The Things She Left Behind

By griffonner_

2.4K 400 14

Maya Carver, gadis berusia 17 tahun itu sudah cukup muak menghadapi sikap ibunya selama ini. Dan satunya-satu... More

Preface
• • •
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24

Chapter 20

56 12 0
By griffonner_

Aku beranggapan Karime tidak akan bicara lagi padaku. Dia mungkin sedang mengurus beberapa hal di belakangku agar bisa mengirimku ke tempat lain, atau apa pun yang dilakukannya untuk membuatku pergi dari rumahnya. Aku sudah siap jika akhirnya dia mengusirku, memutuskan tidak lagi menampungku. Namun, pagi itu, alih-alih pergi ke ladang, dia menawariku sarapan, kemudian mengantarku ke sekolah.

“Apa kau tidak bekerja?” tanyaku tepat setelah mobil meluncur keluar dari halaman.

“Kurasa aku perlu istirahat.” Dia menatapku sekilas sebelum perhatiannya kembali ke jalanan di hadapan kami. “Bagaimana sekolahmu kemarin?”

Aku tidak tahu jawaban seperti apa yang ingin didengarnya, jadi aku hanya berkata, “Semuanya oke.”

“Kau punya teman?”

Pertanyaannya itu mengingatkanku pada Faith. “Ada seorang gadis aneh, tapi aku tidak yakin kami berteman.”

“Kenapa kau tidak yakin?”

Aku memicingkan mata curiga ke arahnya. “Apa kau sedang menginterogasiku?”

Karime tidak langsung menjawab sementara otakku terus menstimulasi pikiran-pikiran negatif. Aku membayangkannya melakukan ini pada ibuku setiap hari, memonitor aktivitasnya dan mengontrol gerak-geriknya. Aku bergidik ngeri membayangkan semua itu sehingga aku nyaris melontarkan tuduhan kalau dia tidak segera berkata, “Aku melihat kau menangis kemarin.”

Jantungku rasanya seperti hendak melompat keluar dari dalam rongga dadaku mendengar pernyataannya barusan. Aku menelan ludah, membasahi tenggorokanku yang terasa kesat. “Kau ... melihat Nero?” Aku mengumpat dalam hati menyadari suaraku terdengar begitu lemah.

Karime memalingkan wajahnya dariku, dan aku tahu dia melihat semuanya. Lucu sekali bagaimana dia bersikap seperti orang tua perhatian pagi ini setelah apa yang dilihatnya kemarin. Maksudku, apa dia benar-benar ada di sana? Memperhatikan kami? Menyaksikan aku dan Nero berciuman? Pipiku terasa terbakar, seakan udara pagi di sekelilingku tiba-tiba menggila.

“Aku dan Nero, kami tidak punya—“

“Semuanya baik-baik saja?” Karime menginterupsi penjelasanku, jadi mau tak mau aku menatapnya ragu. “Ya?”

“Kau menangis setelah hari pertama sekolah.”

“Oh,” responku seketika. “Ya. Maksudku, ya. Sekolah baik-baik saja.”

Aku tidak tahu apakah aku harus lega karena Karime tidak berniat membahas kejadian itu, atau malah sebaliknya. Wanita ini benar-benar sulit dibaca.

Dia tidak lagi menanyakan apa pun, sementara aku sudah tidak tahan berada semobil dengannya. Aku merasa ingin melarikan diri sekarang juga. Dan untunglah, kami tiba di halaman parkir sekolah sebelum aku benar-benar melompat dari sana.

Aku melihat mobil butut Nero terparkir tidak jauh dari tempat kami berada, tetapi aku tidak melihat sosoknya di mana pun. Dan aku bersyukur karena kami tidak harus bertemu sekarang.

Karime mematikan mesin. Dengan segera aku membuka sabuk pengaman. Aku hendak turun kalau saja kalimat Karime berikutnya tidak menahanku. “Aku ingin mengajakmu ke luar. Apa kau punya waktu Sabtu ini?”

Karime tahu aku memiliki waktu yang tak terbatas untuk pergi bersamanya kemanapun dan kapanpun dia menginginkannya. Namun, dia lebih memilih bertanya padaku terlebih dahulu, dan itu membuatku mempertimbangkan kembali pandanganku terhadapnya, apakah aku benar-benar bisa membencinya?

Aku tidak tahu apa rencananya, tetapi aku menjawab, “Aku selalu punya waktu.”

Dia tersenyum sekilas padaku, senyum tulus yang menyentuh perasaanku sedemikian rupa.

“Maaf tentang pagi itu,” ucapku tanpa mempertimbangkan apa pun lagi. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa kecewa ketika mendengar kau mengusirnya. Dan aku berpikir kalau saja kau tidak bersikeras pada saat itu, kami mungkin tidak akan melalui semua ini. Aku mungkin tidak akan pernah mengenalnya.”

Karime mengulurkan sebelah tangannya ke arahku, meremas bahuku seolah menahan retakan di setiap jiwaku yang patah agar tidak jatuh berhamburan. “Kau tahu, aku senang bertemu denganmu.”

Aku menahan diri untuk tidak menumpahkan air mata, meskipun sukar karena mataku terasa seperti dipenuhi kerikil. Sulit mengenali diriku yang sekarang karena sebelumnya, aku bukan gadis yang gampang menangis.

Well, masuklah! Kau mungkin akan terlambat.”

Aku mendengkus. “Ini masih pagi, dan bahkan terlalu pagi untuk guru yang mengajar.”

Meskipun begitu, aku keluar dari mobil.

“Oh ya, aku akan mengunjungi temanku nanti siang dan baru kembali malam. Kau bisa pulang dengan Nero.” Mendengar nama cowok itu disebutkan membuatku lagi-lagi mengingat momen itu, dan aku tahu Karime pun sama, sebab dia langsung menambahkan. “Kurasa kalian tidak perlu tergesa-gesa.”

“Kami tidak menjalin hubungan spesial, kau tahu ‘kan?”

Karime mengangkat sudut bibirnya. “Simpan komentar itu untuk dirimu sendiri.”

“Kau berbicara dengan Nero tadi malam?” Aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku lagi. Terlebih, Nero tidak menungguku berangkat ke sekolah bersama pagi ini.

“Ya,” jawabnya.

“Apa dia—“

“Dia di sana,” selanya seraya menunjuk Nero yang kini tengah berdiri di dekat pintu masuk. Matanya memicing ke arah kami.

Aku meringis. “Sejak kapan dia berdiri di sana?”

“Aku sudah melihatnya sejak kita tiba di sini.” Karime mulai menyalakan mesinnya kembali, spontan saja aku bergerak menjauh. “Ingat apa yang kukatakan? Jangan terburu-buru.”

Aku tidak mengiyakan maupun mengelak. “Terserah.”

Karime tertawa pelan, membuatku tanpa sadar tersenyum.

Setelah dia pergi, aku melangkah ke arah gedung sekolah. Berusaha tidak menghiraukan Nero di pintu masuk. Dia menyapaku saat aku lewat, tetapi aku tidak membalasnya. Aku bahkan berpura-pura tidak melihatnya ketika dia berjalan di sampingku.

“Ada apa denganmu?”

Aku terus berjalan tanpa menoleh ke arahnya. Namun, dia melompat ke hadapanku dan mengadangku.

Aku memutar bola mataku. “Lihat! Kau selalu melakukan ini.”

“Apa aku membuat kesalahan?”

Aku menghela napas panjang. “Kesalahan? Oh, tentu saja. Apa yang kau katakan pada Karime kemarin malam?”

“Tidak banyak.”

Tidak banyak,” beoku mencibirnya.

Aku mendorongnya saat dia lengah hingga punggungnya menubruk seorang gadis yang tengah berjalan. Aku tidak peduli. Aku berbelok menuju lorong loker. Nero tetap mengikutiku, meskipun lokernya berada di sayap lain.

“Oh, ayolah! Aku baru merasa dekat denganmu kemarin, dan sekarang kau menghindariku lagi. Kau tidak bisa terus memperlakukanku seperti ini,” katanya ketika kami tiba di depan lokerku.

“Cukup Karime melihat kita kemarin, kau tidak perlu menambahkan yang lainnya. Kita bahkan—“

“Tunggu!” selanya. “Karime melihat kita?”

“Dia bilang padaku untuk tidak terlalu terburu-buru.”

“Benarkah?”

Aku menatapnya jengkel, terutama ketika mendengarnya tiba-tiba tertawa keras, membuat beberapa orang di lorong ini menggerakkan kepala ke arah kami.

“Aku tidak mengira Karime memergoki kita. Maksudku, well, dia cukup baik menyembunyikannya di hadapanku.”

Aku mengerutkan keningku, tak yakin apa yang dia bicarakan.

“Begini,” ujarnya kemudian. “Karime tidak membahas apa pun tentang kita tadi malam, dia bertanya apa yang kulakukan akhir-akhir ini. Kupikir dia curiga aku menjual obat-obatan lagi.”

“Oh, sial! Wanita itu memang sangat sulit dipahami.”

Yeah ... tapi mari kita ambil sisi positifnya. Karime tidak keberatan dengan kita.”

“Kita?” Aku mendengkus. “Tidak ada kita!” Lalu, mengambil buku dari lokerku untuk pelajaran pertama.

“Kau mencampakkanku lagi,” desahnya.

Bel masuk berbunyi. Aku mengunci lokerku dan berjalan keluar dari sana, masuk ke lorong lainnya menuju kelas pertamaku.

“Sekarang kau tidak mau bicara.”

Aku sudah menduga Nero akan tetap mengintiliku. Jadi, aku tidak repot-repot mengusirnya karena tahu dia sangat keras kepala.

“Baiklah, lakukan sesukamu!” katanya selanjutnya. Nero lantas berbelok pergi. Rasanya aneh dia menyerah begitu cepat. Jadi, aku berhenti melangkah dan berputar untuk melihatnya.

Seolah menyadari aku memperhatikannya dari belakang, dia berbalik. Berlari ke arahku dan mengacak-acak rambutku hingga menutupi pandanganku sebelum menarik wajahku, lalu mengecup keningku singkat.

“Tapi, aku tidak akan menyerah. Sampai ketemu lagi di jam pelajaran ketiga!” serunya sembari berjalan pergi.

Aku menyumpahinya meskipun dia sudah melangkah menjauh. Seharusnya, aku merasa kesal padanya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Rasanya seperti, aku bisa melupakan apa pun yang membebaniku ketika dia bersamaku.

Aku merapikan rambutku, menyadari bahwa aku tengah berdiri di samping salah satu kelas dengan beberapa pasang mata menatap ke arahku. Beruntung aku tidak mengenali orang-orang di sana. Jadi, tanpa memedulikan apa pun, aku kembali menggerakkan kaki mencari kelas pertama yang harus kuikuti.

Continue Reading

You'll Also Like

417K 5.1K 22
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
672K 49.2K 31
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.3M 123K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
2.9M 169K 41
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...