebahkan kepala dengan nyaman di lengan Trias.

#

Sampai jumpa di tenda biru...

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 160K 36
"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama...
800K 34.9K 40
Bekerja selama tujuh tahun sebagai seorang sekretaris dengan model bos seperti Zhafran Afandi, benar-benar membuat Rachel harus memupuk kesabaran sel...
4.6M 488K 48
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
500K 20.4K 31
Disclaimer! WAJIB FOLLOW AUTHOR KALAU PARTNYA GA MAU BERANTAKAN Kuno. Satu kata yang selalu terselip di benak Jenni Subagyo mengingat bahwa dirinya s...