Part 41

93 16 0
                                    

Tirto Wening duduk terdiam di depan sebuah pusara. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Dia hanya memandangi kuburan itu tanpa kata. Karena di dalam kuburan tersebut kini bersemayam jasad murid kesayangannya.

Keadilan di dunia hanyalah semu belaka. Semua tergantung dari sudut pandang orang yang melihatnya. Termasuk kisah pertarungan hidup mati antara Joko Lelayu dan Kala Gondang yang sempat menggegerkan tanah Waja.

Bagi Wening, apa pun alasannya, dia tetap akan membela muridnya. Ditambah lagi, musuhnya adalah penjahat keji yang durjana. Sudah pasti tak ada maaf di kepala Wening untuknya. Wening bersumpah dalam hati akan membalaskan dendam muridnya.

Sebelum menemukan makam muridnya ini, Wening sudah mencari tahu tentang semuanya. Dia tahu alasan kenapa Joko datang ke Riamu. Dia juga sudah menemui Lon Tong dan mendengarkan ceritanya. Dia juga tahu soal Gendhis dan keluarganya.

"Asem Rengket..." gumam Tirto Wening sambil menarik napas panjang.

Wening mungkin tak tahu keberadaan Joko dan Gendhis, tapi dari keterangan Lon Tong, dia tahu di mana keluarga Gendhis berada. Dan Wening berniat untuk mencari mereka.

======

Prawito duduk bersimpuh di lantai sambil menundukkan kepalanya. Di depannya, junjungan Prawito, sang Adipati Asem Rengket yang bernama Adipati Karang Geneng duduk di atas kursinya dengan jumawa. Di sebelah Karang Geneng, seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah putih panjang dengan rambut digelung di atas kepala dan jenggot yang tergerai panjang, menatap tajam ke arah Prawito.

"Semua ini gara-gara anakmu!!" kata si laki-laki tua berjubah putih ke arah Prawito.

Prawito hanya diam dan tak berani menjawab. Laki-laki tua yang diperkenalkan oleh Karang Geneng kepada dirinya dengan nama Tirto Wening tersebut adalah salah satu mahaguru dari Padepokan Silat Kodok Loncat yang terkenal di seantero Tanah Waja. Jangankan Prawito yang hanya seorang juru tulis di kadipaten Asem Rengket, bahkan seorang Karang Geneng sekalipun harus bersikap sopan kepada Tirto Wening.

Wening sendiri akhirnya mengetahui sejarah lahirnya Joko Lelayu setelah bertemu dengan Karang Geneng dan mendengarkan ceritanya. Dia sama sekali tak menyangka jika jawara kondang yang menggegerkan Tanah Waja dan dijuluki Joko Lelayu itu ternyata hanyalah anak seorang pedagang sayuran.

Wening menarik napas dalam-dalam. Baik Joko Lelayu maupun Kala Gondang, kedua-duanya berasal dari kasta rendahan yang mungkin akan dipandang sebelah mata oleh kedua saudara kandung Wening. Tapi lihatlah apa yang mereka capai sekarang? Kedua nama pendekar itu kini menjadi buah bibir di mana-mana.

"Tapi, kalau memang Joko tak pernah belajar olah kanuragan dan kebatinan, dari mana dia mendapatkan kesaktiannya?" gumam Wening yang tentu saja tak bisa dijawab oleh Karang Geneng, Prawito maupun abdi dalem Asem Rengket lain yang berada bersama mereka.

Seisi ruangan terdiam selama beberapa menit setelah itu. Tak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Mereka menungu sang Begawan memberikan petuahnya.

"Prawito, kamu tahu di mana anakmu sekarang berada?" tanya Wening dingin ke arah sang Juru Tulis.

"Kawulo mboten ngertos, Begawan..." jawab Prawito.

"Humph!!!" dengus Wening kesal, "dia anakmu. Tak mungkin kalau kamu tak tahu!" desaknya.

"Saya benar-benar tidak tahu Begawan," jawab Prawito lagi.

"Adipati... Aku minta agar Prawito dikurung bersama istrinya untuk menebus kesalahannya," kata Wening sambil menolehkan kepalanya ke arah Karang Geneng.

"Nggih, Begawan..." jawab Karang Geneng tanpa berpikir, seolah-olah, Prawito bukanlah abdi dalem yang telah mengabdi kepada keluarganya sejak puluhan tahun lalu. Prawito hanya bisa bersujud di lantai dengan seluruh tubuh bergetar ketakutan. Dia tak pernah mengira jika kisahnya sebagai seorang abdi dalem akan berakhir seperti sekarang.

=====

"Begawan, Prawito dan keluarganya sudah mengabdi selama puluhan tahun, apakah ini tidak terlalu berlebihan?" tanya Karang Geneng ke arah Wening. Saat ini hanya tinggal mereka berdua saja di ruangan ini.

"Aku ingin memancing Joko Lelayu dan Gendhis dengan memenjarakan orang tua Gendhis. Untuk saat ini, hanya cara ini yang terpikirkan olehku," jawab Wening.

"Aku mengerti, Begawan," jawab Karang Geneng.

"Lagipula, kenapa kamu merasa bersalah soal Prawito? Bukankah Adipati Telomoyo tewas di tangan Joko Lelayu? Kamu tak ingin membalas dendam untuk orang tuamu?" tanya Wening.

"Itu..." Karang Geneng terlihat ragu untuk menjawab. Wening hanya melirik sekilas ke arah Karang Geneng lalu meninggalkan Adipati muda tersebut seorang diri.

Karang Geneng berdiri diam di tempatnya.

=====

Dendam bisa membakar semuanya.

Bagaikan nyala api yang tak kunjung sirna, mengaburkan nalar dan logika.

Selama dua tahun, Karang Geneng dengan sengaja menyebar berita soal nasib Prawito dan keluarganya. Dari yang awalnya hanya disekap dalam kurungan, tetapi karena Joko dan Gendhis tak juga terpancing untuk keluar, Karang Geneng mulai bersikap lebih keji kepada Prawito dan keluarganya. Baik karena desakan Tirto Wening, dan juga karena kebencian pribadinya kepada Joko Lelayu.

Kini, Prawito dan keluarganya, tak lagi hanya menjadi tahanan. Mereka akan dipasung di tengah alun-alun Kadipaten di bawah terik Mentari setiap harinya. Masyarakat awam pun lambat laun mulai mendengar dan menyebarkan kisah keluarga mereka.

"Biarkan saja, salah siapa anak gadis mereka menjadi kekasih manusia durjana seperti Joko Lelayu!"

"Itulah pentingnya mengajari budi pekerti kepada anak-anak kita. Agar mereka tak salah jalan seperti Gendhis!"

Kalimat-kalimat cemoohan senada sudah menjadi makanan sehari-hari Prawito. Seolah-olah, dia dan keluarganya memiliki andil terbesar akan semua ulah keji yang dilakukan oleh Joko Lelayu. Tapi, Prawito dan keluarganya tak bisa melakukan apa-apa. Mereka hanya bisa pasrah dan menerima nasibnya saja.

Tirto Wening, sang Begawan yang seharusnya bijaksana, berhati lembut dan penuh welas, seakan menutup mata. Mata hatinya sudah tertutupi dendam kesumat dan membutkan segalanya.

=====

Gendhis menjatuhkan sayuran di tangannya. Dia menatap tak percaya ke seorang wanita yang ada di depannya.

"Beneran Mbakyu?" tanya Gendhis dengan suara bergetar.

"Iya. Mbakyu. Beberapa hari lalu, kebetulan aku bertemu rombongan pedagang dari Kadipaten, mereka yang bercerita soal itu," jawab wanita setengah baya yang ada di depan Gendhis.

"Sudah lama, keraton kadipaten menahan keluarga itu?" tanya Gendhis lagi.

"Sudah Mbakyu, denger-denger sih sudah lebih dari dua tahun. Sebenarnya aku sih kasihan. Soalnya, mereka itu kan tidak tahu apa-apa. Yang bersalah kan si laknat Joko Lelayu dan kekasihnya, kenapa justru keluarga malang itu yang menjadi sasaran," jawab si wanita paruh baya.

Gendhis hanya diam dan mencoba untuk menguasai emosinya. Dia tak menyangka jika keluarga yang dia tinggalkan mengalami nasib semalang itu. Mereka menjadi tahanan selama bertahun-tahun dan kini menjadi tontonan orang-orang di alun-alun.

Setelah itu, Gendhis tak lagi bisa memusatkan perhatiannya untuk berjualan sayuran di depannya. Kepalanya dipenuhi oleh bayangan orangtuanya yang kini mungkin tersiksa di Kadipaten Asem Rengket sana.

"Bagaimana pun aku setidaknya harus melihat kondisi Romo dan Biyung..." gumam Gendhis kepada dirinya sendiri.

"Tapi aku tak mungkin mengajak Kangmas. Mungkin mereka memang sengaja melakukan ini untuk memancing dan menahan Kangmas."

Setelah itu, Gendhis pun meminta ijin kepada Joko untuk pulang menemui keluarganya tanpa memberitahu soal kondisi mereka. Gendhis juga melarang Joko untuk ikut karena dia takut orang-orang di kadipaten akan mengenali Joko dan justru akan menimbulkan masalah.

Joko tak pernah menyangka jika hari itu, hari di mana Gendhis berpamitan untuk melepas kangen dengan keluarganya, akan menjadi hari terakhir dia berjumpa dengan kekasih hatinya.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang