Tinta Terakhir ✔

By Lilpudu

1.7M 222K 36K

[Sudah dibukukan, part lengkap] versi novel bisa dipesan melalui shopee : penerbit.lovrinz01 Bagi Wisnu, hal... More

Halaman pertama🍂; Prologue
Halaman kedua🍂; awal
Halaman ketiga🍂; Warteg pinggir jalan.
Halaman keempat🍂; Rumah kedua.
Halaman kelima🍂; Ditempat yang sama.
Halaman keenam🍂; Awal dari pertemuan.
Halaman ketujuh🍂; Tolong rahasiakan.
Halaman kedelapan🍂; Pertemuan yang dibalut rasa sakit.
Halaman kesembilan🍂; Harus Sempurna Di mata Ayah.
Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.
Halaman kesebelas🍂; Maaf karena merepotkan Ayah.
Halaman keduabelas🍂; Bisa sembuh, kan?
Halaman ketigabelas🍂; Peristiwa di gang.
Halaman keempat belas🍂; Gelisah yang membuncah.
Halaman kelima belas🍂; Menjadi kuat untuk sementara
Halaman keenam belas🍂; Maaf karena tidak bisa menjadi sempurna.
Halaman ketujuh belas🍂; Apapun untuk ayah.
Halaman kedelapan belas🍂; Berjuang sedikit lebih lama
Halaman kedua puluh🍂; Tidak bisa jika tanpa oksigen
Halaman kedua puluh satu🍂; Sisa tinta terakhir
Halaman kedua puluh dua🍂; Tinta terakhir
Halaman kedua puluh tiga🍂; [end] Berhasil menjadi kebanggaan ayah
Bonus chapter🍂; Kita mulai semuanya dari nol.
Bonus Chapter II🍂; Semuanya akan baik-baik saja
Segera Terbit!
VOTE COVER!
PRE-ORDER DIBUKA!
Versi AU⚠️

Halaman kesembilan belas🍂; Belum siap kehilangan

38.4K 6.6K 622
By Lilpudu

Happy Reading!

Seperti apa yang sudah Hanan janjikan waktu itu. Sekarang setelah merasa kalau kondisinya lumayan membaik, Hanan langsung membawa bi Ama pada mall dekat rumah dan membelikan apapun kebutuhan yang bi Ama perlukan. Walaupun sebelumnya bi Ama sempat menolak ajakan Hanan, tapi lagi-lagi Hanan meyakinkan kalau itu bukan masalah. Sembari memilih-milih mana saja yang akan dibeli, bi Ama sesekali melirik ke arah Hanan, merasa tidak enak sebab takut kalau nominal yang ia beli terlalu besar dan membebani.

Hanan yang sadar dengan ekspresi dan gerak-gerik bi Ama, lantas tersenyum kecil sembari menepuk bahu perempuan paruh baya itu.

"Bibi mau ini?" Hanan menyentuh barang yang sebelumnya bi Ama sentuh, "Ambil aja, ngga papa."

Kemudian setelah mendengar pertanyaan yang Hanan lontarkan, bi Ama langsung menggeleng.
"Ngga kok, ini bibi udah selesai belanja nya." lantas segera meraih tangan Hanan untuk ia tuntun, "Langsung ke kasir, ya? Bibi takut Hanan kelelahan."

Jujur saja dari pertama kali datang ke sini, yang bi Ama khawatirkan adalah kondisi Hanan. Jelas-jelas kemarin pemuda itu sempat tumbang beberapa kali, tapi entah kenapa selalu ada saja alasan yang Hanan pakai untuk membuatnya percaya kalau dia sudah baik-baik saja. Padahal kalau dilihat secara langsung, bi Ama berani bersumpah jika wajah Hanan benar-benar pucat dan terlihat tidak bertenaga sebab kantung matanya berwarna hitam kecokelatan. Terlihat sekali Hanan begitu lelah. Baik fisik maupun batinnya.

Kini giliran Hanan yang menggeleng singkat, "Saya masih kuat."

Kemudian menarik tangan bi Ama pada toko busana muslim yang sedari awal entah kenapa berhasil menarik atensi Hanan. Dengan langkah cepat pemuda itu masuk dan langsung mengambil 2 baju koko putih dengan motif, model dan ukuran yang sama.

"Bagus ngga?"

Bi Ama mengangguk, tidak bohong kalau baju koko yang Hanan pilih adalah koko paling bagus diantara yang lainnya.

"Bagus, cocok untuk kamu."

"Bukan untuk saya." Hanan terkekeh pelan, "Untuk Bian dan Aji, bi."

Mendengar itu Bi Ama hanya bisa mengangguk kembali. Bi Ama tahu betul seberapa sayang Hanan pada kedua bocah malang yang tak sengaja Hanan temui di rel kereta itu. Dulu hampir setiap hari Hanan bercerita tentang mereka pada bi Ama, sampai akhirnya Hanan tidak pernah lagi berkunjung pada tempat Bian dan Aji setelah di pukul habis-habisan oleh Jason saat itu, ketika Hanan kedapatan ikut mengamen bersama mereka dari pagi sampai menjelang sore.

"Bibi mau beli apa lagi?"

Segera lamunan bi Ama buyar, Hanan dengan tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya.

"Udah, ngga ada." bi Ama membalas tatapan Hanan, "Langsung pulang saja, yuk? Istirahat, kan katanya sebentar lagi mau ujian?"

Dengan cepat Hanan menggeleng, kemudian langsung menggandeng tangan bi Ama dan membawanya pada taman dekat alfamart sekitaran situ. Katanya mau istirahat sebentar sambil main ayunan, bernostalgia sedikit tentang masa kecilnya dengan Wisnu.

Dulu, Hanan dengan Wisnu setiap sore sering sekali bermain ayunan di taman belakang panti sampai terdengar adzan maghrib berkumandang. Hanan juga selalu menghabiskan waktu di sana sembari bercerita tentang hal-hal random pada Wisnu. Apalagi setelah selesai keramas, Wisnu pasti selalu menjadi orang pertama yang akan menyisiri dan memainkan rambut ikal milik Hanan. Begitupun sebaliknya.

Senyuman langsung terlihat jelas, Hanan rindu masa-masa itu, masa-masa dimana hidupnya begitu tenang dan bahagia dengan segala perlakuan sederhana yang Wisnu berikan. Dan entah bagaimana bisa setelah melihat senyuman Hanan itu, bi Ama ikut tersenyum kecil sembari mengusap lembut bahu kurus Hanan.
Kemudian Hanan menoleh dan mendapati bi Ama tengah tersenyum kearahnya.

"Kangen abang." begitu katanya, sedangkan bi Ama hanya bisa mengangguk dengan senyuman yang masih setia ia berikan.

Namun, dengan tiba-tiba saja ponsel Hanan berdering, menandakan ada pesan masuk. Tanpa mau berlama-lama Hanan langsung menatap layar ponselnya untuk melihat siapa si pengirim pesan.

Abang
| adek abang lagi apa?
| udah minum obat?
16:27

Ternyata Wisnu, pas sekali dengan Hanan yang kini sedang merindukan nya.

Hanan
Hanan lagi diluar,
mau ke rumah abang |
Udah tadi |
Nanti kita main sepedaan, yuk |
16:28

Setelah membalas pesan itu Hanan kembali tersenyum, sedangkan bi Ama langsung bertanya tentang apa yang membuat Hanan sebahagia ini.

"Siapa?"

Hanan menoleh, masih dengan senyuman dibibir pucatnya.
"Abang, bi."

Seketika bi Ama langsung mematung, masih belum percaya dengan kalimat yang baru saja Hanan lontarkan. Pasalnya, yang bi Ama tahu, Hanan belum menemukan Wisnu sampai saat ini. Tapi kenapa tiba-tiba saja telinganya mendengar itu dari mulut Hanan.

"Abang? Abang siapa?"

"Abang saya, Wisnu." Hanan melanjutkan ucapannya, "Maaf bi, maaf saya belum sempat ceritakan ini sama bibi. Pertemuannya mendadak, saya juga masih belum percaya bisa peluk abang lagi."

"Ya allah.." dengan sendirinya air mata jatuh begitu saja dari pelupuk mata perempuan paruh baya itu. Ia tatap iris kecokelatan milik Hanan sembari sesekali mengusap air mata.

"Syukur alhamdulillah, Nan.. Bibi ikut senang dengernya. Gimana? Gimana kabar abang sekarang? Baik-baik aja, kan?"

Hanan mengangguk tanpa membalas tatapan bi Ama.
"Saya ngga tahu gimana keadaan abang yang sebenarnya, bi, tapi abang selalu bilang kalau dia baik-baik aja." lantas menoleh pada bi Ama yang masih setia mendengarkan, "Sekarang abang tinggal sama Aji dan Bian."

"Saya gagal lagi, saya ngga bisa ngapa-ngapain selain duduk dan menonton rasa lelah yang abang rasain selama ini, bi, saya gagal.. Bahkan setelah ketemu pun saya ngga bisa bikin abang senang." rasanya Hanan benar-benar tidak berguna seperti apa yang ayah bilang.

Bertemu dengan Wisnu ternyata tidak bisa membuat Hanan membahagiakan pemuda itu, yang ada Hanan malah menambah beban pikiran nya. Iya, ternyata yang selama ini ayah katakan itu benar, semuanya benar tentang dirinya yang tidak bisa diandalkan dan tidak bisa dibanggakan. Tidak ada yang salah dengan semua ucapan ayah, yang salah itu ya dirinya sendiri.

"Kata siapa? Hanan jangan bilang begitu. Justru dengan ketemu kamu abang bahagia, dia bisa peluk lagi dunianya, yaitu kamu, Hanan.. Berhenti bilang kalau kamu ngga berguna, itu ngga baik, bibi ngga suka Hanan kaya gini." dengan sangat sungguh-sungguh dan sedikit ditemani perasaan emosi bi Ama mengucapkan itu. Sebab tidak jarang Hanan selalu menyalahkan dirinya sendiri.

Mendengar itu Hanan hanya bisa tersenyum sembari merogoh saku kemeja nya untuk mengambil buku diary dari dalam sana. Dengan gerakan pelan Hanan buka buku itu tepat pada lembar dimana wish list nya ditulis.

Nomor 6 & 7 akhirnya bisa Hanan contreng dan menyisakan setidaknya ada 5 wish list yang harus ia contreng lagi sebab nomor 11 sudah Hanan coret.

Bi Ama yang terus didorong oleh rasa penasaran tinggi pun tanpa disangka-sangka mengintip sedikit kearah buku yang sedang Hanan pegang. Namun dengan cepat Hanan langsung menyodorkan buku itu ke arah bi Ama. Mempersilahkan bi Ama untuk melihatnya sendiri.

Disitu bi Ama langsung tersenyum setelah membaca isi wish list dalam buku diary milik Hanan. Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau ada sedikit perasaan sedih di dalam hatinya ketika melihat wish list nomor 3 apalagi nomor 11.

"Hanan sayang sekali ya sama ayah?"

Seketika Hanan tersenyum sembari mengangguk singkat.
"Bahkan kalau sekalipun nyawa yang jadi taruhannya, akan saya kasih."

"Ayah ngga minta banyak, bi." hembusan napas panjang terdengar jelas sebelum Hanan melanjutkan ucapannya, "Ayah cuma minta saya jadi anak yang bisa dibanggakan, dan itu ngga salah sama sekali."

"Saya yang lemah, saya ngga bisa dibanggakan. Tapi saya janji.. Saya janji akan ada di peringkat pertama untuk ayah."

Mendengar itu bi Ama mengangguk, dia setuju, dan berharap semua wish list yang Hanan tulis bisa terlaksana semuanya. Termasuk nomor 11 yang sudah Hanan coret sekali pun.

"Bibi do'akan semoga wish list nya bisa terlaksana satu persatu, dan bibi do'akan semoga Hanan bisa menempati peringkat satu untuk ayah. Semangat, ya, bibi bangga sama Hanan." sembari menepuk bahu Hanan, bi Ama sebisa mungkin menahan tangis.

Sedangkan Hanan malah tersenyum sebelum kembali berucap.
"Bi.. Kalau suatu saat saya udah ngga nempatin kamar saya lagi, saya minta tolong sama bibi, tolong kasih buku ini ke abang, ya? Bukunya selalu saya simpan di laci."

Dengan hembusan napas yang terkesan berat, Hanan menatap pulpen di genggamannya.
"Tapi bibi janji sama saya untuk ngga buka dan baca isi di dalam nya, ya? Saya minta tolong sama bibi."

Bersama perasaannya yang campur aduk, ternyata bi Ama hanya bisa mengangguk walaupun sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan dalam kepala yang ingin sekali ia tanyakan pada pemuda itu.

Dan entah kenapa setelah mendengar ucapan Hanan barusan rasanya bi Ama harus bertanya apa maksud dari perkataannya barusan.

"Memang Hanan mau kemana?"

Ternyata selepas pernyataan itu terlontar, Hanan tidak merespon apapun selain mengajak bi Ama pulang karena takut terlalu sore, sebab Hanan akan langsung ke rumah Bian setelah mengantar bi Ama pulang.

Di perjalan pulang tidak ada percakapan apapun, Hanan sibuk mengendarai motornya walaupun di belakang sana bi Ama sedang ketakutan setengah mati ketika Hanan menginjak pedal gas lebih cepat dibandingkan saat berangkat tadi.

Sampai akhirnya tidak perlu menunggu lama, mereka pun sampai di depan gerbang rumah. Hanan yang kebetulan akan mengambil sesuatu di dalam kamar, tanpa basa-basi langsung masuk setelah membatu membawakan barang-barang yang bi Ama bawa dari gerbang rumah.

Sambil tergesa Hanan membuka lemari nya, ia raih satu baju yang masih dibalut rapi dengan plastik bening, yang artinya baju itu masih baru. Lantas setelahnya pemuda itu kembali berlari kecil dan segera menaiki motornya selepas berpamitan pada bi Ama. Sebab di rumah hanya ada mereka berdua, bunda dan ayah seperti biasa di hari libur pun sibuk nya tidak akan berkurang.

Tanpa mau berlama-lama, segera Hanan langsung menancapkan gas menuju rumah Bian. Tidak sabar ingin bertemu dengan ketiga nya sebab dari hari-hari kemarin kondisinya tidak memungkinkan untuk bertemu, dan lagi kalau memaksakan pasti ayah akan sangat marah.

Tidak perlu menempuh jarak yang begitu jauh, Hanan akhirnya sudah berada tepat di samping rumah itu, rumah kedua yang kini begitu Hanan rindu kan kehangatannya.

Di sana Hanan disambut dengan sangat baik, apalagi ketika tak sengaja Aji lah yang lebih dulu melihat eksistensi Hanan dari kejauhan. Pemuda itu yang semula tengah memainkan bebatuan kecil di depan rumah, seketika langsung berdiri dan berlari menghampiri Hanan.
Ekspresi wajahnya adalah ekspresi paling tulus yang pernah Hanan lihat.

Aji itu paling anti menjadi orang munafik. Yang artinya ; kalau dia suka, dia akan bilang suka. Dan sebaliknya, kalau tidak suka, dia akan bilang tidak suka tanpa harus menyakiti perasaan siapa pun.

"Bang Hanan!"

Mendengar suara berat nan cempreng milik Aji, Wisnu dan Bian yang semula tengah melipat pakaian, langsung bergegas keluar meninggalkan setidaknya hanya 3 pasang pakaian lagi yang belum sempat mereka lipat. Yang mana pakaian itu milik Aji semua.

Di depan rumah, Hanan yang baru saja sampai langsung mendudukkan bokongnya pada teras dingin, ditemani Bian dan Aji yang duduk tepat di hadapannya. Sedangkan Wisnu lebih memilih untuk duduk bersampingan dengan Hanan.

Rindu. Wisnu rindu sekali pada eksistensi nya. Rindu pada apapun yang ada pada diri Hanan.

"Hanan apa kabar?" itu suara Wisnu, pemuda itu tersenyum penuh arti pada sang adik.

Di situ Hanan langsung tersenyum, tidak mau banyak bicara, sebab bisa-bisa dia yang kalah, Hanan tidak mau menjatuhkan air matanya di hadapan sang kakak kali ini.

"Hanan baik, bang. Abang, Bian dan Aji, gimana? Maaf Hanan baru bisa kesini lagi, belakangan ini lagi sibuk buat mempersiapkan ujian sekolah." terpaksa Hanan berbohong karena tidak mau membuat siapapun khawatir. Kemudian kembali tersenyum sembari mengeluarkan baju yang semula ia simpan dalam kantong kresek putih.

"Baik juga, Aji dan abang-abang baik-baik aja." Aji menyahuti yang langsung di balas anggukan oleh Bian dan Wisnu.

"Abang udah sembuh?"

Seketika gerakan tangan Hanan langsung berhenti ketika malah pertanyaan itu yang Aji lontarkan. Sedangkan Wisnu malah memperhatikan gerak-gerik Hanan yang perlahan berubah.

"Belum." Hanan mendongak, membalas tatapan Aji yang masih diarahkan kearahnya.

"Susah.." lanjut Hanan dengan volume suara yang hanya bisa ia dengar sendiri.

Sedangkan disitu Aji langsung mengangguk, ia usap bahu Hanan dengan gerakan lembut.
"Hebat, jangan pernah lelah berjuang ya, bang.."

"Disini ada Aji, bang Bian dan bang Wisnu yang akan selalu dukung abang untuk sembuh, yang selalu berusaha ada buat abang."

"Ada kami, bang.. Rumah kedua milik abang."

Setelah ucapan itu terlontar, keheningan langsung menyelimuti keempat pemuda itu. Tak terkecuali Hanan yang sebisa mungkin menahan tangis dengan senyuman yang ia berikan untuk Aji.

Tangannya terulur, mengusap lembut kepala itu sembari berucap.
"Abang ngga akan pulang sebelum dijemput."

Lantas setelahnya Hanan kembali merogoh kantong kresek dan meraih tiga baju koko dari dalam sana. Kemudian ia berikan pada ketiga pemuda itu, yang jelas langsung mendapatkan pertanyaan saat itu juga dari Bian.

"Apa ini, bang?"

"Baju koko." lantas ikut membukakan nya untuk Aji,
"Dipakai, ya? Suatu saat kalian bakalan butuh."

"Kok yang abang beda?" tiba-tiba saja Wisnu berucap setelah melihat kalau koko miliknya beda dengan milik Aji dan Bian.

Melihat itu Hanan tersenyum penuh arti, lantas ia membalas pertanyaan sang kakak.
"Baju koko yang itu punya Hanan, baru dipakai satu kali. Abang ngga suka, ya?"

Dengan cepat Wisnu menggeleng, sebab bukan itu maksud dari ucapannya. Benar-benar merasa bodoh telah menanyakan pertanyaan seperti itu yang bisa saja menyakiti perasaan sang adik.

"Ngga bukan gitu, Nan, maksud abang kenapa warna nya beda. Cuma itu aja, ngga ada maksud lain, jangan marah.."

Mendengar itu Hanan terkekeh pelan, ia ambil tangan Wisnu untuk ia genggam.
"Hanan ngga akan pernah bisa marah sama abang."

Selepas mengucapkan itu, tiba-tiba saja adzan maghrib berkumandang. Keempat pemuda itu langsung bergegas masuk dan melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan Bian sebagai Imam nya.

Sekitar 5 menit setelah melaksanakan sholat, Wisnu menoleh ke arah Hanan hanya untuk mengucapkan kalimat yang membuat Hati Hanan perih. Perih tanpa sebab yang jelas.

"Jangan pernah berpikir untuk nyerah ya, Nan.. Kalau kamu memang sayang sama abang."

"Abang ngga mau kehilangan kamu untuk yang kedua kali."







































***

Guys.. Aku mau nanya, sebenarnya cerita ini tuh seru ngga sih? Aku selalu ngerasa ada yang kurang, tapi ngga tahu apa. Pingin banget lanjut, tapi kayak... Takut.

Takut ngga worth it buat dibaca😭

Ovt terus soal book ini, jadi boleh ngga aku minta pendapat kalian tentang cerita ini? Boleh kasih kritiknya juga, tapi AKU MOHON BANGET DENGAN BAHASA YANG SOPAN DAN ENAK DIBACA ya❤

Huhuu, thankyou sebelumnya
yang udah mau kasih pendapat
atau kritik🤗

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 183K 28
[ Part lengkap ] Tidak peduli bagaimana tubuh itu di terpa angin, hujan, ombak, bahkan badai sekalipun. Punggung Ayah akan tetap menjadi yang ter-ko...
13.1K 751 10
Kalau memang sudah takdir tuhan mana bisa di ubah, kalo memang tidak mencintai mana bisa di ubah? markhyuck GS ⚠️🔞 On going! Slow up!
3.5K 233 11
'jian gak pernah benci samudra. tapi samudra adalah luka terdalam jian' - Jian 1999 konon bisa bertahan bersama tapi kenapa hanya Jian yang tersisa...
867K 52.9K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...