Gimme Love [END - Revisi]

By alitajung

7.3K 4.1K 7.8K

☃️ About Alice Quinza Hilary, Diego Alexander Gultom, & Yudha Michael Sanders ⛄ "Kamu itu tanggung jawabku."... More

Part 1. Pulang Kerja dari Kafe
Part 2. Cokelat Batangan
Part 3. Kenangan Pahit
Part 4. Weekend
Part 5. Bad Day
Gimme Love Cast
Part 6. Khawatir?
Part 7. Finding Alice
Part 8. Maaf, Yudha
Part 9. The Refour Band
Part 10. Salahkah jika Bertanya?
Part 11. Alice Kecelakaan?
Part 12. Mengapa?
Part 13. Masalah dan Bersalah
Part 14. Terima Kasih
Part 15. Harusnya Aku
Part 16. Tentang Rasa
Part 17. Rasa Suka?
Part 18. Mencoba Asing
Part 19. Siapa yang Salah?
Part 20. Cafe Time
Part 21. Eternal Cafe
Part 22. Diego, Aneh!
Part 23. Dilemma
Part 24. Friendzone, Damn it!
Part 26. Keluar dari Kafe
Part 27. Cemburu?
Part 28. Coffee Paste Cafe
Part 29. Dua Pengakuan
Part 30. Fakta yang Terungkap
Part 31. Congrats, The Refour Band
Part 32. Diego Hilang?
Part 33. Club Malam
Part 34. Crazy Alarms
Part 35. Deal?
Part 36. Mission Failed
Part 37. Confession
Part 38. You, My Responsibility
Part 39. Long Way Down
Part 40. Kiss You
Part 41. About Forgiveness
Part 42. You're My Home
Part 43. Sorry, I Love You!
Part 44. Yes or Yes?
Part 45. Your Last First Kiss

Part 25. Heart Attack

85 21 131
By alitajung

GIMME LOVE

🌹🌹🌹

.

Kalau baper, author nggak tanggung, ya, hehe

Selamat membaca, cantik / ganteng

.

🌹🌹🌹

.
.
.

Yudha menatap penuh selidik pria yang sedang berdiri di depannya. Sedangkan, Diego menaikkan sebelah alisnya.

Mereka berdua saling bertatapan tajam.

"Ngapain kamu pagi-pagi buta ke sini? Mau lihat sunrise?" tanya Yudha.

"Ya kali," jawab Diego singkat.

Yudha terkekeh pelan.

Pasti mau menemui Alice, batinnya.

"Eh Belut Kebon, kamu denger baik-baik. Alice dilarang pacaran sama neneknya. Jadi, kuharap kau tahu diri," sarkas Yudha.

Diego tersenyum tipis. "Pacaran? Eh Sapi Bejo, aku sudah terlalu tua untuk itu. Lebih baik lebih dari itu."

Yudha menyipitkan matanya. "Jangan bilang kau mau mengajak Alice menikah???"

Diego berdeham pelan. "Ya. Kenapa tidak."

"KURANG AJAR." Yudha mengepalkan kedua tangannya.

Bugh

Diego mengelap ujung bibirnya yang berdarah.

"JANGAN MIMPI BISA MENIKAHI ALICE," ujar Yudha.

Bugh

Kini gantian Yudha yang mengelap bibirnya yang juga berdarah.

"MEMANGNYA KAU SIAPA BERHAK MELARANG, HAH? BAPAKNYA ALICE??" bentak Diego.

Bugh

Diego kembali mengusap ujung bibirnya yang pecah.

"BAPAKNYA ALICE UDAH MENINGGAL, BEGO!!!" bentak Yudha.

Bugh

Yudha meringis meraba darah yang merembes dari hidungnya.

"LUPA, ANJIR!" ujar Diego.

Mereka berdua kembali baku hantam. Saling melayangkan tinju ke wajah dan perut. Tak ada yang mau mengalah dengan perdebatan itu.

Sepuluh menit kemudian.

Kedua pria itu saling tersenyum miring lalu saling ambruk ke tanah dan terbaring dalam posisi telentang. Darah dan keringat menjadi satu.

Diego melepas perlahan jaket kulit hitamnya. Yudha ikut melepas jaket kulit putihnya.

Keduanya terdiam lama memandangi langit pagi hari itu.

"Kau naksir Alice, ya?" kekeh Diego.

"Tidak usah sok tau. Aku hanya ingin melindunginya," jawab Yudha.

"Kau kira aku berbahaya?" sarkas Diego.

"Siapa yang tau?" kekeh Yudha.

"Kau kira kau tak berbahaya?" kekeh Diego.

"KALIAN BERDUA KENAPA???"

Kedua pria itu beranjak duduk saat melihat Alice datang dengan wajah paniknya.

"KALIAN KENAPA BERDARAH-DARAH GINI? HABIS PERANG?"

Alice membuka tasnya dan mengeluarkan tissu.

"Bersihin lukanya sendiri, ya. Aku buru-buru ke tempat kerja." Alice melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Pukul enam pagi.

Ia tidak boleh terlambat datang ke tempat kerja barunya.

Kedua pria itu hanya terdiam dan menerima uluran tissu dari gadis yang membuat mereka berdua baku hantam.

"Eh, Go. Bukannya kamu harus pergi ke bandara. Nanti kamu telat, loh. Kamu juga Yud, katanya semalam ada ujian. Kenapa kalian ada di sini?" tanya Alice sangat heran.

"Ini baru mau berangkat," ujar Yudha dan Diego berbarengan. Mereka berdua saling berpandangan lalu membuang muka.

Diego naik ke motornya dan memasang helm full face miliknya, sedangkan Yudha masuk ke dalam mobilnya. Kedua pria itu lalu melajukan kendaraannya masing-masing dengan kecepatan tinggi meninggalkan pekarangan rumah Alice.

Gadis itu melongo.

"Apa-apaan dua manusia itu. Bodo amatlah, bodo amat."

.
.
.

* * *

"Siapa gadis itu?"

Hary menunjuk Alice dengan dagunya. Gadis itu berdiri membelakanginya yang sedang membuat kopi untuk pelanggan.

"Temannya Diego."

"Dia bekerja di sini?"

"Ya. Baru hari ini. Diego yang mengajaknya kemari."

"Kukira anak itu tak mau berteman dengan perempuan dan hanya berada di dunia musiknya."

Rendra tersenyum tipis. "Kurasa dia satu-satunya gadis yang dekat dengan Diego."

"Aku senang mendengarnya. Diego membenciku lebih dari apapun. Aku harap kamu mau memantau Diego dan menegurnya jika salah," tutur Hary, ayahnya Diego.

"Dia berangkat ke Jakarta hari ini." Rendra menyesap kopi hitam miliknya.

"Aku tau. Namun, seperti biasa tidak pernah pamit padaku," ucap Hary.

Rendra menghela napas panjang.

"Kematian ibunya sangat membekas dalam memorinya. Aku harap kamu dapat mengubah Diego seperti dulu. Karena kamu yang membuatnya berubah. Anak itu banyak berubah sejak kejadian hari itu."

Hary tersenyum pahit.

"Andaikan semudah itu, Kak. Aku selalu ..."

Rendra menoleh ke arah adik iparnya itu. Hary tampak menahan ucapannya dan sedang menatap Alice yang tak jauh dari meja tempat mereka berdua berbincang.

"Ada apa?"

Hary mengalihkan pandangannya dan menatap kakak iparnya itu lalu menggeleng.

Gadis itu, batinnya.

.
.
.

* * *

"Bapak siapa, ya?"

"Kamu tidak mengenali saya?"

Alice menggelengkan kepalanya.

"Kamu temannya Diego?"

Kali ini gadis itu mengangguk pelan.

"Ada apa, ya, Pak?" tanya Alice heran melihat pria yang tidak dikenalnya sedang berdiri di hadapannya dengan raut wajah yang terlihat sedikit tertekan.

Hary tersenyum. "Saya Hary, ayahnya Diego."

Pernyataan itu sukses membuat Alice tercengang.

"Namamu siapa kalau saya boleh tahu?"

"Saya Alice, Pak."

"Oh Alice, ya. Saya senang ternyata Diego memiliki teman perempuan. Anak itu tidak nakal, kan?"

Alice tersenyum canggung. "Tidak, Pak."

"Baguslah kalau begitu. Kalau dia macam-macam, laporkan saja pada saya, ya, Alice," ujar Hary sembari tersenyum.

Alice tersenyum.

"Saya pergi dulu, ya. Selamat bekerja, Nak."

"Baik, Pak, terima kasih. Hati-hati di jalan, Pak," ucap Alice sembari menatap kepergian Hary.

Gadis itu lalu termenung. Ia teringat dengan kecelakaan lima tahun yang lalu.

Ia menghela napas pelan.

"Apa benar aku baru saja bertemu dengan ayahnya Diego?"

.
.
.

* * *

Alice melirik jam dinding kafe. Pukul lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang.

Di Eternal Cafe, jadwal kerja gadis itu mulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul lima sore pada hari Senin hingga Jumat saja.

Berbeda dengan di kafe tempat kerjanya dulu, Coffee Paste Cafe, yang jadwal kerjanya padat.

Gadis itu telah bersiap-siap pulang.

"Al. Bisa ke ruangan saya sebentar?"

Alice menoleh dan melihat Rendra sedang berdiri di belakangnya.

"Bisa, Pak."

Tak lama kemudian, Alice sudah berada di ruangan Rendra selaku manajer kafe.

"Diego sudah menghubungimu?"

"Saya belum sempat membuka ponsel hari ini, Pak."

"Tolong dilihat dulu, ya. Dia belum mengabari saya apakah sudah tiba di Jakarta atau belum."

"Baik, Pak."

Alice mengutak-atik ponsel miliknya.

"Maaf, Pak. Diego juga tidak ada menghubungi saya."

Rendra menghela napas pelan lalu tersenyum.

"Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau ada kabar darinya, tolong sampaikan pada saya, ya. Terima kasih. Kamu boleh pulang. Terima kasih juga karena sudah bekerja dengan baik."

Alice tersenyum. "Baik, Pak, nanti akan saya kabari. Terima kasih kembali, Pak. Saya pulang dulu."

.
.
.

* * *

"Halo, Go?"

"Hm?"

"Kamu udah tiba di Jakarta? Kamu baik-baik aja, kan?"

"Iya. Ini baru selesai perform."

"Kenapa nggak ngabari, sih?? Paman kamu khawatir tau."

"Kamu nggak khawatir?"

Alice menatap ponselnya sejenak.

"Ya khawatir lah."

"Oh gitu. Ada lagi?"

"Udah cuma nanyain itu aja. Jangan lupa makan, ya, Go."

"Iya, sayang."

Alice kembali menatap ponselnya dengan mata melotot.

"Diego, aneh!"

Setelah mengatakan hal itu, gadis itu lalu mematikan sambungan itu dengan hati berdebar.

"Tuh, kan. Diego emang aneh."

Ting

Alice melihat notifikasi WhatsApp di layar ponselnya.

"Thanks, ya, udah nanyain. Selamat tidur, cantik."

Mata Alice kembali melotot membaca pesan dari Diego.

"Tuh, kannn. Nambah anehh!"

Alice buru-buru naik ke tempat tidurnya dan memejamkan matanya. Dan, berusaha menepis ucapan Diego yang membuat jantungnya kini belum berhenti berdebar.

"Hei, jantung, tenanglah. Besok aku harus kembali bekerja di Kafe!!" teriak Alice.

.
.
.

* * *

See ya!!!

.

Alita Jung

Continue Reading

You'll Also Like

665 356 23
⚠️FOLLOW SEBELUM BACA⚠️ gadis cantik yang super duper periang namun agak sedikit polos dalam soal percintaan ini bernama NADIN WINOLA kerap di panggi...
693 200 16
[BACA BAB 1 DULU, TAPI WAJIB LANJUT] "Aku bertanya pada dunia, apakah harta yang menuntut cinta? Ataukah cinta yang menuntut harta?" ••• Pertemuan s...
1M 214K 47
STORY 16 Sudah jatuh, tertimpa buah durian juga, mungkin itu pepatah yang tepat untuk Gaudi. Tepat dimalam ulang tahunnya yang ke-30 tahun, ia bukan...
2.3M 170K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...