Tinta Terakhir ✔

Da Lilpudu

1.7M 222K 36K

[Sudah dibukukan, part lengkap] versi novel bisa dipesan melalui shopee : penerbit.lovrinz01 Bagi Wisnu, hal... Altro

Halaman pertama🍂; Prologue
Halaman kedua🍂; awal
Halaman ketiga🍂; Warteg pinggir jalan.
Halaman keempat🍂; Rumah kedua.
Halaman kelima🍂; Ditempat yang sama.
Halaman keenam🍂; Awal dari pertemuan.
Halaman ketujuh🍂; Tolong rahasiakan.
Halaman kedelapan🍂; Pertemuan yang dibalut rasa sakit.
Halaman kesembilan🍂; Harus Sempurna Di mata Ayah.
Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.
Halaman keduabelas🍂; Bisa sembuh, kan?
Halaman ketigabelas🍂; Peristiwa di gang.
Halaman keempat belas🍂; Gelisah yang membuncah.
Halaman kelima belas🍂; Menjadi kuat untuk sementara
Halaman keenam belas🍂; Maaf karena tidak bisa menjadi sempurna.
Halaman ketujuh belas🍂; Apapun untuk ayah.
Halaman kedelapan belas🍂; Berjuang sedikit lebih lama
Halaman kesembilan belas🍂; Belum siap kehilangan
Halaman kedua puluh🍂; Tidak bisa jika tanpa oksigen
Halaman kedua puluh satu🍂; Sisa tinta terakhir
Halaman kedua puluh dua🍂; Tinta terakhir
Halaman kedua puluh tiga🍂; [end] Berhasil menjadi kebanggaan ayah
Bonus chapter🍂; Kita mulai semuanya dari nol.
Bonus Chapter II🍂; Semuanya akan baik-baik saja
Segera Terbit!
VOTE COVER!
PRE-ORDER DIBUKA!
Versi AU⚠️

Halaman kesebelas🍂; Maaf karena merepotkan Ayah.

50.1K 7.5K 1.2K
Da Lilpudu

Happy Reading!

Tidak salah jika sekarang Wisnu, Aji dan Bian masih sama-sama bungkam setelah mendengar penuturan Hanan beberapa detik yang lalu tentang penyakitnya yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghantui. Sebab kini wajah Hanan benar-benar pucat saat setelah ia mengubah posisinya menjadi duduk, bersiap untuk segera pulang karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Untungnya di luar hujan sudah reda, hanya ada angin malam yang terus berhembus kencang sampai beberapa daun ikut berterbangan ke sana-ke mari.

Dengan perasaan campur aduk, Wisnu menatap Hanan dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan sisa air mata pun masih bisa Hanan lihat di sudut matanya.

"Abang antar pulang, ya? Biar abang jaga kamu." begitu katanya setelah ia usap kepala Hanan dengan penuh kasih sayang.

Tidak bohong kalau sekarang Wisnu benar-benar merasa bersalah setelah melihat keadaan Hanan yang seperti ini. Hatinya ikut sakit saat bibir Hanan mengucapkan kata 'sakit', atau bahkan hanya karena melihat wajahnya saja hati Wisnu bisa berdenyut perih.

"Abang antar sampai rumah. Ngga masalah kalau abang harus di marahin habis-habisan sama ayah kamu, abang ngga akan biarin adek abang pulang sendirian." kali ini Wisnu menekankan setiap kata yang ia ucapkan, seolah tidak mau menerima penolakan dari si lawan bicara.

Mendengar itu Hanan hanya bisa tersenyum kecil, Wisnu selalu bisa membuat Hanan merasa aman, membuat hati nya menghangat hanya dengan kehadirannya.
"Hanan udah besar, bang, udah delapan belas tahun, udah punya SIM sendiri, udah bisa berdiri tanpa bantuan siapapun. Hanan ngga mau merepotkan abang, udah cukup Hanan nambahin beban pikiran abang karena kasih tahu tentang penyakit Hanan, dan sekarang Hanan ngga mau kalau hati abang malah semakin sakit denger ucapan-ucapan ayah nanti kalau sampai abang antar Hanan pulang."

Kini matanya ia arahkan pada Bian dan Aji bergantian dengan senyuman yang masih terpancar di bibir pucat nya.
"Titip abang, ya? Jangan sampai senyumannya dibiarkan hilang." kemudian Hanan usap pundak Bian dan Aji, "Pulang dulu ya, makasih untuk kehangatannya."

Dengan segera Hanan beranjak meski tubuhnya sedikit sempoyongan menahan sakit di kepalanya. Tanpa mau menoleh dan kembali menatap Wisnu yang masih mematung di tempat, Hanan langsung melangkahkan kakinya menuju motor yang terparkir di samping rumah setelah berhasil menggunakan sepatunya.

Tapi tiba-tiba saja tubuh Hanan membeku saat Wisnu berlari dan mendekap tubuhnya malam itu. Di bawah langit malam Wisnu menumpahkan seluruh air matanya dalam pelukan sang adik, ia usap kepala Hanan dengan lembut sembari terus mengucapkan kata maaf yang terkesan menyakitkan di telinga Hanan.

"Maaf, Nan.. Maaf karena kamu harus ngerasain ini semua, maaf karena abang ngga bisa lindungin kamu, ngga bisa merawat kamu lagi kaya dulu.."

Wisnu semakin terisak di bahu Hanan, tidak pedulikan Hanan yang kini tengah menahan tangis sebisa mungkin.
"Nan.. Kalau boleh abang egois saat itu, abang ngga mau kamu ikut pulang sama mereka.. Abang ngga mau dunia satu-satunya yang abang punya mereka ambil, abang ngga mau.."

"Izinin abang, Nan.. Izinin abang antar kamu pulang malam ini, abang ngga mau kalau sampai kamu kenapa-kenapa, abang mau memastikan kamu pulang dengan selamat." alun-alun Wisnu melepas pelukan, ia tatap manik kecokelatan milik sang adik yang terlihat berkaca-kaca.

"Ya? Tolong jangan bikin rasa penyesalan abang semakin besar, Nan.. Abang mohon sama kamu."

Dengan gerakan perlahan Hanan mengangguk, ia tatap mata Wisnu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sebab sungguh, sesak sekali saat mendengar suara Wisnu bergetar di tengah-tengah tangisan.

"Motornya di simpan di sini, besok kalau kamu sudah membaik, kamu bisa ambil selepas pulang sekolah." tutur Wisnu sebelum ia gandeng tangan Hanan dan melangkah pergi meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk.

Di perjalanan, Hanan hanya menatap kosong ke arah bawah setelah mereka berdua berhasil mendudukkan bokongnya di kursi bus yang akan membawanya ke kediaman keluarga Jason. Berbeda dengan Hanan, di situ justru Wisnu semakin dilanda khawatir melihat gerak-gerik Hanan yang terlihat gelisah, keringat dingin dapat Wisnu lihat membasahi wajah pucat itu.

"Pusing?"

Kepalanya di angkat, Hanan menoleh sembari tersenyum dan sedikit mengangguk, namun di detik berikutnya ia kembali menunduk.

"Sini." tangan Wisnu bergerak, ia simpan kepala Hanan di bahunya, "Kamu bisa pakai bahu abang, Nan.. Jangan sungkan, ini abang kamu, Wisnu."

Tidak pernah bosan Wisnu selalu mengingatkan Hanan tentang siapa dirinya, tentang rasa sayangnya yang kadang tidak bisa Hanan terima sebab ternyata setelah belasan tahun berpisah, perasaan canggung sudah menyelimuti Hanan.

"Bahu abang selalu kosong, Nan, sengaja abang kosongkan untuk kamu. Jadi kalau suatu saat kamu butuh, kamu bisa bersandar kapan pun kamu mau." tangan itu terus mengusap kepala Hanan sembari ia pijit sesekali agar pusingnya bisa sedikit mereda.

"Jangan terlalu lama dipendam ya, Nan. Bilang sama ayah kamu, jujur tentang rasa sakit yang kamu rasakan sekarang."

Terlihat Hanan hanya menganggukkan kepalanya di bahu Wisnu sembari sesekali meringis menahan pusing. Bukan berniat menyembunyikan penyakitnya, Hanan hanya takut kalau ayah akan semakin marah dan menganggap Hanan sebagai beban di keluarganya. Hanan belum cukup membahagiakan ayah, dari dulu yang ia bisa hanya membuat ayah marah dan naik darah.

"Antar sampai depan gang aja, ya? Hanan ngga mau abang kenapa-kenapa nanti." alun-alun Hanan mengubah posisinya menjadi duduk.

"Bang.. Hanan ngga pernah tahu apa yang abang rasain selama abang hidup di panti sendirian. Jadi tolong maafin Hanan ya, bang? Maafin Hanan yang ngga pernah tepati janji untuk jemput abang."

Sembari menghembuskan napas yang terkesan menyesakkan, Hanan meraih tangan Wisnu untuk ia genggam.
"Maaf juga karena setelah tuhan kasih kesempatan untuk kita bertemu, Hanan malah dalam keadaan yang kaya gini, Hanan malah jadi beban pikiran baru buat abang."

"Bang.. Kalau Hanan boleh jujur, Hanan sebenarnya ngga mau tinggalin abang.." terlihat Hanan menundukkan kepalanya dalam-dalam, "Tapi ternyata disitu Hanan ngga tahu lagi mau apa selain ikut sama orang-orang itu."

"Nan.." dengan cepat Wisnu memotong ucapan Hanan, "Kamu masih terlalu kecil saat itu, begitupun abang. Bahkan tulisan tangan kamu di kalender pun masih sulit untuk abang baca, masih banyak hal-hal yang belum kamu tahu, Nan.. Masih terlalu kecil untuk mengerti."

Setelah Wisnu mengucapkan kalimat itu, keduanya sama-sama bungkam, keheningan menyelimuti sampai akhirnya suara Hanan kembali terdengar setelah beberapa menit mereka masih saling diam.

"Kalau nanti Hanan bisa sembuh, ayo kita mulai semuanya lagi dari awal. Kita habiskan waktu berdua yang dulu sempat terjeda." lantas senyuman di bibir pucat milik Hanan terlihat, "Kita tulis kenangan baru sama-sama, kita penuhi bukunya sampai tinta terakhir."

Mendengar itu, entah kenapa tiba-tiba mata Wisnu memanas, banyak sekali kepedihan yang terkubur di dalam mata sang adik setelah dia mengucapakan kalimat panjang itu barusan. Tapi sebisa mungkin tidak Wisnu perlihatkan raut wajah sedih nya. Lantas ia usap lembut bahu Hanan, seraya memberi kekuatan dengan sentuhan itu.

"Dengan senang hati abang bakalan jadi manusia pertama yang paling bahagia waktu denger kalau kamu sembuh, Nan.. Jadi abang mohon sama kamu, jangan nyerah, ya? Abang tahu kamu anak yang kuat." lagi, Wisnu usap bahu Hanan untuk yang kedua kali sembari sebisa mungkin menahan tangis.

Anggukan kecil terlihat sebelum Hanan memfokuskan pandangan ke arah depan sembari sedikit berdiri sebab gang rumahnya sebentar lagi terlihat.

"Udah sampai?"

Hanan mengangguk, ia ambil tangan Wisnu sembari ia tuntun untuk turun dari bus itu. Bus Biru yang menjadi saksi janji Hanan dengan Wisnu untuk sama-sama bangkit dan mengukir kembali kenangan yang sempat terjeda.

"Antar sampai sini aja, bang." ucap Hanan dengan berat hati. Sebab nyatanya ia ingin sekali Wisnu antar sampai depan rumah, tapi itu tidak mungkin, ayah bisa marah nanti.

"Rumah kamu yang mana? Supaya nanti abang bisa jaga kamu dari sini." dengan senyuman lembut Wisnu mengedarkan pandangannya.

Tangan Hanan bergerak, menunjuk rumah paling besar yang ada di sana, rumah dengan nuansa putih gading yang mendominasi. Sempat Wisnu tercengang melihatnya, sampai akhirnya ia tersenyum getir mengingat kekayaan ternyata tak bisa menjamin kebahagiaan, sebab nyatanya Hanan bukan bahagia tinggal di sana, melainkan malah hidup dalam tekanan.

"Kalau gitu abang antar sampai gerbang aja, ya?"

Setelah berpikir untuk beberapa detik, akhirnya Hanan mengangguk, mempersilahkan Wisnu untuk mengantarnya sampai gerbang besar di depan rumahnya.

Dengan langkah sedikit pelan sebab takut ayah melihat, Wisnu berdiri setelah ia berhasil menginjakkan kakinya tepat di depan gerbang, membiarkan Hanan yang mulai masuk ke dalam rumah dengan langkah sempoyongan.

"Hanan masuk, ya? Makasih banyak, abang hati-hati, jangan melamun di jalan." terakhir, Hanan melambaikan tangannya, kemudian langsung berbalik, melangkahkan kakinya ke dalam.

Dengan perasaan gelisah, Wisnu menatap punggung Hanan yang mulai mengecil, sampai akhirnya punggung itu tidak terlihat setelah pintu di tutup sepenuhnya.

"Abang pulang, Nan.. Kapan-kapan abang ke sini lagi." batin Wisnu berucap sebelum ia melangkahkan kaki nya untuk segera pulang.

Dan sini, Hanan sempat mematung untuk beberapa detik saat matanya menangkap sosok ayah yang tengah melipat tangan di depan dada setelah Hanan masuk kedalam rumah.
Jason tidak mengucapkan apapun, matanya hanya ditujukan untuk Hanan dengan tatapan yang sulit diartikan.

Hanan yang bingung hanya bisa tersenyum canggung sembari meremas jari-jarinya, takut jika ia berbuat kesalahan sampai membuat ayah marah seperti ini.

"Dari mana baru pulang jam segini?"

Pertanyaan itu sukses membuat Hanan mengerutkan keningnya, padahal ayah tahu, bahkan ayah yang menambahkan jadwal les, tapi kenapa malah pertanyaan seperti itu yang Hanan dengar.

"Baru selesai les, Yah."

Terlihat Jason tersenyum meledek, ia tatap Hanan dari atas sampai bawah yang tidak menggunakan pakaian sekolah, melainkan menggunakan pakaian rumahan. Jelas melihat itu amarah Jason sempat meningkat, sampai akhirnya ia kembali berucap.

"Dari mana? Kamu jawab dengan alasan yang ngga masuk akal lagi, ayah pukul kamu."

Jujur saja mendengar suara sang ayah yang berat dan terkesan mengintimidasi membuat Hanan semakin menundukkan kepala nya. Ayah tidak bisa dibohongi, selalu saja ada yang ia curigai dari Hanan, sekalipun pemuda itu berkata jujur.

Bukannya menjawab, Hanan malah diam dan memainkan jari-jarinya sembari menahan pusing yang teramat sangat, sekaligus menahan batuk.

"Dodi bilang sama ayah kalau kamu pulang lebih awal karena sakit."

Seketika tubuh Hanan membeku, rasanya semakin takut hanya untuk mengangkat wajah dan menjelaskan semuanya pada ayah. Jason terlalu menakutkan, amarahnya selalu berhasil membuat Hanan kewalahan.

"Baju siapa? Dari mana semalam ini baru pulang, hm? Ayah tunggu kamu dari jam tujuh disini, berdiri dan ngga sabar buat kasih pelajaran untuk anak yang berani bohong kaya kamu."

Sembari merasakan kepalanya yang semakin berdenyut sakit, Hanan terbatuk dihadapan Jason malam itu, ia menunduk dalam-dalam, berusaha menghentikan suara batuknya yang bisa-bisa semakin memperburuk keadaan. Sesekali ia tepuk dadanya, berharap agar batuk-batuk menyebalkan ini berhenti sebab Hanan tidak kuat, sakit sekali rasanya.

"Jangan pura-pura, Hanan. Ayah ngga akan percaya dengan akting kamu."

Tidak ada jawaban, Hanan kini semakin tersungkur, tubuhnya semakin lemas, kakinya tidak kuat untuk menumpu tubuhnya lagi sampai-sampai ia menunduk dengan kening yang menempel di lantai.

"Jangan berusaha mengalihkan topik pembicaraan, Hanan!" suara Jason semakin tinggi, sebab ternyata kini bisa ia lihat mata Hanan memejam menahan sakit.

Masih tidak ada jawaban, Hanan semakin menggeliat, keringat dimana-mana. Dan jelas melihat itu Jason panik, sebab tidak pernah ia melihat Hanan seperti ini sebelumnya.

"Kamu kenapa, sih? Becandaan kamu ngga lucu."

Hanan menggeleng, berusaha sebisa mungkin mendongak, menatap manik sang ayah yang ternyata sudah lebih lembut dari sebelumnya.

"Tolong, Yah.. Sakit.." ucap Hanan dengan suara yang hampir tidak terdengar oleh Jason, lantas kembali menunduk, menyandarkan kepalanya pada ubin dingin.

"Sakit apa, Hanan? Jangan berusaha membohongi ayah." masih dengan ego nya, Jason tetap tidak sepenuhnya percaya pada sang anak meski pemandangan dihadapannya sudah cukup membuktikan bahwa Hanan sedang tidak baik-baik saja.

"Paru-paru Hanan rusak, Yah.."

Dan ya, tidak bisa berbohong, setelah mendengar ucapan Hanan barusan Jason terlihat lebih panik dari sebelumnya. Ia lantas berjongkok, berusaha menyamakan tinggi nya dengan sang anak.

Tangan Jason terulur, ia sentuh kening Hanan yang dipenuhi oleh keringat dingin. Kemudian kembali beranjak dan melangkah ke dalam kamar dengan langkah tergesa untuk mengambil kunci mobil di atas nakas.

"Kita ke rumah sakit sekarang." begitu katanya, dengan perlahan ia bantu Hanan untuk berdiri, sebab ternyata Hanan sudah tidak mampu untuk berjalan sendiri.

"Demi apapun kamu menyusahkan, Hanan."

Bisa Hanan dengar bisikan itu dengan sangat jelas di telinganya saat setelah ia berhasil didudukan di kursi samping kemudi. Ternyata benar dugaannya, memberi tahu ayah tentang penyakitnya malah semakin membuat ayah kesal, semakin menjadi beban pikiran baru untuknya.

Sembari menahan sesak Hanan menoleh, menatap sang ayah yang kini mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Maaf, Yah.. M-maaf Hanan merepotkan ayah.."



























































***

Aaaa Hanan😭

Continua a leggere

Ti piacerà anche

3.5K 233 11
'jian gak pernah benci samudra. tapi samudra adalah luka terdalam jian' - Jian 1999 konon bisa bertahan bersama tapi kenapa hanya Jian yang tersisa...
1.1M 183K 28
[ Part lengkap ] Tidak peduli bagaimana tubuh itu di terpa angin, hujan, ombak, bahkan badai sekalipun. Punggung Ayah akan tetap menjadi yang ter-ko...
35.6K 5.3K 45
"semesta, tolong katakan kepada bumi, bahwa langit nya ini sedang rindu." -ft. na jaemin note: walaupun cerita ini sudah tamat, tapi tolong tetap tek...
1.5K 106 22
Menjadi makhluk demigod bukanlah hal yang menyenangkan, terlibat dengan pertarungan yang menyebabkan kematian. 13 remaja laki - laki ini harus melewa...