21

126 13 2
                                    

Mobil sedan merah mengkilat keluaran tahun 80-an yang dikendarai Wika, menepi di area parkiran sekolah. Beruntungnya Wika pada malam itu, tidak biasanya Bagas—kakaknya—dengan baik hati mau meminjamkan mobil kesayangannya itu pada Wika.

"Eh, Ka," sergah Sapto buru-buru tatkala Wika hendak meninggalkannya di parkiran dan masuk lebih dulu ke aula besar serbaguna sekolah mereka.

"Apaan?" Wika menoleh cuek.

"Tungguin, dong. Lo jangan masuk dulu. Gue gerogi, nih. Nanti aja ke dalamnya kalau cewek gue udah datang."

"Cemen lo," sembur Wika yang pada akhirnya mengalah juga pada Sapto. Ia pun bersandar lagi pada bodi mobil antik milik Bagas itu.

"To, sebenarnya lo couple-an sama siapa, deh?" Wika memecah sunyi. Mengerling sejenak pada Sapto.

"Ada, deh. Pokoknya cantik."

"Siap, woy? Sok-sok-an misterius lo."

"Ada, deh. Pokoknya teman sekelas kita."

"Yang bener lo? Siapa, sih? Kok, gue nggak pernah tau lo ngajak cewek di kelas kita?" Raut Wika tampak berpikir.

"Gue mah diam diam sampai daratan, Ka."

"Apaan, sih."

Jemari Wika yang bebas sontak meninju pundak sobatnya itu, ia dibuat tergelak mendengar pepatah asal-asalan yang dilontarkan Sapto. Kawannya itu kemudian malah hanya cengengesan.

Selama sepuluh menit mereka menunggu, dua kali Wika mendapati Sapto menelepon cewek misterius yang akan diajaknya jadi pasangan prom night—menanyakan di mana posisi cewek itu. Sesekali pula Wika mendengar Sapto menyapa cewek itu dengan panggilan "Manis" atau "Cantik", yang seketika membuat Wika bergidik geli.

Siswa-siswi senior semakin banyak berdatangan. Para siswa terlihat rapi dan nyaman dengan setelan formal jas dan kemeja. Sementara para siswi tampak cantik-cantik dengan gaun-gaun malam mereka. Beberapa kawan yang dikenal oleh Wika terlihat sekilas menyapa ketika melewati lapangan parkir bersama pasangan-pasangan mereka.

Wika sesekali melihat pantulan dirinya di kaca mobil. Ia yang sudah necis begitu, tetapi tidak ada gandengannya. Telapak tangannya mungkin sudah penuh dengan jaring laba-laba hitam—lumayan meresahkan.

"Nah, ini dia cewek gue datang, Ka," tukas Sapto tiba-tiba.

Lamunan Wika yang mengenaskan pun buyar. Ia spontan melihat ke arah mobil Mercedes Benz hitam yang menepi tak jauh dari tempat mereka parkir. Mimik Wika berubah heran tatkala dilihatnya Riani keluar dari pintu penumpang bagian belakang mobil mewah itu. Cewek itu kemudian terlihat berbicara dengan seorang yang duduk di jok depan, tampaknya ia tengah berpesan sejenak pada sang supir yang mengantarnya. Setelah itu, Riani terlihat bergegas mendekat ke arah Wika dan Sapto.

"Anjir, cakep banget si Riani, Sob," decak Sapto spontan sambil menyikut-nyikut Wika. "Nggak salah pilih emang gue," bisik Sapto kegirangan.

Diam-diam tanpa diketahui Wika, selama ini Sapto punya incaran pasangan prom yang sangat tidak disangka-sangka. Riani si cewek tomboy yang terkenal selalu jadi "Boys-bestfriend" bagi anak-anak ekskul band di sekolah, ternyata malam itu tampil sangat berbeda. Gaun hitam off-shoulder sebatas bawah lutut membalut tubuh semampainya. Rambut pixie cut  Rian sudah dicat temporer warna coklat gelap. Riasan sederhana terpoles di wajahnya yang oval. Riani malam itu tampil feminin, tetapi masih tetap dengan sedikit sentuhan gaya rebel khasnya—riasan smokey eyes yang keren ala penyanyi Avril Lavigne terpulas cantik di kelopak Riani.

"Hei, Ka, To," sapa Riani, melambai kecil. "Udah lama kalian?"

"Enggak, kok, Ri," balas Sapto, kemudian membenarkan letak bowtie-nya. "Lo kok beda banget, sih, malam ini?" sambung Sapto, yang kemudian mesem-mesem malu tidak jelas.

Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang