2

156 19 7
                                    

Kolong langit, selatan Jakarta, 2006.

23:25 malam. Rumus-rumus matematika bertebaran di atas kertas buku catatan. Beberapa buku pelajaran yang kelihatan sudah lusuh pemberian Mas Bayu—sang tetangga—berserakan di atas kasur tanpa dipan itu. Remang-remang bohlam 10 watt warna kuning masih terus menemani.

Tidak terdengar lagi suara tetangga yang biasa bergosip ria di rumah sebelah dari balik batas tembok bata usang. Sara tahu, ibunya tak akan pulang sampai dini hari besok. "Mencari mangsa", itu istilah yang digunakannya untuk kegiatan ibunya yang satu itu. Entah artinya apa, hanya Sara yang tahu. Yang jelas bukan mencari mangsa seperti hantu penghisap darah.

Selembar potret yang sudah agak lusuh sedari tadi tergeletak di sampingnya, seolah menemani dalam detik yang terus bergulir lambat. Sara tadi sengaja mengeluarkannya dari dalam pigura. Di dalamnya ada gambar seseorang yang tak pernah absen dari ruang rindunya. Sekali lagi, ia kembali mengingat perkataan di hari itu.

"Sesulit apa pun, bertahanlah."

Arya, saat itu umurnya baru 18 tahun. Dia begitu belia, begitu cemerlang, begitu tangguh. Masih selalu teringat dalam benak Sara, senyumnya yang selalu terlihat begitu hangat, serta kulit kecokelatannya yang setiap harinya mencicipi terik sengatan matahari ibukota. Ah, dia begitu berwarna, meski hidup dalam dunianya yang hanya hitam putih. Bukan berarti Arya buta warna. Dia hanya sudah cukup tahu jika dunia memang hanya ada hitam dan putih.

"Sabar, perut." 

Sara bergumam sendiri. Bunyi rengekan perutnya sontak mengingatkan Sara jika ia terakhir kali mengisinya adalah setelah pulang sekolah tadi.

Biarlah. Mungkin ia hanya harus menahannya sampai besok pagi. Mimpi akan melarutkan semua kebisingan, harap, dan sempit itu. Sara terbiasa. Saat nanti ia terpejam, rengekan perut laparnya akan hilang dengan sendirinya.

-:-:-

Jumpa Dirinya (FIN)Where stories live. Discover now