34. Dinner

2.6K 357 93
                                    

"Di atas langit, masih ada langit yang gak bisa diukur tingginya. Di bawah laut, masih ada laut yang gak bisa diukur kedalamannya. Lo ngerasa cakep, ya masih ada yang lebih cakep. Lo ngerasa kaya, masih ada yang lebih tajir. Lo ngerasa cerdas, hey... justru lo harus banyak lagi belajar. Lo ngerasa hidup lo sial, masih banyak orang yang ngucap syukur walau harus setengah mati mempertahankan satu tarikan napas. Perbandingan itu gak bakal ada habisnya."

-Anggun on Sirius-

===

Nadir menatap dirinya di cermin. "Gun, lo pernah gak sih muji diri lo sendiri waktu ngaca?"

Anggun yang sedang makan mie di meja belajar Nadir menoleh, "Gimana mood lah. Kalo lagi bagus ya gue puji, gila ya, lo sebiasa ini aja udah cakep. Kalo lagi badmood, gue malah maki-maki, gak usah kecakepan, masih banyak yang lebih cakep dari lo. Tapi itu jarang ya, kebanyakan gue ngaca buat mastiin gak ada belek aja di mata."

Nadir meninggalkan cermin, beralih rebahan di kasurnya. "Bener Gun. Harusnya gue gak usah kecakepan, masih banyak yang lebih cakep dari gue."

"Wah, kenapa lo? Masalah apa?"

Kedua mata Nadir terpejam. "Seberapa sering pun gue ngerasa good looking, kenyataannya gue juga juga sadar masih banyak yang lebih good looking dari gue."

Anggun menyeruput kuah mie dari mangkuk. "Di atas langit, masih ada langit yang gak bisa diukur tingginya. Di bawah laut, masih ada laut yang gak bisa diukur kedalamannya. Lo ngerasa cakep, ya masih ada yang lebih cakep. Lo ngerasa kaya, masih ada yang lebih tajir. Lo ngerasa cerdas, hey... justru lo harus banyak lagi belajar. Lo ngerasa hidup lo sial, masih banyak orang yang ngucap syukur walau harus setengah mati mempertahankan satu tarikan napas. Perbandingan itu gak bakal ada habisnya."

"Tul," balas Nadir.

Setelah minum, Anggun melirik Nadir curiga.  "Kenapa sih?!"

"Gue lagi membandingkan diri gue yang kecil ini, sama orang lain yang lebih kompeten dalam segala hal."

"Insecure?"

Nadir menggeleng. "No! Gue sadar, ada orang lain yang lebih unggul dari gue, tapi bukan berarti gue ngerasa buruk atau gak layak."

"Terus?"

"Gue ngerasa aneh. Ada hal yang gak bisa gue terima, tapi gue gak yakin letak salahnya dimana." Nadir melirik Anggun yang masih duduk dengan satu kaki terangkat di kursinya. "Ini tentang Pak Radi."

Anggun mengedip satu kali, dua kali, tiga kali. "Kampret! Gue pikir kenapa! Ternyata butuh nasehat percintaan!"

Anggun berubah posisi menjadi bersila. "Ya... sebenernya gue bingung dan hal ini baru kepikiran sekarang. Lo ngerasa aneh gak sih, tiba-tiba dideketin guru sendiri? Gue ngerasa aneh karena sebelumnya kalian cuma sebatas guru dan murid, bahkan dia tau lo murid yang sering bermasalah. Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba kalian deket? Dia deketin lo duluan, atau lo deketin dia duluan, atau ada hal yang mendekatkan kalian berdua?"

Nadir diam, memahami pertanyaan Anggun. "Ada hal yang buat kita deket, dan itu yang bikin gue ngerasa aneh juga. Dari sekian banyak yang mau sama dia, ada Bu Siska, cewek-cewek lain yang suka caper, atau mungkin temen perempuannya dari luar sekolah, dan kenapa harus gue? Karena kalo dipikir-pikir lagi, gue sama dia terlampau jauh dalam berbagai hal."

Nadir tau jika Radi ingin membuktikan bahwa ia bahagia pada Lyra. Namun setelah mendengar ucapan Tubagus, Nadir menyadari bahwa ada hal yang aneh.

"Saran dari gue, lo cari tau. Bisa aja kan, Pak Radi emang beneran sayang sama lo tanpa ada unsur apapun. Tapi kalo lo malah nemu hal yang salah, ya ngapain lo bertahan," ucap Anggun berlalu sambil mengambil mangkuk bekas mie.

Sir-ius? [Completed]Where stories live. Discover now