Meteor, Filosofi, Purnama dan Zero berdiri sembari bersandar pada bodi motor —melirik Altezza dan Grace seperti sekawanan anjing yang mengawasi predator. Tanpa kedua remaja itu ketahui, salah satu diantara mereka diam-diam menyukai Grace.
"Ezz?" Grace menghapus keringat dinginnya yang menetes ke mata. Ketika iris berwarna amber-nya itu terpaku, dia merasa seolah-olah semua rahasia terdalam di hatinya sedang digali. "Ada apa?"
"Ada kotoran di mata lo."
"Serius?" Grace memiringkan kepala, menatap pantulan wajahnya dari kaca spion motor. Pucat. Dahinya mengernyit. "Bohong, kan?"
Altezza tersenyum miring —tanpa berkata sepatah kata pun, dia menarik kerah depan jersey basket Grace dan menyentuh pipi cewek itu dengan bibirnya. Dingin. Grace tidak bereaksi. Waktu seakan melambat sepersekian detik. Altezza menjauhkan bibirnya dari pipi Grace ketika sesuatu di saku celana basketnya bergetar, menghancurkan kebekuan. Dia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ada satu pesan masuk,
Unknown: Dear love, gue berdoa untuk kesembuhan lo. Cepat sembuh.
Altezza tertawa hambar. Kepalanya terkulai di pundak Grace. Rambutnya yang basah menempel di wajahnya. Dia menelan ludah yang rasanya seperti duri. "Gue mau muntah."
_LUKA_
"Lo semua tau bahwa final sudah dekat, 'kan?" Filosofi melirik Altezza sekilas. Dia mencengkeram pergelangan tangannya yang patah. "Tapi kapten kita cedera."
"Ya. Dan kita semua harus datang ke perpustakaan selama istirahat untuk kelas tambahan khusus." Purnama mencekik lehernya sendiri. Dia membenamkan wajahnya di perpotongan leher Zero. "Lebih baik mati."
Filosofi mencengkeram bahu Purnama dan mengancam akan membantingnya ke tempat sampah. Cowok itu memiringkan kepala, memberikan kode pada teman-temannya untuk berbelok ke arah perpustakaan yang berseberangan dengan lab kimia. Kesembilan cowok itu berjalan membentuk formasi acak di belakang Altezza. Mereka semua berjalan santai melewati para siswi yang berdiri di sisi koridor kelas sebelas.
Jejak Altezza Gillova, Purnama Ilusi, Filosofi Emmanuel Kanaka, Meteor Abimana Lex dan Zero Earth Tyler —lima cowok yang paling mencuri perhatian mereka karena memiliki visual, mengalir darah remaja blasteran.
Beberapa siswi yang berpapasan dengan para anggota team basket di sekolahnya, sengaja memperlambat langkah hanya untuk menatap wajah sang leader —Altezza yang memiliki aura gelap, buas, dan ganas. Bekas luka memanjang di mata serta luka sobek di sudut bibirnya, menambahkan kesan nakal cowok bermarga Gillova itu.
"Kakak... punya pacar?" tanya salah seorang siswi yang berdiri menghalangi langkah Altezza. Dia menipiskan jarak dan mencengkeram ujung Jersey basket cowok itu, kaku. "Aku penasaran."
Altezza tidak mengatakan apapun. Dia menyisir rambutnya dengan jari, melirik penampilan adik kelasnya dari ujung kaki. Sexy. Tidak ada aksesoris yang melekat di tubuhnya. Hanya gelang tali yang melingkar di pergelangan tangannya, dan itu mengingatkankannya pada sosok Gracia. "Ya. Tapi gue dan dia sekarang udah beda dunia."
Waktu seakan melambat beberapa detik.
Filosofi bergerak cepat merangkul pundak sang kapten, mulut setia mengunyah permen karet. "Sekarang sih nggak ada. Memangnya kenapa?" alis sebelah kiri Filosofi naik. "Biasanya orang tanya begitu kalau mau nembak, kan?"
"Eum, itu," siswi itu melepaskan cengkeramannya. Dia menipiskan bibir. "Aku memang suka Kak Altez. Tapi aku juga nggak berniat mengubah status sejauh itu."
Filosofi dan teman-temannya —minus Zero dan Meteor kompak terkekeh.
Zero menyunggingkan senyum, kedua tangan di masukkan ke saku. Meskipun dia tersenyum ramah, matanya terasa dingin. "Cuma sebatas suka karena fisik?"
Siswi itu menggigit bibir, tampak canggung. Dia tanpa mengatakan sepatah kata pun, berlari menjauhi anak basket tanpa permisi.
"Suka karena fisik ternyata." seseorang mendecak, "sial. Semua cewek sama saja."
"Nggak semua. Tapi yang begitu cuma cewek 'kan." Filosofi merebut cemilan kemasan salah seorang anggotanya dan menjilati satu keping cookies cokelatnya, sebelum menyodorkannya ke bibir Purnama. Itu bekas lidah.
Tanpa ragu, Purnama melahap cookiesnya langsung dari tangan Filosofi. Dahinya mengernyit. "Agak basah."
"Ada ludahnya Filosofi. Sudah dijilat," sahut cowok yang tanpa sengaja menangkap aksi jahil Filosofi.
Purnama menelan cookiesnya. "Rasanya menjijikkan."
Tidak ada sahutan. Sementara Altezza memfokuskan atensinya pada salah seorang cewek yang baru keluar dari ruang musik. Dia, "Luka," tanpa sadar Altezza menepis tangan Filosofi dan kakinya melangkah mendekati Zee.
Zee menghentikan langkahnya saat merasakan tatapan seseorang menembus punggungnya. Dia menyentuh tengkuknya, merinding. "Kok suasananya tiba-tiba berubah horor, sih," Zee sedikit memutar badan. Rasanya seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya dengan garpu. Altezza berdiri menutupi penglihatannya. Cowok itu melihat Zee dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa berhenti di satu titik —sebuah tatapan singkat dan menusuk.
"Ada apa?" Zee mengatur tempo pernapasannya.
"Nggak apa-apa," ekspresi wajah Altezza berangsur santai. "Lo baik-baik saja, kan?"
"Gue juga nggak tau." Zee menyentuh lukanya. Dia menipiskan bibir. "Apa gue boleh baik-baik saja?"
Diluar dugaan, Altezza membungkuk mendekati Zee sembari menyipitkan mata seakan hendak memeriksa lukanya. Tidak separah yang dia duga. Satu tangannya merogoh saku dan mengambil plester. Dia mengigit bungkusnya. Senyum sinis terukir di sudut bibir Altezza saat cowok itu memplester lukanya. "Cuma luka kecil."
"Ya. Dan lukanya nggak sakit sama sekali," nadanya terdengar tersinggung.
Altezza terkekeh, lalu menunjuk perban luka yang melilit sebagian dahi. Meskipun Altezza jauh lebih terluka, dia tidak merasakan apa-apa. 'Karena tubuh ini sudah terlalu terbiasa,' batinnya.
Tiba-tiba suara Pak Ganteng terdengar. Pria itu entah kapan sudah berdiri di belakang Altezza. "Jejak, Luka. Hari ini kalian yang membereskan gudang." Pak Ganteng menyerahkan kunci gudang pada Altezza. "Sebagai hukuman karena keterlambatan kalian dua hari belakangan. Dan catat, saya tidak menerima penolakan."
_LUKA_
Pelan-pelan, Zee membuka pintu gudang dan meringis saat melihat betapa kotornya gudang tersebut. Di setiap dinding terdapat coretan tangan nakal siswa SMA Gatlantra yang tidak beradap. Gudang ini gelap, nyaris tidak memiliki penerang. Satu-satunya celah cahaya untuk masuk ke dalam gudang hanya melalui jendela kecil yang berada di sudut kiri ruangan. Patung-patung tengkorak berdiri sejajar pada setiap sudut bangunan, angker.
"Seram juga," gumam Zee.
Altezza menyingkirkan Zee. Dia masuk lebih dulu ke dalam gudang yang terkenal dengan cerita seramnya. Cerita tentang hantu gentayangan yang menurut Altezza hanya omong kosong belaka. Cowok itu menekan sakelar.
Hanya beberapa detik setelahnya, lampu gudang kembali padam -mati menyisakan gelap.
"Lo bawa handphone, Ezz?" tanya Zee sembari meraba-raba saku depan-belakang celana Altezza. Tanpa sadar tangannya menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak cewek itu sentuh. Cepat-cepat, Zee menarik tangannya kembali dan menyalakan senter sebagai penerang. Dia berjalan di belakang Altezza, menyusuri gudang bekas lab kimia.
Dulu, gudang ini dipakai siswa untuk melakukan eksperimen tidak berfaedah yang nyaris membuat gudang ini rata dengan tanah. Lebih tepatnya sih, hangus terbakar.
"Lo nggak takut gelap?" Zee bertanya di sela-sela kebosanannya. Dia menatap Altezza yang terlihat cuek terhadap kegelapan di sekelilingnya. "Satu hal yang bisa gue prediksi, lo pasti sangat suka hal-hal yang berbau dark, 'kan?"
Langkah Altezza terhenti. Dia melirik Zee. "Gue haus."
Memutar mata sebagai keluhan, Zee merogoh saku ranselnya dan membuka tutup botol air mineralnya. Altezza membuka mulut. Bibir bawahnya yang tebal mengalihkan perhatian Zee. Cewek itu mencengkeram tengkuk leher Altezza dan meminumkannya seperti seorang balita. Detik selanjutnya, Altezza menepis tangannya dan langsung menyemburkan air dalam mulutnya —mengenai wajah Zee, tepat sasaran.
"Goddamn it." Zee memaki.
Altezza tertawa serak. "Mendekat."
Kata-kata itu membuyarkan segalanya. Detik selanjutnya, Altezza membuat Zee terkejut saat cowok itu menarik pinggangnya mendekat, hingga dia bisa merasakan lengan Altezza yang dingin menyentuh kulit sikunya.
Zee memalingkan muka. "Lo bau debu."
Altezza merogoh sakunya dan mengeluarkan satu batang rokok. Cowok itu menyalakan pemantik dan membakar ujung rokoknya, mengabaikan tatapan tajam Zee yang menghujamnya. "Kenapa. Lo mau satu?"
"Gue nggak merokok saat masih sekolah."
"Oh. Itu artinya lo akan merokok saat kita lulus?"
"Gue bahkan nggak suka saat rokok menyentuh bibir. Soalnya bau." Zee menjilat bibirnya yang mendadak kering. "Gue lebih suka menghisap permen lollipop dibandingkan rokok."
Seleranya mirip anak-anak. Altezza membuang pemantiknya dan menghisap batang rokoknya —santai. Zee melirik Altezza sekilas dan kembali fokus menghirup udara kotor di sekelilingnya. Cowok itu menyibak rambutnya yang menutupi dahi. Sementara atensi Zee kembali terkunci pada satu cincin yang terpasang di jari manis sang kapten basket.
"Lo suka Cadenza?" / "Lo suka gue?" dua pertanyaan berbeda. Zee dan Altezza mengatakan kalimat itu di detik dan waktu yang nyaris sama.
1,3k word.