Tinta Terakhir ✔

By Lilpudu

1.7M 222K 36K

[Sudah dibukukan, part lengkap] versi novel bisa dipesan melalui shopee : penerbit.lovrinz01 Bagi Wisnu, hal... More

Halaman pertama🍂; Prologue
Halaman kedua🍂; awal
Halaman ketiga🍂; Warteg pinggir jalan.
Halaman keempat🍂; Rumah kedua.
Halaman kelima🍂; Ditempat yang sama.
Halaman keenam🍂; Awal dari pertemuan.
Halaman ketujuh🍂; Tolong rahasiakan.
Halaman kedelapan🍂; Pertemuan yang dibalut rasa sakit.
Halaman kesembilan🍂; Harus Sempurna Di mata Ayah.
Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.
Halaman kesebelas🍂; Maaf karena merepotkan Ayah.
Halaman keduabelas🍂; Bisa sembuh, kan?
Halaman ketigabelas🍂; Peristiwa di gang.
Halaman keempat belas🍂; Gelisah yang membuncah.
Halaman kelima belas🍂; Menjadi kuat untuk sementara
Halaman keenam belas🍂; Maaf karena tidak bisa menjadi sempurna.
Halaman ketujuh belas🍂; Apapun untuk ayah.
Halaman kesembilan belas🍂; Belum siap kehilangan
Halaman kedua puluh🍂; Tidak bisa jika tanpa oksigen
Halaman kedua puluh satu🍂; Sisa tinta terakhir
Halaman kedua puluh dua🍂; Tinta terakhir
Halaman kedua puluh tiga🍂; [end] Berhasil menjadi kebanggaan ayah
Bonus chapter🍂; Kita mulai semuanya dari nol.
Bonus Chapter II🍂; Semuanya akan baik-baik saja
Segera Terbit!
VOTE COVER!
PRE-ORDER DIBUKA!
Versi AU⚠️

Halaman kedelapan belas🍂; Berjuang sedikit lebih lama

39.2K 6.3K 708
By Lilpudu


Happy Reading!


Kalau bisa, Hanan tidak akan pernah mau pagi ini berakhir begitu saja sebab rasanya baru hari ini ia bisa merasakan bagaimana sarapan bersama dengan Ayah dan Bunda sekaligus. Padahal jika diingat-ingat, terakhir kali Hanan sarapan bersama saat umurnya masih menginjak 10 tahun, yang mana disitu bunda juga belum terlalu sibuk seperti sekarang.

“Makasih..”

Seketika fokus Jason dan Nindy langsung terarah pada Hanan yang tengah menunduk dengan senyuman kecil di bibir pucat nya.

“8 tahun Hanan nunggu momen ini.”

Masih belum mengerti apa maksud dari ucapan putranya, Nindy ikut tersenyum sembari mengusap lembut kepala Hanan.

“Terakhir sarapan bareng ayah sama bunda waktu Hanan kelas 4 SD.” kemudian Hanan mengangkat wajahnya sembari menatap ke arah sang bunda, “Makasih karena udah bersedia menyisihkan waktunya ya, bun.”

“Ayah juga.” lanjut Hanan setelah fokusnya berpindah pada sang ayah, “Makasih banyak untuk waktunya, dan untuk semuanya yang udah ayah kasih buat Hanan.”

“Termasuk rasa sakit.” batin Hanan berucap lirih saat mengingat bagaimana luka baru di hatinya selalu bertambah karena ayah.

Setelahnya tidak ada percakapan apapun, kecuali bunda yang saat itu langsung membalas ucapan Hanan dengan tutur katanya yang selalu lembut dan sukses membuat hati Hanan menghangat. Berbeda dengan ayah yang malah membuat nafsu makan Hanan hilang detik itu juga, saat dimana ia mulai membahas nilai dan ujian sekolah.

Padahal dari semalam Nindy sebisa mungkin menahan tangis ketika melihat bagaimana Hanan tidur sembari meringis kesakitan, tidak ada sedikitpun terpikirkan untuk menuntut atau bahkan membebani Hanan dengan nilai tinggi seperti apa yang Jason mau.

Dan sebenarnya dari beberapa menit lalu juga Nindy sudah melarang Hanan ikut sarapan bersama di meja makan, takut kalau-kalau Hanan tidak kuat untuk duduk terlalu lama. Tapi dengan senyuman paling cerah yang sengaja Hanan tujukan untuk Nindy, membuat perempuan itu selalu tidak mampu menolak keinginannya.

“Bentar lagi ujian sekolah, kamu harus banyak istirahat dan belajar.”

Entah, rasanya kalau mendengar kata 'ujian' dan 'belajar', tubuh Hanan gemetar, takut jika dirinya malah mengecewakan ayah atau bahkan yang paling parah adalah membuat ayah marah seperti sebelum-sebelumnya, ketika Hanan mendapatkan nilai dibawah ekspektasi ayah.

“Denger ngga ayah ngomong?” selalu seperti itu, Jason selalu mengintimidasi Hanan dengan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang ditemani dengan nada sarkas sekaligus suara yang berat.

Tanpa berani membalas tatapan Jason, Hanan mengangguk walau sebenarnya ia juga tidak terlalu yakin dengan kondisinya sekarang. Tapi dalam hati Hanan selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakan ayah meski hanya satu kali seumur hidup nya. Mendapatkan peringkat satu adalah jalan yang Hanan pilih, mau sekalipun nyawa menjadi taruhannya, Hanan tidak peduli.

“Tenang aja, Yah. Hanan janji bakalan ada di peringkat pertama untuk ayah.”

“Harus.” seketika Jason menganggukkan kepala, kemudian kembali mengarahkan seluruh atensinya pada sang anak, “Dan kalau memang kamu bisa membuktikan ucapan kamu, ayah akan kabulkan semua permintaan kamu tanpa terkecuali.”

“Apapun?” Hanan memastikan.

Jason mengangguk mantap, tidak ada ekspresi main-main dari wajahnya.
“Apapun, sekali pun dengan harga paling tinggi.”

“Tapi harga nya terlalu tinggi, ayah bisa?” lagi-lagi Hanan meyakinkan.

“Kalau kamu bisa diperingkat satu, ayah juga bisa kasih semuanya.”

Tanpa siapapun sadar, Hanan tersenyum ketika kepalanya sengaja ia tundukan saat air mata tiba-tiba saja memenuhi pelupuk mata.

“Hanan minta peluk.” sembari memberanikan diri, Hanan menatap manik sang ayah yang ternyata masih menatap kearahnya juga.

“Bisa?”

“Peluk yang lama sampai Hanan tidur.”

Ternyata bukan hanya Nindy, Jason pun ikut geming setelah mendengar permintaan yang baru saja Hanan lontarkan. Permintaan yang tanpa siapapun sangka akan Hanan ucapkan.

“Bisa.” itu Nindy, tangannya mengusap lembut bahu Hanan seraya meyakinkan, “Tanpa harus nunggu di peringkat satu pun bisa kan, Yah?” maniknya kini diarahkan sepenuhnya pada sang suami.

Namun beberapa detik selepas itu Nindy tersenyum perih, ketika Jason malah beranjak dari duduknya tanpa memperdulikan ucapan Nindy barusan. Dan saat itu juga setelah Jason pergi dari sana, air mata sukses jatuh dari pelupuk mata Hanan, bahu nya bisa Nindy lihat bergetar hebat.

Yang mana setelahnya Hanan tidak bisa menahan air mata, padahal sebelumnya Hanan sudah berjanji pada ayah dan dirinya sendiri untuk tidak menangis setelah kejadian kemarin.

“Ayah mungkin lagi buru-buru, sayang.”

Rasanya seperti ada yang mengganjal di tenggorokan, Nindy seolah merasakan apa yang sedang putranya rasakan sekarang.
“Jangan salah paham, ya? Ayah sayang Hanan, sayang banget. Tapi ayah itu tipe orang yang susah menunjukkan kasih sayang nya.”

Mendengar itu Hanan tersenyum kecil tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mata berair itu menatap lurus manik sang bunda sembari mengangguk lemah.

“Iya..” katanya, bahkan suara itu hampir tidak terdengar sama sekali.

Tanpa harus bunda jelaskan pun Hanan sudah paham apa maksudnya, mau dijelaskan bagaimana juga Hanan tahu kalau ayah tidak akan pernah melakukan itu. Tapi dibalik amarahnya, Hanan percaya kalau setidaknya ayah memang menaruh rasa sayang meski hanya 'sedikit', Hanan percaya itu.

Kalau memang tidak sayang, ayah tidak akan pernah mau membelikan tabung oksigen untuk Hanan, tidak akan pernah mau menjemputnya ke sekolah, tidak akan pernah mau memikirkan keadaannya. Tapi justru meski selalu dibarengi dengan emosi, tanpa sadar ayah adalah orang pertama yang selalu ada untuk Hanan setelah bi Ama.

Ayah itu sebenarnya khawatir, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan nya. Ayah juga sama gelisah, ayah turut merasakan sakit saat melihat bagaimana Hanan menggeliat kesakitan dihadapannya. Tapi entah bagaimana bisa ia selalu marah dan kesal ketika melihat Hanan berubah menjadi sosok yang lemah, cengeng, dan tidak bisa diandalkan seperti sekarang.

Dengan perasaan campur aduk, Hanan beranjak tanpa berani mengangkat wajahnya. Terlalu malu mata itu membalas tatapan sang bunda.

“Bentar, sayang. Tunggu biar bunda bantu, pelan-pelan..” segera Nindy langsung meraih bahu sang anak untuk ia tuntun sampai ke kamar.

Setelah sampai, Nindy langsung mendudukkan Hanan pada tepian kasur, sedangkan dirinya sibuk menyiapkan obat dan minum untuk Hanan. Dan melihat itu, dengan sendiri nya bibir pucat Hanan  mengulas senyuman yang Nindy sendiri pun tidak tahu apa maksud dari senyuman itu.

Nindy berani bersumpah, melihat senyuman Hanan saat ini membuat hatinya terasa seperti di sayat benda tajam. Apalagi ketika sadar kalau pelupuk mata Hanan mulai dipenuhi air mata.

Masih dengan senyuman tulus yang Nindy berikan, perempuan itu melangkah mendekat setelah berhasil menaruh air hangat kedalam gelas.

“Kenapa..” Nindy mendudukkan bokong nya di samping Hanan, lantas mengusap lembut bahu kurus itu dengan gerakan penuh kasih sayang.

Hanan menggeleng kecil sembari menoleh dan membalas tatapan yang Nindy berikan untuknya.
“Ngga tahu, tapi rasanya Hanan gelisah..”

“Lepasin.” Nindy mengangguk lemah, “Air matanya jangan di tahan, nangis aja, bunda ngga akan lihat.” alun-alun Nindy melepaskan tangannya yang semula masih bertengger di bahu Hanan.

Kemudian segera mengubah posisi membelakangi putranya, bersikap seolah dia tidak akan melihat seberapa banyak air mata yang Hanan keluarkan.

“Hanan mau nya dipeluk, bun..”

Dengan gerakan tak bertenaga, Hanan membalikkan tubuh sang bunda agar kembali berhadapan dengannya.

Dalam waktu beberapa detik keduanya masih saling tatap. Sorot mata kosong itu seakan menusuk indera penglihatan milik Nindy. Tanpa mau berlama-lama dan membuat putranya menunggu, Nindy langsung menarik Hanan kedalam pelukannya, menaruh dagu di puncak kepala Hanan, mengusap lembut kepala itu tanpa ada percakapan apapun lagi setelah nya.

Keduanya sama-sama hanyut dalam kenyamanan yang mereka ciptakan bersama. Sampai akhirnya suara batuk milik Hanan langsung menyita keheningan.

Segera Nindy melepas pelukan, dan entah kenapa saat mendengar suara batuk ini, Nindy ketakutan setengah mati, takut kalau bercak kemerahan itu kembali keluar dari mulut putranya. Sembari menepuk-nepuk punggung Hanan, tangan satunya lagi Nindy gunakan untuk meraih obat yang semula sudah ia simpan di atas meja. Dan tanpa mau menunggu lama, ia bantu Hanan untuk meneguk obat sembari sibuk menyiapkan masker oksigen.

Setelah berhasil meneguk habis obat serta air di dalam gelas, Hanan langsung menaruh benda itu kembali di atas meja. Kemudian membatu Nindy untuk memasangkan masker oksigen pada hidungnya.

“Bobo. ya? Istirahat yang banyak.”

Melihat Hanan yang seperti ini selalu membuat Nindy ingin sekali menghabiskan banyak waktu bersama nya. Dengan gerakan perlahan lantas perempuan itu membaringkan tubuh di samping Hanan sebelum Hanan kembali bersuara.

“Bunda istirahat aja, bobo di kamar.”

Mendengar penuturan yang Hanan berikan, membuat Nindy menggeleng kecil sebagai jawaban.

“Mau bobo disini sama Hanan.”

Sekarang giliran Hanan yang menggeleng kecil sebab ia tahu betul kalau bunda lelah. Dari semalam bahkan bisa Hanan lihat bunda tidak tidur sama sekali karena sibuk membatu Hanan bolak-balik ke kamar mandi untuk muntah, mengisi kembali air hangat ke dalam gelas sebab Hanan terus batuk-batuk sampai kurang lebih satu jam penuh, hingga akhirnya Hanan bisa menutup mata di jam 3 pagi.

Tapi berbeda dengan Hanan, bunda bukannya ikut terpejam, malah sesekali matanya mengeluarkan cairan bening saat mendengar rintihan dari mulut Hanan ketika pemuda itu tidur. Melihat Hanan yang tidur dalam keadaan gelisah seperti itu, membuat Nindy enggan menutup matanya. Yang dia lakukan hanya mengusap kening sang anak yang terus mengeluarkan keringat dingin. Padahal disitu AC sudah dihidupkan seperti biasa.

“Bunda semalam ngga tidur, kan?” dengan senyuman yang menghiasi bibir pucat itu, Hanan meraih tangan sang bunda untuk ia genggam.

“Hanan minta maaf.”

Jelas mendengar itu Nindy langsung menggeleng kecil, “Bunda juga tidur waktu Hanan tidur.”

“Iya tapi bunda juga harus istirahat, ngga papa, Hanan bisa tidur sendiri.” bersikeras Hanan menyuruh Nindy untuk segera pergi dari kamarnya, sebab Hanan sudah tidak tahan menahan sesak ini lagi. Ia ingin menangis tanpa siapa pun tahu, Hanan butuh waktu untuk sendirian.

“Ya? Hanan mohon. Pikirkan kesehatan bunda juga, nanti kalau bunda ikut sakit, siapa yang mau ngurus Hanan? Siapa yang mau temenin Hanan?”

Jika sudah seperti ini, Nindy tidak bisa menjawab kata lain selain 'iya'. Hanan itu pandai membuat hati Nindy luluh, dan entah kenapa Nindy juga selalu tidak bisa menolak semua keinginan nya.

Dengan senyuman kecil, Nindy lantas mengangguk setelah ia usap lembut puncak kepala Hanan.

“Kalau gitu bunda ke kamar, ya? Nanti semisal ada apa-apa, Hanan langsung telepon bunda aja.”

“Iya.”

Selepas itu Nindy keluar, meninggalkan Hanan yang kini mulai melepas tangis dibalik selimut yang sengaja ia tutupi ke seluruh bagian wajah dan tubuhnya. Sesekali napas Hanan tersengal, tapi itu sama sekali tidak membuat Hanan menghentikan tangisannya.

Sekitar lima menit melepas sesak di hatinya, Hanan mengubah posisi menjadi duduk sembari meraih buku diary dari dalam laci. Berniat untuk mencontreng wish list nomor satu yang sebelumnya Hanan yakini kalau itu tidak akan pernah terjadi. Tapi dengan tiba-tiba saja semuanya bisa Hanan rasakan meski hati nya harus kembali ayah berikan luka baru.

“Makasih banyak, tuhan..”

“Sedikit lagi.. Sedikit lagi saya berjuang, tolong kuat kan.”

Jika saja ayah tahu bagaimana isi hati Hanan, bagaimana rasa sayang nya yang bahkan tidak akan pernah ayah sangka akan sebesar itu. Mungkin Hanan akan merasa menjadi orang paling beruntung di bumi karena bisa memberikan kasih sayang paling dalam pada laki-laki yang sudah ia anggap seperti ayah kandungnya sendiri.

Sembari membuka lembar demi lembaran kertas dalam buku diary nya, Hanan tersenyum kecil. Ternyata ada begitu banyak kenangan yang ia tulis di sana, dari yang paling menyakitkan sampai yang paling membahagiakan. Semuanya Hanan tulis tanpa sadar kalau akhirnya tinta itu perlahan menipis.

Sambil mencontreng wish list nomor 1, Hanan membaca banyaknya wish list yang ternyata masih belum terlaksana.

Melihat itu entah kenapa Hanan langsung mencoret wish list nomor 11. Tanpa ada ekspresi apapun setelahnya, Hanan langsung menyimpan kembali buku diary itu ke atas meja, sedangkan pulpen nya masih ia genggam dan ia tatap dalam waktu yang cukup lama.

“Gimana caranya supaya ayah tahu kalau Hanan sayang sama ayah?” Hanan bergumam kecil.

“Hanan memang bukan anak yang bisa dibanggakan, Yah.. Tapi kalau ayah terus bersikap kaya gitu, Hanan ngga sanggup. Hati Hanan kayanya udah ngga berbentuk kalau aja bisa ayah lihat secara langsung.” suaranya bahkan hampir tidak terdengar sama sekali, Hanan mengucapkan itu dari hati yang paling dalam.

Kemudian di detik berikutnya ia raih kembali buku diary di atas meja, kemudian ia robek kertas di bagian tengah buku. Sengaja agar bisa di simpan di dalam amplop kecil yang akan ia beli nanti.

Iya, Hanan berniat akan menuliskan semua nya di sana. Di dalam kertas kosong yang akan ia isi dengan sejumlah kata dan kalimat yang ditujukan untuk ayah. Seluruhnya, bahkan sampai dimana tinta itu dengan cepat semakin menipis, menyisakan setidaknya hanya sedikit untuk ia gunakan nanti.

Sampai akhirnya setelah habis setengah lembar, Hanan menyadari kalau napas nya mulai tersendat karena terus menangis di setiap kalimat yang ia tulis. Namun dengan tiba-tiba saja mata itu tertutup.
Entah, mungkin karena efek dari obat, Hanan tidak bisa menahan rasa kantuk yang tiba-tiba saja menyerang nya tepat dimana kepala itu ia sandarkan secara asal di atas lembaran kertas yang tanpa sengaja ia nodai dengan air yang jatuh dari pelupuk matanya.

Hanan hanya ingin ayah tahu,
sebesar apa rasa sayang nya.




















***


Semoga chapter ini memuaskan ya..

Continue Reading

You'll Also Like

122K 19.7K 34
❝Perlukah diskriminasi di tiap sekolah?❞ nonabinar ©2018 #1 - Haruto [120619] #1 - Raesung [231019] #5 - Treasure [160220] #1 - Junkyu [301020] #1...
12.3K 1.9K 9
"Lantas bagaimana cara mencintai jika kau memegang tasbih dan aku mengangkat salib?"
681 59 10
❝Sehebat apa pun orang, sekaya apa pun orang. Dia akan kembali lagi ke bentala, mencium dinginnya pertiwi, lalu didekap erat tanpa sekat. Semua itu a...
124K 19.1K 47
END Yogyakarta dan kamu, dua hal yang membuatku terkesan akan skenario yang telah Tuhan lukiskan. Aku hanya bisa terus berdoa, agar kisah kita selalu...