The Things She Left Behind

By griffonner_

2.4K 400 14

Maya Carver, gadis berusia 17 tahun itu sudah cukup muak menghadapi sikap ibunya selama ini. Dan satunya-satu... More

Preface
• • •
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24

Chapter 8

51 12 7
By griffonner_

Di kejauhan, aku bisa melihat sebuah ford mustang berwarna merah dengan atap terbuka terparkir di pinggir jalan secara asal. Seseorang di sana menatap ke arah kami, kemudian berteriak. Mengatakan sesuatu yang tidak bisa kumengerti. Membuat ketiga orang lainnya ikut menoleh.

Aku melihat Nero di sampingku menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka teman-temanku di sekolah lama,” ucapnya.

“Kau masih sekolah?”

“Kenapa? Kau tidak mengira aku sudah 20 tahun, bukan?”

Tidak, aku tidak mengiranya. Aku hanya berpikir dia sudah lulus SMA, tidak kuliah, bekerja serabutan atau apa pun sebutannya. Mengingat dia jarang ada di rumah, dan aku tidak pernah melihatnya membawa tas atau sekadar buku di pagi hari seperti anak sekolah pada umumnya.

“Aku tidak pernah melihatmu pergi ke sekolah.”

“Liburan musim gugur. Memangnya di tempatmu dulu tidak ada, ya?”

Saat sekolah di New York, kami juga memiliki libur tambahan pada musim gugur, bukan hanya Thanksgiving. Tetapi aku tidak repot-repot memberitahunya. “Tidak.”

“Oh! Aku beruntung kami memiliki banyak hari libur di sini,” balasnya. “Tapi, sekolah dimulai lebih awal. Kupikir itu sepadan.”

“Kenapa kau pindah sekolah?”

Dia menyeringai tipis. “Kalau tidak, aku bisa mati.”

Aku mengernyit mendengar kalimat terakhirnya, tetapi dia keburu berpaling, tampak tidak berniat menjelaskan kata-katanya dan malah mempercepat langkah kakinya menuju ford merah itu. Ketika kami sudah berdiri di dekat mobil tersebut, Nero melepaskan genggamannya padaku, menyisakan ruang kosong dan keringat dingin di telapak tanganku. Dia melakukan high five dengan mereka sambil berbicara dalam bahasa Spanyol. Aku hanya menangkap beberapa kata yang bisa kumengerti berkat kelas bahasa Spanyol yang pernah kuikuti di sekolah bersama Señor Alejandro. Aku tidak pernah bergaul dengan anak-anak Latin, aku bahkan tidak terlalu ingat siapa teman-temanku dulu selain Kiara—karena mungkin dia yang paling terakhir menjadi temanku.

“Kau tidak bilang kalau kau akan membawa pacarmu,” kata satu-satunya perempuan di sana. Rambut pirang dengan kulit kecokelatan yang kuyakini membutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkannya. Aku juga tidak mendengar aksennya seperti yang lain, dan dia duduk di atas pangkuan cowok Latin di samping kemudi. Melambai padaku saat pandangan kami berpapasan.

“Bukan pacarku,” balas Nero. Melirikku sekilas. “Ini Maya. Kami tinggal bersama, dia cucunya Karime.” Nero mengenalkanku pada teman-temannya. Semenit kemudian, aku tahu nama-nama mereka; Hugo, Rodas, Logan, Ivy.

Logan, cowok pendek dengan alis kelewat tebal dan kulit lebih gelap, menyuruh kami segera naik ke mobil. Aku mengamati kendaraan tersebut dengan sangsi. Ford ini hanya memiliki 4 kursi, sedangkan jumlah kami 6 orang. Aku tidak mau duduk di pangkuan Nero atau Rodas—cowok yang berteriak pada Nero tadi—seperti Ivy yang duduk di pangkuan Hugo. Tapi kemudian, aku melihat Rodas berdiri dan duduk di atas mobil.

Saat melihat Nero melompat ke dalam kendaraan tersebut, sekonyong-konyong aku merasa apa yang kulakukan salah. Seharusnya, aku tetap berada di kamarku, dengan buku Emily Dickinson yang tidak pernah kubaca, bukannya bersama sekumpulan remaja yang tidak kukenal di tempat yang sama asingnya bagiku. Sementara aku sedang memikirkan alasan untuk melarikan diri, Nero menarikku tanpa aba-aba sehingga aku jatuh dengan tidak anggun di sampingnya.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan,” katanya sambil menutup pintu di sebelahku.

“Seperti dia akan kabur saja,” celetuk Hugo di depan.

“Kalian memiliki tampang pandillero, jangan lupakan itu,” balas Nero.

“Dan kaulah pandillero itu!” seru Ivy.

“Tidak ada yang tertinggal?” tanya Logan. Cowok itu memutar kepalanya ke belakang, menatap kami satu persatu sebelum menyalakan mesin dan melajukannya dengan kemampuan menyetir yang buruk.

Tak lama setelah kami berangkat, Rodas mencondongkan wajahnya ke arahku, “Morrita, somos muy similares?”

Aku mengerutkan keningku, tak yakin dengan apa yang dia katakan. Aku melirik Nero, meminta bantuannya, tetapi dia hanya tertawa sebelum berbicara pada cowok itu, “Eres un pendejo. No habla español.”

Tu abuela es de Mexico, verdad?”

Es Karime, no ella.”

Aku hanya memperhatikan keduanya. Untuk yang satu ini, aku mengerti pembicaraan mereka. Namun, aku memutuskan tetap diam. Lagi pula, aku tidak punya alasan untuk membuka mulutku. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan. Dulu, aku takkan terlalu banyak berpikir setiap kali berbicara, tetapi setelah semua kejadian itu, aku mengerti bahwa ungkapan ‘diam adalah emas’ merupakan satu-satunya hal yang harus kutiru.

Rodas kembali mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa senti di sampingku sampai-sampai rambutnya yang keriting dan agak panjang menggelitik pipiku. “Kau mau jadi pacarku?” tanyanya dalam bahasa Inggris.

Sebelum aku memutuskan akan menjawabnya atau tidak, Nero mendorong kepala temannya itu ke belakang. Dalam hati, aku berterima kasih padanya karena telah membantuku terbebas dari ikal-ikalnya.

Qué te pasa, Cabrón?”

“Hanya jauhkan wajahmu darinya!”

“Apa? Dia ‘kan bukan pacarmu.”

“Belum,” ucap Nero. Dia mengedipkan sebelah matanya padaku. “Ya, kan?”

Aku tidak mengatakan apa pun, tiba-tiba merasa bersalah pada Jullian karena aku belum memutuskan hubungan kami. Aku tahu dia meneleponku berkali-kali, meninggalkan pesan suara di ponselku, dan mengunjungiku sehari setelah aku keluar dari kantor polisi. Tetapi, aku tidak menemuinya, mengangkat telepon darinya, atau sekadar mendengar pesan yang dia tinggalkan. Aku langsung menghapus semuanya—termasuk dari Kiara dan guru-guru di sekolah—dan tidak pernah mengaktifkan ponselku lagi sampai sekarang.

“Kau takkan mau jadi pacarnya,” kata Ivy, membuyarkan lamunanku. Cewek itu menatapku serius. “Dia itu berengsek.”

Awalnya, aku tidak tahu siapa yang dia bicarakan, tapi kemudian Nero membalas ucapannya. “Itu karena aku pernah menolakmu.” Nero lantas berbicara padaku, “Ivy menembakku ketika kami kelas 9. Dia sangat menyukaiku.”

“Tolong, ya, jaga mulutmu! Waktu itu aku masih bodoh.”

“Bilang saja cemburu.”

“Jangan harap! Hugo sangat-jauh lebih baik darimu.”

“Jangan membandingkanku dengannya, Bebe,” kata Hugo. “Kau membuat nilaiku turun.”

Nero menendang bagian belakang kursi yang diduduki Hugo.

“Hanya untuk membuatnya mengerti,” balas Ivy. “Kau satu-satunya lelaki di hidupku.” Kemudian, dia mencium cowok itu.

Rodas mendecih. “Hey, Mamacita! Kau harus belajar untuk berhenti menggunakan kata-kata itu. Dia tidak layak. Percayalah padaku, te quiero.”

Hugo mengacungkan jari tengahnya sambil masih mencium kekasihnya, sementara Ivy tampak tidak menghiraukannya.

“Cari tempat lain untuk bercumbu!” seru Logan. Tetapi meskipun begitu, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku berasumsi pasangan itu sudah sering bermesraan di depan mereka.

Me vale verga!” sahut Hugo.

Aku mengalihkan pandanganku dari sepasang kekasih itu, memperhatikan jalanan yang kami lewati. Pohon-pohon palem berjajar di kiri dan kanan, mengingatkanku pada California, tempat kelahiranku. Aku dan Mom tinggal di sana selama bertahun-tahun sebelum ayahku ditangkap dan membuat keputusan untuk kami pindah ke New York. Namun, setelah beberapa tahun dia keluar dari penjara, lagi-lagi, dia ditangkap. Dan kali ini, ibuku yang memutuskan, bahkan tanpa sepengetahuan ayahku. Kami kemudian pindah ke Connecticut.

Sampai malam itu terjadi, aku tidak pernah menyadari bahwa ada begitu banyak hal yang telah kulewatkan. Detail-detail rumit yang bersembunyi di balik pembuluh darah kami. Mendadak, aku merasa mual, memikirkan semua itu. Perutku seperti digerus traktor hingga nyaris tidak bisa menahan diri untuk memuntahkan makan malamku. Namun, sebelum itu terjadi, aku merasakan tangan Nero di tanganku, menggenggamku erat seolah aku akan jatuh dari ketinggian seratus kaki. Aku berpaling ke arahnya, menemukan kekhawatiran yang tidak pernah kutemukan dalam ekspresinya.

“Kau akan baik-baik saja,” katanya pelan. “Aku janji.”

Aku tidak tahu apakah dia bermaksud memberitahuku tentang ‘kegilaan’ yang tadi dia sebutkan, atau dia tahu bahwa aku sedang mencemaskan hal lain, tapi yang pasti, kalimatnya itu seperti mengandung mantra, membuatku sedikit tenang. Setidaknya, untuk saat ini. Aku tahu aku bisa menghadapinya. Aku menautkan jari-jari tanganku padanya, seakan hanya itulah yang bisa kulakukan untuk mengusir setiap keping kenangan itu. Kenangan yang kupikir takkan pernah mengusikku setelah aku memutuskan untuk tidak merasakan apa pun lagi, apa pun, termasuk ketakutan-ketakutan abstrak di dalamnya.

“Terima kasih,” bisikku pada cowok itu.

Dia lantas mengusap lenganku pelan dengan tangan yang satunya sambil tersenyum lembut, mengantarkan perasaan asing di dalam dadaku.

Continue Reading

You'll Also Like

415K 5.1K 22
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
5.1M 379K 53
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
900K 88.6K 49
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
786K 28.7K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...