23. Paparazzi

2.6K 387 78
                                    

Nadir melempar pena setelah tugasnya selesai ia kerjakan.

Gadis itu merebahkan dirinya di ranjang. Kilas balik kejadian hari tadi masih berkeliaran di pikirannya.

Dimana ia harus menghadapi Anggun yang memiliki PTSD - (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pascatrauma yaitu gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan.

PTSD Anggun berkaitan dengan kericuhan. Saat kecilnya sahabat Nadir itu pernah terjebak dalam sebuah kericuhan antar warga, membuat Anggun memiliki ingatan buruk tentang perkelahian dan segala luka yang disebabkan oleh segerombolan orang itu.

Dan bodohnya, Anggun malah memaksakan diri berada disana. Tujuannya untuk menghentikan Yudha agar tidak ikut tawuran. Namun, dia sendiri yang malah terjebak dalam kericuhan dengan PTSD-nya.

Nadir berdecak. "Dasar bucin! Ngapain pake ngorbanin diri sendiri buat orang yang gak mau dengerin omongan lo!" maki Nadir sendirian karena saking gemasnya atas kelakuan Anggun.

Belum lagi kelakuan Pak Radi yang benar-benar tidak dimengerti.

Pria itu bilang 'Jangan ganggu saya' tapi ia sendiri yang menjemput Nadir di danau langit, membawakan jaket, mengantarnya pulang, dan mengatakan bahwa bersama Nadir adalah hal yang menyenangkan.

Nadir berdesis. "Gue tuh seakan-akan ditampar, tapi ujung-ujungnya dielus lagi. Nyebelin!" maki Nadir, pada orang yang tidak ada di hadapannya.

Gadis itu meraih ponselnya yang bergetar. Sekilas melirik jam dinding yang menunjuk angka setengah dua belas malam.

"Siapa sih! Malem-malem!" katanya saat melihat nomor baru yang tertera di layar ponselnya.

Nadir melempar ponselnya yang masih bergetar ke atas bantal. Toh, Nadir tidak mengenal nomor baru itu, jadi ia harus sedikit was-was dengan panggilan dari nomor baru apalagi tengah malam begini.

Sambil memeluk guling, Nadir memejamkan matanya. Ia butuh istirahat, sebelum suara chat masuk membuatnya kembali meraih ponselnya.

Kini sebuah chat dari nomor yang tadi menelponnya. Tidak ada display picture. Nadir mengerutkan kening saat satu foto ada di roomchat yang sedang ia buka.

Foto Nadir yang sedang dibonceng pria. Tepatnya Pak Radi.

"Ah! Gue punya paparazzi ternyata. Siapa nih? Fansnya Pak Radi? Mau neror gue gitu?" kata Nadir sambil mengamati foto itu.

Ia dengan jaket kuning, sementara Pak Radi dengan jaket hitamnya, ditambah helm fullface. Foto itu diambil dari arah kanan, dipotret dari dalam mobil.

Satu chat kembali masuk dari nomor yang sama. Kali ini mampu membuat Nadir menarik satu sudut bibirnya. Dari sekian banyak fans Pak Radi, entah kenapa nama Bu Siska menjadi satu-satunya yang cocok untuk pesan chat itu. 

This is the best of you, Nadir? Ah, jangan terlalu senang dulu. Saya bisa lebih dari itu.

Nadir mengabaikan chat itu. Bodo amat dengan sopan santun. Toh, ini bukan jam sekolah dan yang dibahas Bu Siska bukan topik pembelajaran.

Nadir berdecak tidak percaya. "Bu Siska serem banget cemburunya sampe neror gue gini. Ew! Tapi maaf ya Bu, bukannya takut, saya malah semangat buat tunjukin ke Ibu kalo seorang Nadir itu egois. Dia gak mau ngalah buat apa yang dia suka."

🌏🌏🌏

Home sweet home.

Jika ditarik garis lurus antara rasa nyaman dan aman, mungkin rumah adalah jawabannya. Setidaknya itu bagi Radi.

Pria itu kini berada di apartemennya yang ia sulap menjadi tempat bertema astronomi. Sebelum memiliki rumah, ia memang tinggal di apartemen ini.

"Kenapa?"

Radi berbicara pada seseorang disebrang telpon.

"Gak apa-apa. Gue kangen aja sama lo," lyra tertawa. "Eh, iya. Nadir gimana?"

"Gimana apanya?"

Lyra menghela napas. "Lo yakin sama Nadir?"

Radi diam. Sedikit bingung karena kakaknya tiba-tiba bertanya seperti itu.

"Gue tau lo bahagia sama dia. Tapi lo juga harus yakin sama pilihan lo. Plis inget, lo bukan abege yang baru puber, bukan remaja yang mikirnya cuma haha-hihi doang sama pacarnya. No! Usia lo bukan buat itu, Radi. Sedangkan Nadir, dia masih remaja. Bahkan murid lo sendiri. Kalo lo bisa yakin sama dia, ya gue dukung. Tapi kalo engga, plis lupain dari sekarang."

"Gue yakin," jawab Radi mantap.

Radi meletakan ponselnya saat telpon terputus setelah Lyra berkata akan pergi tidur.

Pria itu menyandarkan kepala ke bantalan sofa, melihat langit-langit itu yang terasa nyata.

Radi mengusap wajahnya. Ucapan Lyra membuatnya tersadar akan satu hal.

Jelas Radi menyukai Nadir. Segala hal dalam gadis itu terlihat menarik. Namun status mereka membuat Radi sedikit cemas.

Guru dan muridnya.

Jelas itu akan membuat stereotip yang buruk. Apalagi untuk Nadir. Ia cemas, gadisnya itu akan jadi sasaran gosip dan bully warga sekolah.

Terlebih sekarang media sosial turut menjadi tempat menyebar keburukan. Walaupun sebenarnya terdapat masih banyak kebaikan disana, namun Radi tetap cemas.

Ia tidak ingin Nadir dikenal buruk karena memiliki hubungan dengan gurunya sendiri.

Radi sadar, sebaik apapun ia menyembunyikan hubungannya dengan Nadir, pasti akan ada saatnya sesuatu atau bahkan seseorang menghantam mereka.

🌏🌏🌏

Genangan air itu terlihat tenang sebelum akhirnya lemparan kerikil membuatnya beriak.

Separuh senyumnya ia tunjukan pada dirinya sendiri.

Nadir memang pantas dipuji. Gadis itu ternyata lebih dari yang dipikirkan Siska.

Dari nomor Nadir yang ternyata di save oleh Radi, menandakan setidaknya dua orang itu pernah berkomunikasi lewat ponsel. Radi juga mengenal ayah Nadir. Dan terakhir, hal yang membuat Siska geram adalah melihat Radi dan Nadir boncengan.

"Gue cukup kehilangan banyak hal. Cita-cita gue sebagai model yang malah diambil Lyra. Mantan suami gue yang selingkuh. Dan buat satu hal ini, gue gak mau kalah lagi. Gue gak mau Radi lebih milih bocah itu daripada gue."

Sekali lagi, Siska melempar kerikil ke kolam ikan.

"Kalo dia gak mundur. Terpaksa gue yang maju."

🌏🌏🌏


Hayoo gimana nih siska udah peringatin kaya gitu sama nadir 😜
Dikit ya? Iya huhu maaf.

4 september 2020

Sir-ius? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang