30. finish without start

2.5K 393 43
                                    

Enjoy. Sorry for typo✨

===

Suara detak jam benar-benar mengalun di udara tanpa ada yang mengganggu.

Ketiga orang yang saling diam itu bahkan enggan untuk menyaingi alunan dengan ritme yang teratur itu.

Sampai akhirnya, Ibu Negara yang baru keluar dari dapur memulai prakatanya.

"Mengheningkan cipta kok di rumah. Upacara sana."

Ibu dari kedua anak itu memposisikan diri disamping suaminya. Sementara anak sulungnya duduk di single sofa, dengan si bungsu yang duduk dibawah.

Padahal masih ada space dekat kedua orang tuanya, tapi Nadir gak mau. Mending duduk di karpet, bersandar di sofa yang Deo duduki, sambil meluk kaki abangnya itu.

Deo refleks memaki saat tangan Nadir seenak jidat mencabut bulu kakinya.

"Ini lagi, malah sibuk cabut mencabut bulu!"

Deo dan Nadir otomatis mingkem ditegur Ibu Negara. Disusul dehaman Bapak Negara, makin keder kedua anak itu.

"Dari tadi malah diam. Bukannya jelasin gimana ceritanya dari awal sampe akhir," ucap Rafi.

"Papa kan tadi ke sekolah. Pasti udah tau, dari awal sampe akhir," cicit Nadir.

Deo menoyor kepala adiknya. "Nurut aja napa," bisiknya tajam.

"Heh! Gak boleh begitu!" bentak Rafi saat melihat kepala anak gadisnya ditoyor begitu.

Deo nyengir, "Iya, iya maaf. Duh sayang," katanya sambil mengelus-ngelus rambut Nadir. Padahal dalam hati merutuk.

"Jadi..."

Belum Nadir menjelaskan, Ibunya sudah menyetop duluan.

"Udah. Gak udah dijelasin. Kepanjangan," katanya. Beliau memang sudah mendengar cerita lengkap dari suaminya.

"Langsung aja ke pertanyaannya. Kenapa gak kasih tau Mama sama Papa soal kamu nyelamatin Anggun di tengah-tengah orang tawuran? Hayo kenapa?" lanjutnya sedikit menekan.

Nadir cemberut, "takut."

Santi menghela nafas, "Nah! Ini untungnya dari ketakutan kamu. Papa jadi dipanggil ke sekolah, keluar lah itu kelakuan kamu selama di sekolah. Bolos lah, melipir ke kantin lah, tidur di perpus lah, pura-pura sakit. Apa sih maunya kamu itu?!"

Nadir diam, saat itu adalah pertanyaan retorik. Tidak membutuhkan jawaban.

"Terus itu. Kenapa surat panggilannya malah diancurin. Udah jelas-jelas judulnya SURAT PANGGILAN ORANG TUA. Eh, malah diancurin begitu. Ngerasa udah gak punya orang tua, kamu?!" Ya. Seorang Ibu pasti yang paling banyak keluar unek-uneknya.

Deo mengusap dada. "Astagfirullah," ucapnya.

Santi yang mendengar itu malah melotot ke putra sulungnya. "Ini lagi! Jadi abang, gak ada bener-benernya. Malah ngedukung adeknya buat salah. Hayo ngaku! Jangan-jangan kamu juga begitu waktu sekolah. Siapa yang kamu sewa buat dateng ke sekolah? Tukang ojeg, hah?"

Kan, kan. Malah Deo yang dibawa-bawa.

"Ngga, Ma. Deo kan waktu itu satu sekolah sama Papa. Kalo ada apa-apa pasti yang tau duluan ya Papa. Ya kan, Pa?" bela Deo, sementara Rafi tidak membalasnya sama sekali.

"Nadir, Papa kamu ini guru lho, Nak. Terus dia dipanggil ke sekolah gara-gara kelakuan anak gadisnya. Astagfirullah, orang lain pasti mikir, 'guru tapi gak bisa didik anak sendiri' gitu," sambung Santi mulai berapi-api.

Sir-ius? [Completed]Where stories live. Discover now