Update! August 04, 2022.
.
.
.
GIMME LOVE
***
Sinar mentari yang cerah di hari Kamis pagi ini tampak menyilaukan mata yang memandangnya. Namun, berbanding terbalik dengan raut wajah seorang gadis yang tampak murung tanpa semangat dan duduk merenung di bangku taman seorang diri.
Gadis itu adalah Alice yang tidak tahu harus pergi ke mana setelah pamit pergi bekerja ke neneknya, tetapi ia sendiri sudah diberhentikan oleh atasannya tempat ia bekerja.
"Aku harus kerja apa coba?" monolog gadis malang itu sembari menutup wajah dengan kedua tangannya.
Suara notifikasi dari ponselnya membuatnya menghela napas pelan dan tanpa melihat nama si penelepon yang terpampang di layar ia menempelkan ponsel di telinganya dan mulai berbicara.
"Ha-,"
"ALICE!!! Kamu beneran diberhentikan oleh pak Gleen dari kafe???"
Suara Chelsea dari seberang telepon terdengar memekakkan telinga.
Gadis itu menjauhkan ponsel dari telinganya yang berdenging.
"ALICE! AL! Dengar suaraku tidak?"
"Nggak usah teriak-teriak Chel, speaker ponselku masih bagus, kok," ujar Alice.
"Jadi kamu beneran nggak kerja sekarang?"
Chelsea bertanya tanpa ba bi bu.
Hening.
"Al deng-,"
"Chel, nggak usah teriak, aku masih dengar. Iya aku nggak kerja, dua minggu ke depan aku baru kerja lagi. Maaf aku nggak bilang-bilang," jawab Alice memotong teriakan Chelsea dari seberang telepon.
"Bisa-bisanya kamu nggak bilang sama aku dan Haru."
"Iya, maaf. Aku nggak tau gimana ngomongnya ke kalian berdua," ujar Alice.
"Terus sekarang kamu gimana?"
"Nggak usah terlalu dipikirin, Chel. Aku nggak apa-apa, kok," ujar Alice. Tentu saja gadis itu berbohong.
"Nggak usah bohong kamu, Al. Sekarang kamu di mana?"
Alice menghela napas pelan. "Cari angin. Udah dulu ya, Chel. Semua aman, kok. Semangat kerjanya, ya. Terima kasih udah nanyain aku. Bye."
"Al tunggu du...,"
Alice mematikan sambungan secara sepihak. Gadis itu mengacak rambutnya kasar.
"Maafin aku, Chel," ucap Alice hampir tidak terdengar. Ia melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Pukul 07.09 WIB.
Suasana taman pagi ini sangat sepi. Gadis itu beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah menuju motornya di area depan taman.
Aku harus cari kerja, batinnya.
.
.
.
***
Markas The Refour Band
"Barang-barang kalian udah lengkap semua? Jangan ada yang ketinggalan. Besok siang kita berangkat ke Jakarta." Roland menanyakan kesiapan peralatan kepada anggota band-nya yang kini sedang menatapnya datar.
Hening. Tak ada yang bersuara.
"Kalian bertiga kenapa, sih? Bisu berjamaah?" sungut Roland.
"Udah tau jawabannya, masih ada nanya. Aku udah siap dari hari kemarin. Tuh lihat koper-koper udah berderet ngalahin antri di pom bensin," sahut Gary.
"Ya mana aku tau kalau kalian udah siap. Lagian kan cuma nanya. Siapa tau ada barang yang lain," ujar Roland memutar bola matanya malas.
"Sensi amat kalian berdua. Lagi PMS?" tanya Morgan.
"Iya. Pengen Makan Situ," jawab Gary yang dihadiahi jitakan dahi oleh Morgan. Gary hanya meringis dan menggerutu tidak jelas.
"Semua barang kamu udah siap, Go?" tanya Roland ke arah Diego yang hanya duduk diam. Yang ditanya hanya mengangguk.
"Kamu ada masalah, Bro? Perasaan akhir-akhir ini diem terus. Nikah belum, punya anak apalagi, tapi keliatan beban banget hidupnya," celetuk Gary.
"Diego kan emang diem terus anaknya dari dulu," ujar Morgan.
"Iya, sih, tapi ini tingkat diemnya meningkat gitu," sanggah Gary.
"Go, ada masalah? Cerita aja sama kita," ujar Roland.
Diego menghela napas. "Nggak ada masalah, sih. Cuma ngerasa bersalah aja."
Morgan dan Gary merubah posisi duduknya dan menatap Diego dengan serius. "Sama siapa?"
Diego menatap kedua temannya yang tampak melongo menunggu jawaban. "Ck. Kepo kalian berdua."
"Nih anak pen tak hihih," kesal Gary, "siapa, Go? Jiwa kepoku meronta-ronta."
"Laura?" tebak Roland.
"Bukan," jawab Diego cepat.
"Bokap?" tebak Morgan.
"Nggak lah. Sama dia mah enggak pernah merasa bersalah," jawab Diego enteng.
"Terus, siapa? Nyokap?" tebak Morgan lagi yang dihadiahi jitakan dahi oleh Gary.
"Nyokap dia udah meninggal, bege," ujar Gary setengah berbisik pada Morgan.
"Eh ... i-iya maaf. Kelupaan. Maaf ya, Go." Morgan mengatupkan kedua tangannya sembari cengengesan.
Diego hanya berdeham pelan. "Aku ngerasa bersalah sama seorang gadis. Namanya Alice. Dan, aku malu ketemu dia untuk sekarang. Padahal aku mau minta maaf secara langsung. Tapi ... ya gitu. Kalian pasti paham, lah."
Morgan dan Gary kembali merubah posisi duduknya.
"Ceritakan kronologisnya, Go. Ger, ambilin biskuit Colcola yang ada gambar Mama Dedenya di kulkas," ujar Gary sembari mendorong Morgan.
"Enak aja si kerbau Amajon nyuruh-nyuruh. Lagian biskuit Kokola bukan Colcola, nggak usah ngerevisi nama produk," tolak Morgan dan kembali duduk.
"Kalian berdua bisa diem nggak, sih? Kalo nggak bisa, ya diem," ujar Roland yang mulai kesal dengan kehebohan Gary dan Morgan.
"Go, lanjut. Cerita aja gimana ceritanya. Jarang-jarang kamu ngerasa bersalah sama cewek," tambah Roland.
Diego hanya tersenyum tipis. Pria berkaos oblong putih dengan celana jeans hitam itu lalu mulai menceritakannya dari awal saat Alice menanyakan perihal kematian ibunya dan saat bertemu di Coffee Paste Cafe kemarin sore.
"Wah, parah sih, Go. Padahal dia kan udah minta maaf," ujar Gary.
"Ceweknya juga nggak minta maaf secara langsung, menurutku sih itu salah," balas Morgan.
Roland menghela napas. "Kalian berdua sama-sama bersalah, sih. Kamu nggak balas pesan permintaan maaf dia di Whatsapp, cuma di-read, otomatis si cewek ini bakal ngira kamu nggak maafin dia dan masih mikir-mikir kalau mau ketemu langsung buat minta maaf. Dan, salahnya si cewek, kalau beneran dia ngira ataupun enggak kamu masih marah, tetep aja dia nggak ada usaha untuk minta maaf secara langsung. "
"Sebentar-sebentar, dari cerita yang udah aku denger, ini lagi nyeritain si Alice cewek yang kerja sebagai Barista di kafe tempat biasa kita perform???" tanya Gary tak percaya.
"Lah, beneran, Go?" tanya Morgan juga tak percaya.
Diego hanya mengganguk.
"Sejak kapan kalian deket? Kok aku nggak tau?" tanya Gary lagi.
"Sejak ayam kampung hijrah jadi ayam negeri," jawab Morgan asal.
"Bisa stres lama-lama se-ruangan dan se-udara sama kalian berdua. Lanjut aja, Go," potong Roland menahan emosi.
"Aku udah minta tolong ke temen cowoknya buat nyampein permintaan maaf dariku," ujar Diego.
"Harusnya ketemu langsung aja, nggak usah pakai perantara segala," ujar Gary.
"Udah dibilang tadi, aku malu ketemu sama dia," ujar Diego.
"Kenapa malu?" tanya Morgan.
"Malu udah bersikap nggak dewasa," jawab Diego.
"Kamu nggak marah lagi sama si cewek, kan?" tanya Roland.
"Namanya Alice. Jangan si cewek. Kasihan otakku disuruh mikir," potong Gary. Namun, Roland tak peduli dengan otak Gary.
"Nggak. Namun, setiap kami bertemu, sikapku seakan masih marah sama dia. Padahal aku hanya nggak tau mau bersikap bagaimana setelah kejadian itu," tutur Diego.
"Go. Kamu bikin anak orang Overthinking aja sumpah," celetuk Gary.
"Ada baiknya kalau kamu yang nyamperin dia dan beresin kesalahpahaman kalian berdua," usul Roland.
Diego tampak menimbang-nimbang. "Sepertinya memang harus begitu. Thanks udah dengerin."
"Santai aja kali, Go. Semoga cepat kelar masalahnya," sahut Roland sembari menepuk pundak Diego. Gary dan Morgan ikut mengangguk setuju.
"Makan di kafe, yuk. Udah waktunya makan siang," ajak Roland. Ketiga temannya mengangguk tanda setuju. Mereka berempat lalu beranjak dari duduk dan melangkah pergi keluar markas.
"Gan, ini serius nanya," ujar Gary sembari tetap melangkah.
"Apaan?" tanya Morgan yang berjalan santai di sampingnya.
"Kalau ayam kampung aja hijrah, ayam geprek juga bakal hijrah nggak, ya?" tanya Gary serius.
Morgan menatap Gary datar dan memamerkan tinjunya. "Mau kena Ulti?"
.
.
.
***
Hi, i am back.
Baca terus kelanjutan ceritanya, ya.
THANK YOU!
Oh iya ni sedikit info biar ga bingung mwehehe : Ulti artinya dihajar habis-habisan atau dihabisi oleh musuh atau seseorang.
Dan, ini biskuit yang dimaksud Gary sama Morgan 😭✌️.
.
.
.
Tertanda,
Alita Jung, 14 Agustus 2022