CACAT LUKA

By matcharay_

2.5M 459K 541K

©2021 More

ZERO
CACAT LUKA || PROLOG
ONE
TWO
THREE
FOUR
FIVE
SIX || MEMORIES
SEVEN || MEMORIES
EIGHT
NINE
TEN
ELEVEN
TWELVE
THIRTEEN
FOURTEEN
FIFTEEN
SIXTEEN
SEVENTEEN
EIGHTEEN
NINETEEN
TWENTY
TWENTY ONE
TWENTY TWO
TWENTY THREE
TWENTY FOUR
TWENTY FIVE
TWENTY SIX
TWENTY SEVEN
TWENTY EIGHT
TWENTY NINE
THIRTY
THIRTY ONE [FLASHBACK]
THIRTY TWO
THIRTY THREE
THIRTY FOUR
THIRTY FIVE
THIRTY SIX
THIRTY SEVEN
THIRTY EIGHT
THIRTY NINE
FORTY
FORTY ONE
FORTY TWO [MEMORIES]
FORTY THREE
FORTY FOUR
FORTY FIVE
FORTY SIX
FORTY SEVEN
FORTY EIGHT
FORTY NINE
FIFTY
FIFTY ONE
FIFTY TWO
FIFTY THREE
FIFTY FOUR
FIFTY FIVE
FIFTY SIX
FIFTY SEVEN
FIFTY EIGHT
FIFTY NINE
SIXTY
SIXTY ONE
SIXTY TWO
SIXTY THREE
SIXTY FOUR
SIXTY FIVE
SIXTY SIX [FLASHBACK]
SIXTY SEVEN
SIXTY EIGHT
SIXTY NINE
SEVENTY [FLASHBACK]
SEVENTY ONE
SEVENTY TWO
SEVENTY THREE
SEVENTY FOUR
SEVENTY FIVE
SEVENTY SIX
SEVENTY SEVEN
SEVENTY EIGHT
SEVENTY NINE
EIGHTY
EIGHTY ONE
EIGHTY TWO
EIGHTY THREE [FLASHBACK]
EIGHTY FOUR
EIGHTY FIVE
EIGHTY SIX
EIGHTY SEVEN
EIGHTY EIGHT
EIGHTY NINE
NINETY
NINETY ONE
NINETY TWO
NINETY THREE
NINETY FOUR
NINETY FIVE
NINETY SIX
NINETY SEVEN
NINETY EIGHT
NINETY NINE
ONE HUNDRED
ONE HUNDRED AND TWO
ONE HUNDRED AND THREE
ONE HUNDRED AND FOUR
ONE HUNDRED AND FIVE
ONE HUNDRED AND SIX
ONE HUNDRED AND SEVEN
ONE HUNDRED AND EIGHT
ONE HUNDRED AND NINE
ONE HUNDRED TEN
ONE HUNDRED ELEVEN

ONE HUNDRED AND ONE

6.5K 1.7K 705
By matcharay_

"Seharusnya kita bisa lebih tegas ke Altezza. Tapi seperti yang kita tahu, dia keras kepala." Meteor menatap teman-temannya tanpa emosi. "Selain itu, egois." Altezza keluar dari ujung lorong, berdiri berhadapan dengan Meteor di dekat jendela yang hampir mencapai seluruh panjang dinding. Dia menyandarkan punggungnya dan menatap tetesan-tetesan air hujan yang jatuh membasahi langit. "Seandainya hari ini gue kecelakaan terus mati,"

"Lo gila."

"Sepertinya kami salah dengar. Mohon ulangi kata-kata lo barusan?" Filosofi dan teman-temannya tersenyum mengejek. Altezza terkekeh. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, kemudian mengangkat bahu. "Dia bisa berpikir seperti singa," sahut Purnama datar.

"Dia bisa berpikir seperti singa," cemooh teman-temannya. Mereka menatap Altezza. "Bukannya dua tahun lalu lo sudah tewas bersama teman perempuan lo?"

"Pacar gue," koreksinya. Otot rahang Altezza berkedut-kedut di bawah kulit pucatnya, sementara dia mengabaikan mereka. Altezza menjilat bibirnya yang mendadak kering. Saku depan celana basketnya bergetar, memecahkan kecanggungan. Cowok itu meraih ponselnya dan menekan tombol utama. Layar menyala, menampilkan pesan teks dari nomor tidak dikenal.

Gue di tempat parkir. Kita harus bicara sekarang.

Cowok itu mendongak. Matanya mengamati mobil-mobil yang diparkir di halaman sekolah sampai dia melihat Luka, bersandar pada sepeda motornya. Ponselnya ada di tangannya dan Luka mengawasi Altezza dari seberang tempat parkir yang luas. Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi tatapannya terlalu tajam.

Kaki gue cedera.

Dan lo nggak lumpuh.

Altezza memutar mata. Jarinya bergerak, menekan beberapa huruf untuk membalas pesan tersebut.

Gendong gue.

Luka menghela napas saat bel kedua berbunyi. Dan lorong-lorong menjadi sepi. Dia berniat akan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku ketika pasan lain masuk, dari Altezza lagi.

Sekarang.

"Shit." Luka berlari membelah rintik hujan tanpa pelindung. Dia mengikat rambutnya asal, membuat leher putihnya terekspos jelas. Kaos hitamnya sedikit tersingkap. Dia basah. Luka berhenti setelah berdiri berhadapan dengan Altezza yang menatapnya tanpa emosi. Raut wajahnya terkesan dingin. "Apa?" Altezza tidak mengatakan apapun. Tangannya terulur, menyentuh perut Luka dari dalam kaos. Lembut. Luka menahan napas, merasakan usapan Altezza yang perlahan turun hingga ke pinggul. "Al-tez, apa yang lo- akh.." Luka membekap mulutnya, sesaat setelah Altezza meremas pinggulnya dan mengusap paha bawahnya, bermaksud untuk menurunkan roknya yang sedikit tersingkap.

"Kenapa lo?" Altezza mengangkat satu alisnya, tersenyum mengejek.

Filosofi dan teman-temannya sama-sama terkekeh. "Lanjutkan. Kami nggak terlihat."

Luka menggigit bibirnya. Rasa asing yang menggelitik masih membekas di kulitnya. Dia mencengkeram jersey basket Altezza. Tangannya gemetar. "Altez, lo itu apa-apaan?"

"Gue?" Altezza menunjuk dirinya sendiri. "Gue kenapa?" Cowok itu tertawa, kemudian menggenggam tangan Luka yang berkeringat. "Dih. Disentuh doang langsung gemetaran?"

"Ini pertama kalinya buat gue." Luka menggeleng, mengingat sesuatu. Dia mengoreksi, "selain di air terjun."

Altezza menarik napas dalam-dalam. "Apa lo berpikir gue pernah melakukan hal ini ke cewek lain?"

"Iya. Lo sendiri yang bilang." Luka memalingkan muka. Cengkeramannya pada jersey basket Altezza melemah. "It's about sex, right?" Altezza menutup mulutnya dengan lengan kiri. Sementara Filosofi dan teman-temannya kompak menyembunyikan wajah dibalik jersey basket. Luka terlihat polos. "Altezza masih perjaka, Ka. Maksud dari kata, 'itu pertama kalinya buat dia' adalah mandi hujan."

"Apa?" Luka menganga. Sedetik kemudian dia baru tersadar satu hal. Cewek itu menipiskan bibir. "Oh."

"Meow."

Altezza dan teman-temannya kompak memiringkan kepala, menatap ke arah tas ransel Luka yang perlahan terbuka. Kepala Lautan menyembul, kemudian melompat, membebaskan diri dari tas babunya. Tatapan Altezza terkunci ke hewan peliharaan tersebut. Salah satu sudut bibirnya tidak sengaja tergigit. Cowok itu terkekeh getir. Dia kehilangan Rain. Luka yang menyadari hal itu berinisiatif mengulurkan tangan, mengusap pipi dan punggung Altezza -perhatian. "Lo bisa menganggap Lautan sebagai hewan peliharaan lo, kalau lo mau."

"Boleh gue bawa pulang?" Altezza bertanya polos.

"Ya nggak lah. Dia masih punya gue."

"Lo juga punya gue. Lo boleh gue bawa pulang?"

Luka meringis, menatap Altezza khawatir sekaligus ngeri. "Nggak." Altezza memajukan bibir bawahnya, cemberut. Luka yang melihat hal itu spontan membekap mulut cowok itu. "Nggak usah sok imut. Jijik tau, nggak?"

Altezza terkekeh dan memilih merebahkan kepalanya di atas pundak Luka. "Pusing banget." Luka tidak mengatakan apapun. Dia menyamankan posisi kepala Altezza. Pundaknya terasa kebas, tetapi Altezza malah memakainya sebagai bantalan. Tangan cowok itu memegangi sebelah tangan Luka yang jatuh diatas bahunya tanpa sadar. "Gue suka banget di elus. Terutama di bagian pipi dan rambut." Luka memutar mata. Itu kode. Ragu, dia menyibak rambut Altezza dan mengusap pipi cowok itu, perhatian. "Selain itu, apa lagi yang lo suka?"

"Lo."

Luka menipiskan bibir. "Nggak hanya gue. Lo suka semua cewek yang nggak gampang patah, kan?"

"Tapi yang gue jadiin cewek cuma satu," Altezza memberi jeda. Dia menggenggam tangan Luka dan mengecupnya singkat. "Kamu."

Darahnya terasa seperti membeku dan Luka menahan napas, mencoba memperoses apa yang baru saja dia dengar. 'Kamu,' satu kata yang mengutuk perasaannya terhadap anak itu. "Lo...," Luka menelan ludah yang tercekat di tenggorokan. "Suka gue?"

"Lebih dari itu. Dia udah sayang lo," jawab Filosofi, mewakili Altezza. Dia mengangkat satu alisnya. Sahabatnya tidak menyangkal. Itu artinya, dugaan Filosofi selama ini benar. Luka sudah terjerat. Dia menyayangi Altezza. "Dasar, goblok." Filosofi mengejek lirih. Tidak satupun wajah berkedut. Hanya janji dalam hati. Altezza tidak mau mati sendiri. Luka mendorong pundak Altezza menjauh. Dia mengingat kembali percakapannya dengan cowok itu beberapa waktu lalu.

Luka mundur selangkah, terlihat menjaga jarak. Dia dan Altezza saling menatap tajam, kemudian tertawa. "Lo gila."

"Gue nggak waras." Altezza kelewat santai. "Tapi seandainya gue mati lebih awal, lo bebas."

"Apa?"

"Kecelakaan." Altezza menjawab cepat. "Seandainya gue mati lebih awal dibandingkan vonis dari penyakit gue, kita selesai."

"Altez, lo-" Luka kehilangan kata-kata. Dia menunduk, menghembuskan napas sesaknya yang serasa mencekik. Altezza mengerutkan kening, melihat setetes air yang jatuh melewati pipi. Cowok itu mendekat dan menyentuh mata Luka dengan bibirnya yang pucat sebelum akhirnya menarik cewek itu ke dalam pelukan. Luka seperti sudah kehabisan napas. Dan usapan lembut pada kepalanya membuat rasa sakit Luka sedikit teralihkan. Altezza tertawa serak. "Lo nangis, sayang?" bisiknya.

"Gue, nggak." Luka mencengkeram jersey basket Altezza dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke dada cowok itu. "Shit." Dia menggigit bibirnya, kemudian mendesis, "I have a crush on you."

997 word.

Continue Reading

You'll Also Like

3.9M 233K 60
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
251 98 8
bagaimana perasaan seorang abang, ketika kehilangan adik perempuan satu satunya.
3.7M 275K 42
[[Follow sebelum membaca]] -- Kinan, gadis ceria penyimpan banyak rahasia. Di balik senyum indahnya, Kinan menyimpan beribu luka terpendam. Kinan cum...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.9M 103K 57
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...