Jangan Bilang Papa!

By gigrey

354K 42.7K 2.8K

Pak Saujana adalah seorang asisten Komisaris dari Salim Group. Sudah lima tahun terakhir ia mencoba untuk res... More

Characters
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
PROMOSI SEBENTAR
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39 (18+)
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
SPESIAL: Belajar Mengemudi part 1
SPESIAL: Belajar Mengemudi part 2
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62

11

6K 772 54
By gigrey

Jangan lupa vote dan komen ❤❤❤

Happy reading y'all!!

***

Kaia telah mendapatkan izin dari keluarganya bahwa ia akan makan di luar bersama temannya. Ia memasukkan ponselnya menunggu temannya untuk berangkat bersama ke restoran makanan yang enak. Kaia sudah pernah mengajak Kevin ke tempat ini tapi pria itu tak kunjung memiliki waktu saking sibuknya. Sedangkan papanya… Kaia khawatir setelah keluar dari restoran,  kolesterol papanya akan kambuh.

Kaia menunggu sendirian di depan lobi. Meskipun sudah memasuki waktu pulang tapi sedikit yang pulang tepat waktu selain anak magang. Dipta juga sudah pulang, mereka turun bersama dan berpisah di lobi karena pria itu membawa motor sendiri.

Gadis itu menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain yang muncul. Saat Kaia akan membuka tasnya lagi, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan lobi. Jendela diturunkan dengan lembar. Mobil itu membunyikan klakson sekali membuat Kaia harus menunduk untuk melihat siapa di dalam.

“Pangestu?”

“Ayo masuk.”

Kaia mengernyit bingung tapi ia tidak menolak. Ia pikir, mereka akan pergi bersama menggunakan taxi online. Tak disangka nya pria itu membawa mobil sendiri. Prabas memastikan interior mobilnya sudah rapi saat Kaia masuk dan menutup kembali pintu mobil.

“Hai,” sapa Prabas dengan senyum lebar.

“Halo, aku kira bakal pakai taxi bareng. Aku sudah siap pesan,” jawab Kaia dengan menunjukkan layar ponselnya yang sudah menampilkan aplikasi taxi online. Prabas melihat ke arah layar ponsel Kaia kemudian menutup aplikasi tersebut dengan telunjuknya. Kaia tertawa kecil dan menurunkan kembali ponselnya.

“Ah… aku lupa bilang kalau aku bawa mobil sendiri ya?”

Kaia mengangguk.

Prabas kembali menjalankan mobilnya. Pria itu mengetuk bagian dadanya menggunakan telunjuk sambil menunjukkan selempang sabung pengaman yang sudah terpasang.

“Oh, iya. Sabuk pengaman. Safety first,” ujar Kaia membuat Prabas terkekeh akibat jawaban Kaia yang menggemaskan.

“Betul sekali. Safety first.”

Prabas sudah melihat alamat yang dikirimkan Kaia tadi siang. Mereka pun keluar dari portal gedung dan masuk ke jalan besar menuju tempat tujuannya.
Kaia mengernyit melihat interior mobil pria itu yang sangat rapi. Ia sempat melihat merk mobil yang ada di depan tadi. Mobil yang dinaikinya saat ini bukan tipe mobil pegawai muda seperti temannya itu.

Ia melirik pria di sampingnya yang sedang asik menyetir. Merasa diperhatikan Prabas menoleh sebentar dan tertawa.

“Apakah ada yang ingin ditanyakan?" tanya Prabas dengan senyum miring menahan geli karena Kaia terlihat begitu kebingungan.

“Kamu… kerja di lantai sepuluh kan?”

“Iya, kenapa?”

“Divisi apa?”

Prabas terdiam di tempatnya. Ia melonggarkan sedikit dasinya yang tiba-tiba terasa begitu mencekik.

“Oh itu… finance.”

“Oh…”

Keuangan ya… itu termasuk divisi tersibuk. Tapi mungkin saja gajinya tak akan sebesar Kevin, kakaknya. Kaia tahu memang gaji Kevin sangat banyak. Dua digit di usianya sebagai asisten belum tambahan bonus bisa dibilang sangat cukup. Tapi rasanya mau selama apapun Kevin bekerja, ia tak akan pernah bisa membeli mobil seperti ini.

Prabas bisa merasakan keraguan di ekspresi Kaia. gadis itu sudah seperti halaman buku yang terpampang jelas. semuanya terbaca jelas di setiap ekspresi yang dibuatnya.

“Ini mobil temanku. Aku pinjam, karena … aku kan sekarang sedang bawa cewek. Nggak mungkin dong, aku ajak kamu keluar tanpa menyediakan transportasi yang memadai.”

“Astaga, Pangestu… Kamu pinjam mobil? Nggak usah repot tahu. Lagi pula kan aku yang ajak. Kita bisa pakai grab bareng tahu.”

Prabas hanya tertawa.

“Ayolah, Kaia. Anggap aku sedang jaga imej di sini.”

Kaia kehabisan kata-kata membuat Prabas tersenyum lebih lebar lagi. Pria itu sesekali mencuri pandang. Ia mencengkram setir lebih erat ketika mendapati Kaian menatapnya dengan mulut terbuka lebar. Ingin rasanya ia mengangkat dagu gadis itu.

“Pangestu, kedepannya kamu nggak boleh ngerepotin diri seperti ini ya. Naik motor pun nggak apa-apa. Dari pada kita pinjam milik seseorang seperti ini. Kita nggak tahu apa yang terjadi kedepannya sedangkan hutang itu bakal ditagih sampai akhir tahu.”

Prabas mengangguk mendengarkan ucapan gadis itu. Lebih baik ia menahan diri mendengar segala petuah yang Kaia berikan kepadanya terkait pinjam-meminjam barang beserta tanggung jawabnya. Ini lebih baik dari pada ia bilang kalau ini mobilnya sendiri. Prabas tak punya alasan lain untuk menjelaskan darimana ia mendapatkan uang untuk membeli mobil ini.

Prabas menoleh sekali lagi kali ini ia yang dibuat bingung ketika melihat Kaia merogoh tas juga mengeluarkan dompetnya.

“Kaia?”

Kaia mengeluarkan dua lembar berwarna merah dan melipatnya kemudian meletakkannya di atas dashboard mobil.

“Kaia ini untuk apa?”

“Kamu harus kasih ini ke teman kamu sebagai uang bensin.”

“Huh? Nggak usah repot, Kaia.”

Kaia menggeleng dan menolak tangan Prabas yang akan mengembalikan uangnya. Gadis itu merampas uang tersebut dan memasukkannya ke dalam saku jas Prabas membuat pria itu terkejut.

“Kaia?”

“Nggak boleh, Pangestu. Setidaknya itu sebagai ucapan terima kasih sama ganti uang bensinnya. Kita harus tetap ganti uang bensin.”

“Kaia, temanku sudah punya banyak uang. Dia nggak butuh-”

“Aku nggak mau terima uangnya kembali. Kata papa, menerima uang yang sudah ikhlas diberikan bisa buat rumah roboh. Aku nggak mau rumahku roboh,” jawab Kaia dengan penuh penekanan. Gadis itu telah membulatkan tekadnya untuk memberi uang tersebut.

Prabas melongo sejenak. Namun setelah sadar apa yang sedang mereka ributkan pria itu tertawa terbahak-bahak membuat Kaia bingung. Prabas sampai harus meminggirkan mobilnya karena perutnya terasa begitu sakit karena tak bisa berhenti tertawa. Ia memukul pahanya beberapa kali.

“Pangestu?"

Wajah Prabas sampai sangat merah dibuatnya. Ia mengambil tisu di dalam mobilnya untuk mengusap air mata yang keluar.

“Kaia… Kaia…”

Prabas sampai tak habis pikir. Ia mengusap wajahnya da menyugar rambutnya bersamaan untuk kembali mengontrol dirinya kembali.

Setelah mengatur nafas, Prabas bisa bernafas dengan tenang. Namun saat ia melirik ke sebelah dan melihat Kaia yang memasang ekspresi bingung Prabas kembali tertawa.

“Ah… astaga.. Huff… kapan terakhir seperti ini?” gumam Prabas sambil bersandar menatap jalanan di depannya yang ramai.

Uang bensin? Rumah roboh? Prabas belum pernah mendengar omong kosong yang begitu menggelikan seperti itu. Tak pernah terbesit dipikirannya bahwa ia akan menerima uang bensin. Biasanya dirinya selalu yang memberi. Membuka dompet untuk memberikan uang kepada orang lain.

Gadis itu seperti kotak misterius yang memiliki banyak sekali kejutan untuknya. Prabas menoleh ke samping dan mengusap kepala Kaia sebelum kembali melajukan mobilnya.

“Well, aku akan menyampaikannya. Uang ini akan kuberikan ke temanku. Dia pasti akan sangat senang.” ujar Prabas sambil menepuk saku dadanya tempat dimana Kaia meletakkan uangnya.

Gadis itu pun tersenyum. “Terima kasih, Pangestu. Titip terimakasih juga buat temanmu. Tapi lain kali jangan merepotkan diri seperti ini ya…”

“Tentu, Kaia. Tentu…”

Perjalanan kembali lebih tenang setelah Prabas sepakat menerima uang bensin dari Kaia.

Mereka tiba di sebuah rumah sate ternama di daerah tersebut. Prabas mengernyit melihat nama rumah makan di depannya dengan alis berkerut. Asap pekat membumbung tinggi dari seorang pria yang tengah mengipas deretan sate di halaman depan.

Deretan motor dan mobil terparkir rapi dengan bantuan tukang parkir berjaket jingga.

“Ini sate terkenal banget. Kamu sudah pernah ke sini?” tanya Kaia. Prabas menggeleng. Dia belum pernah makan di pinggir jalan.

Kaia turun terlebih dahulu, Prabas membawa dompet, ponsel, juga kotak rokoknya untuk menyusul Kaia untuk masuk. Prabas mengernyit karena tempat itu cukup ramai dan … tidak terlalu bersih? Ada satu meja dimakan terdapat banyak tumpukan piring kotor. Seperti pelayan belum sempat membereskan tempat tersebut. Dan pelanggan yang terlihat sama sekali tidak terganggu. Mereka tetap makan dengan nyaman.

Kaia terdiam kemudian bermanuver mencari tempat lain.

“Kenapa nggak jadi di meja itu?”

“Nggak apa-apa,” jawabnya yang kemudian memilih sebuah meja dengan dua kursi di dekat dinding berkaligrafi di atasnya.

Kaia memesan ketika ada pelayan yang datang.

“Di sini aman dari asap sate dan asap rokok,” ujar Kaia.

“Asap rokok?” Prabas menoleh ke belakang dan melihat dua pria yg makan sambil merokok. Sepertinya gadis itu menghindari mereka.

“Iya, aku nggak terlalu nyaman dengan asap rokok,” jawab Kaia membuat Prama memperhatikan kotak rokok di tangannya.

“Kenapa?”

“Um… karena jadi perokok pasif itu lebih berbahaya. Selain itu papa punya asma, dan hal terakhir yang ingin aku lakukan sebagai bakti seorang anak adalah untuk mengurangi interaksi dengan perokok. Jadi kalau bisa suamiku di masa depan dia nggak ngerokok. Karena kasihan papa nanti. Papa tersiksa dengan asap rokok. Padahal aku mau suamiku dekat sama papa dan mereka ngobrol dengan nyaman.”

“Oh…”

Prabas membalik posisi dompet juga ponselnya jadi di atas dan menutupi kotak rokok yang dibawanya. Ia teringat pernah merokok tanpa peduli Tio Saujana yang berada di dekatnya dalam beberapa pertemuan bersama kakeknya. Prabas memang sadar kalau Tio sengaja menutupi hidungnya. Prabas justru mengira karena memang Tio membencinya bukan karena asma, jadi ia justru menjahili Tio Saujana dengan sengaja merokok lebih banyak lagi.

Ah… Prabas menjadi merasa bersalah sekarang.

“Kamu sudah punya pacar?” tanya Prabas untuk mengalihkan pembicaraan. Pria itu tidak puas menyembunyikan kotak rokoknya dan memilih membuangnya ke bawah lantai kemudian diinjaknya dengan sepatu hitam mengkilapnya.

“Belum.”

“Belum? Sudah ada calon?”

Kaia tertawa kecil. “Belum juga,” jawabnya sambil terkekeh. Prabas otomatis ketularan bahagia mendengar tawa renyah gadis itu.

“Kok ketawa? Memangnya kalau belum punya pacar itu lucu?’ tanya Prabas di sela-sela tawanya.

Kaia mengangguk. “Soalnya kayaknya nanti aku bakal dijodohin.”

“Huh? Dijodohin?” tanya Prabas terkejut.

“Aku nggak pernah punya teman dekat cowok. Papa sama kakakku overprotektif jadi aku malas berpacaran kalau semisal papa sama kakakku nggak setuju. Bikin capek kalau ada konflik. Jadi aku tunggu papa sama kakak jodohin aku saja.”

Kaia berkata demikian mudahnya karena ia memang belum pernah merasakan jatuh cinta. Ia belum pernah bertemu seorang pemuda yang bisa menggetarkan hatinya sehingga saat ini keluarganya masih menjadi prioritasnya.

Dan apa yang dipikirkan Kaia sebenarnya tak jauh berbeda dengan Prabas. Prabas juga belum pernah jatuh cinta. Ia bahkan mengiyakan permintaan kakeknya jika suatu saat nanti ia dijodohkan karena memang ia tidak  memiliki kesempatan untuk jatuh cinta. Asalkan pasangannya nanti bisa menambah benefit bagi perusahaan, Prabas tak masalah jika pernikahannya nanti hanyalah pernikahan politik.

Tapi itu semua tak lagi sama setelah ia bertemu dengan Kaia. Gadis cantik itu membuat Prabas ingin jatuh cinta juga. Ada sesuatu yang membuat Prabas begitu tertarik kepada gadis itu. Prabas memperhatikan Kaia lebih lama. Gadis itu mudah tersenyum juga membuat Prabas juga jadi lebih sering senyum.

Apa ya? Prabas tidak bisa menunjuk satu hal pasti yang bisa menjelaskannya akan ketertarikannya pada gadis itu.

“Kalau misalnya… kamu dijodohkan dengan Direktur Utama kita bagaimana?”

Kaia terkesiap mendengarnya.

“Pangestu? kamu ngomong apa?”

Prabas mengedikkan bahunya. “Semisal saja, kalau kamu dijodohkan sama pria itu bagaimana? Ini cuma pertanyaan omong kosong saja.”

Kaia mengernyit. Bibirnya mengerucut maju ketika berpikir keras. ekspresi gadis itu menghibur Prabas. Namun jawaban Kaia sangat dinantikannya saat ini.

“Um.. ini pertanyaan bercanda kan?’
Praba mengangguk membuat Kaia menghela nafas panjang.

“Kayaknya aku bakal lari dari rumah deh.”

“Kalau pertanyaan serius?’ tanya Prabas sekali lagi setelah menghapus semua ekspresi cerianya. Kaia memiringkan kepalanya bingung ketika dirasa sikap pria di depannya berubah.

“Ya… mungkin aku akan belajar mengenal dulu. Tapi kayaknya itu nggak mungkin terjadi. Kita berdua hidup di dunia yang berbeda,” jawab Kaia. Kaia memajukan wajahnya dan meletakkan tangannya di samping wajahnya untuk berbisik kepada Pangestu. “Ini jadi rahasia kita berdua ya. Papa dan kakakku nggak suka Direktur kita. Jadi hal itu nggak mungkin terjadi.”

Percakapan mereka terhenti bersamaan dengan pelayan yang membawa makanan mereka.

***

Hayoloh bas.... rokoknya dimatiin duluu wkwk

Poin minusnya prabas udah banyak banget di mata bapak tio inii hehe

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 40.3K 31
jennie kim is a 25 years girl who doesn't believe in love anymore after she got played by her ex her parents getting worried since jennie will grew o...
2.6M 152K 49
"You all must have heard that a ray of light is definitely visible in the darkness which takes us towards light. But what if instead of light the dev...
4M 169K 63
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...