Ketika Kita Bertemu Lagi [End]

By Windiisna

24.7K 2.8K 1.3K

Terbit. ... Pirat tidak mengizinkan Syaron menggaulinya sebelum laki-laki itu kembali ke jalan-Nya. *** Di... More

Prolog
Bagian 1 Definisi Pulang Bagi Syaron
Bagian 2 Jiwa yang Berangin
Bagian 3 Reuni SMA
Bagian 4 Kilas Balik Masa Lalu
Bagian 5 Perkara Restoran Keluarga Pirat
Bagian 6 Tuan Pembeli Tanah
Bagian 8 Sarala Wicaksana
Bagian 9 Dua Dunia
Bagian 10 Kegilaan Syaron
Bagian 11 Keputusan Pirat
Versi Instagram dan Twitter
Bagian 12 Soeryoningrat
Bagian 13 Sarkasme Hardian Soeryoningrat
Bagian 14 Menjenguk Calon Mertua
Bagian 15 Rencana Pernikahan
Bagian 16 Perempuan Beradab
Perkara Panggilan
Bagian 17 Perasaan Sahil
Bagian 18 Lingkaran di Jari Manis Pirat
Bagian 19 Lamaran Tak Terduga
Bagian 20 Terbentuknya Simpul Halal
Bagian 21 Tragedi Berdarah
Bagian 22 Adhisti dan Cintanya
Bagian 23 Anggota Baru Soeryoningrat
Bagian 24 Cinta Akar Problematika
Bagian 25 Kedua Kalinya
Bagian 26 Pirat dan Lidahnya
Bagian 27 Sebuah Insiden
Bagian 28 Rasa yang Dulu Ada
Bagian 29 Eyang VS Syaron
Bagian 30 Perasaan Macam Apa Ini?
Bagian 31 Ada Yang Cemburu
Bagian 32 Cemburu Itu Ada Seninya
Bagian 33 Bertemu Kama
Bagian 34 Wanita Lain
Bagian 35 Pirat Sungguh-Sungguh
Bagian 36 Berjarak
Bagian 37 Sertifikat Tanah
Bagian 38 Rumah Orang Tua Pirat
Bagian 39 Pernikahan Impian
Bagian 40 Kekacauan
Bagian 41 Permohonan Syaron dan Pirat
Bagian 42 Pirat Menghilang
Atlernate Universe
Bagian 43 Tuhan Tidak Pernah Tidur
AU diposting di Wattpad
AU #2
AU #3
AU #4
AU #5 & Pre Order
AU #6 & Pre Order
Bagian 44 Sebuah Keputusan (END)

Bagian 7 Pencipta Manusia Iblis

500 71 36
By Windiisna

Assalamu'alaikum

Yang jawab salam semoga semakin barokah bacanya🤗

Bagian 7 Pencipta, Manusia, Iblis

"Kamu tidak percaya kalau Tuhan itu ada?"

Syaron dapat melihat keterkejutan di wajah Pirat. Dia tahu, perkara keraguannya kepada Tuhan akan menjadi nilai minus di mata Pirat.

"Memang, apa alasanku untuk percaya kalau Tuhan itu ada, Pirat? Kalau memang Dia ada, seharusnya ketika ada seorang hamba membutuhkan pertolongan-Nya, Dia membantunya, kan? Tapi kita tetap saja harus berusaha sendiri." Syaron yang dia kenal dulu tidak seperti sekarang. Syaron yang dulu, meskipun bukan hamba alim yang rajin beribadah, setidaknya dia tidak pernah mecela Tuhan.

Pirat kembali beristighfar, tangannya masing-masing mengepal, merasakan debaran yang menggila-sebuah ketakutan.

Ini salah, seharusnya Syaron mempercayai Tuhan. Allah itu ada! kukuh Pirat dalam hati.

Pirat yang tadinya ingin segera enyah, mendadak merasa bagai tubuhnya terpaku sekencang mungkin di tempatnya kini berada.

Pirat menegakkan tubuhnya di tempat duduk, kedua tangannya di atas meja saling meremas, napasnya naik turun, menetralkan detak yang tak beraturan. "Ada seorang atheis yang masuk ke sebuah masjid, dia mengajukan tiga pertanyaan yang hanya boleh dijawab dengan logika. Harus masuk akal dan ada rasionalisasinya. Yang mana artinya, tidak boleh dijawab dengan dalil, karena dalil itu hanya dipercaya oleh pengikutnya, oleh mereka yang meyakini, jika menggunakan dalil (naqli) justru diskusi ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Kamu mau mendengarkan apa saja yang pemuda itu tanyakan?"

Syaron mengangguk, "Beserta jawaban atas pertanyaannya," ujar laki-laki itu.

"Sang pemuda atheis bertanya, 'Siapa yang menciptakan Allah? Bukannya segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada penciptanya? Lalu, bagaimana Allah ada kalau tidak ada yang menciptakan?'. Pertanyaan ini dijawab oleh Imam Abu Hanifah Rahimahullah, 'Apakah engkau tahu dari mana angka 1 itu berasal? Sebagaimana angka 2 adalah hasil dari 1+1 atau 4 yang berasal dari 2+2? Jika kamu tau bahwa 1 itu adalah bilangan tunggal, dia bisa menciptakan angka lain, tapi dia tidak tercipta dari angka apapun, lalu apa yang membuatmu sulit untuk memahami bahwa Allah itu Dzat Maha Tunggal yang Maha Mencipta tapi tidak bisa diciptakan?'."

Syaron menyimak dengan baik setiap ucapan Pirat. Laki-laki itu diam saja. Meskipun bukan sepenuhnya apa yang Pirat katakan itu tepat dengan apa yang sebenarnya Syaron rasakan.

"Pertanyaan kedua, 'Bagaimana caranya manusia bisa makan dan minum tanpa buang air? Bukankah itu janji Allah di surga?'. Imam Abu Hanifah berkata, 'Saya ingin bertanya kepadamu, apakah kita ketika di dalam perut ibu kita semua makan? Apakah kita juga minum? Kalau memang kita makan dan minum, lalu bagaimana kita buang air ketika dalam perut ibu kita dulu? Jika engkau percaya bahwa kita dulu makan dan minum di perut ibu kita dan kita tidak buang air di dalamnya, lalu apa yang membuatmu sulit untuk percaya bahwa di surga kelak kita akan makan dan minum juga tanpa buang air?'."

Pirat mengangkat tangan kepada seorang waiter dan waiter itu mendekat. "Air mineral dan latte." Setelah sang pelayan menulis dan mengulang pesanan Pirat, dia pergi.

Tatapannya kembali pada Syaron dengan tetap menjauhi tatapan mata laki-laki itu. Di sana liar.

"Pertanyaan ketiga, 'Kalau iblis itu terbuat dari api, lalu bagaimana bisa Allah menyiksanya di dalam neraka? Bukankah neraka juga dari api?'."

"Benar. Pertanyaan ini mewakili sekali. Aku pun bingung. Coba bayangkan. Api dengan api. Apa ada yang akan tersiksa? Aku pikir ini tidak masuk akal." Syaron mengutarakan kebingungannya.

"Ketika menjawab pertanyaan ketiga, pemuda itu menampar atheis tersebut dengan sangat keras, atheis tersebut pun merasa kesakitan dan marah-marah pada sang pemuda. Lalu pemuda itu berkata, 'Tanganku ini terlapisi kulit, tanganku ini dari tanah, dan pipimu juga terbuat dari kulit dari tanah juga, lalu jika keduanya dari kulit dan tanah, bagaimana bisa engkau merasa kesakitan ketika saya menamparmu? Bukankah keduanya juga tercipta dari bahan yang sama, sebagaimana iblis (setan) dan api neraka?'."

Syaron terlongong dan kagum. Pikirannya juga jadi terbuka. Apa yang Pirat sampaikan cukup masuk akal. Tapi meskipun begitu, bukan berarti Syaron akan berubah perspektif dengan cepat.

Mendapati Syaron yang menatap dirinya lekat dan intens tanpa berkedip selama beberapa saat, Pirat mengalihkan pandangannya ke arah selain Syaron, bertepatan dengan air mineral dan lattenya datang. Gadis itu segera meminum air mineralnya hingga menghabiskan setengah botol untuk menetralisir rasa gugupnya. Seharusnya dia tidak gugup di hadapan Syaron. Pirat merutuki dirinya dalam hati.

Kedua manusia berbeda jenis itu saling terdiam selama beberapa saat dengan pikirannya masing-masing. Hingga dering gawai Pirat yang gadis itu sengaja letakkan di meja memecah suasana keduanya. Tertera nama Sahil di sana. Syaron sempat melirik ponsel itu dan seketika dahinya berkerut membaca nama laki-laki yang tertera pada gawai. Syaron mengamati setiap gerak-gerik Pirat yang mengambil gawainya, lalu menggeser ikon hijau dan menempelkan gawainya ke telinga.

"Assalamu 'alaikum. Halo."

Laki-laki di hadapan Pirat itu kesal lantaran tidak dapat mendengar mengenai apa yang orang bernama Sahil itu bicarakan di seberang telepon.

"Iya, Sahil." Syaron menatap lekat Pirat ketika menyebut nama laki-laki yang sedang telepon dengannya. Sial, Syaron benar-benar tidak suka.

"Oke, setelah ini aku datang. Baik, ada lagi?"

Cukup. Syaron benar-benar tidak suka. Syaron memang cemburu. Biarlah. Laki-laki itu mengakuinya. Awas saja kalau ketemu Sahil Sahil itu!

"Oke, Sahil." Disebut lagi oleh Pirat. Syaron jelas semakin sebal. Laki-laki itu menyeruput kopinya hingga tandas, lalu meletakkan gelasnya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi gaduh. Pirat melirik sekilas dan kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Terima kasih banyak. Ya, sampai jumpa. Wa 'alaikumussalam warahmatullah." Pirat mematikan gawainya, memasukkan ke dalam clutch bag. "Aku harus pergi," ujar gadis itu.

"Pergi saja temui laki-laki itu!" Pirat memicingkan matanya mendengar nada ngegas dari Syaron. "Lemah lembut sekali bicara dengan dia. Siapa Sahil?" Syaron memberikan tatapan menyorot membuat Pirat tidak nyaman.

"Sepertinya urusan kita sudah selesai. Aku pergi dulu." Pirat tak menghiraukan pertanyaan Syaron.

"Tunggu! Urusan kita sama sekali belum selesai, Pirat."

"Aku harus pergi."

"Menemui laki-laki itu?" Syaron berdecih.

"Kenapa? Namanya Sahil."

"Masa bodoh." Sungguh, laki-laki itu sangat kesal. Syaron mengeluarkan kartu nama, lalu memberikannya kepada Pirat. "Hubungi aku kalau kamu berubah pikiran." Setelah mengatakan itu, Syaron pergi lebih dulu meninggalkan Pirat dengan segala kebingungannya.

"Sinting."

Padahal Pirat sudah punya nomor telepon laki-laki itu.

***

Restoran yang berdiri di atas bidang tanah seluas 500 meter dengan dua lantai itu terlihat tak terlalu padat pengunjung. Pirat yang baru sampai bergegas menuju dapur restoran, dan yang pertama dicari adalah Sahil. Pria itu sedang menabur serbuk merica di atas menu makanannya. Sebuah tuna yang sudah di-fillet dan dipanggang setengah matang dengan dibaluri bumbu buatan Sahil itu membuat Pirat enggan mengalihkan pandangannya. Warna dan wangi rempah-rempahnya membuat Pirat ingin berlama-lama di dapur.

Terakhir, Sahil memberi daun selederi yang sudah dipotong kecil dan taburan wijen serta minyak zaitun. Menu makanannya adalah Tuna Wangi, salah satu menu andalan Restoran Legenda Rasa. Baunya harum dan tampilannya merah menggoda selera. Untuk rasa, Pirat tidak meragukannya, karena Tuna Wangi merupakan salah satu menu yang paling banyak dipesan pelanggan.

Sahil menyerahkan Tuna Wangi itu kepada salah satu pelayan yang mengantar makanan ke meja pelanggan. Laki-laki itu melepas apron dan berjalan menuju ruangannya, di mana tertera tulisan Head Chef. Pirat mengikutinya.

"Jadi?" Pirat menelengkan kepala menatap Sahil.

Tanpa berkata, Sahil menyerahkan buku kecil catatannya kepada Pirat.

"Seruit Bumi Ruwa Jurai? Maksudnya Seruit dari Lampung? Ini menu baru yang kamu maksud, Sahil?"

Sahil mengangguk. "Kamu pernah makan Seruit di Lampung, kan?"

"Iya, tapi kenapa Seruit? Aku pikir ini menu biasa. Karena kamu minggu lalu habis dari Lampung dan kamu makan Seruit?"

"Itu salah satu alasannya. Seruit Bumi Ruwa Jurai punya filosofi kebersamaan dan kekeluargaan yang kuat. Ketika aku makan makanan yang satu ini, benar-benar lidahku rasanya kelu buat mendeskripsikan rasa. Aku bercerita dan bertanya banyak hal pada pemilik warung makan. Tempat makannya tidak terlalu terkenal luas di Lampung, tetapi melegenda di daerah sekitarnya. Aku diberi beberapa saran, ikan yang paling tepat menurut Bu Erin adalah gurame dan ikan baung. Terus, fermentasi durian itu penting. Aku juga diberi tahu beberapa bumbu yang beliau biasa tambahkan, itu katanya resep turun temurun dari nenek dan nenek buyutnya."

Pirat mengerutkan dahi, "Sahil, itu bukan resep kita berarti? Kamu mau menggunakan resep orang lain?"

"No! Aku tentu akan merombak sedikit."

Pirat mengangguk, "Oke, aku percayakan Seruit Bumi Ruwa Jurai sama kamu. Kapan kamu mau masak perdana? Aku sebagai orang pertama yang memakan tentunya."

"Besok malam."

"Oke, aku tunggu." Pirat melihat jam rose gold di tangannya. "Aku akan pulang. Aku titip resto."

Sahil tersenyum, mengangguk, "Hati-hati."

"Assalamu 'alaikum."

"Wa 'alaikumussalam."

Pulangnya Pirat ke rumah disambut dengan kekesalan Vadhala--adik perempuannya, anak terakhir di keluarganya. Vadhala Tri Ambalika, anak ketiga yang berusia 21 tahun, perempuan cerdas dan intelek, kini gadis itu sedang menempuh pendidikan di universitas mengambil jurusan hukum.

"Mbak, kok bisa tanahnya sudah dijual ke orang lain?!"

Pirat menarik Vadhala ke kamarnya, lalu menutup pintu. "Jangan keras-keras! Ayah bisa tambah drop dengar berita ini!" Vadhala menyugar rambutnya. Gadis itu memang belum berhijab. "Kama cerita soal ini ke kamu?"

"Enggak penting, Mbak, aku tahu dari mana, yang perlu dipertanyakan itu kenapa tanahnya dijual?"

Pirat mendudukkan dirinya di ranjang, dia mengembuskan napas berat. Gadis itu merasa beban berat di pundaknya terus menekan dia untuk semakin terjatuh. "Seseorang membelinya dengan harga mahal."

"Tapi Pak Broto menyalahi MoU yang ada, Mbak!"

Pirat menggeleng, "Tidak ada kontrak yang menyatakan tanah itu tidak boleh dijual, Vadhala. Kamu fokus saja sama kuliahmu. Biar ini jadi urusan Mbak Pirat."

"Tapi, Mbak, enggak bisa gitu, to? Aku enggak bisa diam--"

"Vadhala, cukup. Tolong nurut kali ini. Mbak tahu kamu khawatir sama kondisi Ayah. Tapi Mbak minta kamu untuk fokus kuliah saja, kamu jadi sarjana dulu, lanjut kuliah lagi, baru kamu boleh berbuat semau kamu. Tolong, ya? Kamu percaya, kan, kalau Mbak bisa atasi masalah ini?"

Vadhala mengembuskan napasnya pasrah. "Terserah Mbak Pirat."

Pirat menatap kepergian adiknya, "Maafin Mbak." Pirat tidak tahu dia bisa mengatasi masalah restoran atau tidak. "Ya Allah ...."

***

Gimana percakapan Syaron sama Pirat?

Tergugah buat kritis? 😂

Jangan lupa vote dan komen banyak-banyak gaes🤗


Instagram: @windiisnn_

Continue Reading

You'll Also Like

64.6K 3.4K 42
(Tamat) Mungkin ini adalah jalan dari takdir kehidupan dari Nya. Aku rela mengambil alih semua darimu, kan ku jaga dia selalu. Kan ku berikan seluruh...
2.3K 398 23
Di dalam ikatan pernikahan, ujian bisa datang dari mana saja. Entah dari pihak internal ataupun eksternal. Pernikahan Divya dan Rafka yang baru seumu...
144K 14.3K 23
Bukan karena sebuah alasan terlahir sebagai anak lelaki, namun lebih kepada bagaimana caranya bisa menghormati wanita dan memperlakukannya dengan beg...
2.3M 35K 48
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...