Part 31

177 19 18
                                    

Selembar kertas berada di genggaman Catur pagi itu. Sekalipun dia tak tidur semalaman, sekalipun seluruh tubuhnya menjerit kelelahan, Catur tersenyum puas. Dengan penuh penghayatan dia menghisap rokok di tangan ditemani segelas kopi hangat yang masih mengepulkan uap.

"Happy bener keknya?"

Sebuah suara centil terdengar ditelinga Catur. Suara yang tiba-tiba saja membuat dunianya yang cerah seketika menjadi terselimuti mendung gelap. Catur tahu si pemilik suara itu, siapa lagi kalau bukan si Piaraan, eh salah, Tiara.

"Bukan urusanmu," jawab Catur datar dan dingin.

"Galak bener, cowok kok bibirnya kek cewek lagi datang bulan," cibir Tiara sambil tersenyum sinis dan ngeloyor pergi.

Huft.

Catur menghembuskan nafas panjang. Di manapun, mahluk seperti Tiara memang selalu berkeliaran. Apalagi di dunia yang didominasi oleh laki-laki seperti lembaga ini. Tiara yang punya kelebihan fisik dengan tubuhnya yang seksi dan parasnya yang cantik, dapat dengan mudah memperbudak siapa pun lawan jenis yang dia mau, termasuk atasan Catur sekalipun.

"Sabar Mas," seseorang tiba-tiba mengagetkan Catur yang sedang memaki-maki rekan kerjanya itu dalam hati.

"Eh? Mbak Auliya," jawab Catur sopan.

"Kok tumben pagi bener?" tanya Polwan yang mengenakan jilbab dan dipanggil 'Mbak Auliya' oleh Catur itu.

Catur tersenyum kecil sambil menggaruk kepalanya, "Saya nginep disini semalam."

"Wuihhh. Hebat, memang kalau masih muda tu semangatnya luar biasa ya?" puji Auliya.

"Biasa aja kok Mbak. Pulang ke rumah juga percuma kan, ndak ada yang nunggu," jawab Catur mulai iseng.

"Makanya buruan married," jawab Auliya sambil berlalu meninggalkan Catur sendirian.

Setelah Auliya melangkah selama beberapa meter, Catur menggumamkan kata-kata yang hanya bisa didengarnya sendiri, "Kalau calonnya kek kamu sih mau aku Mbak."

=====

"Jadi?"

"Seperti yang saya ceritakan tadi Pak, Setan Ladang Kawengen memang benar-benar ada. Dia juga melebihi kemampuan manusia biasa. Saya sudah menembaknya berkali-kali dengan pistol ini, dan peluru-peluru itu tepat mengenai sasaran, tapi dia sama sekali tak terluka," jelas Catur yang disambut kembali oleh diam oleh seisi ruangan ini.

"Kau mengada-ada, Catur. Mana ada orang yang ditembak tapi tetap hidup," cemooh Tiara yang berada di salah satu sudut ruangan. Saat ini, semua petugas di Polsek ini memang sedang melakukan Gelar Perkara atas permintaan Catur. Catur merasa, dia tak bisa menyelesaikan kasus Setan Ladang Kawengen sendirian dan membutuhkan bantuan.

"Catur, ada berapa saksi yang melihat apa yang barusan kau ceritakan kepada kami?" tanya seorang polisi yang berumur paruh baya dan terlihat berwibawa.

"Banyak, Ndan. Puluhan, termasuk Kades Kawengen," jawab Catur.

"Saat kau menembak setan itu?" tanya Waluyo, atasan mereka.

"Banyak juga, kalau tidak percaya, kita panggil mereka jadi saksi," jawab Catur lagi.

Waluyo terlihat berpikir dalam-dalam.

"Oke, aku percaya padamu. Tapi kasus ini sangat riskan. Apalagi musim sekarang ini, musimnya media social di ujung jempol. Aku tak mau berita soal Setan Ladang Kawengen ini atau ceritamu tadi, tersebar ke medsos lalu viral. Kita belum tahu sedang berhadapan dengan apa atau siapa," kata Waluyo setelah berpikir selama beberapa menit.

"Saya jamin saya nggak akan ceritakan ini ke orang lain di luar ruangan ini Pak. Tapi bagaimana dengan penduduk desa Kawengen? Mereka kan juga berada di TKP tadi malam," jawab Catur.

"Biarkan saja, kalau mulai meresahkan, kita nanti keluarkan klarifikasi bahwa berita itu adalah hoax. Kita panggil si penyebar berita ke kantor sebagai ancaman bagi yang lain agar tidak menyebarkan berita soal Setan Ladang ini," kata Waluyo.

"Permintaan saya, Ndan?" tanya Catur.

Waluyo mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, "Siapa yang lagi kosong?"

Selama beberapa menit tak ada jawaban, hingga akhirnya sebuah suara wanita terdengar sedikit pelan, "Saya kosong, Ndan."

Catur menoleh ke arah suara itu berasal dan berharap Auliya yang mengajukan dirinya, tapi harapan tinggallah harapan, si Piaraan yang justru mengacungkan jari.

"Kampret, mending aku kerja sendiri dibandingkan bareng si piaraan," keluh Catur dalam hati.

"Oiya, Pak. Saya mohon agar kita bisa segera mendapatkan hasil identifikasi sidik jari yang saya berikan tadi," kata Catur kearah atasannya.

"Endro, tinggalkan semua kerjaanmu sekarang. Kamu fokus ke identifikasi sidik jari yang diberikan Catur, paham?" kata Waluyo.

Rekan Catur yang dipanggil Endro menganggukkan kepalanya dengan cepat sebagai jawaban.

"Oke, Tiara ke Kawengen bareng Catur. Rapat usai. Kembali ke kerjaan masing-masing," kata Waluyo mengakhiri rapat ini.

=====

"Kamu kok diem aja sih?" tegur Tiara ketus ke arah Catur.

"Terus musti ngomong apaan?" jawab Catur mencoba bersabar.

"Ya apa kek, sharing informasi atau apa gitu. Kan kita satu tim sekarang," jawab Tiara sambil mendengus kesal dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Catur sempat melirik ke sampingnya dan dia hanya bisa mengelus dadanya sendiri. Sebagai lelaki dia harus akui kalau Tiara memang memiliki tubuh yang luar biasa. Pantas saja banyak rekan-rekan sekantor klepek-klepek oleh pesona Tiara.

"Julid nanti tu mata ngelirik samping mulu," cibir Tiara.

Muka Catur merah padam mendengar kata-kata cibiran si judes yang terasa pedas di telinganya itu. Dia lalu memutuskan untuk kembali fokus mengendarai mobilnya kembali menuju ke desa Kawengen untuk kembali berusaha mengungkap misteri mahluk mengerikan yang dia temui tadi malam itu.

=====

Saat pertama kali Catur kesini, dia yang menjadi pusat perhatian warga karena dandanannya yang sedikit berbeda dan tentu saja karena dia orang asing di sini. Tapi sekarang, tak ada seorang pun yang meliriknya. Semua mata itu seakan tak bisa berpaling dari sosok gadis di sebelah Catur dan menikmati apa yang ada disana.

Padahal, Tiara memakai pakaian biasa yang tidak masuk kategori terbuka. Tapi lekuk tubuhnya memang mempesona dan susah disembunyikan dengan pakaiannya. Di tambah lagi lenggok gemulai yang sudah menjadi bawaan orok si Tiara, tentu saja mata lelaki desa Kawengen yang setiap harinya melihat paha kambing dan sapi itu terpesona. Untung saja mereka berdua segera masuk ke ruangan kantor Rojikin, sang Kades Kawengen.

"Mas Catur, terimakasih Mas sudah kembali lagi. Jadi gimana bantuan yang kemarin kita diskusikan?" tanya Rojikin.

Catur melirik ke sampingnya sebagai jawaban. Butuh beberapa detik bagi sang Kades untuk paham dengan bahasa tubuh yang barusan diberikan oleh Catur.

"Oalah," jawab Rojikin sambil menghembuskan nafas panjang penuh penyesalan.

Tiara yang melihat interaksi keduanya, jelas kesal sekali. Seolah-olah kedatangannya kesini hanyalah sebuah beban, bukan bantuan yang bisa diharapkan.

"Kamu kok gitu sih?" tegur Tiara ke arah Catur, rekannya. Tak mungkin kan dia ngegas ke Kades Kawengen yang ada di depannya?

"Kok gitu gimana, Ra?" tanya Catur.

"Udah ah. Serah," jawab Tiara.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang