The Things She Left Behind

By griffonner_

2.3K 400 14

Maya Carver, gadis berusia 17 tahun itu sudah cukup muak menghadapi sikap ibunya selama ini. Dan satunya-satu... More

Preface
• • •
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24

Chapter 5

84 16 0
By griffonner_

Kotak itu berisi peralatan mandi baru, sepasang sandal jepit baru, dan kaus baru yang agak kebesaran di tubuhku. Aku tidak tahu kapan Karime membeli semua ini, tapi aku berasumsi dia membelinya setelah kami tiba di Arizona karena menyadari tidak banyak barang yang kubawa, dan karena dia sudah mengira beberapa potong pakaian yang kukemas di dalam tas itu tidak akan berguna di sini.

Aku menghargai usahanya, serta bagaimana dirinya membiarkanku menggunakan kamar ini alih-alih kamar lainnya. Aku juga menghormati sikapnya yang memberiku kebebasan penuh untuk memilih barang-barang milik ibuku dulu. Sebagian sudah kumasukan ke dalam kotak, sebagian yang membuatku penasaran masih kusimpan dan kurapikan. Buku-buku itu salah satunya, karena aku melihat tulisan-tulisan tangannya tersimpan di beberapa halaman. Aku ingin membaca apa yang dia tulis di sana dua dekade lalu.

Setelah selesai membereskan semuanya, aku membawa kotak itu keluar. Ketika melihat pintu kamar sebelah yang tampak tertutup rapat, aku teringat kembali cowok berambut pink tadi. Nero Wilder. Nama macam apa itu? Aku jadi bertanya-tanya, apa nama kakekku Wilder? Karena sepertinya aku tahu dari mana Ximena berasal.

Aku hampir mengetuk pintu kamarnya lantaran tidak punya ide di mana harus menyimpan benda ini ketika melihat Karime di ruang tamu, berjalan menelusuri lorong dan berbelok menuju dapur dengan kantong belanjaan di sebelah tangannya. Aku mengikutnya, melihatnya menyimpan belanjaan tersebut di atas konter. Dia berbalik, tampak terkesiap saat menemukanku sudah berdiri di hadapannya.

"Kau mengejutkanku," katanya. Pandangannya berlari ke arah kotak yang sedang kupegang.

Aku mendekatinya. "Aku sudah selesai dengan ini."

Dia segera mengambil alih kotak tersebut dari tanganku. "Kau yakin?"

Awalnya, aku tidak mengerti maksudnya, tetapi kemudian aku melihatnya menatap kotak itu terlalu lama.

"Aku tidak membuang semuanya," tambahku. "Tapi, kalau kau mau menyimpan—"

"Tidak, tidak! Aku tidak menginginkannya," ungkapnya tergesa-gesa, memotong kalimatku seolah menghindari kata-kata selanjutnya yang akan kuucapkan. "Dengar, aku tidak membutuhkan semua ini. Jadi, kalau kau memang sudah selesai, aku akan segera membuangnya."

Aku tidak mengenal Karime dengan baik. Namun, jika yang dikatakan Nero benar, bahwa Karime selalu mengunci kamar ibuku, seharusnya dia cukup sentimental untuk tidak mengatakan kalimat tersebut.

"Apa kau menyayanginya?" Begitu saja pertanyaan itu meluncur keluar dari bibirku.

Aku tidak bermaksud mengatakannya, toh, itu bukan urusanku. Aku hanya penasaran tentang dirinya. Aku tidak suka terus menerus bertanya-tanya siapa dirinya tanpa mendapatkan hasil. Dan apa yang kulakukan sekarang sama sekali tidak penting. Aku tidak peduli orang lain menyayanginya atau tidak, atau apakah dia bisa menyayangi orang lain—apakah dia menyayangiku? Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu.

Dad bilang, dia menyayangiku, dan karena itulah sekarang aku membencinya. Jadi, kenapa aku harus menanyakan bumerang itu kepada Karime?

Aku baru akan mencegahnya mengatakan hal-hal yang tidak ingin kudengar, tetapi yang dia katakan hanyalah, "Makan malam akan siap satu jam lagi. Jadi, sebaiknya, kau mandi terlebih dahulu." Kemudian berbalik, berjalan memunggungiku, dan menghilang di balik pintu belakang.

Aku tidak tahu apakah harus lega atau tidak, tetapi yang jelas, sikapnya itu membuatku bingung. Sama seperti ketika kali pertama aku melihatnya muncul di kamar ibuku.

***

Cowok berambut merah muda itu sudah ada di sana ketika aku masuk ke ruang makan, duduk membelakangiku sambil mengobrol dengan Karime yang tampak tengah menata makanan-makanan di atas meja. Untuk sesaat, aku hanya berdiri mengamati keduanya, merasakan momen-momen kecil yang sempat kulupakan hadir tanpa peduli konsekuensi. Aku membawa makanan-makanan yang dimasak oleh Mom sementara dia menatanya di atas meja makan. Lalu dia akan menyuruhku memanggil Dad yang tengah menonton siaran ulang acara televisi favoritnya. Rasanya, itu sudah terjadi lama sekali hingga membayangkannya saja seperti mimpi.

"Maya, kemarilah!" seru Karime membuyarkan lamunanku.

Cowok itu memutar kepalanya dan menatap ke arahku. Dia tersenyum, membuatku kembali memperhatikan lesung pipinya. "Hai!" sapanya saat aku menarik salah satu kursi untuk bergabung bersama mereka.

Aku tidak membalas sapaannya, tetapi bisa kurasakan bibirku sedikit berkedut, dan dia pasti menyadari pergerakan halus itu sebab senyumnya berubah menjadi seringai.

Kusangka, aku akan menemukan beberapa orang lagi di sini—paman atau bibiku, orang tua Nero atau semacamnya, jadi, aku bertanya, "Di mana yang lain?"

"Siapa?" tanya cowok itu seraya mengernyit.

"Orang-orang di rumah ini." Aku menjelaskan.

"Kami hanya tinggal berdua, dan sekarang bertiga. Denganmu."

Karime kembali dengan semangkuk besar salad, menyimpannya di antara makanan-makanan yang lain. "Kau sudah berkenalan dengan Nero?" tanyanya padaku, duduk di sampingku.

Sebelum aku sempat menjawab apa pun, cowok itu berkata, "Kurasa dia takut padaku."

Aku melotot ke arahnya sementara dia nyengir. Karime mengambil burrito yang menguarkan aroma lezat dan menyimpannya di piringku. Seolah tidak mendengar ucapan cowok itu, dia berkata, "Nero sudah tinggal bersamaku sejak dia kecil. Kuharap kalian bisa berteman."

"Aku, sih, tidak mau."

"Apa maksudmu?" tanya Karime.

Aku menatapnya yang tengah menyuapkan burrito ke mulutnya. Kalau aku tidak pernah bertemu dengan Karime sebelum ini, aku mungkin akan terkejut dia tidak menegur cowok itu. Dulu, saat makan bersama di rumah Granny, Granny bakalan menegurku kalau aku langsung makan tanpa memulai doa. Biasanya, ayahku yang akan memimpin doa, dan itu seperti ritual resmi yang harus kami lakukan. Tetapi, tidak di sini. Tidak, karena Karime bukan Granny. Aku bahkan melihatnya menggigit roti goreng yang terdengar begitu renyah itu tanpa berusaha memuji makanan, atau berkah, atau mukjizat apa pun yang turun di atas meja makan terlebih dahulu.

"Dia lebih cocok kalau kujadikan pacar."

Karime mendengus dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan berusaha menggodanya." Dia lantas menoleh padaku. "Makanlah! Tidak enak kalau dingin."

"Ya, setidaknya, Karime benar tentang itu. Kau akan melewatkan daging lelehan keju paling nikmat di mulutmu."

"Anak itu berlebihan."

Tapi, ketika aku memasukkan burrito itu ke mulutku, aku tahu dia tidak berlebihan. Ini adalah daging dengan lelehan keju paling nikmat yang pernah kumakan sampai-sampai aku tidak bisa berhenti memakannya. Dan itu bukan sekadar hiperbola, atau karena aku belum makan apa-apa sejak turun dari pesawat.

"Chimichanga," kata cowok itu. "Aku bersedia menukar apa pun dengan chimichanga buatan Karime."

"Berhenti bicara!" seru Karime. Kemudian padaku, dia berkata, "Kau coba ini." Dia menyodorkan roti goreng yang tadi dimakannya.

Begitu aku mencobanya, rasanya seperti dibawa ke surga makanan sehingga aku tidak bisa untuk tidak mencoba yang lainnya. Kacang refried-nya bahkan terasa kaya akan rempah. Sekarang, sepertinya aku tahu dari mana keahlian memasak Mom, dan itu mengingatkanku betapa aku merindukan makan masakan rumahan seperti ini dengan kehangatan yang nyaris tanpa jeda mengikutinya.

Setelah selesai makan malam, Karime menyuruh kami mengumpulkan piring-piring kotor di wastafel. Ketika dia hendak mencucinya, tiba-tiba aku merasakan kewajiban untuk menawarkan diri.

Karime tampak tidak keberatan. Namun begitu, dia tetap membantu membilasnya. Dia mengambil sebuah piring yang penuh sabun lagi sebelum aku mendengar Nero berkata, "Biar aku saja!" Dia mengambil sebuah piring yang kutumpuk. "Kau... istirahatlah."

"Oh, niños! Gracias," serunya menatap kami berdua secara bergantian. Dia lantas mengeringkan tangannya sebelum keluar meninggalkan dapur.

Seperginya, kami kembali berkutat pada tugas kami. Aku mencuci. Nero membilas. Lalu kami sama-sama mengeringkannya dengan lap bersih. Menyimpannya di kabinet. Rasanya begitu janggal melakukan kegiatan normal seperti ini di tempat yang belum pernah kau datangi tapi terasa begitu familier bersama seseorang yang hampir tidak kau kenal. Aku melirik Nero di sampingku, yang ternyata juga sedang melihat ke arahku.

"Aku senang kau di sini," katanya. Dia lantas meraih piring terakhir, menyusunnya di antara yang lain sehingga keberadaan mereka menjadi sempurna. Menutup kabinet sebelum kembali menaruh perhatiannya padaku. "Kau mau ke kamarku?"

"Apa?" tanyaku spontan. Terkejut.

Namun, dia hanya tertawa. "Bukan apa-apa. Aku hanya sedang menggodamu. Kau terlihat begitu tegang."

Pipiku memanas. Aku menyadarinya, tetapi tidak yakin orang lain bisa melihatnya. Aku segera mengalihkan pandanganku darinya, dan karena tidak ada lagi yang harus kukerjakan di sini, aku berbalik. Melangkah keluar dari dapur. Sedetik kemudian, aku bisa mendengarnya berjalan lambat di belakangku.

"Maya," panggilnya saat kami sudah berdiri di depan pintu masing-masing. "Selamat malam." Tersenyum.

"Selamat malam," balasku pelan sampai-sampai aku tidak yakin dia bisa mendengarnya. Tanpa menoleh ke arahnya lagi, aku masuk ke kamarku, menempelkan telingaku di daun pintu dan menunggu.

Tapi, tidak ada yang terjadi. Aku tidak mendengar pintu kamarnya dibuka, bahkan setelah beberapa menit. Aku juga tidak mendengar suaranya. Jadi, aku memutuskan untuk menjauh dari pintu. Duduk di kursi belajar dan tidak melakukan apa-apa selain bernapas dan berkedip selama sisa malam itu.

Continue Reading

You'll Also Like

761K 77.8K 45
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
5.5M 371K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.6M 222K 67
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
361K 4.2K 19
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+