The Things She Left Behind

By griffonner_

2.4K 400 14

Maya Carver, gadis berusia 17 tahun itu sudah cukup muak menghadapi sikap ibunya selama ini. Dan satunya-satu... More

Preface
• • •
Chapter 1
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24

Chapter 2

157 18 0
By griffonner_

Setelah kejadian semalam, aku nyaris tidak memercayai apa yang kulihat sekarang. Dia sedang duduk di atas ranjang tempat tidurnya sambil memandang lurus ke arah jendela yang menampilkan pohon besar tua serta semak belukar di belakang rumah kami ketika aku membuka pintu kamarnya. Untuk beberapa saat, aku bergeming, berusaha menghilangkan halusinasiku tentangnya. Tetapi kemudian, dia memutar kepalanya ke arahku, menatapku, dan aku sama sekali tidak mengenalnya.

Wajahnya jelas jauh lebih tua dari ibuku, dan ketika kuperhatikan secara saksama, aku mulai menyadari rambutnya yang bewarna keperakan—bukan hitam seperti milikku atau Mom—karena dimakan usia.

"Siapa kau?"

Dia tidak menjawab dan malah menatapku seolah aku alien. Pandanganku tertuju ke arah tangannya yang memegang pigura orang tuaku dan aku ketika aku masih kecil, pigura yang kupikir sudah menghilang sejak selamanya. Aku menatap wanita tua itu, dan tiba-tiba merasa jengkel. Entah siapa pun dirinya, tidak seharusnya dia berada di sini, di kamar ibuku, duduk di atas ranjangnya sambil memegang benda milik kami.

Aku berjalan ke arahnya, merebut foto itu di tangannya yang keriput. Ketika aku hendak mengusirnya karena berpikir dia seorang pencuri yang menerobos rumah orang seenaknya, dia berkata, "Maya."

Aku menyipitkan mataku skeptis. "Siapa kau?" tanyaku lagi, tak yakin jika aku mengenalnya.

"Oh, kau!" gumamnya. Dia beringsut, mendekat ke arahku dan memelukku, jenis pelukan canggung yang tak pernah kau harapkan dari siapa pun dan ingin segera kau akhiri. "Kukira kau tidak ada di rumah," lanjutnya setelah melepaskan rangkulannya.

Aku tidak mengerti dengan ucapannya barusan, memangnya dia mengira aku akan berada di mana? Seolah bisa membaca pikiranku, dia menambahkan, "Aku berpikir kau masih di kantor polisi. Tadinya aku akan menjemputmu setelah mampir ke sini sebentar. Lalu mungkin kau ingin mengemas beberapa barang milikmu sebelum kita pergi."

"Pergi?"

"Ya," katanya. Dia berjalan melewatiku, membuka lemari pakaian ibuku dan menempelkan telapak tangannya di antara kain-kain tersebut.

Karena merasa terganggu, aku berujar, "Jangan menyentuh barang-barang miliknya!"

Seakan tidak mendengar perintahku, dia menarik gaun pesta bewarna hitam dan menatapnya lekat-lekat. "Ini indah," katanya tanpa melihat ke arahku.

Aku mendengus. "Dia akan mengenakannya untuk menggoda pria-pria idiot itu."

Wanita tua itu langsung berpaling sepenuhnya. Ekspresinya terlihat datar, tidak terbaca, sehingga aku tidak yakin apa yang tengah dipikirkannya tentangku, atau tentang ibuku. Apa dia memang mengenal kami?

Aku berjengit saat pandanganku tak sengaja menemukan pantulan diriku di matanya yang bewarna cokelat terang, sekonyong-konyong menyadari kesamaan di antara dirinya dengan ibuku, terutama sorot matanya yang seolah menyimpan begitu banyak rahasia kehidupan. Alis yang melengkung tajam dan sikap yang tidak mudah ditebak. Bulu kudukku langsung menegak, merasakan hawa dingin dari kegilaan ini merasuki pori-pori kulitku.

"Apa kau—" Aku tidak berhasil menyelesaikan kalimatku ketika kuingat kembali obrolanku dengan Mom sewaktu kami akan menghadiri pemakaman Granny.

"Kau punya keluarga?"

"Ya, tentu saja! Kaupikir siapa dirimu? Kau 'kan keluargaku."

"Maksudku, seperti Granny."

Karena aku yakin dia tidak akan menjawabnya, jadi aku melanjutkan. "Kau tak pernah membicarakn apa pun tentang itu."

"Tidak ada yang perlu kubicaran soal itu."

Aku mendesah. Kecewa menerima jawabannya. "Aku hanya penasaran, Mom."

"Granny sudah cukup, bukan?"

"Granny baru saja meninggal."

Lagi-lagi, dia kelihatan tidak berniat mengucapkan sesuatu pun dan meneruskan merias wajahnya.

"Di mana mereka tinggal?" kataku berasumsi. Jika Mom tidak mau membicarakan mereka, setidaknya aku ingin tahu dari mana asalnya. Aku tahu Mom keturunan Meksiko, dia sendiri yang pernah mengatakannya, tetapi itu bukan berarti dia pernah tinggal di sana karena setelah diingat-ingat lagi, Mom tidak pernah berbicara menggunakan bahasa Spanyol.

Melalui cermin, aku bisa melihat rahangnya sedikit berkedut. Dia membisu selama beberapa menit yang panjang sementara aku mengamatinya sembari duduk di tempat tidurnya, masih berusaha mencari entah apa dalam dirinya.

"Aku tidak tahu." Suaranya sangat lirih hingga nyaris terdengar seperti bisikan yang dibawa oleh embusan angin.

Aku mengernyit, tiba-tiba merasakan sensasi panas yang menggelitik perutku ketika dugaan lain muncul ke permukaan.

"Astaga," gumamku tak menyangka.

Dia mengalihkan perhatiannya padaku dengan cepat.

"Apa selama ini kau tinggal di Panti dan tidak ada seorang pun yang mengadopsimu? Kau—"

"Hentikan! Kau pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa 'rasa penasaran bisa membunuh si kucing?'"

Aku tidak paham maksudnya, dan itu membuatku jengkel. Dia selalu bersikap misterius, penuh teka-teki. Tidak ada yang bisa memahaminya. Tidak diriku. Tidak—bahkan—ayahku. Terkadang dia dipenuhi kemarahan, lalu tiba-tiba berubah menjadi sangat penyayang. Dia bisa menceritakan apa pun padamu selama berjam-jam, tetapi dia akan selalu memiliki batasan. Dia seperti orang asing yang tinggal di antara kami.

"Oh, Honey!" tegurnya. Mom lantas beringsut dari kursi rias dan bergabung denganku di atas kasur. Riasan wajahnya sudah terulas sempurna, dengan lipstik bewarna merah muda yang membuat penampilannya tampak lebih segar. Dia cantik. Sangat cantik hingga membuatku sedikit iri memikirkan bagaimana dirinya bisa terlihat begitu memikat.

Dia merangkul bahuku dan menyimpan dagunya di atas kepalaku. "Aku janji, tidak ada apa pun yang harus kau ketahui tentang itu, karena aku di sini, bersamamu. Kau mengerti?"

Tidak, Mom. Aku sama sekali tidak mengerti. Aku bahkan tidak mengetahui apa pun tentangmu.

Namun, aku tidak mengatakan semua itu. Aku hanya mengangguk. Kemudian dia memelukku sambil mengusap-usap lengan atasku pelan, sementara aku menempelkan pelipisku di dadanya.

Tubuhku tersentak ketika kurasakan telapak tangan yang kecil mencengkeram bahuku. Entah sejak kapan, wanita tua itu sudah berdiri tepat di hadapanku lagi.

"Karime," katanya. "Panggil aku Karime. Tu abuela."

Aku menyingkirkan tangannya dan bergerak mundur, menciptakan jarak sebisa mungkin darinya. "Tidak!" elakku. "Aku tidak mengenalmu."

"Ya," sahutnya cepat. Dia terlihat lebih lelah dari aku menemukannya di sini beberapa menit lalu. "Aku juga baru melihatmu hari ini."

"Kenapa kau berpikir aku akan memercayaimu?"

Wanita tua itu tertawa kecil. "Karena kau memang cucuku."

Aku menggeleng, menolak pernyataan itu. "Dia tidak mengatakan apa pun tentangmu."

Karime mengangguk. "Benar," balasnya, langsung tahu siapa 'dia' yang kumaksud.

"Kau tidak membantahnya?"

"Tidak."

Aku mendesah, merasa kehilangan arah. Untuk beberapa saat, aku berjalan mondar-mandir tidak jelas sebelum akhirnya mendudukkan bokongku di tempat tidur miliknya yang dingin dan menguarkan aroma tubuhnya. Aku tidak pernah benar-benar menyadari aroma tubuhnya sampai dirinya pergi; campuran antara minuman keras, bunga lily, dan citrus.

Karime duduk di sebelahku. Jemari tangannya saling bertautan. "Kau akan tinggal denganku, tetapi bukan di sini."

Aku tidak bertanya di mana dia tinggal, aku bahkan tidak lagi mengatakan apa pun. Aku masih tidak bisa memercayai kalau wanita tua ini adalah ibu kandung Mom. Tapi aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku tidak mungkin tinggal dengan Dad. Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan di sini. Mom sudah pergi—benar-benar pergi. Mungkin jika aku mengikuti Karime di mana pun itu, setidaknya, aku bisa meninggalkan hantu-hantu masa laluku di tempat ini.

"Oke," kataku akhirnya.

Kupikir dia akan tersenyum, memujiku anak baik atau bersikap manis seperti yang dilakukan kebanyakan nenek. Bukankah begitu? Aku tidak terlalu dekat dengan Granny, tetapi mungkin itu karena dia tidak menyukai Mom dan aku.

Karime hanya mengangguk. Lalu beringsut sebelum menghilang di balik pintu keluar kamar ibuku.

Aku berpaling dari kekosongan itu ke arah gaun hitam yang disimpannya begitu saja di atas meja rias, berusaha untuk tidak membayangkan benda itu tergeletak di lantai sementara dirinya mendesah di bawah tubuh seorang pria.

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

846K 45K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
3.2M 267K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
674K 49.2K 31
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 225K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...