Tinta Terakhir ✔

Von Lilpudu

1.7M 222K 36K

[Sudah dibukukan, part lengkap] versi novel bisa dipesan melalui shopee : penerbit.lovrinz01 Bagi Wisnu, hal... Mehr

Halaman pertama🍂; Prologue
Halaman kedua🍂; awal
Halaman ketiga🍂; Warteg pinggir jalan.
Halaman keempat🍂; Rumah kedua.
Halaman kelima🍂; Ditempat yang sama.
Halaman keenam🍂; Awal dari pertemuan.
Halaman ketujuh🍂; Tolong rahasiakan.
Halaman kedelapan🍂; Pertemuan yang dibalut rasa sakit.
Halaman kesembilan🍂; Harus Sempurna Di mata Ayah.
Halaman kesebelas🍂; Maaf karena merepotkan Ayah.
Halaman keduabelas🍂; Bisa sembuh, kan?
Halaman ketigabelas🍂; Peristiwa di gang.
Halaman keempat belas🍂; Gelisah yang membuncah.
Halaman kelima belas🍂; Menjadi kuat untuk sementara
Halaman keenam belas🍂; Maaf karena tidak bisa menjadi sempurna.
Halaman ketujuh belas🍂; Apapun untuk ayah.
Halaman kedelapan belas🍂; Berjuang sedikit lebih lama
Halaman kesembilan belas🍂; Belum siap kehilangan
Halaman kedua puluh🍂; Tidak bisa jika tanpa oksigen
Halaman kedua puluh satu🍂; Sisa tinta terakhir
Halaman kedua puluh dua🍂; Tinta terakhir
Halaman kedua puluh tiga🍂; [end] Berhasil menjadi kebanggaan ayah
Bonus chapter🍂; Kita mulai semuanya dari nol.
Bonus Chapter II🍂; Semuanya akan baik-baik saja
Segera Terbit!
VOTE COVER!
PRE-ORDER DIBUKA!
Versi AU⚠️

Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.

55.1K 8K 571
Von Lilpudu

SEBELUMNYA AKU MAU MENGINGATKAN UNTUK TIDAK MEMBAWA-BAWA CERITA LAIN KE CERITA INI. JADI TOLONG BANGET HARGAI AKU SEBAGAI PENULIS YA. TERIMAKASIH.

.

Happy Reading!

“Saya pingin banget peluk Hanan kemarin, tapi keadaannya ngga memungkinkan. Baju saya kotor, lusuh, bau, dan lagi masih di lingkungan sekolah. Saya takut Hanan malu nanti.”

Sekiranya begitu penuturan Wisnu setelah beberapa menit lalu dia  selesai membersihkan tubuhnya. Sorot mata kosong yang diarahkan ke arah depan, menjadi cara Wisnu untuk kembali mengingat kejadian setengah jam yang lalu saat ia bertemu dengan sang adik di samping gerbang sekolah SMA 2.

Cara Hanan menatapnya dengan tatapan sayu, cara bibir pucatnya tersenyum, dan cara bicaranya yang terdengar pelan, membuat hati Wisnu semakin dilanda kegelisahan. Jujur, sore tadi warna kulit Hanan benar-benar terlihat pucat, ketika Wisnu menatap eksistensinya di bawah pohon sembari menggunakan helmet, tidak tahu apa yang salah, tapi di situ Wisnu bisa melihat kalau Hanan sempat meringis sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Dan melihat Wisnu melamun seperti itu, Bian yang kebetulan duduk tepat di samping nya hanya bisa menghembuskan napas panjang setelah tangannya untuk kedua kali menyodorkan sepiring mendoan hangat hasil ia bereksperimen dengan Aji.

“Mendoan nya di makan dulu bang, nanti keburu dingin.” kemudian kembali ia taruh di atas meja, membiarkan Wisnu mengambil itu dengan sendirinya.

“Tapi menurut ku, bang Hanan bukan tipe orang yang begitu, apa lagi abang ini kakaknya. Peluk aja, bang, rengkuh dia, udah lama bang Hanan ngga pernah ngerasain itu lagi dari abang, kan?”

Mendengar penuturan Bian, Wisnu mengangguk singkat, masih enggan untuk mengalihkan pandangannya dari arah depan.

“Belasan tahun ngga ketemu bikin saya takut kalau Hanan ngerasa canggung waktu dekat saya, Bian.” alun-alun Wisnu menoleh, ia tatap manik Bian sembari tersenyum kecil, lantas tangannya bergerak mencomot satu mendoan hangat yang sempat ia anggurkan beberapa kali.


“Kamu yang bikin?”

Bian nampak sumringah ketika Wisnu mencicipi mendoan hasil eksperimen nya dengan Aji beberapa menit lalu sembari menunggu Wisnu selesai mandi. Dengan anggukan kecil yang ia berikan, lantas setelahnya Bian tersenyum singkat.

“Iya, bareng Aji juga.”

“Aji walaupun begitu, dia bisa diandalkan, bisa disuruh cuci piring, ambilin tempe, cuci bawang daun, dan lain sebagainya, hahhaha.” lanjut Bian tanpa sadar kalau Aji kini sudah berada tepat di belakangnya.

“Itu cuma sebagai bentuk terimakasih Aji karena abang udah mau masakin kita makanan, soalnya kalau ngga ada abang, Aji ngga bisa makan.” sahutnya sembari berjalan dan duduk di teras dingin tanpa alas, kemudian ia ambil dua potong mendoan super jumbo dari piring.

“Bersyukur makanya kamu punya kakak kaya abang yang pintar masak ini, Ji.. Jarang orang beruntung seperti kamu yang bisa punya abang keren kaya abang.”

“Abang juga harusnya bersyukur punya adek penurut kaya Aji, jarang orang beruntung punya adek yang bisa diandalkan dan super imut kaya gini.” dengan gaya sok imut Aji tersenyum sembari menaruh kedua jari telunjuknya di pipi.

Jelas melihat itu Wisnu hanya bisa tersenyum, sedangkan Bian sudah lebih dulu menerjang tubuh Aji dan mengecup pipi nya berulang kali. Sebenarnya ini bukan kali pertama Wisnu melihat pemandangan seperti ini, sebab dari beberapa Hari lalu, bahkan setiap hari, Bian tidak pernah absen untuk menciumi pipi Aji dengan alasan kalau ia tidak kuat dengan kegemasan sang adik.

Layaknya Hanan dan Wisnu dulu.

Tepatnya saat masih hidup bersama di panti, saat raga Hanan masih bisa Wisnu dekap berulang kali. Tidak jauh berbeda dengan Bian, Hanan juga manusia yang sangat suka dengan skinship, berbeda dengan Wisnu. Pemuda itu kadang merasa risih ketika Hanan sudah mulai manja dan memeluknya tanpa tahu keadaan. Tak jarang juga Wisnu di ledek karena sifat Hanan yang terlihat memalukan untuk beberapa orang.

Tapi justru sekarang Wisnu menyesal, belasan tahun dia kesepian tanpa adanya Hanan kecil yang bawel dan selalu membahas tentang hal-hal random seperti 'berapa harga mobil-mobilan tanpa roda? Berapa banyak butir nasi yang sudah ia makan selama seminggu?', dan demi apapun saat ingatan itu kembali muncul, rasanya hati Wisnu seperti di cengkeram kuat-kuat, sakit sekali rasanya.

“Mirip dengan Hanan.”

Bian menoleh.

“Cara kamu memperlakukan Aji sama seperti Hanan memperlakukan saya dulu. Tapi jelas Hanan lebih parah, dia lebih agresif, hahah..” sengaja Wisnu selipkan tawa diakhir kalimat, sebab beberapa detik setelah ia mengucapkan itu, hawa canggung hampir menyelimuti.

“Serius? Setahu Aji, bang Hanan itu dingin. Ya tapi kadang juga baik, sikap dia suka berubah-ubah, ngga kelihatan sama sekali kalau dia tipe orang yang suka skinship.” tutur Aji sembari mengusap pipinya yang baru saja Bian nodai.

“Pencabulan tahu, bang! Abang bisa kena pidana kalau terus-terusan kaya gini. Mending kalau ngga bau, lah ini kan bau jigong!” tak hentinya Aji mericau, memarahi Bian yang bahkan hanya tersenyum sembari menatap Aji dengan tatapan penuh kasih sayang.

Tak jauh berbeda juga dengan Wisnu. Sebab ketika Hanan marah karena tak diizinkan memeluk atau ketika Wisnu menolak untuk Hanan cium, tak jarang Wisnu bersikap seperti Bian,– menatap Hanan dengan tatapan penuh kasih sayang, bertujuan agar Hanan mengerti dan bisa meredakan amarahnya.

“Salah sendiri kenapa bertingkah imut kaya gitu? Kamu kira abang mau cium kamu? Ya jelas lah, mau.”

Aji hanya memutarkan bola mata malas, kemudian memilih untuk membuang pandangan ke arah lain sembari menghitung berapa banyak tetesan air hujan yang jatuh kedalam ember hitam dekat pohon pisang.

Sikap aneh sekaligus random milik Aji ternyata sama saja dengan Hanan. Tapi bedanya, alun-alun sikap Hanan yang seperti itu hilang. Sekarang hidupnya terlalu flat, tidak ada warna yang bisa Wisnu temukan dari mimik wajahnya layaknya dulu.

“Pingin ketemu Hanan lebih sering, tapi saya ngga tahu gimana caranya.” ucap Wisnu dengan pandangan kosong.

“Kalau bisa, saya mau minta Hanan dikembalikan aja, tapi saya tahu itu ngga mungkin. Hanan sudah dibesarkan sekaligus disekolahkan oleh mereka dengan barang-barang dan makanan mahal setiap hari nya, saya ngga ada hak lagi.”

Setelah mendengar itu Bian dan Aji sama-sama ikut melamun. Hingga keheningan menyelimuti ketiganya untuk beberapa detik, sampai akhirnya Aji bersuara.

“Kalau abang jadi tukang kebun di rumah orang tua angkatnya sih bisa setiap hari mantau bang Hanan, tapi kan itu ngga mungkin?” terlihat Aji masih sibuk menatap tetesan demi tetesan air dihadapannya.

Mata Wisnu membelalak, tuturan Aji barusan benar-benar memberikan setitik cahaya untuknya.
“Aji... Ide bagus...”

Tapi baru saja Wisnu setuju, tiba-tiba hujan turun semakin deras yang membuat ketiganya terpaksa harus cepat-cepat masuk ke dalam rumah, sebab hujan yang turun kini di sertai angin kencang nan dingin yang langsung menusuk permukaan kulit mereka.

Sedangkan di tempat les, Hanan tidak bisa fokus sama sekali dengan materi yang guru nya sampaikan akibat kepalanya yang kepalang sakit dan tubuhnya yang semakin melemas.

Kebetulan laki-laki paruh baya yang merangkap menjadi guru les itu cepat menyadari kalau ada gelagat aneh dari tubuh Hanan. Pemuda itu menunduk dalam-dalam dengan lipatan tangan yang sengaja di tumpuk di atas meja untuk menjadi bantalannya. Tak jarang juga Hanan terlihat sedang menarik dan menjambaki rambutnya sendiri.

“Hanan? U okay?”

Mendengar namanya dipanggil, Hanan dengan cepat langsung mengangkat kepalanya sembari menampilkan senyuman di bibir pucat pasi nya.

“Hmm.. Cuma pusing sedikit.” balas Hanan singkat sembari sesekali wajahnya terlihat menahan sakit.

Sedangkan guru les bahasa inggris di hadapannya langsung menghampiri dan langsung menyentuh kening Hanan yang di penuhi oleh keringat dingin.

“Astaga.. Kamu sakit, Hanan? Kenapa ngga bilang? Kalau bilang dari awal saya bisa larang kamu untuk datang ke sini.”

Dengan sangat hati-hati Hanan mendongak, menatap wajah laki-laki paruh baya itu.
“Sebelumnya ngga separah ini.”

Laki-laki berpostur tegap itu kembali melangkah, kini langkahnya membawa ia keluar, sampai akhirnya mata itu hanya bisa menangkap hujan yang jatuh semakin deras pada permukaan tanah.

“Tapi di luar hujan deras.” ucapnya sedikit berteriak dari arah belakang sembari melangkah mendekat ke arah Hanan kembali.

“Saya antar pakai mobil saja, ya? Biar lebih aman.”

Hanan kemudian menggeleng, jelas itu bukan pilihan yang tepat sebab yang ada ayah bisa marah nanti saat tahu kalau Hanan sampai merepotkan orang lain dan berhutang budi.

“Saya bawa jas hujan, lagian hujan nya juga ngga terlalu besar.”

“Ngga terlalu besar gimana? Jelas-jelas di luar hujan nya deras. Kalau kamu ngotot mau pulang sendiri, itu artinya kamu cari mati.” Laki-laki itu nampak tidak setuju dengan ucapan Hanan sebelumnya.

Hanya dengan begitu Hanan terkekeh, mencoba untuk bersikap biasa saja agar guru dihadapannya percaya kalau Hanan masih kuat untuk pulang sendiri.

“Cari mati itu kalau saya diantar bapak.” jelas Hanan dengan kekehan diakhir kalimat.

Iya, cari mati yang sesungguh nya itu ya saat Hanan pulang diantar gurunya, sebab mau bagaimana pun, ketakutan paling besar Hanan adalah amarah ayah yang tidak bisa dikontrol.

“Maksudnya?”

Hanan menggeleng kecil sembari beranjak setelah selesai merapikan buku-buku dan pulpen ke dalam tas.
“Saya izin pulang ya, pak. Jangan khawatir, gini-gini saya sudah punya SIM.” lantas tersenyum sembari melangkahkan kaki nya keluar.

Setelah berhasil melangkahkan kaki keluar, udara dingin langsung menusuk permukaan kulit milik Hanan. Dan dengan segera pemuda itu langsung mengambil jas hujan di dalam tas yang selalu ia bawa setiap hari, jaga-jaga kalau kejadian seperti ini terjadi.

Selepas menggunakan jas hujan, Hanan langsung merogoh saku celananya dan mengambil ponsel untuk mengirim pesan pada Bi Ama.

Hanan
Assalamualaikum bi |
ayah sudah pulang?|
18:30

Bi Ama
| waalaikumsalam..
| sudah, tadi jam 5
| katanya lagi ngga enak badan,
jadi harus pulang cepet.
18:30

Hembusan napas panjang terdengar jelas ketika Hanan membaca pesan yang baru saja Bi Ama kirimkan. Jelas, jika ayah ada di rumah, Hanan bisa habis kalau harus pulang se siang ini. Yang ayah tahu Hanan akan pulang pukul 9 malam.

Dengan perasaan bingung, Hanan menatap kosong ke arah bawah untuk beberapa detik, sampai akhirnya kepalanya kembali berdenyut sakit. Tanpa basa-basi langsung saja Hanan terobos hujan setelah berhasil memasukan ponselnya ke dalam saku.

Jalan satu-satu nya yang Hanan punya sekarang adalah rumah Aji dan Bian, pemuda itu menancapkan gas nya di atas rata-rata agar bisa lebih cepat sampai pada kehangatan yang kini turut hadir di dalamnya. Sebab sungguh, kepalanya benar-benar sakit sekarang, tubuhnya juga lemas bukan main.

Sudah sekitar 15 menit, akhirnya motor yang Hanan tumpangi kini sudah berhasil di parkir kan di samping pohon mangga. Dengan langkah sempoyongan Hanan berjalan bersamaan dengan  pandangannya yang alun-alun memudar tepat saat dimana ia melihat Wisnu berlari ke arah nya dengan ekspresi super panik.

Bisa Hanan rasakan dekapan hangat setelah Wisnu mendekat dan membantu Hanan berjalan sampai kedua nya berhasil masuk ke dalam rumah. Sedangkan Bian dan Aji sibuk menyiapkan Handuk untuk Hanan dan Wisnu yang sama-sama basah. Tanpa berlama-lama, Hanan langsung berjalan menuju kamar mandi untuk berseka, sebab ternyata celananya ikut basah, jadi Hanan harus menggantinya dengan baju dan celana milik Bian.

Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Hanan lantas langsung berbaring dengan kepala yang semakin terasa pusing jika ditidurkan. Matanya terpejam menahan sakit, sedangkan tubuhnya malah terus berkeringat dingin.

“Kenapa, Nan.. Apa yang sakit?”

Suara lembut yang keluar dari bibir Wisnu seketika membuat mata Hanan yang semula terpejam, kini alun-alun kembali terbuka.

Belum sempat membalas pertanyaan sang kakak, Hanan lebih dulu terbatuk cukup lama. Dan melihat itu, ekspresi Wisnu kembali panik apalagi ketika melihat darah yang keluar dari mulut sang adik.

Napas Hanan sempat tersendat beberapa kali, tapi dengan bantuan usapan lembut dari tangan Wisnu di punggung nya membuat napas Hanan menjadi lebih teratur dari sebelumnya. Dengan gerakan cepat Hanan langsung mengusapkan darah di tangannya secara asal pada baju hitam yang dia gunakan. Tidak mau Wisnu tahu kalau ternyata yang ada di tangannya adalah darah. Padahal di sini, Wisnu sudah melihat dengan jelas bercak kemerahan itu lebih dulu dari pada Hanan.

Tanpa mau berlama-lama, Wisnu beranjak untuk mengambilkan segelas air untuk sang adik, jaga-jaga kalau batuk kembali menyerangnya.

“Minum dulu.” Wisnu kembali duduk, lantas membantu Hanan untuk meneguk air yang ia bawa. “Habisin, biar tenggorokan nya lebih enakan.”

Setelah Hanan teguk air itu sampai habis, alun-alun ia kembali menidurkan tubuhnya di atas tumpukan bantal yang sebelumnya sudah dirapikan, jaga-jaga kalau sesak nya semakin menjadi.

Melihat Hanan yang seperti itu, entah kenapa hati Wisnu mendadak sakit, apalagi saat matanya menangkap noda merah di telapak tangan Hanan saat batuk-batuk hebat menyerangnya barusan. Bibir pucat milik Hanan sekaligus napas tidak beraturan yang Wisnu lihat sekarang adalah pemandangan yang paling tidak ingin Wisnu lihat.

Tangannya bergerak untuk mengusap lembut kening Hanan yang di penuhi oleh keringat dingin, ia usap sembari sesekali ikut meringis saat melihat ekspresi gelisah dari wajah sang adik.

Namun ternyata Hanan kembali merasakan sesak saat mencoba menghirup oksigen, ia usap dada nya pelan, takut jika Wisnu curiga dan berakhir dengan menanyakan keadaanya yang sebisa mungkin sedang Hanan sembunyikan.

Tapi melihat mata Hanan yang masih terpejam tenang membuat kegelisahan Wisnu sedikit memudar, merasa tenang karena Hanan sudah bisa tertidur walaupun keringat masih membasahi seluruh tubuhnya malam ini.

Baru saja hati nya di rasa tenang, tiba-tiba suara ponsel bergetar membuat atensi Wisnu mengarah sepenuhnya pada benda pipih di samping tubuh sang adik. Ada dua pesan masuk dari 'Bi Ama'. Dengan lancang Wisnu yang terlanjur penasaran langsung membuka pesan itu.

Bi Ama
| Hanan sudah mendingan?
| Masih sesak ngga?
19:23

Dan ya, setelah melihat pesan yang bi Ama kirimkan, hatinya kembali nyeri, apalagi saat tahu kalau dia tidak bisa selalu ada di samping Hanan saat pemuda malang itu membutuhkannya. Wisnu tatap mata yang terpejam tenang itu dengan tatapan yang sudah di penuhi air mata.

Tapi ternyata Wisnu kalah, pemuda itu menjatuhkan air matanya yang sebisa mungkin ia tahan beberapa menit lalu. Lantas tanpa berlama-lama ia usap kepala Hanan dengan air mata yang terus jatuh mengenai permukaan wajahnya.

Hanya dengan begitu, Hanan yang semula terpejam kini alun-alun membuka matanya. Ia tatap wajah sang kakak yang sudah dipenuhi air mata.

“Abang.. Kenapa nangis?”

Wisnu menggeleng, ia usap air matanya sebelum menjawab.
“Apa yang sakit?”

Senyuman langsung terlihat di bibir pucat milik Hanan, pemuda itu meraih tangan sang kakak untuk ia genggam.
“Ngga ada, cuma pusing sedikit, nanti juga sembuh.”

“Nan..”

Sembari menghembuskan napas panjang yang terkesan begitu menyesakkan, Wisnu menatap lurus iris kecokelatan milik Hanan sembari lebih erat menggenggam tangan sang adik.

“Hanan sakit apa? Bilang sama abang..”

Mendengar itu Hanan langsung memalingkan wajahnya ke sembarang arah, tidak sanggup hanya untuk membalas tatapan sang kakak.
Tapi justru Wisnu malah semakin mendekatkan tubuhnya dengan Hanan, tak membiarkan pemuda itu diam dan menyembunyikan rasa sakitnya lebih dalam.

“Cerita, Nan.. Ini Wisnu, abang kamu kalau kamu lupa.”

Suara Wisnu semakin bergetar hebat,
“Abang yang selalu suapin kamu, abang yang selalu temenin kamu tidur, abang yang selalu peluk kamu kalau kamu ngga bisa tidur, abang yang akan selalu sayang sama kamu, Nan.. Ini abang kamu, Wisnu.”

Tidak bisa menahannya lagi, tangisan Hanan ikut tumpah ketika ia menoleh dan mendapati sang kakak yang mulai menunduk dan tersedu tanpa suara. Melihat itu Hanan bangun meski rasanya sulit, ia dekap tubuh bergetar milik Wisnu sembari ia usap lembut punggung nya.

“Kamu lupa, Nan? Kamu lupa kalau kamu punya abang sebagai rumah kamu untuk pulang, kamu lupa?”

Hanan menggeleng, semakin sulit mengambil napas dengan keadaan seperti ini. Alun-alun ia lepas pelukan nya di tubuh sang kakak, lantas mengusap air matanya yang ternyata tak kalah banyak dari Wisnu.

“Maaf..”

Kini giliran Wisnu yang menggeleng, lantas ia tatap manik berair milik sang adik.
“Kenapa harus disembunyikan, Nan? Kenapa menganggap diri kamu sendiri sebagai beban? Kalau kaya gini yang ada kamu semakin sakit, hati kamu terlalu banyak menyimpan luka sendirian, kamu egois.”

Hanan setuju, ia mengangguk kecil dengan pandangan menunduk.
“Marahin Hanan bang, marahin.. Hanan udah lama ngga ngerasain ini lagi, hati Hanan mati.”

Wisnu semakin terisak, rasanya benar-benar sakit melihat Hanan seperti ini.

“Kalau gini caranya, kamu nyiksa abang, Nan.."










































***

belakangan ini lagi sibuk banget,
jadi maaf ya kalau harus nunggu lama:(

anw, semoga ngefeel, hehe

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

3.5K 233 11
'jian gak pernah benci samudra. tapi samudra adalah luka terdalam jian' - Jian 1999 konon bisa bertahan bersama tapi kenapa hanya Jian yang tersisa...
216K 17.7K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
1.5M 140K 72
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
113K 20.9K 34
[ lokal au :: 성훈 ] ❝ Tentang seorang pemuda penyuka lukisan warna merah bata pada cakrawala Jogja.❞