22 [END]

174 16 12
                                    

"Ri, buruan!" Sara dengan gegas menyeret Riani yang masih berjalan terlalu santai.

"Santai, sih, Sar. Kita juga udah terlanjur telat lama banget ini." Riani masih juga tak peka. "Elo juga, sih, pake ngambil kelasnya Pak Prapto."

"Ya abis gimana, dong," pasrah Sara.

Langkah mereka semakin berderap menyusuri lantai satu bangunan toko buku terbesar di Jakarta itu. Hari itu adalah hari yang sebenarnya sudah dinantikan dua mahasiswi cantik fakultas sastra itu, terlebih Sara.

Sebuah acara bedah buku dan meet and greet dari penulis buku antologi puisi favorit Sara sedang digelar di toko buku itu. Akan tetapi, Riani dan Sara terpaksa datang terlambat karena bentrok jadwal kuliah Semester Pendek  yang seenaknya diubah oleh Pak Prapto, sang dosen killer.

Acara itu terekam sudah berjalan setengah jam. Gerombolan orang-orang sudah padat berkumpul ditengah-tengah venue yang sudah dikhususkan untuk acara bedah buku tersebut. Sara dan Riani akhirnya terpaksa harus rela berada di baris belakang, terhalang banyaknya peserta lain di depan.

Sang penulis terlihat ada di atas panggung kecil bersama moderator, berbicara. MisterPolaris, itulah nama pena yang selama ini digunakan sang penulis pada buku-buku prosa dan puisi yang sudah ia terbitkan. Itu pertama kalinya bagi Sara, pada akhirnya bisa melihat wajah sang penulis pujaannya yang selama ini selalu saja tak pernah menunjukkan foto pribadi di media sosial.

"Seseorang yang pernah saya kenal di beberapa tahun lalu juga pernah menjadi cerita di balik tulisan-tulisan saya," jawab MisterPolaris pada moderator.

"Wah ... bau-bau cinta lama, nih, kayaknya," goda sang moderator pada penulis. MisterPolaris kemudian hanya menyunggingkan senyum dan terkekeh. Seluruh penonton kemudian bersorak ramai.

Sara tiba-tiba tersadar kalau wajah MisterPolaris sangat tidak asing baginya. Dari kejauhan, Sara masih coba meneliti penulis berkacamata itu. Ditambah lagi sepanjang acara, Sara merasa kalau suara MisterPolaris mirip sekali dengan kawan yang pernah dan sangat dirindukannya hingga detik itu.

Kamu ...?

-:-:-

Sesi penanda-tanganan buku jelas tak ingin dilewatkan. Selain itu, Sara juga ingin memastikan kalau dugaannya tidak salah. Riani sudah lebih dulu undur diri karena dirinya masih ada urusan kerjaan penerjemah lepasnya. Akhirnya hanya tinggal Sara seorang diri yang mengantre untuk dapat tanda tangan si penulis.

Tuhan, kalau itu memang benar dia, semoga dia masih ingat saya.

Sara membatin kuat-kuat, firasatnya kembali bicara kalau MisterPolaris adalah orang yang ia kenal. Rasa penasaran Sara semakin memuncak tatkala antrean semakin pendek.

Ketika akhirnya giliran Sara sampai, ia pun benar-benar dibuat tertegun. Kala itu ia berdiri di depan meja sang penulis, menatap lekat-lekat garis-garis wajah dan sepasang bola mata yang agak sipit yang sangat familier itu. Alis tebalnya, hidungnya yang tidak terlalu mancung, juga tidak terlalu pesek, serta senyum ramah yang terpulas di bibir tipisnya, semua itu kembali menyeret Sara begitu dalam ke masa SMA. Perbedaannya adalah, wajah sosok itu kini tampak semakin dewasa dengan kacamatanya. Perawakannya juga terlihat lebih kalem.

"Wika?"

"Sara?"

Keduanya menyebut berbarengan. Wika pun akhirnya mengenali gadis cantik yang kini ada di hadapannya. Ia jelas adalah Sara. Wajahnya kini semakin menampakkan kemilau kedewasaan, rambutnya yang bergaya lurus sebahu itu masih saja sama seperti dulu. Namun, kini sorot itu sudah bukan lagi sorot mata yang sepi seperti lorong kelam.

Jumpa Dirinya (FIN)Where stories live. Discover now