Assalamu'alaikum.
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya, Pembaca Syapir tercinta 🤩
Sungguh vote dan komen kalian sangat berharga buat penulis 🥺
Happy reading!
Sori untuk typo nya.
Bagian 31 Ada Yang Cemburu
Pirat benar-benar menyibukkan diri di restoran. Menyibukkan diri dan pikirannya dari semua hal yang berkaitan dengan Syaron serta kondisi kediaman Soeryoningrat. Kebetulan sekali, ada yang mereservasi lantai 2 untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang akan dilakukan malam nanti. Dan dengan kesibukan di restoran, Pirat bisa mengesampingkan Syaron dari pikirannya.
Sahil beberapa kali menegur Janet, bahkan sekali laki-laki berperawakan campur Timur Tengah itu meninggikan suara kepada Janet, sang anak training.
“Saya kan sudah bilang, ketebalan pangsitnya harus 0,5 mili. Kamu sudah coba berapa kali dan gagal?”
“Lebih dari 5 kali, Chef.”
“Berapa kali kamu gagal buat adonan?”
“Kurang lebih, em maksud saya 3 kali. Jadi sudah 8 kali saya gagal.”
Janet menunduk dengan saling meremas kedua tangan, sementara Sahil terus mencecar gadis berambut cokelat itu.
“Kamu pikir dapur ini tempat bermainmu? Kalau memang tidak pernah ada niat belajar masak, mending kamu tidak pernah memulainya!”
Mendengar omelan Sahil beberapa koki masih ada yang sibuk dengan pekerjaannya, ada juga yang memperhatikan keduanya. Melihat Sahil seperti belum puas mencecar Janet, Pirat menghampiri laki-laki itu.
Pirat menoleh kepada Jay, “Jay, bantu Janet. Sahil, aku mau bicara sama kamu.”
Pirat membawa Sahil ke ruangannya.
“Aku tahu kamu kesal, tapi enggak seharusnya kamu kasar sama Janet, Sahil. Aku pikir, semenjak gadis itu bergabung di restoran ini, kamu terlalu sering menjadikan dia sasaran buat kekesalan kamu dalam setiap kesalahan yang gadis itu perbuat.” Pirat menyerahkan segelas air mineral kepada laki-laki itu, dan segera diminum oleh Sahil.
“Terima kasih.”
“Kalau memang kamu sedang banyak pikiran, kamu boleh ambil cuti untuk hari ini, aku bisa gantiin kamu ngurus dapur.”
Sahil menggeleng, “Hari ini ada reservasi di lantai 2, aku tidak bisa meninggalkan restoran begitu saja. Dan tahukah kamu, Pirat …,”
Ucapan Sahil menggantung, Pirat menelengkan kepala sembari bersidekap lengan di bawah dada, menunggu Sahil meneruskan perkataannya.
“Lupakan saja, aku mau kembali ke dapur.”
Sebelum Sahil benar-benar keluar, Pirat memanggilny membuat laki-laki itu kembali berbalik.
“Andaikata kamu masih menaruh harapan padaku, tolong berhenti, Sahil. Selain aku ingin menjaga marwahku sebagai seorang istri, aku harap kamu memikirkan gadis yang dijodohkan denganmu.”
Sahil menatap Pirat begitu lekat, tatapan matanya menyiratkan kekeruhan suasana hatinya. Tanpa berkata apa pun lagi, Sahil berlalu dari sana. Jika yang Pirat lakukan tadi terlalu kejam, akan lebih kejam ketika dia membiarkan keadaan keruh ini begitu saja. Ketika Sahil masih terus menaruh perasaannya untuk Pirat, akan lebih menyakitkan untuk semua orang.
Sungguh ironi sekali kondisinya saat ini. Ketika Pirat dengan tegas memperjelas keadaan, alih-alih menyelesaikan masalah, Syaron malah membiarkan Adhisti terhadap perasaannya kepada laki-laki itu. Pirat pikir, apakah menyenangkan bagi laki-laki dicintai banyak wanita?
Dihelanya napas berat ketika sadar pikiran perempuan itu kembali lagi pada Syaron. Syaron memang tidak sehat untuk hati dan pikirannya, laki-laki itu seperti racun yang menyebar dengan cepat dalam tubuh.
Pada akhirnya, Pirat memilih untuk pergi ke ruang ganti sekaligus tempat istirahat para koki. Di sana dia hendak mengambil apron, dan kebetulan ada Janet yang sedang duduk sembari memangku apronnya. Pirat ikut duduk di samping gadis itu sebelum mengambil dan memakai apron.
Janet menoleh dan tersenyum sopan. Gadis berambut merah kecokelatan itu menunduk.
“Maafkan Sahil, Janet. Ketika sedang dalam kondisi pikiran yang sedikit kacau, dia memang terkadang lebih mudah terpancing emosi,” ujar Pirat disertai tawa ringan.
“Enggak masalah, Mbak.”
“Bagaimana rasanya belajar masak di sini?” tanya Pirat menoleh, menyangga tubuh dengan kedua tangan mencengkeram ujung bangku yang mereka duduki, kepalanya meneleng menatap Janet yang kini menoleh.
“Sejujurnya, aku bukan orang yang suka masak, Mbak.”
Pirat mengernyit, “Tuntutan orang tua?” Pirat menebak.
Janet mengedikkan bahu disertai senyum lelah. “Apa pendapat Mbak Pirat soal perjodohan?” kini Janet serius menatap Pirat.
Pertanyaan Janet membuat perempuan itu menegakkan tubuh lalu mulai berpikir, terlihat dari kerutan di dahinya, “Eeem, setiap orang memiliki sifat masing-masing dan caranya sendiri-sendiri dalam menyikapi segala hal. Kalau aku dijodohkan oleh orang tuaku saat aku belum memiliki siapa pun, dan aku sudah membutuhkan serta menginginkan untuk menjalin sebuah hubungan, aku akan mencoba menjalaninya, berkenalan, jika cocok bisa dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sebaliknya, kalau ternyata kami tidak merasa cocok satu sama lain, kami akan mengakhirinya.” Pirat menoleh, dia mendapati Janet yang sedang serius memperhatikan dirinya.
“Semua hal bisa dibicarakan, semua bisa dikomunikasikan. Ketika kamu memang belum butuh dan belum ingin untuk menjalin hubungan dengan laki-laki, kamu bisa membicarakannya dengan orang tuamu. Kamu cari tahu dulu apa yang kamu inginkan … memang aku akui banyak di luar sana orang tua yang sulit diajak diskusi, sebisa mungkin ketika kita ingin dipahami dan dimengerti, kita bisa mulai memahami diri sendiri dulu, baru orang tua kita yang ingin kita ajak diskusi.”
Janet memandang Pirat jadi merasa iri, selain cantik, wanita itu baik hati dan pengertian, mampu menempatkan diri, tegas dan pandai memasak, serta jalan pikirnya yang tidak sembarangan, memiliki kewibawaan dan elegansi tersendiri. Akan tetapi, hal yang paling membuatnya iri adalah karena Sahil mencintai Pirat––hal yang belum bisa Janet dapatkan, yaitu cintanya Sahil.
“Kenapa Mbak Pirat enggak tanya, apakah aku dijodohkan atau tidak? Ketika aku bertanya soal perjodohan …,” tanyanya sedikit lirih di akhir kalimat.
“Janet, tidak semua orang ingin diketahui kehidupan pribadinya. Aku hanya berusaha untuk membatasi diri. Aku tidak bertanya bukan berarti aku tidak ingin tahu, aku hanya berusaha menghargai kamu.”
Dering gawai Pirat menginterupsi percakapan mereka berdua. Ada nama Syaron di layar ponselnya. Dari ekor matanya, Janet dapat melihat nama Syaron di sana.
Janet berdiri, “Aku lanjut ke dapur kalau begitu, Mbak.” Janet izin keluar setelah dengan kilat memakai apronnya.
Pirat mengangkat panggilan teleponnya, “Halo.”
“Kamu tahu lagunya Dygta yang judulnya Tersiksa Rindu?”
Pirat menghela napas, “Tahu.”
“Jadi seharusnya kamu tahu kalau kini aku tersiksa rindu, Pirat.”
Pirat melirik arloji di tangan kirinya. “Aku akan pulang setelah kamu salat asar.”
“Kamu serius? Aku yang salat?”
“Apa aku terdengar bercanda?”
“Kamu kenapa jadi kesal, Bee? Aku hanya memintamu untuk pulang. Aku butuh teman mengobrol, masa aku ajak Eyang ngobrol soal sertifikat tanah? Kan enggak lucu.” Syaron terdengar memancing Pirat.
“Ajak saja Adhisti. Kalian terlihat sangat klop ketika ngobrol bersama.”
Syaron terdiam beberapa saat, kemudian terdengar suara tawa terbahak laki-laki itu. “Kamu cemburu?! Hahaha … Pirat, kamu benar-benar cemburu?” Syaron bertanya disertai tawa kerasnya. Pirat sampai menjauhkan gawainya dari telinga.
“Apa yang mau kamu bicarakan soal sertifikat tanah? Kamu sudah membuatnya?”
“Jujur dulu, kamu sedang cemburu?”
Pirat menjauhkan gawainya, dihelanya napas berat. Matanya memelototi telepon di genggamannya, lama-lama geram dengan Syaron.
“Tidak ada yang cemburu dan tidak ada yang perlu dicemburui,” Pirat berkata datar.
“Ayolah, Bee. Dari intonasi bicarmu saja sudah bisa kutebak kalau kamu sedang cemburu,” Syaron tak mau berhenti menggoda sang istri.
“Tidak ada yang cemburu. Dan berhenti memanggilku Bee! Kalau memang tidak ada hal yang sangat penting, aku tutup teleponnya––”
“Pirat, kalau memang hanya tersisa Adhisti di dunia ini. Hatiku hanya buat kamu.”
Suara Syaron di seberang telepon membuat Pirat mendadak kesulitan menelan ludahnya sendiri. Demi menjaga kewarasan otaknya, tanpa menunggu Syaron melanjutkan percakapan, perempuan itu segera memutus panggilan telepon. Syaron memang sungguh tidak sehat untuk jantungnya. Secara sadar, Pirat memegang dadanya. Otaknya terus menolak, dia tidak boleh jatuh begitu saja, Syaron dengan segala akal sehatnya masih terlalu sulit dijangkau olehnya. Atau Pirat yang enggan segera menerima kenyataan bahwa dia memang sudah benar-benar telah jatuh, untuk kedua kalinya pada orang yang sama?
Mengakui pada diri sendiri bahwa kita jatuh cinta kepada orang yang jauh dari keyakinan kita, memang lebih sulit untuk menerimanya.
Daripada berpikir yang tidak-tidak, solatlah. Maka aku akan segera pulang.
Pirat sungguh telah menekan tombol kirim untuk mengirim peran tersebut kepada Syaron.
Dengan secepat kilat, pesan yang Pirat kirim sudah dibaca oleh Syaron.
Syaron Sudiro
Kamu menyuruhku untuk solat, memang kamu sudah?
Sudah.
Picture.
Pirat terlongong dan melotot melihat gambar yang Syaron kirim setelah diunduhnya. Pirat tidak salah lihat, kan? Syaron mengiriminya sebuah foto sajadah dengan memberikan jempol di atasnya.
Ini sungguh, Syaron?
Jangan gampang percaya sama akal bulusnya Syaron, bisa aja gambar nyolong di pinterest
😂
Follow ig @windiisnn_
Spam next sebanyak-banyaknya buat cepet lanjut. 70+ komen bakal ku lanjut hari ini juga.