The Things She Left Behind

By griffonner_

2.4K 400 14

Maya Carver, gadis berusia 17 tahun itu sudah cukup muak menghadapi sikap ibunya selama ini. Dan satunya-satu... More

Preface
• • •
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24

Chapter 4

87 16 0
By griffonner_

Aku terbangun ketika mendengar bunyi gedebuk yang cukup keras di sebelah kamarku, diikuti dengan langkah-langkah kaki yang membuatku langsung siaga. Untuk beberapa saat, aku bergeming sambil mengamati seisi ruangan; kasur berukuran single cokelat bermotif bunga-bunga norak, lemari pakaian yang ditempeli campuran sticker warna-warni, rak buku kecil berisi buku-buku terbalik yang disusun tak beraturan dan dipenuhi debu, meja belajar dengan jam beker mati serta sebuah pigura di atasnya.

Aku beringsut dari tempat tidur, melangkah ke arah meja belajar untuk melihat lebih dekat. Foto itu menampilkan seorang gadis remaja berambut hitam keriting. Ada binar terang di kedua matanya yang cokelat dan senyum malu-malu yang dia tunjukan ke arah kamera, yang membuatnya tampak begitu lugu. Butuh waktu bermenit-menit sampai aku mengenal gadis di dalam foto ini.

Saat tiba di sini tadi sore, aku belum sempat memperhatikan sekitarku sehingga tidak tahu siapa pemilik kamar ini sebelumnya. Sekarang, setelah mengetahuinya, aku tidak bisa berhenti penasaran tentang dirinya, tentang siapa dia sebenarnya, dan tentang hal-hal yang dia tinggalkan di masa lalunya.

Aku menyimpan kembali pigura tersebut ke tempat semula, kemudian berjalan menuju lemari pakaian dan membukanya, melihat ada begitu banyak foto berukuran kecil ditempel di bagian dalam pintu lemari; dia bersama Karime, dia bersama gadis-gadis lain, dia bersama seorang anak laki-laki seusianya. Tetapi kebanyakan, fotonya sendiri tengah melakukan sesuatu; tertawa, membaca buku, cemberut, berjalan, seolah dirinya tidak menyadari seseorang mengambil gambarnya. Aku tidak tahu apakah dia sengaja melakukannya, tetapi foto-foto itu terlihat begitu natural.

Aku memusatkan perhatianku pada salah satu fotonya yang sedang tertawa lebar, menertawakan apa pun yang diucapkan gadis di hadapannya. Ada sesuatu yang tampak familier mengenai dirinya di sana, tapi aku tidak bisa menemukan apa itu ketika suara-suara di sebelah kamarku lagi-lagi terdengar, mengambil alih perhatianku sepenuhnya. Aku memutuskan untuk mencaritahu sumber dari keributan tersebut terlebih dahulu. Namun, sebelum aku berhasil menyelidikinya, seorang cowok berambut pink sudah menyambutku di depan pintu kamarku. Dia berdiri kaku—sama sepertiku—dengan kedua tangan memegang sebuah kotak berisi entah apa di dalamnya.

"Que bonita!" katanya tiba-tiba sementara aku menatapnya tak mengerti. "Ah, hai! Eres Maya? Soy Nero, Nero Wilder," sambungnya sambil mengulurkan sebelah tangannya di bawah kotak tersebut.

Bukannya memperhatikan kata-katanya, aku malah mengamati dirinya. Rambut merah mudanya terlihat kasar dan mencuat ke segala arah, dan aku bisa melihat akar-akar rambutnya yang hitam tumbuh di bawahnya. Matanya bewarna hazel terang dengan bintik-bintik keabuan. Dia memakai anting-anting di kedua telinga serta hidungnya, dan ada tato bertuliskan Wilder di lehernya. Untuk sesaat, aku mengernyit, sementara dia langsung menarik kembali uluran tangannya seolah menyadari sesuatu. "Maaf! Kukira kau gadis Meksiko atau semacamnya."

Masih dalam keadaan bingung, aku tetap membisu. Gadis Meksiko. Atau semacamnya. Kenapa dia berpikir seperti itu? Aku bahkan belum mengatakan satu patah kata pun di hadapannya, dan sebelum aku berhasil melakukannya, dia melangkah maju, membuatku otomatis mundur. Dia masuk begitu saja ke dalam kamarku, menaruh kotak tersebut di dekat rak buku.

Aku memperhatikan gerak-geriknya sampai dia berdiri di hadapanku, memandang sekeliling kamar, sementara aku merapatkan punggungku pada tembok, menciptakan jarak sejauh mungkin dengannya.

"Kukira kau sedang beres-beres," katanya. Matanya kini terarah pada tas milikku yang tegelak di lantai dengan ritsleting setengah terbuka. "Jadi, apa yang sedang kau lakukan? Apa aku mengganggumu? Kau kelihatan seperti baru bangun tidur."

Aku buru-buru menggosok mataku, tetapi kemudian mendengarnya tertawa. "Yang benar saja! Maksudku, bukan seperti itu."

Dia masih tertawa, dan itu membuatku kesal. Sebenarnya, itu gerakan refleks karena aku tidak tahu kenapa aku perlu menghilangkan wajah bantalku di hadapan cowok aneh yang bahkan tidak kukenal.

"Oh, sungguh!" serunya tiba-tiba. "Kau ternyata tidak bisa bicara."

"Apa?"

"Berhasil!" Dia tersenyum lebar, menampilkan giginya yang rapi dan lesung pipinya yang manis. Aku tidak tahu dari mana datangnya pemikiran itu, tetapi cowok ini tidak kelihatan buruk dengan gayanya yang aneh.

Sial! Apaan-apaan itu? Seharusnya aku tidak berpikir dia imut. Kalau Kiara tahu, dia mungkin akan meledekku habis-habisan. Tapi, Kiara tidak tahu, dan cowok ini—dengan cepat, aku berusaha mengusir semua pikiran absurd itu jauh-jauh. Aku tidak sedang memilih cowok untuk kukencani, dan jikapun ya, cowok ini jelas bukan tipeku.

Aku berencana menyuruhnya keluar, tetapi kemudian dia mendekat dan mengulurkan sebelah tangannya lagi, kali ini dengan gerakan optimal. "Aku Nero, dan kau pasti Maya. Senang bertemu denganmu."

Alih-alih menerimanya, aku malah menatap tangannya yang juga memiliki tato. Namun, bukan berupa tulisan seperti di lehernya, melainkan garis melengkung berbentuk geometris dan duri yang melingkari pergelangannya.

"Kau ini OCD, ya?" Pertanyaan itu membuatku spontan mengalihkan perhatianku dari tatonya ke wajahnya.

"Tidak," kataku.

"Lalu, kau hanya tidak ingin berkenalan denganku?"

"Siapa kau?"

Dia mendesah, menarik kembali tangannya dan bersandar di meja belajar. "Seperti yang kubilang tadi, aku Nero. Nero Wilder. Tapi kau bisa memanggilku Nero, atau Bebe—sepertinya itu lebih cocok jika kau yang menggunakannya," lanjutnya menyeringai.

Aku mendengus sembari melipat kedua tanganku di dada. "Maksudku, apa yang kau lakukan di sini?"

"Oh, benar. Karime memintaku membawanya padamu," tunjuknya pada kotak tadi. "Dan, dia bilang, setelah kau mengeluarkan isinya, kau bisa menggunakan kotak itu untuk menyimpan barang-barang yang tidak kau perlukan di kamar ini."

"Di mana Karime?"

"Baru saja keluar. Dia akan kembali saat makan malam nanti."

Aku melirik jam tanganku. Jarumnya menunjuk ke angka 5, itu artinya aku hanya tertidur selama satu jam kurang, tetapi rasanya seperti sudah berjam-jam lalu sejak mimpi buruk itu mengikutiku kemari.

"Jadi," katanya, membuyarkan lamunanku. "Apa kau butuh bantuan?"

"Bantuan?"

Dia mengangguk. "Membereskan semua ini. Sejujurnya, ini kelihatan lebih buruk dari kamarku yang tidak pernah kubereskan. Kau tahu, Karime selalu mengunci pintunya sampai tadi malam, dan aku sangsi memikirkan dia beberes. Karime selalu meminta Lydia melakukannya, terkecuali yang satu ini."

Aku setuju dengan ucapannya tentang kamar ini kelihatan buruk, melihat banyaknya debu yang menutupi setiap perabotan, bahkan seprainya terasa kasar dan gatal saat menyentuh kulitku, tapi itu juga mungkin karena keringat yang menempel di tubuhku, mengingat sejak tiba di sini, aku belum sempat membersihkan diri.

Pandanganku lalu terarah pada pigura di atas meja belajar, yang kini dibelakangi cowok itu. Kurasa, aku tahu mengapa Karime selalu mengunci pintunya.

"Tidak," jawabku mantap.

Matanya yang terang menatapku selama beberapa detik. Aku balas menatapnya, dan dia langsung tersenyum, menampilkan lesung pipinya lagi. Aku berani bertaruh kalau dia memiliki semacam magnet yang membuat orang lain ingin membalas senyumnya, dan aku berusaha keras agar tidak melakukannya. Aku tidak ingin dia mengira bahwa aku akan menjadi bagian dari tempat ini—atau dari kehidupan mereka. Sejujurnya, aku tidak mau menjadi bagian dari apa pun dan siapa pun. Dan aku tidak suka dia berpikir bahwa dirinya bisa memengaruhiku.

"Sepertinya tidak banyak yang harus kau kerjakan dengan barang-barangmu," katanya seraya melirik tas milikku lagi. "Kalau begitu, sampai nanti!"

Dia berjalan ke arah pintu, keluar dari kamarku.

Aku masih memperhatikannya ketika cowok itu tiba-tiba berbalik. "Tapi, jika kau butuh sesuatu, aku ada di kamarku. Dan, well... kamar kita berdampingan."

Oh ... apa itu artinya dia tinggal di sini? Berapa orang lagi yang tinggal di rumah ini? Apa cowok ini semacam sepupu yang tidak kuketahui? Dia tampaknya seumuran denganku, mungkin dia anak dari tukang kayu di ruangan yang sempat kulihat. Itu bisa jadi pamanku, saudara laki-laki yang tidak pernah diceritakan ibuku dulu, atau suaminya bibiku.

"Kau baik-baik saja?" Cowok itu masih berdiri di sana, menatapku dengan beberapa kernyitan di dahi.

"Ya," balasku spontan. Kemudian aku mengingat sesuatu. "Tunggu, apa kau yang berisik tadi?"

"Ups!" celetuknya. "Aku tidak bermaksud menganggumu, kalau itu yang berusaha kau sampaikan, hanya saja ada sedikit kekacauan ketika aku mencari sesuatu. Tapi kau tenang saja, aku sudah selesai, kok."

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi, aku juga tidak ingin dia berdiri di sana terlalu lama, jadi aku hanya menyahut, "Oke."

"Yeah ... oke." Dan begitu saja pembicaraan ini berakhir, karena selanjutnya, aku melihatnya berbalik, kembali melangkah ke luar kamarku.

Beberapa detik setelahnya, aku mendengar pintu kamar sebelah ditutup dengan hati-hati.

Continue Reading

You'll Also Like

314K 548 28
Putri harus melanjutkan kuliahnya di kota, dia memutuskan untuk pergi ke rumah sepupunya. awalnya berjalan baik hingga saat setelah Putri menitipkan...
1M 52.4K 69
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
5.1M 379K 53
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
271K 9.1K 23
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...