5

105 14 16
                                    

Bunyi dari alat pemindai kode batang kini sudah jadi hal yang biasa bagi keseharian Sara. Semenjak dua bulan lalu, seminggu empat kali, Sara memang harus berurusan dengan uang dan angka-angka di depan komputer tabungnya, melayani pelanggan yang hendak membayarkan belanjaan di semacam minimarket milik seorang warga yang tinggalnya begitu tak  jauh dari pemukiman tempatnya tinggal. Bukan minimarket dengan label franchise ternama di Nusantara, ini lebih cocok disebut "toko kelontong modern" yang jelas-jelas tidak begitu terkenal.

Bagi Sara, tidak ada yang lebih baik daripada bisa menghasilkan uang sendiri, meski sebagian besar uangnya lebih banyak terpakai untuk membantu bayar listrik rumah kontrakan dan air, ketimbang untuk dirinya sendiri. Ya, setidaknya, ia tidak harus selalu merasa berdosa setiap kali harus makan dari uang ibunya. Sara pun merasa begitu terberkati bisa diterima kerja di minimarket meski awalnya sang pemilik benar-benar bimbang untuk menerima Sara, mengingat Sara masih SMA. Namun akhirnya, berbekal  kemampuan dasar menggunakan komputer yang cukup mumpuni, Sara dipekerjakan paruh waktu di sana.

"Totalnya dua puluh dua ribu tujuh ratus, Bu."

Sara menyebutkan nominal yang harus dibayarkan sang pelanggan.

"Uangnya lima puluh, ribu ya, Bu," ucap Sara lagi sembari menerima angsuran selembar uang biru. Dengan gesit ia kemudian menghitung lembar-lembar kembalian yang harus diberi.

"Terima kasih banyak," tutupnya setelah kantung belanja dan uang kembalian diterima sang pelanggan.

Bukan hal yang sulit bagi Sara untuk bersikap ramah dan cekatan dalam melayani pelanggan. Bekerja sebagai kasir di minimarket juga tidak memerlukan skill yang terlalu tinggi. Jam kerjanya juga tidak menganggu waktu sekolah. Sara hanya harus pintar-pintar mengatur waktu antara mengerjakan tugas dan bekerja.

Setelah beberapa pelanggan pergi, minimarket kemudian sepi untuk beberapa saat. Hanya ada suara Mas Eko, rekannya di hari itu, yang sedang sibuk mengisi rak-rak kosong dan lemari pendingin di ujung ruangan. Kalau sudah begitu, Sara akan sempatkan diri menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya sembari meleseh di balik meja kasir.

"Permisi."

Suara itu terdengar menyapa tatkala Sara tengah sibuk dengan beberapa soal pilihan Ganda di LKS biologinya. Sontak ia pun bangkit dari duduk sila di balik meja kasir.

"Iya, ma-maaf, ya."

Ucapan Sara seketika menggantung tatkala sosok yang dikenalnya berdiri di depan meja kasir, menunggu untuk dilayani.

"Wika?"

"Sara?"

Keduanya berucap bersamaan. Wika memulas senyum spontannya, yang kemudian hanya dibalas samar oleh Sara. Semenjak dua bulan lalu ia pertama bekerja di sana, ini pertama kalinya bagi Sara, tak sengaja bertemu kawan satu sekolah ketika bertugas—kawan sekelas pula.

Kala itu, hari sudah sore. Wika terlihat berpenampilan santai dengan seragam olahraga sekolah yang tampak agak lusuh dan tas yang masih tercangklong di punggung.

Perasaan dua bulan lalu kasirnya bukan yang ini.

Wika membatin polos sembari mengingat-ingat kunjungan terakhirnya ke toko kelontong modern itu dua atau tiga bulan lalu. Ia hanya tak sangka, bisa bertemu sang pemilik senyum yang hilang di tempat itu, dengan seragam kebesaran kasir pula. Bukannya merasa aneh atau semacamnya, di mata Wika, Sara justru terlihat berbeda dengan seragam kerjanya—tampak lebih dewasa.

Satu kotak pasta gigi sekaligus dua buah sikat gigi; dua pak permen karet; dan dua bar kudapan cokelat, Wika kemudian mengangsurkan semua belanjaannya di meja kasir.

"Ini aja? Ada tambahan lain?"

Ucapan template itu kembali dilontarkan Sara. Siapa pun pelanggannya, dia masih harus beroperasi dengan standar yang ada.

"Iya, itu aja."

Wika terdengar menjawab kikuk, ditambah lagi Sara terlihat betul-betul bisa mengendalikan diri dan tetap profesional. Cewek itu makin terlihat berbeda di mata Wika.

"Habis latihan?" tukas Sara sembari memindai kode batang pada barang-barang belanjaan Wika.

"Ha?"

Hanya itu reaksi bodoh yang dilontarkan Wika. Ia betul-betul tak sangka kalau Sara akan mengajaknya bicara.

"Atau habis sparring?"

Sara kembali membuat Wika terkesima. Ia bahkan tak sangka kalau Sara tahu kebiasaannya sebagai pemain cabutan. Bunyi alat pemindai kode batang menyelip diantara jeda obrolan.

"Iya habis sparring voli."

"Gimana? Menang?"

Sara terlihat memasukkan barang-barang belanjaan Wika ke kantung plastik. Jemarinya dengan cepat terlihat menekan deretan tombol di atas papan ketik, matanya tak lepas dari layar komputer tabung.

"Totalnya jadi tiga puluh delapan ribu dua ratus rupiah." 

Sara lalu menaruh kantung yang sudah terisi rapi di depan Wika.

"Iya, menang. Tiga lapan-tiga enam," jawab Wika terlambat.

Mata mereka bertemu dalam diam yang sejenak menyekat. Wika belum bereaksi lebih lanjut sampai ia baru ingat kalau harus menyerahkan uangnya.

"Eh, sori, sori."

Wika kemudian buru-buru merogoh dompet. Mengeluarkan dua lembar uang warna hijau dari sana. Dengkus tawa garing meluncur dari bibirnya. Untung saat itu tak ada pelanggan lain selain dirinya.

Sara tampak memulas senyum canggungnya. "Uangnya empat puluh ribu, ya."

Dewasa dan mandiri. Hanya dua kata itu yang terus berlintasan di benak Wika tatkala memperhatikan sosok Sara yang detik itu ada di hadapannya, masih tetap terlihat berbeda dari Sara yang ditemuinya di sekolah. Sara di satu sisi, sama sekali tak canggung dengan kehadiran Wika yang harus melihatnya bertugas sebagai kasir di hari itu. Tidak ada rasa malu sama sekali. Toh, dia berpikir kalau pekerjaannya bukan pekerjaan yang salah.

"Kembalinya jadi seribu delapan ratus rupiah, ya. Terima kasih."

Lagi-lagi sebuah standar operasi. Senyum itu kemudian terpulas, senyum yang jelas-jelas diketahui Wika yang hanya template juga. Wika kemudian menderma anggukan tipis sembari menerima angsuran kantung belanjanya.

"Duluan, Sar," ucap Wika sebelum beranjak dari depan meja kasir.

Sara pun membalas sekenanya, mengangguk tipis. Belum sampai lengan Wika mendorong daun pintu keluar, langkahnya terhenti, dan kemudian berbalik lagi.

"Eh, Sar," tukas Wika.

"Ya?" Sara menatap heran.

Wika bergegas mengeluarkan bungkusan cokelat yang tadi dibelinya, ditaruhnya begitu saja di atas meja kasir.

"Semangat kerjanya," ucap Wika, mencoba untuk tetap terdengar cuek. Dia pun kemudian sudah buru-buru memelesat lagi ke arah pintu keluar.

Sara mematung sesaat. "Wika ...," panggilnya kemudian, menggantung dan terlambat. Wika sudah keburu berlalu dari daun keluar.

Sara meraih bungkusan cokelatnya, menatap dalam tanya. Sesekali, ia berganti pandang ke arah punggung Wika yang kini semakin menjauh dari bangunan minimarket, tampak menyeberang ke arah jalan raya, lalu hilang dari pandangan. Lengkung senyum itu tak terasa terpulas lembut pada garis bibir Sara—bukan senyum template yang berdasarkan standar etika pelayanan pelanggan.

-:-:-

Jumpa Dirinya (FIN)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora