Tinta Terakhir ✔

Por Lilpudu

1.7M 222K 36K

[Sudah dibukukan, part lengkap] versi novel bisa dipesan melalui shopee : penerbit.lovrinz01 Bagi Wisnu, hal... Más

Halaman pertama🍂; Prologue
Halaman kedua🍂; awal
Halaman ketiga🍂; Warteg pinggir jalan.
Halaman keempat🍂; Rumah kedua.
Halaman kelima🍂; Ditempat yang sama.
Halaman keenam🍂; Awal dari pertemuan.
Halaman ketujuh🍂; Tolong rahasiakan.
Halaman kedelapan🍂; Pertemuan yang dibalut rasa sakit.
Halaman kesembilan🍂; Harus Sempurna Di mata Ayah.
Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.
Halaman kesebelas🍂; Maaf karena merepotkan Ayah.
Halaman ketigabelas🍂; Peristiwa di gang.
Halaman keempat belas🍂; Gelisah yang membuncah.
Halaman kelima belas🍂; Menjadi kuat untuk sementara
Halaman keenam belas🍂; Maaf karena tidak bisa menjadi sempurna.
Halaman ketujuh belas🍂; Apapun untuk ayah.
Halaman kedelapan belas🍂; Berjuang sedikit lebih lama
Halaman kesembilan belas🍂; Belum siap kehilangan
Halaman kedua puluh🍂; Tidak bisa jika tanpa oksigen
Halaman kedua puluh satu🍂; Sisa tinta terakhir
Halaman kedua puluh dua🍂; Tinta terakhir
Halaman kedua puluh tiga🍂; [end] Berhasil menjadi kebanggaan ayah
Bonus chapter🍂; Kita mulai semuanya dari nol.
Bonus Chapter II🍂; Semuanya akan baik-baik saja
Segera Terbit!
VOTE COVER!
PRE-ORDER DIBUKA!
Versi AU⚠️

Halaman keduabelas🍂; Bisa sembuh, kan?

48.6K 7.4K 1.6K
Por Lilpudu

Happy Reading!

Sekitar jam setengah sebelas malam, Hanan dan Jason baru menginjakkan kakinya di rumah setelah Jason
memutuskan untuk membawa putranya ke rumah sakit selepas melihat secara langsung bagaimana Hanan menggeliat menahan sakit dihadapannya.

Dokter bilang kalau Hanan sudah melewatkan masa pengobatan selama 2 minggu lama nya, sebab OAT tidak bisa dihentikan begitu saja, karena dengan begitu Hanan harus menjalani pengobatan dari awal kembali. Dan itulah mengapa Jason benar-benar terlihat sangat marah sekarang, apalagi ketika tahu alasan Hanan tidak melanjutkan jadwal minum obat yang sudah dokter anjurkan beberapa bulan lalu.

Dengan tatapan tajam, Jason menatap Hanan yang kini tengah berbaring di atas kasur nya. Tanpa bisa melakukan apapun Hanan hanya menundukkan pandangan, berusaha menghindari tatapan sang ayah yang selalu sukses membuat jantungnya berdetak tidak karuan.

“Kenapa baru bilang?” suara berat itu akhirnya terdengar begitu jelas di telinga Hanan, sampai akhirnya Jason kembali bersuara. “Kalau dari awal kamu bilang sama ayah, mungkin keadaan kamu ngga akan separah ini.”

Hening, Hanan masih belum bisa menjawab pertanyaan sang ayah, sebab bibirnya selalu kelu ketika mendengar suara berat dan tinggi yang ayah lontarkan untuk nya, apalagi dengan situasi seperti sekarang. 

“Kalau udah begini, keadaan kamu malah menghambat kegiatan belajar, Hanan. Kalau aja dari awal kamu jujur, kamu ikuti perintah dokter untuk minum obat secara rutin, mungkin rasa sakitnya ngga akan separah sekarang.” ucap Jason dengan nada suara yang bisa Hanan dengar semakin meninggi.

“Maaf, Yah.. Hanan cuma ngga mau merepotkan ayah.” Suara Hanan terdengar begitu tidak bertenaga di balik masker oksigen yang beberapa jam lalu sengaja Jason belikan, sebab katanya setiap malam Hanan tidak bisa tidur karena menahan sesak.

“Dari dulu memang sudah merepotkan, baru sadar?” masih dengan nada bicara yang tinggi, Jason mengucapkan kalimat yang berasil menusuk hati putranya.

“Coba ayah tanya, apa alasan kamu ngga mau minum obat, hm?”

Alun-alun Hanan mengangkat kepalanya, berusaha memberanikan diri menatap wajah berkeringat sang ayah.
“Mual, Yah.. Hanan ngga kuat.”

Setelah mengucapkan itu Hanan hanya bisa menundukkan pandangan kembali, sebab ia tahu jawaban seperti itu hanya semakin membuat sang ayah kesal. Berbeda dengan Hanan, laki-laki paruh baya itu malah semakin menatap sang anak dengan tatapan nyalang.
“Mulai dari sekarang, kamu minum obatnya tanpa harus ayah paksa. Kalau sakit atau mual, tahan, itu efek samping dari obat, jangan manja, kamu ini laki-laki, Hanan.”

Lantas kemudian beranjak setelah berhasil merapikan kemejanya yang sedikit kusut.
“Kalau sesak, kompres sesuai saran dokter tadi, jangan ditahan dan dibiarkan sakitnya semakin parah.”

Mendengar penuturan ayah, Hanan hanya bisa mengangguk bersama senyuman yang ia berikan untuk ayah sebagai rasa terimakasih karena sudah mau mengantarnya ke rumah sakit, dan sudah bersedia membelikannya tabung oksigen serta isinya untuk beberapa minggu ke depan.

“Ayah..”

Jason menoleh mendengar suara tak bertenaga itu, kemudian ia tatap manik sayu milik Hanan tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Makasih banyak.”

Tidak ada jawaban, Jason malah mengalihkan topik pembicaraan yang membuat Hanan bungkam detik itu juga.
“Cepat sembuh, satu bulan lagi ujian sekolah, ayah ngga terima alasan apapun nanti. Harus di peringkat pertama, kalau masih di peringkat kedua, jangan harap ayah biayai pengobatan kamu lagi.”

Dengan langkah tegas dan cepat Jason melangkah keluar dari kamar sang anak, tak pedulikan Hanan yang kini sedang mati-matian mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan untuknya.

Dan untuk kesekian kalinya air mata jatuh dari pelupuk mata Hanan, pemuda itu semakin menarik selimut sampai sebatas hidung.
“Janji, Yah.. Hanan janji bakalan masuk peringkat pertama demi ayah.”

Hembusan napas panjang dari arah depan sukses menarik atensi Hanan, maniknya menatap eksistensi bi Ama yang baru saja membuka pintu kamar. Wajah yang selalu menampilkan senyuman itu kini terlihat begitu sendu, Hanan tidak tahu apa penyebabnya, tapi yang jelas, melihat bi Ama seperti itu semakin membuat hati nya gelisah.

“Hanan mau bibi buatkan apa?”

Dengan langkah tak bertenaga bi Ama menghampiri Hanan dan langsung mendudukkan bokongnya di tepian kasur.
“Cepat sembuh, ya?”

Satu usapan lembut sukses mendarat di kening Hanan.
“Bibi do'akan semoga Hanan bisa dapat peringkat satu saat ujian nanti.”

Senyuman nampak begitu jelas, Hanan mengangguk kecil tanpa mengucapkan sepatah katapun, sebab entah kenapa rasanya air mata akan segera jatuh jika ia sampai mengeluarkan suara.

“Kalau Hanan mau sembuh, jangan terlalu banyak pikiran, ya? Ingat, ayah itu ingin yang terbaik untuk Hanan, ayah sebenarnya sayang sama Hanan.”

Hening, setelah bi Ama mengucapkan kalimat itu, kedua nya sama-sama bungkam. Hanan masih berusaha mencerna setiap kata yang bi Ama ucapkan, sedangkan bi Ama malah sibuk menatap Hanan dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Bi..”

Seketika fokus bi Ama langsung tertuju pada manik kecokelatan milik Hanan.

“Saya bisa sembuh, kan..” terdengar Hanan terkekeh pelan bersamaan dengan air mata yang perlahan mulai jatuh dari pelupuk mata nya.
“Saya takut, bi..”

Mendengar itu jujur saja mati-matian bi Ama menahan air mata yang mendesak keluar, sampai akhirnya senyuman kembali terlihat di wajah yang sudah dipenuhi beberapa kerutan itu.

“Bisa, dong.. Makanya harus rajin minum obat, dan kalau di rasa ada yang sakit, bilang, jangan di tahan.”

Hanan mengangguk kecil, seperti biasa jika dalam keadaan seperti ini yang ia rindukan adalah Wisnu. Entah kenapa rasanya Hanan benar-benar butuh pelukan saat juga, pelukan yang bisa menenangkan nya, pelukan dari seseorang yang begitu ia sayang.

Dulu setiap Hanan sakit, Wisnu adalah orang paling pertama yang akan menyiapkan obat untuknya, orang yang paling sibuk menyuapinya tanpa Hanan minta, dan orang yang paling enggan untuk meninggalkan nya barang seinci pun. Tapi justru sekarang, semuanya seolah terbalik, Hanan sendirian, begitu pun Wisnu. Tidak ada kehangatan yang menyelimuti kedua nya seperti dulu.

“Bi, malam ini bunda pulang?”

Bi Ama mengangguk kecil, kemudian beranjak dari duduknya.
“Pulang, tadi nyonya bilang lagi di jalan, sebentar lagi juga sampai.” lantas kembali mengusap lembut puncak kepala Hanan, “Bibi keluar, ya? Nanti kalau bunda sudah pulang, bibi bilang sama bunda, ya.”

Alun-alun Hanan menggeleng,
“Ngga usah, bi.. Ngga pa-pa, biar bunda istirahat aja.”

“Ya sudah kalau begitu, istirahat yang cukup, jangan terlalu banyak pikiran. Selamat malam..”

Setelah punggung bi Ama sudah tidak terlihat lagi di ambang pintu kamar, Hembusan napas panjang yang terkesan begitu menyesakkan terdengar jelas saat setelah pemuda itu memejamkan matanya untuk beberapa detik. Lantas Hanan membuka kembali matanya, menatap kosong langit-langit kamar sembari merasakan sakit di kepalanya yang masih belum juga mereda sampai saat ini.

Dengan perlahan tubuh itu bergerak, berusaha mengubah posisi nya menjadi setengah duduk, sebab entah kenapa tubuhnya lengket dengan keringat dingin yang terus saja keluar.

Sebenarnya sebelumnya dokter sudah menyarankan agar Hanan di rawat inap selama beberapa hari sampai keadaanya sedikit lebih membaik. Tapi di situ Jason malah menolak dengan alasan ia tidak ada waktu untuk menemani Hanan di sana, begitu pun sang istri, mereka berdua sama-sama sibuk. Alhasil setelah mendapatkan persetujuan, dokter menyarankan Hanan untuk berobat jalan saja, dan jelas itu langsung mendapat persetujuan dari Jason.

Lagi-lagi hembusan napas kasar terdengar, dengan gerakan pelan Hanan membuka laci di samping tempat tidur, ia ambil buku diary kecil miliknya, lantas segera menuliskan beberapa hal yang sudah ia lewati dan ia rasakan hari ini.

Sekiranya begitu, tak lupa Hanan tuliskan rasa takutnya juga disana, rasa takut yang selalu menghantui nya dari beberapa bulan kebelakang. Sebab sungguh, Hanan belum siap dengan kenyataan buruk yang bisa menimpanya kapan saja, kenyataan yang selalu berhasil membuatnya tak bisa menahan air mata.

Sembari menatap kosong ke arah lembaran yang sudah dipenuhi coretan tangannya, Hanan tersenyum kecil ketika tak sengaja matanya menatap pulpen yang masih ia genggam kuat. Hanan menilik dengan seksama benda itu dari berbagai arah, sampai akhirnya ia terfokus pada tinta yang ternyata sudah tersisa setengah.

Sedangkan masih banyak hari-hari yang ingin ia lewati, hari-hari menyenangkan bersama ayah, bunda, bi Ama dan yang paling ia tunggu adalah Wisnu. Masih banyak kenangan yang harus ia rangkai bersama orang-orang yang ia sayang, masih banyak kenangan yang harus ia coret kan dalam lembaran kertas kosong.

Tapi mungkin kah tinta yang sudah tersisa setengah itu bisa bertahan sedikit lebih lama agar impian atau keinginan-keinginan Hanan satu persatu bisa terpenuhi?

Senyuman getir kini terlihat jelas dari bibir pucat milik pemuda itu, dengan segera Hanan memutuskan untuk membuat daftar keinginan yang akan ia lakukan dengan orang-orang yang begitu ia sayangi. Setelah beberapa menit menuliskan daftar keinginannya, Hanan kembali tersenyum, berharap apa yang sudah ia tulis bisa terlaksana satu persatu.

“Seharusnya ada sepuluh aja, sebelas terlalu banyak.” kekehan terdengar jelas, kemudian Hanan kembali berucap dengan suara rendah, “Nomor sebelas menganggu, terlalu sulit untuk dikabulkan tuhan.”

Hanya dengan begitu Hanan menunduk, berusaha menahan air mata yang terus mendesak keluar, sampai akhirnya suara pintu di buka langsung menarik atensi Hanan. Lantas sedetik setelahnya senyuman manis yang Hanan punya ia tampilkan sembari susah payah menghapus air mata yang hampir jatuh.

Tidak langsung melangkahkan kakinya ke dalam, sosok perempuan yang Hanan sebut sebagai bunda–masih berdiri dan bersandar pada pintu dengan senyuman tulus yang begitu Hanan rindukan.

“Sayang..”

Suara lembut milik Nindy langsung menjalar di indera pendengar milik Hanan. Tanpa basa-basi perempuan paruh baya itu melangkah mendekat pada sang anak. Dan jujur saja melihat keadaan Hanan yang seperti ini membuat hati nya mendadak sakit, apalagi saat tahu benda apa yang menempel di hidung dan mulut pemuda yang sudah ia anggap sebagai putranya sendiri.

“Hanan..” susah payah bunda menahan tangis, sebab melihat wajah pucat pasi milik Hanan rasanya benar-benar sakit.

“Anak bunda kenapa..”

Sama seperti apa yang sedang dirasakan Nindy, Hanan tersenyum dengan alasan untuk menutupi air mata yang terus mendesak keluar. Sampai akhirnya tangan lembut milik sang bunda terulur, mengusap pelan pipi dan puncak kepala Hanan.

“Sakit apa? Apa yang sakit? Kok ngga bilang bunda, sayang..”

Kalah, ternyata air mata yang mati-matian ditahan akhirnya jatuh di depan sang anak.
“Hanan tahu kan bunda sayang sama Hanan? Kenapa.. Kenapa ngga bilang dari awal..” suaranya bergetar hebat.

Entah, perasaan sesak yang bunda rasakan seakan menjalar sampai ke dadanya. Hanan mengulurkan tangan, menyentuh tangan sang bunda sembari ia usap pelan.

“Bun..”

Nindy mengangguk kecil, mempersilahkan Hanan untuk mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di hati nya.

“Hanan minta maaf, ya..”

“Minta maaf untuk apa, sayang?” masih dengan senyuman, Nindy membalas tatapan sang anak yang sudah di penuhi linangan air mata, “Bunda yang seharusnya minta maaf sama kamu.”

Mendengar itu Hanan menggelengkan kepalanya. Alun-alun tangan yang terlihat sedikit lebih kurus melepas masker oksigen yang semula masih ia pakai.

“Kenapa di buka?”

Tidak menjawab, Hanan justru malah semakin mendekatkan tubuhnya pada sang bunda. Ia tatap perempuan paruh baya itu dari atas sampai bawah. Cantik, bunda selalu cantik dan wangi.

“Pakai lagi, biar napas nya lebih lega.”

“Bun..”

Lagi, perempuan paruh baya itu mengangguk.
“Iya, sayang.. Hanan mau apa?”

Dengan gerakan lambat Hanan merentangkan tangannya, memberi tanda agar bunda memeluk nya detik itu juga. Dan ya, tanpa berlama-lama, setelah mengetahui apa yang Hanan inginkan, dengan segera ia tarik tubuh bongsor itu kedalam dekapannya, membiarkan tangisan yang semula Hanan tahan bisa ditumpahkan tanpa halangan.

Tidak ada percakapan apapun setelahnya, Hanan semakin memeluk erat tubuh sang bunda, membiarkan rasa rindunya terobati, sebab sudah satu minggu lalu ia belum bertemu lagi. Bunda selalu pulang larut malam saat Hanan sudah tidur, sedangkan di pagi harinya bunda juga akan berangkat pukul setengah enam, dimana di jam-jam itu Hanan belum bangun.

“Sejak kapan? Kenapa ngga bilang sama bunda?” tangan itu tak hentinya mengusap punggung sang anak.

“Hanan.. Kalau kamu kaya gini, kamu bikin rasa penyesalan yang besar tumbuh di hati bunda, kamu ngga bisa menyembunyikan hal seperti ini sendirian.”

Hembusan napas panjang terdengar begitu jelas di telinga Hanan, bisa Hanan tebak seberapa kecewanya bunda sekarang. Tapi jujur saja, bukan itu maksud Hanan, bukan tanpa alasan ia menyembunyikan ini semua, ia hanya tidak mau menyusahkan siapa pun. Tapi ternyata, justru dengan menyembunyikan ini semua, Hanan malah semakin menjadi beban pikiran, semakin menyusahkan.

“Kalau kamu bilang dari awal, bunda bisa ambil cuti untuk rawat kamu, bunda ngga akan pernah biarin kamu nahan sakit sendirian.” mati-matian perempuan paruh baya itu menahan tangis setelah sadar kalau tubuh sang anak semakin terlihat kurus.

“Maaf..” hanya itu yang bisa Hanan katakan sebelum tangannya menyembunyikan buku diary kecil di belakang tubuhnya yang semula masih ia pegang.

Alun-alun Hanan melepas pelukan, begitu pun Nindy yang langsung mengusap air mata sang anak begitu pelukan itu dilepas sepenuhnya.

“Dipakai lagi maskernya.” tanpa menunggu persetujuan, Nindy meraih masker oksigen yang Hanan simpan asal di sampingnya.

Tapi belum sempat dipasangkan, dengan cepat Hanan menahan.
“Udah ngga sesek, Hanan baru aja minum obat tadi.”

Anggukan kecil terlihat, dengan senyuman tulus Nindy menatap manik kecokelatan milik sang anak sembari mengusap lembut pipi itu.
“Jangan nangis..”

Kini giliran Hanan yang mengangguk, ia ambil tangan sang bunda yang masih bertengger di pipi kirinya.
“Hanan sayang bunda.”

“Tetap di samping Hanan, ya..
Hanan ngga mau sendirian.”































****


Kangen rutin update :')
Tapi ngga bisa,
sekarang sibuk terus 😭

Mohon pengertiannya ya:)

Seguir leyendo

También te gustarán

381 82 12
⚠️ bahasa non-baku, lebih ke sehari-hari jadi ya agak kasar. Narasi aja yang baku Suara adalah fenomena fisik yang dihasilkan oleh getaran benda atau...
412K 33.3K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
13.1K 751 10
Kalau memang sudah takdir tuhan mana bisa di ubah, kalo memang tidak mencintai mana bisa di ubah? markhyuck GS ⚠️🔞 On going! Slow up!
1.5M 140K 72
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...