Ujung Tirani (Completed)

由 Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... 更多

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
11. On Point
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

6. Vague Faith

169 51 4
由 Amaranteya

Dalam ruangan berukuran 4 x 4 meter itu, Hijir melamun dengan tangan bertopang dagu. Di meja rendah yang menjadi tumpuan tangannya sendiri, tergeletak beberapa buku serta laptop dan kamera yang dibiarkan mati.

Kilas kalimat Zaa berjejalan di kepala, menghantamnya lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan rancu yang haus akan jawaban. Namun tetap saja, nihil. Si sumber rasa penasaran agaknya terlampau tak terbaca.

"Tumben lo dateng ke sini? Biasanya juga nenggelemin diri di perpus pesantren." Seorang pemuda datang dengan dua botol sprite dan beberapa bungkus cemilan di tangan. Setelah mengangsurkan salah satunya pada Hijir, ia ikut duduk di sana.

Ya, Hijir memilih keluar dari pesantren pada weekend kali ini. Ia memutuskan melakukan rutinitas yang dahulu sering dilakukan, sebelum mulai mengajar. Mengunjungi indekos Tamam, teman seperjuangan mendapatkan gelar sarjana dulu.

Jika Hijir memilih membagi ilmunya pada bidang yang sama dengan jurusan saat kuliah dulu, berbeda halnya dengan Tamam. Lelaki itu memilih menjadi fotografer yang menurutnya lebih bebas dan tidak terikat dengan lembaga.

"Mengurangi sedikit beban. Ada yang membuatku kacau di pesantren akhir-akhir ini."

Tamam memicingkan mata sebelum menggeser laptop serta kamera menjauh. Tak biasanya Hijir begitu. Empat tahun bersama belajar di jurusan Pendidikan Agama Islam sampai sekarang, tiga tahun setelah lulus, baru kali ini sang sohib tampak benar-benar seperti orang linglung.

"Masalah santri?" Jemari Tamam mulai membuka plastik chiki dengan sedikit kasar. Ia berpikir, paling masalah Hijir memang tak jauh-jauh dari itu.

Lelaki berkulit kecokelatan itu menyuapkan beberapa butir chiki sekaligus dan menguyahnya perlahan.

"Bukan, perempuan." Jawaban singkar Hijir tersebut sukses membuat Tamam tersedak.

Segera diraihnya sprite dan meminumnya hingga sisa setengah. Tamam lantas melemparkan tatapan horor pada sang kawan. "Sejak kapan? Lo mulai jatuh cinta ceritanya?"

Tak menunggu lama, tawa mengudara di kamar kos bernuansa serba hitam itu. Tamam sungguh tak menyangka bahwa Hijir bisa galau karena perempuan juga. Sangat langka.

Hijir sama sekali tak merespons ejekan Tamam. Ia justru menjawab dengan nada kelewat santai, "Seminggu yang lalu, tepat sehari sebelum pesantren mengadakan English Program sama EdgeLeaf."

Bak menyadari keseriusan tiap suku kata yang dilontarkan Hijir, atmosfer indekos Tamam seolah berubah. Kaku dan hening. Beberapa saat pun si empu kamar tidak bersuara, memilih mnggaruk pelan tengkuk yang tak gatal. Sepertinya Hijir benar kebingungan.

"Em ... jangan bilang, sama salah satu tutor." Tamam melemparkan tatapan sangsi. Bola mata yang terkesan sipit sengaja ia bulatkan sebisa mungkin.

Perlahan, Hijir mengangguk, membuat Tamam meringis.

"Terus, apa masalahnya? Kalau lo suka, ya tinggal jalanin prinsip lo. I mean, ngomong dan datengin orang tuanya." Santai Tamam mengatakan itu, tanpa tahu apa yang menjadi dilema dalam benak sohibnya.

Hijir mengembuskan napas panjang dan berat. Ia lantas menjatuhkan kepala pada meja, bertelungkup di sana. Hela demi hela napasnya terdengar jelas, memenuhi ruang dengan ukuran lumayan itu.

"Tidak semudah itu, Tam. Yang dia baca Kitab Weda," jawab Hijir.

Kembali Tamam terbatuk keras, kali ini karena tersedak ludahnya sendiri. Meminum soda itu, bukannya mereda malah semakin sakit dadanya. Sontak Tamam berdiri dan menghadap langit-langit. Entahlah, itu caranya meredakan yang dirasa.

Merasa lega, bukannya kembali duduk, Tamam memilih merebahkan diri di ranjang di belakang mereka. Apa ia tidak salah dengar? Keningnya terus berkerut, bagaimana bisa?

"Jadi, maksud lo, selama bertahun-tahun program itu jalan di pesantren, baru kali ini ada tutor beragama Hindu? Epic sih, dalam pesantren soalnya." Mata Tamam masih menyorot plafon kamar berwarna putih.

Mendengar itu, Hijir kembali duduk tegak. Bedanya, ia menoleh pada Tamam hingga tubuhnya hampir berputar 180 derajat. Sebelah alisnya sontak naik. "Aku juga tidak tahu, dia berjilbab, meskipun saat keluar pesantren ... dia melepasnya."

Terburu-buru Tamam bangkit dari posisi rebah. "Gue jadi makin bingung. Udah tahu gitu, apa yang buat lo tertarik sama dia? Maksud gue, biasanya lo nggak peduli, apa lagi jelas-jelas dia bukan cewek berpakaian syar'i seperti yang lo atau keluarga lo harapin."

Sekali lagi Hijir menghela napas berat. "Dia ...." Kilas perbincangannya dengan Zaa tiba-tiba muncul, saling serobot di kepala dan menambah dilemanya. "Memandang sesuatu dengan cara berbeda."

-o0o-

Katakanlah Zaa terlalu rajin. Ia janji berkumpul dengan anak didiknya di perpustakaan pukul sepuluh, tetapi lihatlah. Ia sudah berada di sana sejak pukul delapan. Anak-anak bahkan masih sibuk dengan piket mingguan masing-masing.

Tak apa, Zaa memang sengaja. Lagi pula, ini pertama kalinya seorang Jauza menjejakkan kaki di perpustakaan. Lucu memang, penggila buku sepertinya belum pernah ke tempat semacam itu sebelumnya. Ia lebih suka mminjam dari teman, membeli e-book, dan membeli sendiri, langsung dari toko buku.

Ingat dengan obrolannya dan Hijir beberapa hari lalu di telaga, jemarinya perlahan menyusuri deretan buku sejarah Islam. Kuku panjang dengan hena hitam itu berhenti dan mengambil buku yang memang ia incar.

Zaa membuka lembar demi lembar buku tersebut dan berhenti tepat pada bab Dinasti Umayyah II, pada poin faktor keruntuhannya.

"Tidak adanya ideologi pemersatu." Perlahan, gadis itu memejamkan mata, mengikis sadar pelan, menggantinya dengan noktah-noktah masalah yang tiap malam membuatnya berpikir.

Pecah, tirani kuasa berhasil memecah Islam menjadi bagian kerdil dan terkucil. Tunduk padanya dan terinjak-injak tanpa terduga. Buta, penguasa membuta karena kuasanya. Saling serang, saling bunuh, saling menjadikan musuh.

Islam Spanyol mulai remuk dalam genggaman tirani yang tanpa sadar diciptakannya sendiri. Pecah, pemberontakan-pemberontakan Muluk al-Thawaif mulai pecah. Beda, kasta muslim Arab dengan mualaf pribumi Spanyol mulai dibeda.

"Kacau. Sifat keakuan membuat Islam remuk masa itu." Zaa kembali membuka mata dan menelusuri deretan huruf dalam buku di tengadah tangannya.

Kembali dibacanya buku itu, diresapi tiap kata yang berdesakan masuk dalam retina. Otak Zaa seakan memproses tiap yang ia pahami ke dalam bentuk visual dalam bayangannya.

Sejenak, Zaa terkekeh. "Sistem peralihan kekuasaan yang tidak jelas. Lagi-lagi perebutan kekuasaan antarsaudara. Serba salah."

Zaa bergerak, mulai melangkah ke tempat duduk yang tersedia dan kembali tenggelam dalam bacaan di sana.

Tiap menit, jemarinya lihai membuka halaman baru dengan mata tetap fokus tanpa teralih sedikit pun. Zaa memang begitu, ia pandai bersembunyi dalam buku nonfiksi, tetapi tidak dalam fiksi.

Tak terasa waktu bergulir cepat. Dua jam ia habiskan untuk menamatkan hampir satu buku. Ghufron yang pertama datang dan menginterupsi perempuan itu, disusul yang lain.

"Miss, baca apa?" tanya Ezra saat menyadari buku yang berada di bawah tangan Zaa.

Perempuan itu mengangkat buku tersebut dan menunjukkannya ke anak itu.

Di tempatnya, Musa berbinar, menatap penuh minat pada Zaa. "Wah, Miss Jauza juga suka sejarah? Kayak Ustadz Hijir."

Kening Zaa berkerut mendengar nama itu. "Ustadz Hijir suka sejarah?"

Musa mengangguk mantap.

Sekali lagi, Zaa terkekeh saat menundukkan kepala. Sangat pelan. "Ternyata dia menggunakan itu untuk menjawab rasa penasarannya akan keyakinanku," batinnya.

Sayang sekali, Zaa sengaja membiarkan realita akan dirinya ambigu siang itu. Tak dibiarkannya Hijir atau siapa pun tahu, biar saja. Toh, itu urusannya pribadinya dengan Tuhan. Siapa saja boleh beropini tentangnya, karena Jauza ... akan menjadi apa yang dipikirkan orang-orang, tanpa bantahan.

-o0o- 

Niatnya update tadi pagi, tapi keasikan youtube-an, lupa dah.

CMIIW.

Amaranteya

31st of August 2021

繼續閱讀

You'll Also Like

708 143 12
Benarkah seseorang bisa bertukar jiwa? Namun, bagaimana jika jiwamu justru berpindah pada tubuh seseorang di zaman yang berbeda? Mahin, mahasiswi Uni...
1.1M 23.6K 8
PART LENGKAP dan EXTRA PART ADA DI KARYAKARSA dan KBM Menjadi perias pengantin adalah pekerjaan Nadia Mahira Hasan. Dia adalah seorang MUA. Dia sudah...
172 34 1
Tujuan Daisha pindah ke kota Merkama adalah hidup damai dan tentram dengan keluarganya. Tapi siapa sangka justru itu semua berbanding terbalik. Saat...
323K 27.7K 34
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...