10

86 14 7
                                    

"Sar, kamu mau ikut, nggak?" Wika nampak menyodorkan selebaran berwarna biru tua pada Sara.

Di Rabu sore itu, sekolah sudah sepi. Sara kebetulan baru saja selesai dengan latihan karatenya. Latihan yang benar-benar merupakan latihan terakhir sebelum ia memutuskan pensiun karena akan fokus belajar untuk persiapan Ujian Akhir Nasional. Sementara itu, Wika kebetulan baru saja selesai dengan urusan pentingnya di markas anak-anak ekskul Karya Ilmiah Remaja alias KIR.

"Star Party?" tanya Sara ketika menerima selebaran itu.

"Itu acara perdananya anak astronomi, Sar."

"Astronomi? Di sekolah kita emang ada ekskul astronomi?"

Wika terkekeh tatkala melihat raut bingung gadis itu. "Ada, dong," tukasnya semangat. "Baru tiga hari lalu kebentuk." 

Tiga buah jari Wika lalu tampak mengacung di udara. Sontak, Sara pun tak mampu menahan tawa. Ucapan Wika terdengar bak gurauan orang gila. 

"Ha? Ngaco, ah."

Wika berdecak. "Woy, serius ini."

Tatapan Sara tampak menyipit. "Jangan bilang, sekarang kamu disuruh jadi tukang ngibul cabutan, ya?"

"Sembarangan," sembur Wika, meninju asal pundak Sara. Gadis itu hanya tampak tertawa cengengesan.

"Saya, Sapto, Andra, dan beberapa adik-adik kelas memang sudah lama mau ngajuin pembentukkan ekskul astronomi. Dan akhirnya, sekarang baru bisa kesampaian. Kepala sekolah sudah setuju. Tapi, sekarang status kami masih divisi di ekskul KIR. Pak Agus, guru fisika, udah ditunjuk jadi pembina kami. Kepala sekolah sudah bilang, kalau kami bisa punya progress banyak dan ngumpulin anggota tetap, astronomi bisa naik kelas jadi ekskul mandiri," jelas Wika, yang cukup membuat Sara terkesima.

"Wiih! Kok, kalian keren banget, Ka."

Wika kemudian terlihat menepuk dada. Rautnya terlihat sok bangga selangit, membuat Sara kembali terkikik geli.

Sara masih tak sangka. Wika yang selama ini terlihat hanya sebagai siswa santai yang suka pindah-pindah markas dan jadi pemain cabutan di banyak ekskul olahraga, ternyata punya impian dan rencana besar untuk mewujudkan berdirinya ekskul astronomi. Bahkan, saat sudah mulai dekat dengan Ujian Akhir Nasional begitu, Wika masih saja berkomitmen untuk membantu junior-juniornya di astronomi. Impian mereka untuk jadi ekskul mandiri masih butuh usaha keras.

"Di Star Party, nggak cuma anak divisi astronomi yang bisa ikut, ini terbuka buat semua siswa. Yah, hitung-hitung sosialisasi sama anak-anak satu sekolah kalau kita sudah jadi bagian dari KIR. Jadi kita bakal pergi ke observatorium Bosscha, Lembang. Nah, di sana kita ada kegiatan pengamatan benda langit, Sar."

Mata Sara seketika berbinar ketika mendengar rencana acara bertajuk Star Party itu. "Wah! Asik banget, tuh. Kalau mau daftar, langsung ke kamu aja bisa?" tanggap Sara antusias.

"Iya, bisa. Ngomong-ngomong, buat biaya transportasi sudah gratis, ya. Tapi buat penginapan dan makan, ditanggung sama peserta," ungkap Wika.

Setelah mendengar penjelasan Wika, Sara jadi kembali berpikir sejenak. Ia mengira-ngira pengeluaran yang harus ia rogoh dari upah kerja sambilannya yang pas-pasan itu. Pergi ke Bandung dua hari semalam pasti butuh biaya yang lumayan.

"Sip, deh. Saya pikir-pikir dulu, ya, Ka." 

Sara kemudian memasukkan selebaran yang tadi diberikan Wika ke dalam tasnya.

"Oke. Jangan lama-lama, Sar. Limited seat soalnya." Wika mengingatkan.

"Okay. Got it, Ka."

-:-:-

Sore itu, Wika akhirnya terus mengekori Sara. Lokasi rumah mereka—yang sekarang telah diketahui Wika jika berdekatan—membuat Wika jelas tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan cara pulang bersama.

Deru mesin bus Kopaja yang mereka tumpangi terdengar begitu bising. Metropolitan mulai terlihat sumpek dengan para pekerja kantoran yang akan segera pulang ke sarang. Sesekali, musisi jalanan ibu kota akan terlihat naik begitu saja ke dalam bus kala berhenti sejenak di perempatan. Satu-dua lagu selesai didendangkan, lalu mereka akan turun lagi, dan bus kembali hanya dipenuhi oleh bisingnya deru mesin butut.

"Mau dengerin?"

Wika tiba-tiba menyodorkan sebelah earphone-nya yang sudah tersambung dengan perangkat audio analog, walkman. Sara kemudian menerimanya, memasang pada telinga kirinya.

Ketika kurasakan sudah

Ada ruang di hatiku yang kau sentuh, oh

Dan ketika kusadari sudah

Tak selalu indah cinta yang ada.

Verse pertama dari Untitled—milik Maliq & D'essentials—terdengar mulai mengalun setelah intro singkat gitar akustik. Ya, Sara tahu betul lagu dan penyanyinya. Semenjak setahun lalu, grup musik lokal pendatang baru beraliran jazz itu memang sedang digandrungi anak-anak muda. Lagu-lagunya banyak mengudara di radio-radio. Video klipnya pun, sering sekali diputar di saluran televisi musik.

"Kamu suka lagu ini?" tanya Wika.

Sara menoleh, menatap sang pemilik mata indah di sebelahnya. Dekat, dekat sekali. Itu pertama kalinya Sara melihat Wika dalam jarak sedekat itu. Segala detail yang ada pada wajah cowok supel itu kini tampak sangat jelas di pandangan.

Untuk sesaat, pertanyaan Wika barusan terasa teralihkan. Sara masih menatapnya dalam diam. Rambut Wika yang sedikit gondrong dan bergelombang itu, entah kenapa Sara menyukainya ketika tertiup angin dan terlihat berantakan alami. Alis tebal Wika yang agak menukik di ujung. Garis mata yang sedikit sipit. Proporsi hidungnya yang terlihat pas—tidak terlalu mancung atau pesek. Serta bibir tipisnya. Semua itu baru saja membuat Sara sadar jika sosok Wika nyatanya terlihat ... manis.

Pada detik-detik yang sama, Wika sejujurnya juga menyukai tatapan itu. Sepasang bola mata Sara terlihat bening. Ia bahkan bisa melihat refleksi dirinya di sana. Namun, sendu yang seperti lorong panjang nan gelap itu, tak pernah pudar dari sorotnya. Membuat Wika memiliki sebuah hasrat aneh untuk mengubahnya kembali jadi terang benderang.

Ketika Sara sadar jika telah terlalu lama menatap, senyum canggung itu spontan terpulas pada garis bibirnya yang cantik.

"I-iya. Saya suka. Untitled-nya Maliq memang keren," tanggap Sara begitu terlambat, sempat tergagap.

Wika kemudian memulas senyum hangatnya. Kelegaan seketika tercetus di batin, setidaknya ia tidak salah pilih lagu. Keduanya lalu terdiam, sementara lirik dan iringan gitar akustik masih terus mengalun santai dan sendu.

Bila memang ku yang harus mengerti

Mengapa cintamu tak dapat kumiliki

Salahkah ku bila

Kaulah yang ada di hatiku.

Lagu terus mengalun sampai pada reff kedua. Sara menarik pandangannya ke arah jalan raya dari jendela di sebelahnya. Desau angin kembali meniup-niup rambut lurus sebahu Sara yang dibiarkan tergerai. Entah apa yang sudah terjadi, semesta seolah sedang bersinergi dalam meramu suasana dengan jarak tubuh yang begitu dekat; gurat senja yang mulai menerpa bangku-bangku bus; serta lirik lagu yang terasa begitu pas.

Sara mulai merasa ada percikan-percikan kecil yang tercetus di dada. Tergelitik, sesuatu serasa mulai tumbuh di dalam sana. Canggung pun merayap samar. Ia bahkan jadi ragu setiap kali akan menoleh dan menatap Wika. Rasa itu, jelas bukan rasa yang biasa Sara dapat dari interaksi dengan Wika di hari-hari sebelumnya. Senja kala itu jelas juga bukan senja yang biasanya.

Jumpa dirinya, tak pernah terasa seberbeda ini, batinnya.

-:-:-

Jumpa Dirinya (FIN)Where stories live. Discover now