11

73 13 2
                                    

Kenapa baru sekarang?

Pertanyaan itu terlintas di benak Wika tatkala ia mengingat betapa anehnya, selama tiga tahun di SMA rasa penasaran dan rasa ingin tahunya selalu hanya jatuh pada Sara. Hari-hari yang lain, minggu-minggu yang lain, semua kian berlalu. Ada warna yang baru di hari-hari Wika dan Sara. Keduanya sama-sama meramu rasa yang tak disadari. Dari setiap pertemuan-pertemuan mereka, ada cerita yang akhirnya terkisah begitu saja. Nyaman, adalah satu kata yang pada akhirnya merangkum semua.

Di Jumat sore yang lain, mereka kembali pulang bersama. Langkah mereka menyusuri deretan pemukiman warga yang sudah dekat menuju ke rumah. Sara tidak ada shift di minimarket, sementara Wika tak ada kesibukan lagi dengan anak-anak KIR. Surya kala itu sudah tampak setengah rebah di ufuk barat, membuat bayangan tubuh mereka yang memanjang di aspal kian samar.

"Sar, saya boleh minta nomor handphone kamu?"

Suara Wika memecah bunyi derap sepatu yang bergesekan dengan aspal.

"Umm ... sori, Ka. Saya nggak ada handphone," jawab Sara jujur.

"Oh." Wika mafhum, terdengar sedikit kecewa. "Kalau ... telepon rumah?" Pemuda itu rupanya masih belum menyerah.

"Sori, Ka. Rumahku nggak pakai sambungan telepon," jawab Sara lagi, akhirnya tidak juga memuaskan.

"O-oh ... oke, deh." Wika terdengar canggung.

"Sori, ya, Ka," ucap Sara sekali lagi, terdengar menyesal.

"Santai, Sar. Lagian, kan, rumah kita dekatan. Kalo mau say hi, bisa langsung datang, kan?" canda Wika, yang kemudian diikuti tawa renyah Sara.

"Sar." Wika mulai lagi selepas tawa mereda.

"Hm?" Sara sekilas mengerling.

Beberapa detik yang kosong sejenak menyekat. Wika tampak seperti masih mengulum ucapannya di ujung lidah.

"Dua tahun lalu ... ada apa?"

Sara menghentikan langkah, tertegun. Sedari di bus tadi hingga detik itu, kedekatannya dengan Wika sejujurnya tak pernah berhenti membuat Sara terbelenggu oleh rasa yang tak bisa dijelaskan. Ketika pertanyaan itu terlontar, Sara sontak berspekulasi tentang cowok itu. Dinding hatinya tiba-tiba menebal, ada sesuatu yang roman-romannya harus ia hindari.

"Maksudmu?" Sara balik bertanya.

Kini, Wika tepat ada di hadapannya, menatap tanpa keraguan. "Di dua tahun lalu, apa yang sudah berubah?" ulangnya, begitu tenang. "Kamu di dua tahun nggak seperti ini, Sar."

Bahkan sampai sekarang, senyummu tidak pernah benar-benar kembali.

Untuk yang satu itu, Wika hanya sanggup mengucapkannya dalam hati.

Pertanyaan itu sudah lama tersimpan dalam benaknya, sudah lama tersirat dalam perhatian-perhatian kecil yang pernah disematkannya pada hari-hari gadis itu. Dua tahun lalu, ketika jam belajar hampir tiba di penghujung siang, Sara terlihat harus undur diri secara terpaksa setelah menerima panggilan dari kantor guru.

Semenjak hari itu, Wika hanya melihat sorot Sara yang terasa seperti lorong panjang yang gelap—kosong dan dingin. Sejak hari itu juga, Wika tak pernah lagi melihat senyum Sara yang terasa tulus. Senyum yang terasa seperti perkenalan pertama mereka di Masa Orientasi Siswa dulu. Senyum yang pertama kali Wika lihat ketika Sara pernah menjadi pengaba saat mereka harus menyanyikan lagu almamater sekolah di depan seluruh angkatan muda.

"'dua tahun lalu saya nggak seperti ini'? Maksudmu apa, Ka?" Sara mengulang pernyataan Wika dalam nada tanya yang mendalam.

Di telinga Sara, pernyataan Wika seolah terdengar seperti orang yang begitu tahu tentang dirinya. Padahal selama ini yang terlihat oleh Sara, Wika tak lebih dari siswa yang banyak teman dan jelas dunianya tak pernah sedikit pun bersinggungan dengan dunia Sara.

Jumpa Dirinya (FIN)Where stories live. Discover now